Wednesday, December 21, 2005

akhirnya, tiba pada suatu ketika...

akhirnya tiba pada suatu ketika...

setelah melalui kebersamaan selama hampir 2 tahun, hari ini adalah hari-hari terakhir kami bersama dalam sebuah program yang mengesankan. jika dibandingkan dengan keadaan 11 bulan yang lalu, ketika pertama kali kami bertemu dan berkenalan (karena tak semua dari kakmi saling mengenal), hari ini ada perubahan besar pada diri-diri kami. mungkin tidak kasat mata, tapi perubahan itu yang menjadikan kami berani memandang jauh ke depan, di tengah wajah suram negeri ini.

akhirnya tiba pada suatu ketika..

bahwa sesaungguhnya bukan materi atau aktivitas yang membentuk kami. kami sangat bersyukur ketika kami disatukan dalam sebuah komunitas dan ikut dalam barisan proyek peradaban ini. kami dijadikan satu kesadaran dalam kebersamaan yang ringan, bahwa kita adalah kita, manusia dalam masa kedewasaannya, tapi kita adalah penerus dalam membangun bangsa ini. lingkungan terbaik yang pernah kami rasakan, kebersamaan dalam bingkai tujuan mulia.

dan akhirnya tiba pada suatu ketika...

kami tak sanggup untuk menghalanginya lagi. sedikit demi sedikit kami menuju ke tiap peraduannya. kami tak kuasa menahan, satu, dua, tiga dari kami mulai berangkat dalam medan perjuangan kehidupan nyata. apa artinya ini? bahwa saat ini, saat-saat terakhir kami bersama sejatinya adalah saat memulai proyek peradaban itu.kami harus berani, karena kami telah berani pula hidup ketika kelahiran kami, dan harus menerima tanggung jawab ini.

wahai sahabat-sahabat ku, akhirnya kita tiba pada suatu ketika...

saat do'a kita dipanjatkan, niat ditambatkan da perjuangan dibentangkan. sebentar lagi kita akan memulai hidup baru, saat kita berhamburan dalam gulungan waktu kehidupan, tanpa hal-hal khusus lagi yang membekali kita. dan inilah perjuangan sejati, perjuangan sekelompok manusia baru yang telah lahir dari rahim-rahim umatnya, mencita-citakan kemajuan bangsa di dalam warna syari'atNYA. kita, manusia yang juga tak lupa memanjatkan sehingga makin banyak barisan pengusung tugas mulia ini. hingga Terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat, Serta kebaikan dari Allah-Pencipta alam semesta.

terakhir, kita begitu berbeda sahabat.., kecuali dalam cita-cita ini.

Friday, December 16, 2005

Tentang Perbaikan Bangsa

Sebuah pertanyaan sederhana bisa membuat kita berpikir dan memilki jawaban yang berbeda dengan pertanyaan tersebut. pertanyaannya begini, mengapa bangsa kita, zamrud khatulistiwa, sekarang menjadi bangsa terpuruk yang sulit bangkit dibandingkan bangsa-bangsa lainnya?

Setiap orang yang ditanya dan diharuskan menjawab, akan memiliki jawaban berbeda atasnya. Mulai dari jawaban formal sok tahu tentang kondisi bangsa, hingga jawaban yang paling standar manusia tanpa empati, ”nggak tahu”. Padahal, jika pertanyaannya dibalik, anda mau bangsa ini memperlakukan anda seperti apa? Mungkin jawabannya akan relatif lebih mudah tanpa banyak berpikir panjang,

Tapi kita tidak akan membahas tentang pertanyaaan dan jawaban tersebut. Yang akan menjadi sorotan kita adalah, esensi dari pertanyaan tersebut, bahwa negara kaya raya ini (dalam idiom yang terkenal, tata tentram kartarahardja, gemah ripah loh jinawi) terpeleset –untuk tidak dikatakan terjerumus- dalam lubang keterbelakangan bila dibandingkan dengan negara lain yang se-angkatan usia kehidupan berbangsa dan bernegaranya, bahkan dari negara yang ”lebih muda”, kita juga mulai ”mengalah”, misalnya Malaysia atau Vietnam.

Secara sumber daya alam, tak ada negeri satu pun di dunia yang mampu menyaingi Indonesia. Kita pun tak usah dijelaskan lagi posisi Indonesia sekarang dalam urutan berapa soal produksi timah, kelapa sawit, rempah-rempah, hutan, batubara, gas alam dan sumber mineral serta energi lainnya. Karena walaupun kita tak tahu saat ini urutannya, hampir semua rakyat Indonesia yang pernah mengenayam pendidikan dasar (minimal SD), pasti masih sangat yakin bahwa potensi SDA negeri ini masih sangat banyak. Toh, kenyataanya memang tidak salah. Potensi kekayaan alam kita sekarang masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disedot oleh kapitalisme global dan didukung koruptor ”heartless” bangsa.

Tapi dasar bangsa ini adalah bangsa yang sudah di-nina bobok-an oleh kekuatan tersistematis selama lebih dari tiga dasawarsa, maka kesadaran untuk bangkit dan mengambil beban tanggung jawab sebagai bangsa yang besar tak pernah dilakukan. Pucuk pimpinan bangsa ini masih dengan bangga menyatakan bahwa negara kita butuh bantuan, tidak bisa berjalan sendiri dengan alasan yang klasik, ”masa sebuah bangsa tidak bersosialisasi”.

Sebuah fenomena perih, karena banyak pimpinan bangsa ini yang masih melakukan pembodohan terhadap banganya sendiri. Sesuatu yang benar tidak ditempatkan pada tempatnya, dengan menggunakan dalil kebenaran untuk menghalalkan tindakan yang salah kaprah. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang lain, dengan menggunakan aksioma-aksioma kebenaran. Padahal itu tak ubahnya seperti sebuah pembodohan massal.

Jika ditanya tentang suatu kegagalan, maka jawaban yang ”diplomatis” keluar. ”Jangan saling menyalahkan, mari kita perbaiki bersama”, atau ”Jangan tanya siapa, tapi apa?”. Jika tidak terbiasa dengan gaya politik negeri ini, seolah hal-hal diatas memang mendinginkan dan bijaksana. Padahal, hal itu tak berbeda dengan mengalihkan tanggung jawab sosial masyarakat yang harusnya dilakukan.

Lalu banyak kalangan yang peduli dengan kerusakan bangsa ini mulai untuk menjalin kekuatan. Namun tak sedikit pula yang pesimis, karena kita terjebak antara dua pilihan, yakni memperbaiki orang (SDM) atau membuat sistem. Malahan, orang-orang yang bingung harus mulai dari mana itu adalah orang-orang yang ikut menikmati kerusakan bangsa ini dan mungkin ingin mempertahankan. Yang namanya kebobrokan atau ketidakadilan, harus diperbaiki dari segala arah yang mungkin dilakukan. Kita tidak bisa terjebak antara orang atau sistem. Kalau perlu perbaikan itu sendiri menyangkut tidak hanya dua hal itu (orang atau sistem), tapi juga interface antar keduanya atau lingkungan kedunya. Hematnya, perbaikan harus dilakukan dan tidak perlu gamang bagaimana harus memulainya.

Thursday, November 24, 2005

perpustakaan

hampir tiap hari selama empat hari ini, aku selalu datang ke perpus departemenku, Teknik Industri. aku sendiri juga heran, koq tiba-tiba aku akrab dengan iklim perpus yang "angker" dulu pernah kurasakan. ingat bunyi ayat yang mengatakan kurang lebihnya, "boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu merugikan bagimu, dan bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal itu bermanfaat bagimu...".

tapi memang bukan tanpa sebab manusia melakukan sesuatu, pun dengan aktivitas baru-ku ini.ke perpus karena ingin melihat dokumen TA-TA yang sangat banyak (apakah berguna selain bagi adik2nya, TA-TA yang berharga itu?). aku ingin menemukan sebuah pemecahan masalah yang diberikan oleh seseorang, tentunya berhubungan dengan kuliah atau mungkin rencana TA juga.

bukanya tugas2 lainya yang harus dikerjakan lebih banyak? yang aktivitas organisasi kampus, kuliah, setelah sampai di rumah bukanya istirahat (pengertian versi belajar), tapi juga "dihajar" oleh aktivitas lagi...

tapi konon, emang orang2 yang sibuk yang bisa membagi9 waktu dengan baik.ah..waktu, ini yang menjadikan manusia satu berbeda dengan manusia lainya.24 jam bagi orang Hittler berbeda dengan 24 jam bagi Sharapova. dan sekarang pun, aku masih ngerasa "time waster", karena masih bisa tidur abis shubuh.

kembali ke perpus, tempat ini ternyata nyaman juga.setiap kesini dan baca buku (TA lebih pas), langsung aja ngantuk, dan les...tidur sejenak. ya sejenak saja, 5 menit kemudian bangun dan lebih seger. kalo di perpus pusat itb, lebih lama kali ya? pantesan katanya banyak yang mojok disana, apalagi di lantai 4 (jadi penasaran...).perpus ternyata emang tempat yang [masih] nyaman, ehm enaknya jadi mahasiswa "beneran".

Saturday, November 19, 2005

kemahasiswaan yang bertanya...

pernah kita sama-sama
berjuang bersama..

itulah sekelumit syair lagu yang diubah sesuai dengan zamannya, atau konteksnya. berbicara tentang konteks atau wadah, adalah berbicara tentang ruang dan waktu. masa ini berbeda dengan dulu dan sekarang berbeda dengan masa datang.ketika semua terjalin dalam tali zaman, maka pisau analisis yang digunakan untuk memutusnyapun harus disesuaikan dengan ukuran dan karakteristik tali yang terjalin.

sekarang, dalam konteks kekinian manusia seperti memiliki sedikit waktu. karena mereka sudah tidak ada waktu lagi untuk berbagi, bersama atau sekedar bertegur sapa. dunia sekarang sepsrti dunia tanpa gerak, sedikit tapi pasti manusia sudah tidak menganggap pertemuan sebagai satu-satunya jalinan hubungan personal.

ketika waktu sudah menjadi barang pribadi yang tidak seorang lainya berhak mengambil darinya, maka semua jadinya diukur dengan ada/tidak nilai tambah bagi si pemilik waktu (manusia tsb).lalu, manusia yang tidak pernah menjaga waktunya, akan tergilas dengan roda zaman yang menerjang tanpa batas tanpa disadari olehnya.

akhirnya, kemana larinya kepedulian? kemana larinya kekeluargaan? semuanya tak bisa ditemukan lagi, karena kepedulian, kebersamaan, kekeluargaan tenggelam dalam busa kepentingan yang semakin tinggi. lalu manusia bertanya heran dalam hatinya, "sebenarnya apa sih yang kita dapatkan?"

Thursday, November 03, 2005

ucapan sms lebaran

Ber-sms ria untuk mengucapkan salam lebaran sudah lazim di tengah kita. Pun untuk tahun ini aku sudah menyiapkanya, dengan menyediakan beberapa tipe sms sesuai dengan sang penerimanya. Karena setiap/kelompok orang berbeda, jadi juga harus diperlakukan sesuai dengannya.

Ucapan sebelum 1 syawal, kepada sebagian banyak orang, khusus untuk para adik2 di kampus
Melihat segalanya dengan hati yang bersih, tanpa mengharap pujian manusia2. semoga menjadi Ramadhan yang berkah,& berdo’amengharap istiqamah di jalan-NYA.Taqabalallahu Minna Waminkum...

Ucapan saat hari-H (dan mungkin setelahnya), untuk mereka yang teringat dan tertinggal
Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi. Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa. Hidup ini terasa indah jika ada maaf. Taqabalallahu Minna Waminkum...

Ucapan kepada beberapa teman FSLDK dan pemberi semangat
Pergilah keluh, ku tak mau berteman dengamu. Silahkan kesah, kau bukan takdirku... mujahadah adalah temanku, dakwah adalah nafasku, dan Allah adalah kasihku... Maafkan segala kesalahan

Ucapan untuk yang suka dengan pergerakan, dan teman2 yang sering “digerakan”
“Hari ini adalah hari2 Allah, tidak pantas kita berbangga-bangga dan berbuat durhaka. Ikhlaskan jihad dan harapkan Ridho Allah dengan amalmu” (Khalid bin Walid). Taqabalallahu Minna Waminkum...

Ucapan untuk para anggota keluarga kampus dan teman dekat, yang mengerti sebagian sifatku (ini yang paling unik, dan maunya cukup ini yang jadi brand.tapi koq kayaknya jahat ya!)
..Idul Fitri pada hakikatnya adalah tekad kembali suci, memberi kelapangan, tanpa menuntut adanya sebuah permohonan. Saya insyaAllah telah memaafkanmu..

Ucapan khusus untuk seorang saudara yang sedang berusaha keras berbenah diri
Umat butuh dibangunkan, lampu2 kebangkitan harus dinyalakan. Dengan “kesadaran” yang kita tekadkan di bulan suci, semoga benar2 menjadi ruh baru penyusun batu peradaban tertinggi...

Dan yang tidak terlupakan, kepada saudara-keluarga di Magetan yang tak kujumpai tahun ini
Pertemuan hanya sarana, niat ikhlas yang utama. Nyuwun pangapunten sedaya kalepatan.. Mugi2 kagayuh krenteging ati, karena zaman tak dapat dilawan, KEPERCAYAAN harus diperjuangkan

Dan bagi yang belum menerima sms (karena sedang mepet pulsa..), dan yang pernah menerima hanya satu kali versi ucapan, silahkan pilih saja salah satu dari atas. Karena mungkin saya tidak tepat memilihkanya, tapi tetap tidak mengurangi makna Idul Fitri, karena sms memang hanya sekedar sarana.

Wednesday, November 02, 2005

lebaran-ku...

ini malam lebaran pertama ku selain di kampung halaman, di magetan, jawa timur. banyak orang bilang, "koq kamu ga pulang sih, kan jauh2 banget?". tapi tetap saja, mereka tidak tahu alasan paling kuat kenapa aku tidak pulang. bukan alasan biasa tentunya, karena baru kali ini alunan takbir ku nikmati di kota rantau-ku tercinta, bandung.

tapi itu tak menyurutkanku untuk meraih ramadhan dan lebaran terbaik-ku, setidaknya terbaik selain di rumah. walaupun pasti saja, suasana makanan dan kumpul dengan keluarga besar terbayang. tapi, inilah pilihan. dan aku mencoba untuk menjadi orang yang punya sikap dan bertanggung jawab atasnya. semoga Allah memberi kemudahan menapak hari-hari depanku.

Saturday, October 22, 2005

[..tips mudik berkah..]

bagi yang mau mudik, ada sedikit tips mudik yang insya Allah berkah,
1) Pasang target, semakin jelas dan detil (tiap hari atau sampai jam mungkin) semakin baik. Misalnya, selama 2 minggu di rumah ingin ketemu dengan seluruh keluarga besar, reuni smu, silaturahim dengan guru-guru dahulu, membaca buku-buku tertentu, menulis, membuat proyek khusus dan lain-lain. Yang penting juga, dilaksanakan dan evaluasi setelah tiba di rumah. Jangan sampai kebiasaan lama muncul, bagus dalam perencanaan tapi miskin realisasi.
2) Jangan terlalu menampilkan atribut kita, misalnya ITB atau budaya Bandung. Itu bisa menyebabkan kesenjangan yang membuat orang berpandangan “khusus” kepada kita. Kalau sedikit dan proporsional, boleh-boleh aja sih..., biar ada sedikit yang beda.
3) Tunjukan bahwa ada perbedaan yang baik setelah berpisah ke orang tua, dan orang-oarang sekitar disana. Misalnya, tidak lagi ngomong kasar, lebih banyak senyum, mencium tangan orang tua dll. Tapi jangan berlebihan, dan terkesan tidak alami.
4) Jadikan mudik sebagai pembangun motivasi hidup setelahnya. Tanya ke orang tua, keluarga atau orang terdekat tentang harapannya kepada kita. Atau tangkap pesan-pesan harapan dari mereka dan lingkungannya. Ingat, bahwa kita menjadi kebanggaan orang tua, masyarakat sekitar, dan bangsa untuk kemajuan bersama di masa depan. Niat mudik yang benar so pasti.. dan baca bismillah sebelum naik kendaraan.


dan bagi yang nggak mudik (like me?), mungkin tipsnya cuman 1 :
pertebal muka, untuk silaturahim ke tetangga sekitar dan teman-teman yang asli Bandung. Kalau tidak, bakal nggak dapet rezeki makanan ketupat dan opor khas Lebaran.

selamat mudik....

Tuesday, October 18, 2005

Mudik; Sebuah Fenomena

Mas, Kapan pulang? udah beli tiketnya?
Antri nggak... Masih ada? Berapa sih sekarang, katanya naik ya?
Jangan lupa oleh-olehnya!
........

Pertanyaan dan ungkapan-ungkapan diatas diantara yang sering kita dengar akhir-akhir ini, bahkan sudah sejak awal-awal ramadhan lalu. Kita secara bersam pun menyebutnya dengan kata : MUDIK, atau pulang kampung. Sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar manusia kota-kota besar di negeri ini menuju kampung atau desa tempat asal liku-liku nasibnya berawal. Tidak kecuali juga sosok mahasiswa ITB, dimana sangat banyak (mungkin lebih dari 2/3) yang melakukan aktivitas mudik tersebut.

Lalu, apa yang menarik dari mudik? Bukankah itu sebuah kegiatan tahunan, semesteran yang biasa kita lakukan? Mudik juga pada dasarnya adalah pulang kampung, ketemu dengan orang tua atau handai taulan, sebuah aktivitas yang sepertinya sederhana. Tapi, apakah itu saja?

Sebagai gambaran awal, mudik ternyata menjadi pelengkap tahunan roda kehidupan pertiwi ini, sama halnya dengan APBN yang musti ditetapkan setiap tahunnya atau kalau di kampus, rangkaian pemilu Ketua Himpunan dan Presiden KM. Menjadi pelengkap karena hampir sepanjang hidup kita masing-masing, fenomena mudik selalu terjadi setiap tahunnya. Seolah-olah, negeri ini tidak akan berjalan tanpa mudik yang menyertainya, sama dengan analogi APBN tadi.

Justru karena rutinitas yang terjadi, mudik kemudian menjadi hal yang benar-benar rutin, miskin makna dan nilai di dalamnya. Tapi bagi sebagian kita, misalnya mahasiswa 2005, yang baru pertama mengalami rangkaian kegiatan mudik, ada rasa yang membuncah tentang segala gambaran orang tuanya, daerah asalnya, teman-temannya, dan suasana pastinya. Sesuatu yang menjadikan mudik menjadi hajatan wajib dalam perjalanan hidup, tak peduli berdesakan, antri berlama-lama, harga tiket naik tajam atau segala rintangan lainnya.

Tapi, mudik ternyata tidak hanya menjanjikan suasana daerah yang diinginkan. Seringkali terjadi sebaliknya, daerah sedikit terwarnai dengan budaya kota yang dengan paksa kita lakukan. Ambil contoh, dalam berpenampilan, bertutur dan bersikap kita yang mungkin dianggap aneh bagi masyarakat. Lalu kedua orang tua kita akhirnya mafhum, bahwa anaknya memang telah menjadi bagian dari budaya kota rantaunya sekarang.

Bukan menjadi kesalahan mutlak memang, jika kita “membawa” budaya-budaya kota ke daerah. Pertama, karena memang budaya itu telah terinternalisasi menjadi kesadaran terdalam Freudian, “self unconscious”, yang secara tidak sadar terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Kedua, itu memang sebuah kesadaran sesadar-sadarnya sehingga bisa dikategorikan menjadi kebutuhan Maslow, “self esteem”, sebagai pengejawantahan dari status yang disandang.

Tapi yang lebih penting adalah pemaknaan terhadap mudik itu sendiri, apakah sekedar rutinitas dan self-self semata? Khususnya dalam momen mudik lebaran seperti saat ini.

Dengan mudik, manusia diajarkan untuk kembali ke asal nya dilahirkan, atau tempat buku nasib dunianya mulai diperlihatkan. Manusia memang senantiasa merindukan suasana masa lalunya, meski tidak senyaman sekarang, tapi masa yang memberikan arti kehidupan sehingga ia bisa seperti sekarang. Ingat pepatah, “kacang lupa akan kulitnya”, mudik menjawab premis itu dengan jawaban pasti, kembali ke kampung halaman.

Kemudian tidak bisa tidak, bahwa mudik identik dengan perjumpaan diri pada orang tua. Saat-saat idul fitri akan menjadi sebuah upacara penghapusan kesalahan anak kepada orang tuanya. Orang tua yang melahirkan, membesarkan dan sekarang berharap pada kita memberikan maaf atas segala perilaku yang kita niatkan, ucapkan dan lakukan. Dengan kerendahan hati, mereka berpesan untuk menjadi anak berbakti bagi keluarga, agama, masyarakat dan bangsanya. Walaupun kalimat pengharapan itu sering tidak dilisankan.

Kemudian beranjak pada bentuk ceremonial maaf lainnya, bahkan sampai akhirnya kita mungkin sudah tidak ingat lagi arti dari sebuah jabat tangan pemberian maaf. Namun semuanya akan sepakat, bahwa saat itu kita akan memberikan maaf seluas-luasnya pada manusia yang pernah melakukan kesalahan pada kita, meski tanpa harus bertemu dan berjabat tanga denganya.

Itu artinya, kita semua pada dasarnya menginginkan kondisi fitri, kembali pada titik nol, terlahir kembali di tempat muasal dengan kondisi bersih dosa, sebersih kemampuan kita mendekatkan diri pada-Nya dan memafkan kesalahan hamba lain. Meninggalkan keburukan di masa-masa lalu dan menatap masa depan. Lalu berjalan lagi untuk memulai babak baru kehidupan, sehingga kehidupan yang lebih baik tergapai.

Sebegitu dalamnya maknanya, sehingga salah bila kita menjadikan mudik sebuah kegiatan ritual periodik manusia rantau kepada asalnya. Sehingga kita tidak terjebak dalam paradigma Ptolemyan, “menyelamatkan fenomena”, dan akhirnya meninggalkan keadaan kembali seperti semula.

Padahal, mudik bisa memberikan banyak ajaran kepada kita, tentang hakikat penciptaan, keluhuran budaya, kebesaran jiwa, kesadaran berbenah dan keberanian menghadapi hidup selanjutnya. Semoga kita mampu mendapatkan mudik penuh makna kali ini.

Friday, October 14, 2005

ngapain ya?

padahal udah lewat tebgah malam gini, amsih nongkrong di depan komputer ngetik yang "nggak penting" lagi. nge-blog...

tapi emang benar2 males mau bikin tugas...(PLO!!!).kata teman sebelah sekarang banget...mending jadi orang yang terakhir, lebih cerdas dengan meniru.tapi itu bukan alasan kenapa males PLO.

oiya..bukanya masih ada kewajiban nulis untuk SOC. ttg mudik, ntar kalo udah jadi di tampilin di blog deh...buat konsumsi kita semua. [bingung trus.....?]

selamat malam aja........(00.28)

Tuesday, October 11, 2005

saat yang tepat...

dua hari ini, pas tarawih di masjid bersebelahan dengan dua orang yang berbeda. satu sudah cukup berumur, dan satunya lagi lebih muda dari saya tapi karena badanya lebih gelap seperti sudah tua. dari keduanya, saya tersenyum dan punya rasa bangga tersendiri.

apa yang dilakukanya?saya tidak sengaja melihat gerakan shalat mereka, sebuah gerakan yang tidak biasa alias kaku. bisa jadi, ini masa-masa pertama bagi mereka.itulah yang menjadikan saya dalam hati tersenyum, tapi kebanggan pada mereka yang jauh lebih besar.


ramadhan, memang saat yang tepat untuk mulai melakukan ibadah dan kebajikan, dan aku harus belajar dari keberanian mereka untuk memulai sebuah ibadah paling mulia, shalat, walupun mereka bukan dalam usia belajar lazimnya usia kita dulu,selamat mas...!

Saturday, October 08, 2005

awal Ramadhan kali ini

puasa, pada hakikatnya adalah menahan (atau mungkin mengendalikan) nafsu dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. dalam hal yang sangat sederhana, manusia muslim lebih bisa mengartikan puasa sebagai masa untuk berlapar dan berhaus. walaupun islam sendiri dengan tegas memperingatkan bahwa banyak orang puasa yang tidak mandapat apa-apa selain lapar dan haus.

karena puasa yang lebih terasa iklim lapar dan haus itu, sahur manjadi hal yang memabawa berkah. mungkin sebagai bekal persiapan sepanjang hari dan memang secara ketahanan tubuh berbeda. dan untuk menggapai salah satu nikmatnya puasa, bersegera berbuka menjadi nikmat yang terasa luar biasa. nikmat satunya lagi, insyaAllah akan diterima ketika menghadap Sang Khalik.

sudah tiga hari puasa berlalu, ada banyak hikmah yang didapat. pas hari pertama, ada insiden yang menjadikan aku diminta mengganti cat motor yang tergores. walaupun aku tak mau, tapi konsekuensi lain akhirnya kudapat.
tentang berbuka, ini yang menjadi catatan menarikku.

hari pertama puasa, saat azan berkuamndang baru saja aku man-starter motorku untuk meninggalkan kampus. dalam hati ku berujar, besok tak boleh ada kejadian seperti ini, tidak menikmati detik2 berbuka. aku mampir di masjid yang biasa aku datangi ketika manuju kost.

sebuah sajian yang bersahaja menyambut. ya...karena dalam pikiranku, sebuah masjid yang besar dan mempunyai sekolah islam terpadu mungkin bisa menyediakan hal yang lebih dari satu roti bolu, agar-agaer dan segelas air mineral (As-Salam kalau tidak salah mereknya). setidaknya, aku harus bisa bersyukur karena masih dapat ta'jil setelah waktu buka berlalu 5 menit.

hari kedua, aku sudah mempersiapkannya lebih baik. di masjid komlpek kost yang tergolong kawasan elite, kudapat sebuah banyak gorengan, teh hangat, dan roti. alhamdulillah, setidaknya lebih baik "sedikit" dari kemarin.

hari ketiga kemarin, ada kegiatan yang membuat jadwal buka ku harus dilakukan di acara tersebut. subhanallah, teman yang menyediakan ta'jil untuk acara yang kupimpin membawa kolak, es buah, dan gorengan. wah..it's my first kolak!!!
lalu aku berpikir di akhir pulang, kapan ya my first kurma? selama puasa, belum pernah makan nih... (dasar ngirit!!:)

semoga menjadi Ramadhan terindah

Sunday, October 02, 2005

..disini bAnd, disana BOOm, BBM-ku malang

..pas lewat Dago malam ini jam 9an..

sabtu malam masih seperti biasa, banyak orang yang nongkrong, ngobrol, berpasangan atau sekedar "cuci mata". padahal ini kan hari sabtu, tanggal 1 oktober?

tanggal 1, ingat pas guru sejarah nerangin bahwa ada G30S/PKI. dengan lantang, "tanggal 1 oktober dinihari, para jenderal dibawa ke Lubang Buaya dan dibunuh dengan sadis oleh para pemberontak PKI.....[bla..bla..]". lalu sejarah itu pun "diluruskan" oleh orang yang

tanggal 1, dini hari banget pemerintah naikin harga BBM. bensin-ku yang sebelumnya 2400 per liter, sekarang jadi 4500. tapi pas H-1 kemarin, ikut2an antri juga nge-full-in tangki spd motor. "sayang", max cuma 10rb=4,... L. tapi minyak tanah tanah yang dikonsumsi sama mbok jah, mbok minah, sutiyem, parlan, kasmo, suwarna, ice, euis, inayah dan tetangga sekitar, naik jadi 2000 per L, padahal sebelumnya 700. "Pemerintah Keterlaluan", begitu kata headline kompas hari ini.

tanggal 1, menjelang malam hari di kampus "centre of excellence" ITB ada perutunjukan band yang diadakan oleh HMT (Himpunan Mahasiswa Tambang), konon ada Ten2 Five dsb, dipandu MC dari penyiar Radio terkemuka di bandung. sekilas menengok, jalan Ganesha diblokir, aku yang mau masuk kampus dialihkan dari belakang, dan yang datang....gelap!![tak kulihat persisnya].

tanggal 1, setalah di kampus "taskdoing", Detik berujar "ledakan guncang bali", "SBY terima SMS dari ajudan 30 menit sesudah bom", "Pemerintah bom bali II pengalihan isu BBM", "24 orang tewas, 101 luka-luka",.......

ada banyak kejadian tanggal 1 okt ini, mana yang merubah sejarah dan mana yang hanya lewat sekilas tangkapan mata. sekarang, aku berpikir disini untuk merenungkan sebuah keinginan bertanya pada teman-teman ku mahasiswa, apa yang kita pikirkan untuk negeri ini?

Saturday, October 01, 2005

,tErlaMbat?

"asw, hariiii geeenneeeee baru nge-FS???......"

"Hari gennneee baru daftar friendster???
Kemana aja sampeyan??
Ngeblog terus sih!!
G4UL di dunia maya ya friendster!!!
He he he...."
dua komentar diatas ditulis pada testi dan message my freindster.aneh? ngggak juga, aku memang baru saja (bulan lalu) daftar di friendster(seringkali kutulis salah.., freindster). kalo emang baru daftar, jadi kenapa?

terlambat?seperti komentar diatas?bagiku, keterlambatan hanya pada waktu, bukan pada makna dan nilai. adalah ketika kita tidak berani melakukannya sama sekali, walaupun kita tahu kita masih bisa melakukan, itu adalah "keterlambatan" yang bodoh. sudah tau telat, masih bisa dan halal dilakukan, eee...masih saja nggak dilakukuin.

aku malah melakukan sebuah pengendalian sejarah, koq? maknanya, ketika banyak orang ber-FS ria sejak 1,5th lalu, aku tak pernah menginginkanya. ntar bnr2 sama latah.dan baru ketika semuanya pada "titik saturated", banyak tmn2 yang invite (sejak 8 bulanan lalu, esp PK V), maka kuputuskan regist FS.

coba kalo keterlambatan dinilai sebagai sebuh kesalahan, maka mgk bangsa initak akan pernah merdeka. lha wong dijajahnya 350+3.5 th+mau dijajah ulang lagi.., dan mgk skrg kita lbh kaya, karena negara kita nggak rusak ky sekarang(iya gitu?).

jadi keterlambatan murni masalah waktu. yang lebih penting, pengendalian thd arus zaman dan mungkin, ada benar apa yang dikatakan testi di bawah ini,
"kamu ngapain sih yan bikin gini-ginian....
kaya bukan kamu aja.....
udeh deh..."


-hanya rasionalisasi,bukan pembenaran semata-

Sunday, September 25, 2005

ucapan selamat-ku

selamat datang cinta,
karenanya sekarang ku tak akan mudah berbagi..
selamat datang sayang,
karenanya sekarang ku tak lagi gundah sendiri..
Barakallohulaka wa Baroka 'alaika wa Jama'a fi Khoir..
teruntuk sahabat
yang berbahagia hari ini

Saturday, September 24, 2005

ketika harus memilih...

sudah lama ga nulis nih...banyak hal yang menuntut lebih harus dikerjakan. mulai dari tugas akademik - kenapa ini yang ditulis pertama ya?, tugas organisasi - kata temen ku yang IPK nya > 3,3 aktivitas adalah pilihan, tugas pribadi - selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, tugas abdi - dalam berislam, dan banyak tugas-tugas lainnya jika mau lebih didetailkan.

kadang kita merasa letih dan ingin istirahat dari semua beban itu, mungkin dalih kita demi melakukan tugas lainnya dengan lebih baik. atau karena kita bosan saja dengan himpitan deadline, kemauan orang, idealisme dsb.

jadi apakah kita harus tegar dan kuat untuk melaksanakan tugas2 itu semua? terus terang, aku sekarang sedang menghadapi itu semua. dan yang aku takutkan, munhcul ketidak-konsistenan ketika menjalaninya.

misalnya gini, ketika mengikuti kuliah (dan biasanya dengan tugas2..), langsung timbul "komitmen" dalam diri untuk konsen kuliah saja dalam hidup ini dan menyelesaikan tugas sebaik mungkin. tapi kadang (atau sering?), tugas tidak dilakukan dengan sebaik yang diniatkan.

lalu ke aktivitas organisasi, ketemu tokoh, diskusi masalah bangsa, nasionalisme, peran mahasiswa dsb. dan timbul kuat niat kuat untuk menjadi mehasiswa idealis, yang menghabiskan hidupnya di kampus dengan diskusi memcahkan keheningan mancari keadilan.

kemudian, ada teman yang sakit, nikah, bercanda rame2. dan kenapa ga kumanfaatkan hidupku untuk membahagiakan teman2 sekitarku? yang sering kulupakan karena alasan kuliah, tugas, organisasi dan ego-ku sendiri.

masih ada lagi, yaitu waktu ketemu atau ditelepon orang tua. Ya Allah, kemana aja aku ini? hingga ortu pun tidak pernah rutin kusapa... dan ketika pulang kuikrarkan untuk sebaik-baiknya, walaupun toh selalu berakhir dengan tidak semanis niatnya.

dan...apa dan apa yang banyak lagi. yang membuat berkomitmen, berjanji disana, disana, dan disini, yang lalu janji yang kemarin belum terwujudkan. terakhir aku sadar, manusia memang suka dengan peran-peran panggung kehidupan...

Thursday, September 15, 2005

Prayer for Arthur....


Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak
And brave enough to face him self when he is afraid,
One who will be proud and unbending in honest defeat,
And humble and gentle in victory

Build me a son whose wishes will not take the place of deeds
A son who will know Thee__
And that to know himself is the foundation stone of knowledge

Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort
But under the stress and spur of difficulties and challenge
Here let him learn to stand up in the storm
Here let him learn compassion for those who fail

Build me a son whose heart will be clean
Whose goal will be high
A son who will master himself before he seeks to master other men
One who will reach into the future,
Yet never forget the past.

And after all these things are his,
Add, I pray, enough of a sense of humor
So that he may always be serious,
Yet never take himself too seriously.
Give him humility,
So that he may always remember the simplicity of true greatness,
The open mind of true wisdom,
And the weakness of true strength.

Then I, his father, will dare to whisper,
“I have not lived in vain”

Prayer for Arthur
By General Douglas McArthur (1880 – 1964)

puisi ini bagus, esp buat yang mau me-momong buah hatinya (atau yang menuju kesana:).
selamat.....

Tuesday, September 06, 2005

Bapak itu telah meninggalkan kita...

Pagi itu sekitar jam 8, hari Sabtu 17 Juli kemarin, kami serombongan Pelayaran Kebangsaan (PK) V tiba di dermaga Belawan Medan, setelah semalam kami melempar jangkar di teluk Belawan untuk menunggu pagi. Dan segera, kami pun bersuka kaena tujuan Medan telah kami injak. Sambutan dari mahasiswa2 Medan beserta bus yang akan mengangkut kemi ke Medan. Tapi kami baru sadar, Belawan-Medan bukanlah jarak yang singkat ternyata. Membutuhkan setidaknya 2 jam, yang membuat kami terkantuk-kantuk. Sengingatku, sepanjang jalan itu banyak terdapat perumahan penduduk yang jarang diselingi dengan pohon-pohon nyiur, lalu pasar, pemukiman, dan banyak bukit.

Rasa kantuk hilang, ketika kami tiba di depan kantor gubernur Sumut. Disamping adalah sebuah potongan sketsa masjid Gubernuran itu. cukup luas, bahkan terkesan lebih luas dan megah bangunannya dibandingkan dengan Istana Wapre yang kami kunjungi 5 hari yang lalu. Segera kami naik ke aula utama, lantai dua jalan menjauh dari bangunan masjid.

Sederet kursi telah ada, dan tak lama acara pun dimulai. Seorang bapak mengenakan safari gelap menyambut kami dengan memperkenalkan Sumut sebagai potret multikulturalisme. Selain itu, banyak potensi yang dimilki oleh propinsi ini yang akan digunakan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Bapak inin juga menyampaikan bahwa Medan adalah ibukota Sumatera secara keseluruhan, karena menjadi kota terbesar di pulau itu dan terbesar ketiga Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Dan memang, kota ini tergolong besar (apalagi dibandingkan Bandung), walaupun jalannya tidak selebar Surabaya.

Kemudian, seorang ibu menyampaikan laporan kegiatan PK V ini. rupanya dia dari panitia lokal Medan. yang membuat peserta riuh adalah ketika ibu tersebut menyampaikan bahwa sebenarnya peserta akan diajak ke Prapat untuk melihat keindahan Danau Toba dan Samosir. Tapi karena perjalannya Medan-Prapat tidak sebentar dan acara padat, maka niat tersebut diurungkan. Bagi sebagian besar peserta, Toba adalah cita-cita ketika berkunjung ke Sumut ini. Dan inilah yang ditangkap oleh Sang Bapak tuan rumah kita saat itu.

Aku sendiri, duduk persis di baris ketiga, sehingga sangat jelas melihat bisik-bisik yang dilakukan oleh ka panitia pusat (Bapak Mu’in) dan bapak itu, serta perwakilan dari TNI AD, AL dan jajaran pemda sumut. Dan hasilnya, di luar dugaan kami semua. Dengan spontan saat sambutan, Bapak Mu’in mengatakan bahwa bapak kita telah menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan untuk berangkat ke prapat sore itu juga. Padahal, saat itu jam menunjukan sekitar 11 siang, dan kami harus ke panti asuhan siang sampai menjelang ashar. Karuan saja, seluruh peserta bersorak girang dan aku melihat persis, bapak kita tersenyum melihat ekspresi peserta.

Dalam akhir acara “Horas” itupun, kesediaan yang terbuka beliau untuk berfoto dengan peserta setelah salah seorang kami memberikan cinderamata kepadanya. Dan peserta merasakan, seorang bapak yang memberikan keinginan anaknya kala sang anak ingin merangkai kenangan indahnya di bumi Sumut tersebut. Dan bapak itu adalah T. Rizal Nurdin, Gubernur Sumatera Utara.

Singkatnya, sore itu kami berangkat ke Prapat dengan disediakan 10 bus yang jauh dari memadai bagi kami. Mengenai Prapat, aku sendiri sering salah menyebutnya Prapatan, karena dalam bahasa jawa banyak digunakan untuk menyebut perempatan jalan. Selama perjalanan, rombingan dikawal oleh mobil patroli Dishub dan artinya semua mobil yang ada di depan mempersilahkan kami lewat dulu. Pemandangan yang luar biasa, ketika kami diperlakukan seperti tamu resmi dan terhormat di Sumut. Sedangkan di sebelah kiri kanan jalan, perpaduan bukit dan gunung, hutan musim, sawah dan lembah menghibur ruang penglihatan kami. Sungguh daerah yang indah.

Tiba di toba, hari sudah malam. Waktu itu sekitar jam 9 malam. Segera, panitia lainnya sudah siap dan mencarikan perahu untuk langsung menyeberang ke Samosir. Aku sendiri membatin, “karena perintah dari orang berkuasa di Sumut, semuanya berjalan sigap tanpa ada hambatan berarti”. Luar biasa juga ketika di Samosir, sebuah komplek vila bernama Toledo telah siap dengan makan malam dan kamar2 yang akan digunakan membersihkan diri. Aku melihat saat itu, betapa seluruh peserta menikmati penyambutan yang disediakan.

Selanjutnya, jam 10 malam telah disiapkan pula di aula Toledo, sajian kesenian khas Sumut. Mulai dari orang yang membawa patung (mirip ondel2), dan tarian2 lainnya yang aku lupa. Serta tak lupa, nyayian daerah Sumut dan penampilan beberapa peserta. yang menambah kami merasa terhormat diperhatikan saat itu dengan ada pengumuman seperti ini, “Bapak Gubernur telah menyediakan kaos Danau Toba yang diberikan gratis kepada setiap peserta dan panitia PK V.” Untuk kedua kalinya dalam hari itu (atau sudah lewat tengah malam kali ya?), kami bersorak gembira sebagai ungkapan rangkaian pengalaman indah mengesankan sepanjang hari itu.

Kami pun beranjak dari samosir sekitar jam 1.30 dinihari. Di dalam perahu dan bus, masih ada bebarapa tanggapan yang menyadari betapa beruntungnya kita hari itu. mendapat sambutan sudah merupakan penghargaan, diperlakukan terhormat adalah anugerah, kemudian diberikan tanda mata yang akan dibawa di seluruh peserta ke daerahnya masing2 di Indonesia ini.

Paginya, secepat kami naik Kapal kembali dan upacara pelepasan yang lebih sederhana dilakukan oleh TNI AL. Belawan makin jauh, tapi kami masih sangat ingat saat-saat kemarin menjalani salah satu perjalanan terindah dalam benang kehidupan kami masing-masing. Serta tak lupa, seorang bapak yang telah memberikan yang terbaik bagi kami.
***

Dan siang kemarin, Senin 5 September. Teng....tet....tet..., sebuah sms datang dari seoran kawan yang juga tahu perjalanan PK.
“...Udah tau kan kecelakaan pesawat di medan td, korbannya 100 lebih. Ikut tewas gubernur sumut rizal nurdin.."

Sejenak diam, tak bisa berkata dan tidak pula membalas sms itu. Bapak itu telah meninggalkan kami. Dan kami masih belum menjawab harapan-harapannya untuk menjadi pemuda masa depan, yang mengangkat bangsa ini menuju kejayaan. Yang mampu membawakan pesan persatuan untuk seluruh komponen bangsa, dan yang menjunjung tinggi budaya bangsanya.

Harapan-harapan itu kini dipercayakan kepada kami sepenuhnya. Dan kaos itu akan kujaga, sebagai pengingat harapan sekaligus karena mungkin kami tak akan pernah lagi merasakan pengalaman seindah 1.5 bulan yang lalu. Yakinlah bapak, segenap anakmu dari Sabang sampai Merauke akan mengenang dan mendo’akanmu.

Monday, September 05, 2005

ini diriku...

Anda bisa apa? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Tapi ketika pertanyaan diubah menjadi anda mau jadi apa? Maka akan ada banyak hal yang ingin dilakukan. Jadi sebenarnya, apa yang bisa dilakukan atau kita mau jadi atau seperti apa? Bagi saya, akan lebih enak dan tidak takut neko-neko kalau saya menjawab pertanyaan yang kedua. walaupun mungkin ada benarnya, dan ada korelasinya dengan pertanyaan pertama. Tapi itu mungkin.

Saat pertama kali punya lintasan masuk ITB, pasti banyak hal yang ingin sebagai sarana menjadi tujuan yang lain, yang biasanya berdimensi lebih panjang dan berukuran lebih besar. saya sendiri ingin menjadikan ITB sarana tercapainya cita-cita, walaupun masuk ITB sudah merupakan anugerah cita-cita sendiri buat seorang dari daerah kecil di ujung barat jawa timur ini. tapi dulu, hal yang lebih besar ingin diraih adalah menjadi seorang manajer. Sehingga, masuknya juga yang ada relasi dengannya. Teknik industri jadi jawaban menurut saya.

Nah, mau apa berikutnya di TI. Kuiah itu pasti dan belajar segala hal menjadi kemutlakan juga. Dengan memperkuat basis keilmuan, maka saya bisa menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi banyak manusia. Bukan berarti yang kuliah (dalam arti keprofesian) secukupnya, tidak bermanfaat. Cuma kita bisa menjadi lebih bermanfaat ketika kompetensi kita mumpuni. Dan itu sudah terlihat potensi ketika masuk di tahun keempat ini. apakah berarti kudu lulus empat tahun? Itu perkara lain, karena menyangkut pihak-pihak yang tidak bisa disbutkan namanya.

Lalu bagaimana dengan belajar tadi? Ya, jawaban simple (baca: simpel) ada di organisasi. Dan mulailah diri ini merangkak di beberapa organisasi kampus. Gamais, KSEP, Kokesma, MTI dan Kabinet KM adalah komunitas yang pernah dirasakan. Tapi dasar karena tidak bisa ngebagi waktu dan minim konsistensi, jadinya hanya dua yang dilakukan sampai penghabisan sekarang. Pertama kabinet di sospol sampai maret 2004, Gamais selesai formal april tahun ini, dan kabinet (lagi) sedang berjalan.

Mau apa dengan keduanya? Saya jadi teringat dengan “curhat” dengan Pak Leksananto (Dosen wali), waktu tingkat dua awal. Beliau bertanya, kenapa milih Gamais dan KM? Dengan sekenanya kujawab, supaya seimbang antara peran akademik (kuliah), agama dan wawasan kebangsaan. Nah mungkin itu yang dinginkan oleh diri ini. Bagaimana ketiganya bisa sinergis, walaupun mungkin karena kemalasan seringkali jadi tidak seimbang.

Dengan hobi baca dan diskusi serta sedikit corat coret, maka melengganglah ke pentas kabinet (ada pengaruh “tukar guling” juga kayaknya). Maka sudah cukup lengkap sarana yang dilewati, mulai kuliah, Gamais dan Kabinet. Dengan posisi sekarang, maka terbuka kesempatan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan. Walaupun tidak harus diartikan sempit menjadi bisang sosial politik. karena tingkat politik tertinggi masyarakat ada pada pemberdayaannya, dan itu ada sebuah media yang menjembatani. Jadi peran media sendiri bisa dianggap sebagi perab pondasi sekaligus berkesinambungan.

Trus apa lagi? Mungkin (padahal sudah berusaha menghindari mungkin, karena ga enak didengar) sekarang berikutnya saya mau ngapain? Dengan segala yang dimiliki sekarang, maka peningkatan kompetensi menjadi pilihan niscaya. Tinggal dua semester kuliah lagi (yakin sih.., kuliah koq), jadinya kudu manfaation banget. Dan melebarkan wawasan khasanah ilmu juga, yaitu dengan kemungkinan besar mengambil mata kuliah selam dan salah satu MK TL semester depan. Mumpung “seminar wawasan” gratis dan fasilitas ada di ITB.

Trus organisasi gimana? Itu yang sulit dijawab oleh banyak orang yang tahu dan susah memilih. Sebentar, bukan susahnya karena harus memilih, karena memang tak ada pilihan yang lebih “ahsan”. Jadinya simpelnya (udah mulai bisa simpel), selesaikan amamah sekarang dengann sebaik-baiknya, sekaligus menyiapkan infrastruktuir berikutnya secara formal dan wajar.

Itu saja yang ingin disampaikan, semoga dengan tulisan ini semakin membuka kesempatan untuk bertanya, “jadi sebenarnya kamu mau jadi apa?”. Yang jelas, jawaban “be yourself” kayaknya basi. Sederhana saja, ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dan itu sebuah proses, bukan tujuan.

Friday, August 26, 2005

LIfe..

I know you are in myself
I know you are surround me
And i know now...
I’m just part of you

Life...
I feel so many people lose themself
Walking in crowd communities
Without their meaning in the deep heart
And i suggest you, life
Give us the usefull leason
About you, about things beside and arround you

The lesson which lighten our mind
That to brighten our faith
More and more than when we were born

Life...
It’s maybe an apologize for me
It’s probably not appropriate for me
To give a want

It’s because, i don’t want to be alone in you
Cause i am being the care man
Better than yesterday, and will be
Much better than today

PPSDMS, June 25th 2005
pas lagi ada tugas buat "poems" dlm 10'

Sunday, August 21, 2005

...selamat kuliah!

besok kuliah lagi, seperti kata miftah

salam dari sahabat...

aslkm.trian gmn kbrnya.yan mksh AL QURANnya ya.sbtmu sutaji

tadi sore bunyi sms itu mausk dalam hp ku. kaget pastinya, karena sutaji adalah seorang taruna akmil. pastinya hp bukan barang yang saban hari. tapi ini kan minggu, jadi mungkin sedang "plesir" (sebutan mereka untuk keluar dari asrama). selain itu juga, dia aku kenal ketika Pelayaran Kebangsaan juga, sekitar 4 minggu lalu. mau tau photonya? ini dia yang pake topi.


sedangkan sebelahnya, adalah lalu hedwin, akpol 2003.keduanya lulusan SMU Taruna Nusantara. smu yang waktu dulu, aku paling anti masuk (zaman smp).maklum, saat itu kan lagi marak peristiwa reformasi, segala yang berbau militer...LAWAN!!! tapi sekarang, setelah ESQ bareng dengan seskoad april lalu, dan kemarin pelayaran dengan taruna2, jadi tau posisi dan respek pada mereka.

kembali ke sutaji, sobatku ini kata yuniornya, adalah ustadz akmil. maklum, suka tidur masjid (tingkat akhir, tinggal di paviliun katanya).waktu pelayaran juga, dia rajin baca Qur'an setelah maghrib, sambil nunggu isya, rajin shubuh jamaah (padahal aku masih saja kecolongan:) dan tidak mau "main" ama wanita (katanya, "tentara harus selektif memilih jodoh. karena wanita tidak tahu kehidupan yang sebenarnya nantinya.sekarang mungkin hanya lihat penampilan saja"). jauh beda ama kebanyakan taruna2 lainnya. dan setelah nanya temen Tarnus juga, dia emang alim dari smu. wah..keren kan?

kita juga sering diskusi masalah bangsa. tentang pemuda yang minim nasionalisme,tentara yang kurang diterima rakyat,minimnya religi di kalangan tentara, tragedi Aceh sampai ke perang modern (bukunya Ryamizard R).tak lupa juga aku selipkan, pengalaman ku ESQ bareng calon perwira tinggi AD kemarin.secara pengalaman, diskusi berbeda antara sutaji (atau taruna2 lainnya) dengan bapak2 seskoad. karena taruna relatif hanya mengenal kata taat.tapi aku sampaikan padanya, semoga secepatnya bisa masuk seskoad dan menjadi perwira tinggi yang memberi warna pada tentara kita.sekarang, dia menjadi danyon taruna tingkat akhir dan calon danmen candradimuka(taruna ad,au,al,pol yang baru masuk)

aku akhirnya menemukan hal yang baik di akhir pertemuan kami kemarin. aku berikan Al-Qur'an ku padanya. aku bilang, "sutaji, ini buat kamu. supaya lebih mudah dibawa saat tugas di lapangan.tidak usah membawa yang besar seperti Al-Qur'an biasa". tak lupa aku tulis disana, "untuk sahabatku sutaji, semoga tetap istiqamah. dari sahabatmu, trian."

dan kemudian, sutaji sms sore ini menjelang jam 5. setelah aku balas, dia pun mengirim dengan hal yang membuatku lebih terharu dan bangga padanya. ini bunyinya :
yan do'akan aku.INSYAALLAH sptbr nannti aku brkt ke thailand

Sunday, August 07, 2005

oleh-oleh.....?

setiap kali aku pulang atau bepergian, hal yang [sebenarnya] tak ingin kudapatlan adalah ucapan : jangan lupa oleh-pleh ya? sebaliknya, aku pun berusaha untuk tidak mengucapkannya kepada orang lain. bukan semata-mata karena aku tidak ingin mendapatlan ucapan itu.

oleh-oleh, hampir semua orang mengartikannya sebagai "makanan" atau barang khas. orang jarang yang menerjemahkan oleh-oleh sebagai suatu hal yang berharga yang diberikan setelah bepergian. bisa jadi sebuah cerita, kisah, foto dan pengalaman.

dengan mengidiomkan oleh2 hanya sebagai makanan atau barang (makanan yang paling banyak), maka kita telah menyempitkan makna kehidupan itu sendiri. apakah hidup ini hanya materi berupa makanan atau barang?

pun sebenarnya juga, alasan lebih teknis, tempatku pulangt di magetan bukan di tenmpat yang memudahkanku untuk mencari atau membeli oleh2. aku tinggal bukan di kota magetan, tapi jauh dari kotanya (sekitar 25 km). ketika orang meminta oleh2, maka yang terpikirkan bagaimana aku harus membelinya di kota. hiks....hiks...5x

selain itu, orang tuaku tinggal berdua sendiri. ketika pulang, hal pertama yang kulakukan adalah membersihkan kamar kemudian mencuci. aku pun tidak ingin membebani beliau2 dengan yang namanya oleh2. walaupun dengan oleh2 itu, aku dianggap manis di depan temen-temanku.

ibuku mungkin berbeda dengan ibu2 lainnya. seringkali beliau tidak akan menyiapkanku oleh2 setiap pulang jika aku tidak meminta. untuk kembali ke bandung, aku mempersiapkan segalanya sendiri dan bagiku menjadi kebanggaan karena tidak membebani.(mudah2an pendampingku kelak paham akan kebutuhan yang sesunguhnya)

dalam setiap bepergian pun, aku tak mau terbebani secara fisik apa yang dinamakan "makanan". kalaupun barang, masih rada mendingan. kalau kita dibebani oleh2, aku takut arti perjalanan itu sendiri jadi kurang.

ada beberapa orang yang aku tahu juga tidak ingin "terbebani" dengan oleh2. seorang kawan, setiap ada orang yang meminta oloeh2 kala pulang kampung ke semarang, selalu menjawab tegas, " aku tidak akan membawa oleh2 buat kamu!!"

tapi aku tidak ingin seperti dia. terlalu jujur bagiku, dan itu sangat dalam bagi arti persahabatan. sekali-kali, aku pun masih juga membawakan oloeh2. jika ibuku atau bapakku memaksaku membawanya. itu juga kalau ibuku sudah terlanjur membelinya.

sekarang, sementara aku hanya tersenyum ketika banyak orang menanyakan oleh2 setelah aku bepergian atau pulang kampung. dan itu hanya mampu dipahami oleh sahabat saja, bukan sekedar teman biasa. maafkan aku teman....

[refleksi desa tercinta]

Wednesday, August 03, 2005

Let’s Talk About “Cinta”......

Apa yang dipikirkan kita semua tentang judul diatas? Sebagian besar mungkin, suasana melankolis-romantis yang akan didapatkan dalam tulisan ini. Dan bentuknya tidak sampai merubah ekspresi luar kita (wajah, mimik), karena lebih banyak itu dimainkan porsinya oleh hidden interest kita.

Cinta (atau tepatnya wanita) menurut teman saya, adalah salah satu dari dua hal yang tidak akan pernah selesai dibicarakan, never ending talking. Satunya lagi adalah misteri. Tapi kita hanya mengulas singkat cinta, sebagai penyedap kehidupan yang membacanya.

Seringkali manusia modern menerjemahkan cinta dalam pengertian yang sederhana, yaitu landasan dua insan manusia lawan jenis untuk hidup bersama, baik jangka pendek (pacaran) maupun panjang (keluarga). Padahal, seharusnya cinta pula yang mendasari kita melaksanakan semua ritual agama kita. Dan cinta pula yang mungkin terpancar dalam terpaan wajah kita ketika bertemu manusia lainnya.

Tunggu dulu, apa bedanya cinta dan kasih? Trus dengan sayang? Penulis tidak terlalu paham dengannya. Yang sedikit dipahami, bahwa cinta sifatnya lebih dalam bermakna dan khusus. Sedangkan lainnya, mungkin lebih umum dan universal.

Karena manusia muda zaman sekarang lebih mengartikan cinta dalam bentuk praktis-simplistis, makna cinta itu sendiri telah mengalami degradasi. Atau sesungguhnya cinta telah melakukan rekonstruksi sesuai makna zamannya?

Kita juga bisa melihat dalam sejarah dunia pula, sangat mungkin cinta lawan jenis yang menjadi penyeimbangnya. Lihatlah, hampir semua tokoh besar selalu mengalami pasang surut dalam kehidupan cinta jenis ini. Muhammad dengan kesahajaan Khadijah dan kemanjaan Aisyah, Louis XI dengan Maria yang glamour, Napoleon dengan Anna yang mendapat persembahan air pancuran setelah mengalami sebuah kemenangan Bosporeus, Soekarno dengan dinamika istri-istrinya, sampai Hamka dengan kesederhanaan istrinya.

Namun jika cinta hanya ditafsirkan sebagai alasan manusia untuk menyukai, menyenangi, rindu, cemburu kepada lawan jenisnya, mungkin manusia telah merasa bahwa hanya dengan meletakannya pada tempat itu cinta akan mudah diejawantahkan. Tanpa harus banyak berpikir, merenung mendalaminya, dan secara naluriah cinta sepsrti itu adalah cinta yang mudah terbentuk ketika manusia menginjak dewasa. Ungkin lebih dari perasaan cinta kepada orang tua sendiri yang hidup bersama sejak kecil.

Padahal menurut penulis, cinta sendiri adalah proses dalam kehidupan, yang artinya mencinta. Cinta bukanlah akhir dari tujuan. Dan jika cinta adalah proses, maka tidak akan pernah merasakan batas akhir dari perjalanan hidup manusia. Tapi apabila kita merasakan dan memperjuangkannya, kita akan menemukan bukit dan lembahnya. Sedangkan kalau menjadi tujuan akhir, cinta akan menjadi sempit dan kita merasa sudah menemukan puncak bukitnya.

Pendalaman makna dari cinta diatas, bisa diterapkan dalam cinta segala terjemah. Cinta dalam hal ketaatan terhadap Tuhan, orang tua, dan kepada lawan jenisnya. Dan bagi seorang muslim, cinta yang dimiliki terhadap aneka bentuk dunia, tidak boleh melebihi cintanya kepeda Allah, Rasul dan Jihad (Q.S At-Taubah : 24).

Dan seorang Hamid kemudian “mengalihkan” sepenuhnya bentuk kehidupan kepada Zainab, menjadi bentuk kerendahan kepada Tuhannya di tanah suci (dalam kisah Di Bawah Lindungan Ka’bah). Meskipun keduanya menjadi insan yang saling tahu perasaan, dan tak pernah mengalami perjumpaan di dunia.

Atau kepada Setadewa yang karena cintanya kepada negara, akhirnya harus dikeluarkan dari perusahaan yang telah berbuat curang. Walaupun hidupnya juga dipatahkan dengan telah berkeluarganya Larasati, seorang perempuan cerdas, adik bermainnya saat kecil (Roman Burung-Burung Manyar).

Dan pada akhirnya, Soe Hok Gie yang akhirnya “dikalahkan” oleh Ira dan Sinta. Meskipun dia dengan tegas menyatakan “Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan” (film GIE). Manusia, menurut Weber, memang menyukai peran dalam panggung-panggung kehidupan yang berbeda.

Sehingga cinta mungkin yang menjadikan kehidupan ini ada, baik dalam arti praktis maupun luas dan dalam. Alangkah sayangnya, jika cinta mangalami peyoratif, diterjemahkan dalam lingkup yang sangat sempit. Walaupun, dengan menyempitkan maknanya, kita akan banyak melihat cinta seperti pasir di pantai yang bertabur banyak. Dan seolah-olah, kita telah menemukan cinta sejati yang membuat segalanya menjadi indah.

Beginilah cinta...
Deritanya tiada akhir


[terinspirasi sebuah perjalanan bahari penuh “cinta”, 20 Juli 2005]

Tuesday, August 02, 2005

.........Atas Nama Kemanusiaan?

Bagi banyak orang, bhakti sosial adalah sebuah hal tindakan yang mulia. Terutama bagi orang yang berlimpah harta alias banyak uangnya. Sesekali, sedikit menyisihkan harta buat orang yang kekurangan bagi mereka bukan sebuah hal yang susah.

Dalam islam sendiri, orang yang sudah mampu dan memenuhi batas minimal harta (nishab) berkewajiban untuk berzakat. Tujuan zakat tidak hanya melakukan nilai sosial, melainkan juga sebuah nilai moral terhadap material itu harta sendiri yang otomatis juga terhadap pemiliknya. Maksudnya, zakat sebagai pembersihan harta karena dalam harta nishab terkandung harta orang-orang yang lemah.

Tentang orang-orang lemah, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebutkan Mustad’afin, terdisir atas delapan golongan (lihat Q.S At- Taubah : 60). Golongan-golongan itu adalah fakir (oarang yang tidak berpengahasilan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan), miskin (berpenghasilan tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan), amil (panitia zakat), yatim (tidak memiliki orang tua), muallaf (orang yang baru masuk islam), riqab (memerdekakan budak), gharim (orang yang terlilit utang), sabillillah (orang yang berjuang di jalan Allah), ibnu sabil (orang dalam perjalanan).

Delapan asnab (golongan) diatas pun dalam konteks waktu mengalami perkembangan. Ada hal yang harus di-redefinisi-kan atau bahkan disesuaikan (baca: tidak mungkin ada lagi). Misalnya, riqab dimana zaman telah tidak mengakui perbudakan, gharim yang sejauh sekarang manusia berhutang hanya memenuhi kebutuhan pribadi dan sabilillah yang zaman dulu identik dengan mujahid perang atau pejabat negara yang sepenuhnya mengabdikan diri sehingga tidak berpenghasilan (dan sekarang hampir sulit ditemukan).

Belum lagi tentang kasus-kasus tertentu yang menjadikn kita harus melihat jeli dan deskriptif, misalnya tentang bencana Aceh. Dalam bencana tersebut, mungkin banyak hal yang bisa dimasukan dalam kedelapan asnab diatas. Bisa jadi masuk dalam kategori fakir, miskin, yatim dan kategori “khusus” yang sepertinya belum ada yaitu karena bencana.

Walaupun delapan asnab diatas masuk dalam teks zakat, namun dalam makna yang lebih melebar seperti shadaqah pun tidak lepas dari asnab tersebut. Sehingga, bantuan yang diberikan terhadap kasus khusus adalah hal yang harus dilakukan meskipun secara teks murni (dari asnab) bantuan karena bencana tidak ditemukan (kita bisa melihat kaidah umum untuk saling membantu saudara yang kesusahan, seperti sejarah Muhammad).

Berbicara tentang bantuan, akan menjadi lebih “humanis” jika bantuan tersebut tidak saja dilndaskan pada “material-orinted”. Maksudnya, bantuan (shadaqah atau zakat dll) tidak sebagai pendekatan mterial kita kepada mereka (penerima bantuan) tapi juga dengan sebuah ekspresi yang menyertainya. Mengambil istilah Jurgen Habermas, tiga hal yang terjadi dalam sosiologis manusia adalah lingusitik (lisan, bahasa), tindakan dan ekspresi (mimik, gerak gerik).

Sehingga, tindakan pemberian bantuan dan ucapan “saya memberikan bantuan kepada .....” tidak lengkap bila tanpa ungkapan (ekspresi). Jika masuk dalam ranah ungkapan, maka manusia mulai melibatkan persaaannya.

Bantuan yang diberikan secara “material orinted” menurut saya hanya menghinakan dan merendahkan mereka. Kita membantu karena mereka kekurangan, tidak punya, lemah dan bukan karena kita menghargai keberadaan mereka (ekspresif). Dan jangan sampai pula kita berpikir individualis dengan mengatakan bahwa bantuan itu karena kita ingin beramal atau membersihkan harta kita.

Dalam istilah yang lebih sederhana, pendekatan yng digunakan dalam bantuan itu bukan material oriented (yang penuh nuansa lingustik-aksi), melainkan dengan pola pendampingan (ditambah dengan ungkapan). Pendampingan menjadikan orang terbantu sebagai partner, dan bukan sebagai pihak yang dibawah untuk dibantu. Menjadi partner pun bukan dalam artian karena kepentingan kita terhadap pembersihan harta.

Partner dalam arti kita sebagai manusia yang terlibat dalam sistem kehidupan sehingga penjagaan terhadap sistem inipun harus dilaksanakan secara bersama. Dalam sudut pandang kita, mereka mungkin lemah dalam hal ini dan itu. Tapi bisa jadi mereka punya jauh kelebihan daripada kita dalam sisi lainnya. Dan inilah pola pendampingan yang menjadikan semuanya sejajar dan menjadi pembelajaran yang resiprok (dua arah).

Yang tidak bolah terlupakan, prosesnya sendiri juga harus merefleksikan pendampingan tersebut. Kita tidak menjadikan proses itu sebagai hal yang dekonstruksif bagi mereka. Maksudnya, dalam proses tersebut kita tidak .

Proses pendekatan yang tanpa ungkapan contohnya kita datang untuk memberikan bantuan dan kemudian meningglakan tanpa meninggalkan citra perasaan kita pada mereka. Kit datang dan mereka menyambut kita, tapi setelah kita pergi, mereka kembali dalam bahasa, tindakan dan ekspresinya.

Disini saya menilai kita telah melakukan kejahatan moral dengan melakukannya seperti itu. Bukankah itu kita lakukan atas nama kemanusiaan? Mungkin ya. Tapi lebih dalamnya, kemanusiaan tersebut hanya sebagai dalih. Karena sesungguhnya kita sedang mempermainkan perasaan mereka. Bagaimana jika mereka dalam kedukaan, lalu (dipaksa) senang dan setelah kita pergi kembali larut dalam kedukaaanya? Bukankah itu sebuah moral crime?

Sehingga, atas nama kemanusiaan pula saya mengungkapkan bahwa mempermainkan unconscious memories manusia lain adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Kembali lagi, proses yang mungkin lebih baik jika ekspresi dilibatkan selain bahasa dan tindakan. Ekspresi sebagai seorang teman, sahabat atau keluarga. Kita berbincang, mengelus, mengusap memang atas nama kita sebagai manusia, terlepas dari bantuan kita (tindakan).

Bagi saya, disinilah kita akan mendapatkan unconscious feedback dari mereka sehingga kita sendiri merasakan bahwa proses ini adalah niscaya untuk kita, bahwa proses ini harus dilaksanakan. Jika tidak, maka sebagian diri kita akan hilang (tapi tidak dipandang untuk memenuhi ini kita membantu). Dan itu berarti, nilai kemanusiaan telah ditempatkan pada posisinya.

[Terinpirasi Dalam Sebuah Perjalanan Bahari, 18 Juli 2005]

Monday, August 01, 2005

Kisahku di Panti Asuhan Medan


Beberapa hari yang lalu, kami serombongan Pelayaran Kebangsaan V dalam perjalanan ke Medan, Sumut. Agenda utama kali saat itu adalah berkunjung ke Panti Asuhan yang menampung beberapa anak korban tsunami Aceh. Kenapa di Medan? Karena pelabuhan di Aceh tidak siap dengan kedatangan kapal dan keamanan Aceh yang tidak bisa dipastikan. Sehingga tujuan semula yang ke Banda Aceh via Meulaboh, dipindahkan ke Medan.

Bagiku, itu bukan hal yang prinsipiil harus ditolak. Toh pada intinya kita bisa mengekspresikan rasa sayang sebagai satu keluarga bangsa (dan Islam) bisa terealisasikan. “Manusia yang sukses adalah manusia yang bermanfaat bagi bagi banyak orang”, sedikit yang kutahu dari Riwayat Muhammad.

Sayangnya, kami baru berangkat ke Panti Asuhan ketika jarum jam menunjukan lebih dari pukul 12 siang. Padahal jam 15 nanti, kita sudah harus berada kembali di Gubernur-an untuk berangkat ke Toba. Ternyata bus yang aku tumpangi datang paling lambat dibandingkan bus lainnya. Segera kami masuk dalam komplek Panti tersebut.

Tercengang bukan main aku saat itu. Sebuah sambutan shalawat yang dibawakan oleh beberapa santri menyambut kami. Ada tenda besar dan deretan kursi yang berjejer di sebuah panggung tempat penampilan shalawat tersebut. Dan kami banyak yang duduk di kursi di depan panggung itu.

Koq bisa-bisanya kita disuguhi dengan penampilan ceremonial seperti itu? Kami (atau aku pribadi) dtang dengan tulus bertemu, berkomunikasi, berbagi kasih, menyapu rambut mereka, mengusap muka, mencium, menggendong dan mendekap mereka. Tapi kita malah disambut dengan gaya tamu yang sifantnya formal (untung tanpa konsumsi!!!). Padahal, kami tidak lebih dari 1,5 jam berada disana.

Aku tak peduli dengan yang mereka (anak santri di panggung). Segera aku duduk di dekat santri-santri yang sibuk membawakan kursi tambahan buat kami. Oh...betapa sedih dan menangis hati ini. kutahan mereka, “sudah cukup dik”. Tapi mereka membalas dengan senyuman. Aku jadi ingat keponakan yang ada di Magetan yang mungkin seusia. Dan aku tak kuasa menahan mata yang berbicara keharuan.

Kemudian kutanyakan pada santri-santri ikhwannya (tentu aku berusaha menjaga diri dari santri akhwat) tentang nama, usia, kelas, sekolah, sudah berapa lama tinggal di panti, betah, asli mana dan yang tak lupa juga hafalan surat-surat pendek (sebagai motivasi bagiku juga....). Dan tak mungkin aku menanyakan orang tuanya, karena ini panti asuhan aku takut akan menambah kedukaan bagi meeka.

Yang kudapatkan, mereka adalah Abu Dzar, Pahili, Syari’at, Rapama (ini yang manis), Al Nuris (ini yang paling pinter di kelasnya) dan beberapa yang aku lupa. Mereka sungguh manis, mereka sungguh tulus menyambut kami. Walaupun mereka tidk tahu kami ini siapa. Dan benar, mereka hanya tahu dari uwaknya (mereka menyebut kyai) bahwa ada tamu. Ya Alah...mereka membuat hatiku makin pilu.

Sebut saja Rapama, dia yang pertama aku dekati karena manis dan geraknya yang lincah. Dia sudah ½ tahun disini, sekarang kelas 4 SD. Ketika kutanya hafalannya. Daia tak tahu pasti, tapi Al Humazah sudah selesai.

Yang lainnya aku menghampirinya, karena kulihat dia sendiri duduk di pojok gedung di saat panggung bernyanyi Cindai. Dia tidak suka dengan teman-temannya yang berjoget bersama bebeerapa temanku juga. Namanya bagus, Al Nuris. Katanya “Al” diambil dari Al Qur’an, “Nur” adalah Cahaya dan “Is” dari Islam. Intinya cahaya islam. Dia SMP kelas 2, dan hafalannya masih loncat-loncat. Tapi Al-Baqarah 293-295 bisa. Pun kemudian dia membacakan hafalannya ke aku. Beberapa aku benarkan bacaannya.

Aku berpikiran, nama yang bagus. Dan Al Nuris ingin kugunakan sebagai nama salah seorang anak kelak. Ehm...it’s good plan.

Oiya..ternyata ia pingin jadi polisi. Karun kupanggil Taruna Polisi yang ikut serta. Senangnya Nuris dan Taruna itu juga. Apalagi Nuris peringkat no 1 di kelasnya waktu ujian terakhir kemarin. Saking girangnya, kuberikan pembatas Buku berupa nama-nama Surat di Al-Qur’an.

Indah sekali pertemuan kami di sing nan singkat itu. Di panggung lagu “Cindai” Siti Nurhaliza dinyanyikan oleh seorang santri perempuan kedua kalinya. Dan banyak santri-santri yang berjoget serta. Betapa sedihnya hatiku. Bukannya kita membuata kesan dengan membuat semacam Games atau metode lain untuk menghibur mereka dengan nilai-nilai yang baik, malah joget yang jauh dari keseharian mereka di panti. Mereka menyanyi dan joget, mungkin karena ada tamu saja.

Tidak terasa waktunya tiba untuk berpisah. Kucari-cari Nuris tak kutemukan juga. Rapama pun demikian. Aku tak tahu kemana mereka. Satu persatu pergi kami serombongan. Masih sempat ku telatkan keluar komplek untuk melaiht mereka. Tapi tetap tak kutemukan mereka.

Hanya sesaat sebelum naik bus, aku berkenalan lagi dengan seorang anak kecil yang belum sekolah. Tapi aku lupa namanya. Dia juga ingin menjadi polis. Segera kupanggil lagi Taruna polisi. Satu pesan dari kami, “belajar yang rajin. Kalau pintar, mau jadi apa yang disukai bisa”.

Kami naik bus sambil mengusap kepalanya (pipinya ada koyo sakit gigi, menambah imut). Bus pun berangkat. Rapama, Abu Dzar, Pahili, Syari’at, Al Nuris dan yang lainnya maafkan kami. Kami merasa bersalah tak optimal dalam beramal. Kalain kembali beraktivitas seperti semula. Tapi aku disini, tetap mengingat senyum dan semangat kalian.

[Catatan Perjalanan Bahari, 17 Juli 2005]

Friday, July 29, 2005

Refleksi Laut Kita


Hidup dia atas kapal adalah jalan hidup yang dialami para pelaut kita, termasuk TNI AL. Bagi TNI AL, laut menjadi rumah kedua (atau pertama?) bagi mereka. Sebagai pengaman perairan Indonesia (konon sangat luas) mereka dituntut untuk bisa melakanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Sekalipun kita semua tahu, bahwa sarana yang dimilki dan digunakannya tidak mendukung.

Dengan laut yang luas (sekitar 70% wilayah negara kita laut), Indonesia masih kalah kekuatan armada laut bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang luas lautnya jauh lebih kecil. Taruhlah negara tetangga Malaysia, Brunei, Australia, dan Singapura. Dengan beberapa negara diatas, sebenarnya tidak kalah telak. Hanya karena kita memilki laut yang luas, kemampuan saat ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan.

Kita lihat dalam tinjauan yang baru hangat akhir-akhir ini, yaitu permasalahan Ambalat dan Selat Malaka dimana itu berkaitan dengan dua negara kita, Malaysia dan Singapura.

Dalam kasus Ambalat, yang luasnya hampir sama dengan luas Jawa Barat, TNI AL hanya bisa menjadi unsur militer negara yang mengamankan dan memeprtahankan laut wilayah. Sedangkan dalam keputusan finalnya, peran diplomasi yang akan lebih dituntut dan yang memberikan hasilnya.

Namun dalam menjalankan perannya tersebut, TNI AL tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai (baru setelah Ambalat, DPR sedikit melihat strategisitas AL). Secara keseluruhan di Ambalat, kekuatan personel kita (alat dan SDM) tidak kalah dibandingkan Malaysia. Tapi jika banyak kekuatan yang dikerahkan ke blok laut itu, maka konsekuensinya akan mengurangi kekuatan AL do seluruh wilayah laut negara kita.

Menurut informasi dari TNI AL, ketegangan di blok tersebut memang terjadi, dari yang hanya memamerkan senjata sampai bertabrakan (ditabrak oleh kapal Malaysia) yang kemudian diberikatakan bahwa terjadi gesekan. Dari segi mental, negara kita lebih kuat daripada mereka. Sehingga banyak warga masyarakat yang membentuk garda penyelamatan Ambalat dan ingin dikirim kesana (meeka tidak tahu bahwa Ambalat adalah laut semua).

Tapi dari sustainable action, kita kalah. Lihat bagaimana Sipadan-Ligitan bisa lepas. Karena yang membangun pariwisata disana Malaysia. Sedangkan kita hanya melakukan reaksi emosional dan percaya sepenuhnya jalur diplomasi, tidak optimal dalam aksi di lapangan dan lobi internasional. Sehingga dalam kasus Amabalat, TNI AL berusaha meminimkan kemungkinan kesalahan di lapangan dengan membangun mercusuar yang kemarin diawasi oleh freegat.

Tapi bagaimanapun, lobi internasional atau peran diplomasi yang berkuasa. Sekuat atau se-emosional kita di lapangan tanpa diplomasi, kita hanya sepsrti banteng yang ditunjukan warna merah tapi mampu memikirkannya.

Sipadan-Ligitan telah menjadi korban, jangn sampai Ambalat menyusul kemudian. Tapi sayangnya, isu Ajmablat seolah-olah menghilang (karena BBM?). Dan sekarang kita tidak tahu apakah Ambalat masih tetap diproses oleh yang berwenang (Deplu RI). Sepertinya TNI AL merasakan kedongkolan juga dengan gaya-gaya pengelolan pulau dan laut kita.

Kemudian tentang Selat Malaka. Awalnya dari keinginan US Navy untuk ikut berpatroli disana karena banyaknya perompak yang beroperasi. Padahal menurut pengamatan penulis, Selat Malaka sangat ramai. Tapi ternyata tidak seperti jalan darat, justru karena ramai itu yang banyak menjadi kawasan yang tidak aman.

Praktis saja Indonesia, Malaysia dan Singapura (tumben juga nih Singapura) tidak mau dengan intervensi itu. Karena Selat Malaka adalah irisan wilayah laut ketiga negara dan jika diserahkan dengan pihak luar akan mempengaruhi kedaulatan ketiganya.

Lalu perjanjian trilateral dilakukan di Bali beberapa waktu lalu. Terakhir hasilnya, Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian karena Ambalat belum selesai dipersengketakan (atau karena belum menjadi miliknya?). padahal Indonesia dan Singapura sudah sepakat dan teken perjanjian itu.

Tapi sebenarnya, Singapura sendiri sepsrti menanam bom waktu di Selat tersebut. Ingat reklamasi pantai? Dari tahun 80 sampai sekarang, proyek tersebut masih berjalan. Dengan mata kepala sendiri, penulis, melihat bahwa reklamasi itu sungguh luar biasa dilakukan oleh Singapura. Kawasan putih berbukit kelihatan berada jauh di depan pelabuhan Singapura. Dan dari pemetaan radar, mereka telah bergerak keluar mencapai 8 KM di depan garis pantainya.

Sebaliknya di wilayah Indonesia, Pulau Nipah yang menjadi Pulau terluar dalam tahap kritis. Jika pasang tiba, tinggal pohon yang kelihatan ada. Dan sekarang, dibangun mercusuar untuk “menyelamatkan” pulau itu.

Walaupun dalam definisi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of Sea) tahun 1984, definisi pulau adalah yang terbentuk secara alami. Jika itu buatan, maka tidak (atau belum) diatur. Tapi jika dnegan kekuatan lobi Singapura, bisa jadi pulau buatan akan menjadi pertinbangan dalam menetapkan peraturan laut dalam forum internasional. Konsekuensi pastinya, kedaulatan kita akan teriris.

Jadi sangat miris (lagi) melihat bangsa kita sekarang ini. Potensi laut yang besar dan belum teroptimalkan (dari 75 M hanya bisa dimanfaatkan 4 M per tahun), pulau yang banyak (17. 505 dan 10.118 belum ada nama), SD mineral yang besar terkandung dalamnya dan yang pasti laut sebagai batas yang luas tapi tidak terperhatikan.

Kondisi laut tidak didukung dengan pertahanan yang memadai. Tidak harus selalu dengan peralatan atau kapal yang cangggih yang lebih cocoknya dalam kondisi pertempuran, tapi tetap diperlukan sebagai kekuatan moral. Memang kondisinya uang 1,5 T akan lebih diprioritaskan membangun Jalan Tol Cipularang yang indah dan kongkrit dampaknya dibandingkan dengan membeli dua kapal patroli atau bahkan hanya satu kapal penyerang. Tapi secara politis internasional, adanya corvet (jenis kapal patroli) yang mengawasi akan menambah bargaining kita jika ada kapal asing yang melintasi laut kita.

Potret-potret diatas yang masih menghantui kelautan kita. Padahal bangsa kita dikenal sejak zaman dulu sebagai bangsa pelaut, dan kondisi negara kita yang berbetuk kepulauan. Memang akan tidak mudah dengan mengatur kebijakan negara yang secara internal juga mengkhawatirkan. Tapi jika tidak dipikirkan dan ditindaklanjuti, mungkin anak cucu kita akan menyalahkan tindakan kita saat ini.

[Catatan Perjalanan Bahari, 16 Juli 2005]

Tuesday, July 26, 2005

Berlayar, Melihat, Merasakan [2]

Rabu, 13 Juli 2005

Namanya Ahmad Subhi, kami berkenalan waktu Pelayaran Kebangsaan. Kami sekamar, bersama 6 teman lainya. Dia dari Semarang, sebuah PTS disana.

Yang membuat unik adalah bahwa dia sangat jujur dan lugu, atau dalam bahasa kami terlalu jujur dan polos. Ditambah pula, logat dan c’engkok jawanya yang kental menambah kepolosannya. Baru satu dua hari kami berkenalan, tawa dan canda dengan sedikit ejekan meramaikan suasana kami akibat ulahnya.

Pertama, saat studium generale, hari pertama kami berlayar. Dia menanyakan tentang suatu metode pengenalan dari. Polosnya, dia dengan logat jawa dan dialek khasnya. Dia juga mengakui jujur (terlalu jujur mungkin) bahwa dia belum pernah mengisi isian seperti itu dan tanpa persiapan, sehingga bingung harus mengisi apa. Gubrak...karuan saja kmi ketawa. Bukankah semua juga tanpa persiapan? Tapi koq ya jujur sekali...

Berikutnya, saat break malam. Gelasnya memang terbatas, dan dia karena tidk kebagin gelas langsung menanyakan gelas2 yang masih di depan para cewek dengan terbuka dn logatnya, “apakah sudah kosong?”. Berani bener nih anak... lalu dia juga membagi-bagikan pisang rebus ke beberapa meja dan mengatakan bahwa ini shadaqah. Karuan para cewek bingung (glek...) ?!!!??!

Temanku....temanku......
Sudaraku....saudarku.....

Terakhir, dia bertanya dalam sebuah materi tentang Multikulturalisme (ini disebutkan dengan salah juga). Jalannya udh khas lngsung membuat teman2 ketawa sebelum di bertanya, terutama kelompoknya yng memberi label “maskot”.

Contentnya kami sepakat dan salut atas idenya (dan keberanian atau kenekadannya?). Tapi cara menyampikan, dan gayanya itu. Bimo, temen sekamar langsung membidik dnegan kamera besarnya layaknya mau menembak ala paparazzi. Eh..dia malah berkata, “wduh, grogi aku!! ” ger....

Setelah selesai pun, ada cewek yang bergegas ke depan untuk mengabadikn aksi subhi. Tapi di sudh selesai bertanya, kruan cewek menggandeng tangannya supaya tidak mundur dulu. Awalnya dia mau, eh...baru sadar trus di langsung buru2 mundur dengan kuping merah (sadar juga dia...), dan ketawa kami bergemuruh.

Malamnya, kami bahas di kamar. Dia ternyata tidak terlalu sadar bahwa tingkahnya membuat orang tertawa. Kemudian kami mengatakan kepada dirinya, bahwa dunia ini kejam. Maksudnya, dunia ini memiliki model dari kehidupan yang normal kebanyakan dn akan mencemooh kehidupan yang berkebalikan atau bahkan berbeda dengannya. Dia manggut2, walaupun aku juga tidak tahu apakah dia ngerti betul dengan yang aku sampaikan.

Padahal, subhi orang yang lugu dan bahkan ini adalah produk ketahanan dn kejujuran terhadap hegemonik kebudayaan materaialis. Bertahan karena keluguannya, dan jujur dengan mengatakan yang tidak diketahuinya tanpa harus tertembok rasa malu. Dunia memang kejam....

Monday, July 25, 2005

Berlayar, Melihat, Merasakan [1]


Setelah sekian lama, akhirnya kembali lagi dalam dunia yang penuh dinamika, romantika dan dilematika. Sekarang aku akan memenuhi janjiku untuk bercerita tentang kegiatan ku selama Pelayaran Kebangsaan (PK) V, sejak mulai 12 – 22 Juli kemarin. Mungkin akan perlahan-lahan aku ceritakan, tidak semua hari. Dan pastinya, tidak semuanya berdasarkan waktu layaknya diary. Tapi campur antara diary dan yang berkesan saat itu. selamat menikmati....

Selasa, 12 Juli 2005
Perjalanan menuju PK dimulai hari ini. berangkat dari asrama dengan sangat mepet, jam 8. padahal kereta berangkat jam 8.20. ketika sampai di satasiun pun sudah menunjukan pukul 8.18. praktis aku berlari dari angkot, sementara Nanang (partner dari ITB) yang mengurusi angkot. Tergopoh2 kami masuk kereta. Dan....3 detik kemudian, greng...greng....greng... kereta jalan.

Jalan....lewat perumahan, gunung, naik dan keliaatan Tol cipularang yang konon diincar oleh Putera Sampoerna setelah sukses menjual saham Sampoerna sampai 17,8 T (sebanyak apa ya..).

Sampai di Gambir, bingung mau naek apa. Eh..nanya2 dan akhirnya ke Senen dulu. Belum sampia ke senen, turun dan pindah ke bus yang arahnya Term Tj Priok. Itupun juga sangat mendadak setelah diksih tau suruh ikut seorang bapak yang ternyata juga tidk thu arah. Seingatku, itu di daerah Gunung Sari.

Sesampainya di terminal, nanya ke kolinlamil naek apa? Kagak ada yang tau. Untung ada mas tentara AL yang lewat dan karuan kita bareng. Kaya dapat air i tengah gurun aja. Akhirnya di Kolinlamil (komando Lintas Laut Militer), daftar ulang terus langsung naek ke kapal.

Wuih....namanya KRI Tanjung Dal Pele. Konom Pulau Dal Pele ada di sekitar Papua (jangan nanya saya ya...). ukuran panjangnya 122 m, kaya lapangan bol aja. Lebar 30 m dan tinggi sekitar 40 m. Buesar euy... dan ternyata ini yang terbesar dimilki negara kita. Jadi seneng dech...

Trus masuk loring-lorongnya, dan ketemu kamar. D11, that’s my room. Tpi koq sepi? Ya udah kita jln nyari makan dulu. Oo...ternyata pada mkan lalu dengar ceramah dari ABK (Anak Buah Kapal). Pas saya baru datang, ada orang yang Palaksa (perwira pelakana) menyampaikan aturan di kapal. Bla...bla....bla...intinya, klau gak mau setuju keluar kapal sekarang juga. Begidik.....!!!

Abis itu baru kita2 yang belon makan, ambil nasi dll trus makan. Makanya pake ompreng (mungkin karena kalau dipukul bunyinya preng...preng....). mirip kaya di LP (lembaga perhotelan, he....3x). yang penting makan, lha wong lapar koq (abis muter2 pake metromini).

Trus ke Kamar, wah...ada teman2. siapa aja mereka? Ini dia :
- Supri dari UI
- Bimo dari Atmajaya Jogja
- Wahhab dari IKIP Budi Utomo Malang
- Sandi dari Unair
- Ahmad Subhi dari IKIP PGRI semarang
- Minto dari IPB, dan pastinya
- Nanang

Abis ngobrol2, kita diminta siap jam 17 untuk ke istana wapres. Kita trus turun dn bergbung dengan lainnya. Pakainya jaket yang sama semua. Jadi kaya panti asuhan. Udah deh...jalan2 di jakarte.

Yang asyik, kita dikawal men...jadi pada minggir semu gitu. Anti macet dah pokoknya. Di dalm bus yang panas karena non AC, saya ngobrol banyk dengan Kapten Anis. Ngobrol apapun dari Ambalat sampai jodoh, lho....!. dia open mind banget, jadi ingat waktu ngobrol bareng bapak2 Seskoad pas ESQ kemarin.

Di istana wapres, sengaja duduk bareng taruna, ternyta dari AL. Namanya Astria Chandra, dia penatarama (pimpinan drumband Taruna AL). Jadi banyak cerita tentang pendidikan taruna dan aktivitasnya penatarama. Tapi saya pe de aja, lha wong ITB (he...3x).Yang lucu, ternyata dia 2002, sempat setahun di IPB dan dari Pati. Jowo rek...

Jam 8, pak Alwi Shihab datang bersama pak Bambang Sudibyo. Pak Jusuf Kalla sedang ke Medan, da acara sehingga digantikan. Bagiku yo ga terlalu ngaruh, yng penting duduk adem dan masuk istana.

Bla...bla...Pak Alwi Shihab menyampaikan sambutan. Yang berkesan, beliau percaya bahwa teman dalam pelayaran akan dikenang sepanjang hayat. Huh....jadi haru. Terakhir, beliau mengucapkan Selamat berlayar, dan pasti akan menjadikan persatuan diantara para pemimpin masa depan.

Nah..di bus, kapten Anis berbagi cerita lgi. At the moment, we talked in English, we were talking abaout topic we had talked before. wuih...keren. cuma kami aja yang ngomong. Lainnya, pada diem how glad i am(astagfirullah..).

Sampai di kapal, makan malam (luknya “gerih”) dan tradisi nyuci sendiri ompreng, antri lagi. Jadi berkesan. Dan sekarang, masuk kamar buat nyediain wktu buat nulis ini. semunya supaya kit bisa berbagi. makasih teman, i do love you all...

Sunday, July 10, 2005

aku mau raih "suasanaku" yang luar biasa

Alhamdulillah....

he....(ini senyum:), akhirnya beberapa hari (2 hari!!!)lagi aku akan pergi dalam rangka pelayaran kebangsaan.

apa PK? ya intinya kegiatan yang buat mahasiswa se indonesia yang diselenggarakan di atas kapal TNI AL. ini bukan karena menghindari pengawasan BIN atau untuk tindakan perjalan biasa. mungkin sih...(katanya) kaya training kepemimpinan di kapal berjalan. nah...di tempat tujuan, bakal nglakuin acara2.

nah, artikel yang aku tulis tentang aceh di blog ini (yang aku bagi tiga bagian...) itu yang membantu kelolosanku. jadi salah satu wakil ITB men.... (dari kecil ga kebayang bakal mewakili PT se"gede" ITB)

sebenarnya tahun ini, rute tujuan yang ditempuh Aceh (makanya judul makalahku juga tentang aceh). tapi karena alasan keamanan, kata panitia (apa mungkin masih GAM?), dan mungkin juga pelabuhan di meulaboh belum bisa didaratin kapal. makanya rutenya berubah.

tapi bagiku, esensinya sama. jalan2. lumayan, ngilang dari kampus yang rada ribet gara2 urusan ma rektorat. atau dari rutinitas KP. nah tanggal 20 natar semua dilanjutin lagi dengan ruh baru (he....:).

pas ditanya ama form pendaftaran, kayak gini kata aku :

"Kesempatan memberikan hal yang bisa diberikan kepada masyarakat Aceh. Pelayaran memberikan pengalaman melihat potensi laut Indonesia yang besar, sekaligus berkenalan dan bertukar pikiran dengan para generasi muda potensial bangsa ini. Kegiatan ini juga mendekatkan saya akan peran dan tugas TNI AL, sehingga timbul kesadaran dan sikap lebih menghargai. Secara keseluruhan, mampu melihat Indonesia dengan sudut pandang khas dan luas untuk menatap masa depan yang lebih baik."

gimana?emang intinya aku suka jalan2. akan ada sesuatu yang aku "dapat" ketika aku dalam perjalanan. walaupun aku seringkali merindukan pula ada "teman" yang mau berbagai saat aku mengalami "dunia"ku saat itu...kapan ya?(hiks....)

ya udah, ntar ditunggu cerita (versi Beta) nya aja ya... diman lagi kalau ga di "rumah pikirku" ini....

mohon do'a......salam!

Friday, July 08, 2005

Busung Lapar, Sebuah Potret Negeriku

Jika sekarang anak muda negeri ini ditanyakan tentang mana yang mereka lebih pilih, antara sengsara di negeri sendiri atau menjadi kaya di negeri orang lain. Dengan rasa optimis yang tinggi, saya yakin para anak muda itu akan banyak menjawab yang kedua, yaitu lebih baik kaya walaupun di negeri lain.

Terlepas dari gerusan budaya yang Itu adalah efek sampingan dari semakin tak berbatasnya masyarakat dunia saat ini, jawaban dari pertanyaan sederhana diatas akan mampu menunjukan beberapa hal menarik dari kondisi negeri kita sendiri.
Pertama, bahwa fakta itu akan menjawab pepatah kita sejak SD dulu, bahwa lebih baik sengsara di negeri sendiri daripada kaya raya di negeri orang. Dalam terminologi Jawa dikenal dengan, mangan ora mangan asal kumpul. Karena ternyata ketika kita dewasa, semakin banyak penduduk Indonesia yang diekspor ke LN, entah sebagai pembantu RT atau buruh pabrik. Walaupun kehidupan manusiawinya seringkali tidak diperhatikan oleh pemerintah yang selalu mengharap devisa dari mereka.

Kedua, fakta itu akan menunjukan bahwa sampai tahap ini saja, pemerintah belum mampu menyediakan nasi bagi para warga negaranya. Nasi itu bisa berupa kesempatan yang sama untuk berjuang demi mempertahankan dan memperoleh kemuliaan hidup. Disini berarti pemerintah memberikan kail untuk mendapatkan ikan yaitu nasi yang sesungguhnya, makanan dari beras yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk kita.
Namun baru-baru ini di beberapa daerah, nasi yang sesungguhnya itulah yang sedang rakyat susahkan. Berita yang mencengangkan terjadi sekitar enam minggu yang lalu. Ketika ada anak kecil dari pesisir selatan kepulauan Indonesia (NTB) menderita busung lapar. Secara sederhana, busung lapar adalah keadaan manusia karena minimnya asupan makanan yang masuk. Atau dengan lebih mudah, kita sebenarnya bisa menyebutnya dengan ”kelaparan”.

Ternyata, kejadian itu bukan hanya diderita oleh seanak-dua anak. Banyak anak-anak di daerah tersebut yang mengalaminya. Namun apa daya mereka. Ketika ini dikonfirmasi ke Pemerintah setempat, pejabatnya menolak bahwa anak-anak itu terkena busung lapar. Mereka mengtakan bahwa anak-anak itu kekurangan gizi. Beberapa program bantuan susu yang pernah dilakukan Pemerintah setempat juga diungkit-ungkit untuk menunjukan bahwa Pemerintahnya tidak tinggal diam.

Yang mengherankan tentu saja adalah sikap Pemdanya yang ”tidak mengakui” fenomena itu. Apakah merekA sengaja menutup-nutupi sehingga daerahnya bisa dicap sebagai daerah yang sejahtera? Ingat program KB Orde baru kemarin. Ketika petugas BKBN (dan pastinya aparatur negara ada yang terlibat) rela memalsu data kelahiran anak untuk menunjukan bahwa program KB berhasil. Atau program-program Orba lainnya, yang banyak mencari kesan dibandingkan konsekuensi dari penghargaan itu sendiri.
Dan lebih memeprihatinkan, sudah ditngkap basah rakyatnya busung lapar, masih saja mencarai pledoi-pledoi. Bahwa itu ”hanya” kekurangan gizi. Jadi ingat pula bahwa rakyat miskin zaman dulu disebutnya pra sejahtera 1, 2 atau 3. Padahal, miskin adalah miskin, tanpa harus mengkotak-kotakan hal itu.

Dari potret diatas, kita sangat jelas melihat seperti apa kualitas aparatur negara kita dalm melayani masyarakat. Apakah ini akibat dari otonomi daerah? Kita tidak boleh menyimpulkannnya terlalu cepat. Tapi ternyata kejadian busung lapar tidak hanya terjadi di NTB, daerah yang konon menjadi lumbung padi di kawasan Indonesia Timur. Busung lapar juga melanda beberapa daerah di Jawa, khususnya Jawa Barat-propinsi yang juga terkenal dengan lumbung padi bahkan untuk skala nasional.
Jika ini memang akibat adanya misperseption diakibatkn adanya otoda, mungkin kita juga harus melihat lebih dalam. Jadi dimana peran pemerintah pusat yang jajaran dinas kesehatan atau logistiknya tidak pernah diserahkan ke pemda. Intinya baik daerah ataupun pusat semuanya terkena dosa ini. Secara keseluruhan, pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas bencana ini.

Terlihat dari mental pejabat kita masih ”malu-malu” untuk berkata fakta yang terjadi, itu menunjukan betapa abdi rakyat ini masih ingin saling melempar tangung jawab dan meminimalkan resiko. Lebih baik jika itu disertai dengan tindakan nyata penanganan, tapi malah terkesan membiarkan anak-anak yang menderita. Semuanya sibuk berpolemik, sedangkan esensi masalahnya tidak terselesaikan.
Betapa potret bangsa kita semakin buram dengan nasib generasi mendatang yang harus mengambil estafet pembangunan bangsa, jika banyak anak-anak yang kekurangan gizi. Sedangkan anak-anak yang lebih beruntung, makin kehilangan national character karena budaya pop gaya modern. Dan bapak-bapaknya yang sebenarnya tak lama lagi hidup, sibuk mengamankan posisi diri sendiri. Mungkin supaya dikenang tetap baik ketika mati kelak.

Padahal kita bangsa yang pada tahun 1984 mengirimkan bantuan pangan ke Somalia, dan dengan bangga Soeharto kala itu mengatakan Indonesia swasembada pangan. Pun lahan pertanian di negara kita sekarang tidak sangat minimnya sehingga kita harus mengimpor mengatasnamakan untuk menghindari bencana busung lapar tadi. Tapi sekarang, busung lapar yang melanda, sedang swasembada beras tidak pernah tercapai kembali.

Jika busung lapar ini menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya pemerintah. Sudah sepatutnya pemerintah membuat kebijakan pangan integral untuk menghindari bencana kembali dan menuju kemandirian. Bangsa sebesar ini malu jika rakyatnya kelaparan dan beras yang dimakan juga impor dari negara yang lebih kecil wilayahnya. Bagaimanapun pesatnya industri, pertanian tidak akan pernah lepas dari sebagian besar kehidupan bangsa ini. Dan itu harus didukung dengan perhatian khusus negara terhadap pembangunan pertanian nasional. Jangan sampai kita mendapat bantuan penanganan busung lapar dari negara lain, karena itu lebih memalukan lagi. Jika tidak malu, mungkin kita tak harus berbangsa lagi.

Wednesday, July 06, 2005

BBM-ku kini....

saban hari, aku bawa motor untuk muter2 kota dengan segala kegiatanya. dan saat ini, dengan KP di bandung aku hampir tiap hari jalan pake motorku dengan rata-rata 10 km /day.

yang buat terheran adalah ketika BBM menjadi langka seperti sekarang. hampir tiap hari berita yang ada di koran, atau tiap berita di tv. dan pastinya, di SPBU hampir di seluruh Bandung, banyak mobil, motor yang antre untuk ngisi BBM.

ternyata ntidak cuma ngisi, mereka (termasuk aku akhirnya...) ngisi penuh selalu. kagak tau buat ditampung di rumah atau buat ketenangan, yang jelas wajah-wajah kengerian hilangnya BBM terlintas lama.

belum lagi orang-orang yang "oportunis" nya kelewatan, alias dia bawa jrigen yang tidak cuman 1 untuk membeli BBM. dan berbeda dengan wajah satunya tadi, wajah yang ini keliatan bengis bdan rada malunya juga masih ada. mungkin juga ga enak ama pembeli lain yang antre dan keliatan banget ambil kesempatannya. tapi dunia kan butuh makan bang...(naif!!!)

dan kemudian, pertanyaan yang lebih dalam akhirnya mengalir deras seiring fenomena BBm ini. kenapa sih konsumsi BBM kiota sangat tinggi? dan hampir pasti naik terus. bahkan pemerintah pun ngeri kalo kebutuhan itu ga dipenuhi (SBY sampai menginstruksikan pertamina untuk memenuhi pasokan BBM berapapun....!!!)

luar biasa keputusan yang ditempuh pemerintah. mungkin social cost yang sangat tinggi bila keresahan 200an juta penduduk karena BBM kurang. mulai nelayan, sampai mercy semua menjerit. bisa jadi wibawa pemerintah (SBY?) merosot, dan yang lebih dahsyat sembako naik (sudah beberapa naik) dan kerusuhan sangat besar kemungkinan terjadi.

tapi, bagaimana dengan budaya bangsa?yang tadi itu, ketika kebutuhan BBM ga pernah turun. mobil semakin banyak, toh yang ngisi cuman 1 orang. policy 3 in 1 ga ngaruh.pajak juga ga ber efek pada kelas borju. padahal, apa sih yang dihasilkan mobil2 itu. nambah sempit jalan dan sesak napas

secara umum, energi kita pun krisis. belum lupa PLN, yang hampir saja memadamkan jawa bergiliran.

yang menyedihkan di kota-kota besar. mal, balegho dan lain2 yang menceerminkan betapa meruahnya energi kita. padahal kita sedang masuk bersama ke dalam neraka krisis energi.

tadi juga liat, nelayan ga bisa melaut. kalau orang berdasi ga bisa naik BMW nya ke kantor (padahal bisa naik angkutan masal) tapi mereka masih tetap hidup karena bergaji. lha ini, nelayan yang ga bisa melaut. mereka bisa mati karena ga bisa makan.

negeri ku, masihkah "gemah ripah loh jinawi"?

Friday, July 01, 2005

Bangsaku Sudah Makmur?

rabu lalu aku ke jakarta dengan rencana bertemu dengan beberapa alumni. sebuah pertemuan yang sudah "lupa" untuk apa apa aku melakukanya. karena memang, semuanya berujung dengan, "bang, minta bantuan nih..."

tapi emang mreka adalah orang2 yang selalu banyak membantu adik-adiknya yang sedang beraktivitas. aku seneng saja, walaupun belum pernah ngrasain gimana rasanya jadi mereka jika diminta bantuan sama adik-adiknya.

dan begitu juga dengan kemarin.bantuan yang aku plot untuk aku dapatkan kuperoleh. jikalau ada beberapa bukan sebuah yang kongkret (menurut definisi kita2 yang selalu dekat dengan yang namanya duit), setidaknya sebuah komitmen bisa kudapatkan. bahasa kerennya, "gentlement agreement".

dan alhamdulillah (atau innalillah), ada juga yang ngasih kongkret .... (tiiiiit.....definisaikan sendiri ya!!!). dan tentu saja, senang rasanya mendapatkan sebuah yang memang secara nurani diharapkan.

oiya...rabu itu pula aku datang di gedung rakyat (DPR) bertemu dengan alumni yang jadi anggota dewan. seneng euy....akhirnya masuk sendirian tanpa dikawal siapa pun. karena biasanya selalu bareng ma yang lain.dan yang pasti..."dapetnya" itu.

tapi pas kemarin keluar dari gedung...deng....deng..., ada aksi alias demo. selidik punya selidik, katanya dari kelompok rakyat yang mengaku didzolimi dengan peraturan presiden (ketetapan presiden kali...) yang tentang tanah rakyat boleh "diminta" negara untuk kepentingan nasional.keppresnya no 36 kalau ga salah...

wah...jadi malu juga sebenarnya. aku kan abis dari dalam gedung. dan keluar, ada yang aksi. banyak pisan. sekitar 1000 orang. dari pasundan katanya (bandung?).tapi syukurnya (lho...?), mereka dah mo selesai. jadinya ga terlalu lama bengong. singkatnya, mereka naik bus masing pulang ke daerah-daerahnya (busnya ada yang kurnia bhakti yang warnanya kuning ijo, jurusan garut-jkt).

lalu aku bingung apa langsung pulang ke bandung atau jalan2 dulu. waktu itu jam 3an sore.

setelah sms2 sana-sini untuk mencari kemungkinan pulanga atau maen2, akhirnya kuputuskan untuk mampir sebentar ke tempat kerja teman di daerah imam bonjol. aku masih ingat, naiknya 213 (jurusannya lupa...ufgh!!). sampai disana jam 4. setelah sejenak (15an menit), aku pulang.

sebenarnya pula udah ada pikiran untuk langsung ke terminal nyobain cipularang yang kesohor itu. tapi ya...mampir dulu, g enak udah sms (jadi bingung kan?)

akhirnya, aku ke lebak bulus untuk nyobain tol itu. kenapa ga pulogadung? he...3x, pingin nyobain yang beda, konon pake prima jasa kalo di lebak bulus. kalo di pulogadung, pake bus yang banyak udah uzur (patriot -red).

rada nyesel juga. karena sebenarnya udah sore (jam 4.30an). dan katanya macet di rasuna said (gara monorail yang g kongkret!!!). dan benar macet banget disana, lama pisan.....udah sore waktunya opulang kerja dan ada penyempitan jalan karena monorail.

jadinya angtuk2 gitu, tapi itu juga setelah dapat tempat duduk. dan sama ....(tiit...sensor) lagi. wah, daripada cemot-cemot nih kaki, mending duduk aja. yang ag tau malu tu, ngantuk lagi. parah betul....baru rada sadar pas nyampai cilandak. jadinya iur2 ngantuk sepanjang rasuna said, mampang trus warung buncit sampai sekitar ragunan.

nah...pas mau nyampe lebak bulus, koq ada oranye2...waduh..masuk ke kandang macan nih..alias persija lagi abis men.untungnya 4-0 menang.tapi jadinya busa ga mau masuk terminal, turun di persimpangan dan jalan sendiri 300an m.

waktu itu udah jam 6 nyampai terminal. sejam cing...jalan macet. padahal, cipularang akan lebih menarik kalo keliatan alias ga gelap malam. tapi ya udah...yang penting nyobain..

akhirnya 15 menitan kita jalan. enak juga bisnya... ada yang sedang sendiri sebenarnya, tapi masih kuat iman sih! dan emang banyak kursi kosong.udah tidur lagi, jadinya seger.

kita jalan...akhirnya sampai cawang lewat tol, trus ke tol pondok gede.

udah niat ga bakal tidur (udah seger...hem...).jadinya cenghar (bahasa sunda) terus.tau2 udah ada petunjuk ke arah bandung, alias udah mulai masuk ke tol cipularang.

wah...emang keren (kesimpulannya aja). jalanya jelas beda, masih baru juga sih. dan walaupun malan, tetap keliatan daerah sekitar yang berbukit. tenang dan dingin. ada beberapa tanjakan yang dilewati, sekitar 5an tanjakan yang tinggi.

dan memang konon, bandung ada di 700 dpl, sedang cikampek di 20 dpl (kata koran)jadinya tol ini secara naluri (pake naluri, ga cuman otak) kudu nanjak.

lewat di bawah jembatan yang diatasnya ada jalan, trus ada juga diatasnya rel KA (yang tadi pagi saya lewati) dan tau-tau jembatan cisomang yang terkenal. aku ingat, ditulisnya, jembatan cisomang 252 m (kaya wirosableng). keren.....

dan tiba2 ...eh udah nyampai padalarang barat, trus tol padalarang. luar biasa men...cepet banget. koq bisa manusia bikin gituan? he....3x rada kagum juga. konom pula, sangkuring modern, cuma dikerjakan setahun cing....

wah...jadi ingat2 dengan yang di depan dpr tadi. tanah, cipularang. gimana ya kalo dihubung2ing? kan tanah yang dipake buat ngebangun cipularang adalah juga pasti ada milik rakyat. dan dipake untuk kepentingan nasional (atau kepentingan orang jakarta yang berduit dengan mobilnya pergi ke bdg untuk ke FO?). hush..... berat juga.

ya itu lah yang aku juga malu (kedua kali nya setelah di depan dpr tadi). make tol yang konon tanahnya juga ada yang belum diberesin. atau yang pasti, rakyat2 di sekitar (sekitar jauh) jalan tol gak terlalu (atau tidak) merasakan manfaat jalan tol itu.

jadi gimana mas...

bangsaku sudah mampu bangun jalan tol terindah di indonesia (katanya 100% produk dagri). dan mau bangun 5000 jalan tol transjava juga. atau terowongan nusantara yang juga sedang digodog, jembatan suramadu yang kemarin ambrol pondasinya.sudak makmurkah bangsaku?

wis liat aja lah...

Tuesday, June 21, 2005

Ini Kisahku....

Akhirnya kuberanikan diri menuliskan kisah ini. Aku tahu, bahwa ini adalah cerita seperti halnya kisah drama lain yang sejanis. Tapi bagiku, cerita ini telah merubah hidupku. Dan pastinya, menjadikannya bermakna bagiku.

Beberapa minggu yang lalu, dalam perjalanan liburanku ke Bogor aku bertemu dengan teman lamaku secar kebetulan. Awalnya biasa saja, kami saling kaget dan melepaskan segala kenangan-kenangan yang masih tersisa. Saat itu, bus yang membawa kami berangkat dari Jogja sudah hampir isya. Dia pastinya berangkat dari Solo, kota eyangnya mungkin dua jam sebelumnya. Dan ia akan kembali lagi ke Cimanggis, tempat orang tuanya tinggal sekarang.

Kemudian, perlahan matanya mulai sayu dan menandaka makna mendalam. Sudah lama aku tak melihat dirinya separti itu. Dan saat itu, aku juga tahu kalau itu artinya ia sedang memikirkan hal yang berat dalam hidupnya.

Diapun tahu, jika aku adalah orang yang dulu pernah menyeka air matanya saat ia tidak diterima di PTN favorit di kota kami. Sedangkan aku, yang akhirnya diterima di kampus biru Gajahmada. Sedangkan ia, setahuku di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dengan perlahan mengatur nafasnya, ia kemudian memulai ceritanya.
***

“Tolong belikan mobil”, kata ibunya saat disuruh pulang sekitar tiga bulan yang lalu. Ia memang memutuskan kost di Jakarta, daripada pulang balik ke Cimanggis. Sesampainya di rumah, masalah besar baginya itu datang.
“Keluargaku retak”, suaranya serak.

Ayah yang selama ini dia banggakan telah menjalin hubungan dengan wanita lainnya. Dan pastinya, ibunya tidak kuat dan mulai marah kepada ayahnya. Dan mobil yang diminta, supaya ibunya bisa leluasa pergi tanpa mengandalakan mobil yang selalu dibawa ayahnya kerja.

Bagi dirinya, kabar itu adalah puncak dari cerita keluarganya. Keluarganya, setahuku, memang bahagia awalnya. Terlahir dalam keluarga kecil, dua bersaudara. Ayahnya seorang karyawan Bank swasta di ibukota yang bergaji lumayan tinggi, dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang tidak bisa diangap orang rumahan biasa. Karena juga mengelola aset-aset keluarga, seperti perkebunan di Ciawi.

Seorang kakaknya, oh...betapa kutahu ia sangat menyayanginya. Hanya lulusan SMU dan sekarang sudah memiliki dua putra, satu kelas tiga SD dan yang kecil -kulihat ia tersenyum bahagia saat menyebut si kecil, baru berumur satu tahun. Kakaknya perempuan dipersunting oleh seorang sarjana yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swata di Kota Hujan.

Dia sendiri tak tahu, kapan ihwal keluarganya berasal. Saat pulang itulah, ia baru sadar bahwa masalah yang timbul tenggelam itu naik tak tertahankan.

Mungkin sejak beberapa tahun lalu, saat Bapaknya mulai menjabat supervisor seluruh cabang di Jakarta yang artinya harus muter-muter kota sepanjang harinya. Sepertinya, mulailah hubungan dengan wanita itu terjalin. Wanita PNS yang tinggal di sekitar Senen, yang ia sendiri tidak terlalu jelas saiap wanita itu. semua awal muasalnya memang tidak terunut, dan itu bukanlah masalah bagiku. Karena aku menulis inipun sekedar penyejuk atas kegundahanku sendiri atas kisahnya.

Dia melanjutkan, saat kedua orang tuanya berangkat haji, ibunya pernah bilang bahwa keberangkatan itu dalam rangka memutus hubungan dengan wanita tersebut. Dia diam saja, karena tak terlalu paham dengan masalah. Mau berangkat haji saja, sudah merupakan kebahagian baginya. Mengingat ayahnya yang setahu dia, kental kejawennya. Dia menyebutnya islam sinkretis yang memang bercampur dengan budaya Jawa.

Ternyata, saat haji malah menjadi momentum untuk memulai keretakan keluarganya. Menurut ibunya, setelah haji ayahnya bersikap sangat baik padanya. Tapi ternyata, baiknya berujung pada sangat dekatnya hubungan ayahnya dengan wanita itu.
Bagaimana menerjemahkan, aku baru paham setelah dia menambahkan, bahwa kedekatan yang dia maksudkan adalah adanya hubungan pernikahan yang tidak sepengetahuan ibunya. Ya..kita mengenalnya dengan nikah sirri. Itu yang ditegaskan ibunya saat tiga bulan yang lalu. Dan episode sandiwara terbesar dalam kehidupan keluarganya bermula.

Selidik punya selidik olehnya, sang ayah memang melakukannya. Dan itu di bawah penghulu yang notabene dikenal ibunya sebagai seorang kyai. Dia masih ingat, pengakuan ini meluncur sendiri dari ayahnya saat kepulangannya seminggu kemudian. Terakhir dari obrolan malam itu, ayahnya menawarinya mendatangi kyai tersebut dan berdiskusi tentang nikah sirri.

Dia lupa, apakah minggu itu atau minggu berikutnya dia diajak ayahnya bertemu dengan kyai tersebut. Dengan pengetahuan yang telah disiapkan dan pengalaman sebagai seorang aktivis islam di kampus, dia menyerang habis-habisan kyai itu. oiya...dia mengatakan bahwa dia masih memakai akal sehatnya, adab dan skill komunikasi pastinya.
“Kenapa bapak mau menikahkannya?”, tanyanya.
“Saya Cuma ingin membantu ayah saudara untuk menghindari zina, masayarakat melihatnya sudah berhaji”, jawabnya dengan percaya diri.
“Dasar bapak kurang kuat, kenapa mesti ijtihad?”
“Saya udah biasa”

Dan mulailah teman ku menyampaikan pendapatnya
“Ijtihad bapak tidak melihat dua sisi, kehidupan keluarga kami khususnya karakter ibu saya, serta kemungkinan dampak yang ditimbulkannya. Atas dasar cerita sepihak ayah saya tidak obyektif dalam melihat masalah ini. Padahal, ini bukanlah masalah sembarangan”, dia mulai mengendalikan situasi.
“Muhammad tidak pernah memberikan contoh, malah kalau nikah beliau meminta mengundang tetangganya walaupun sederhana. Artinya, tidak tutup menutupi disitu. Secara umum, nikah sirri memang sah, tapi kurang membawa kebaikan”, tambahnya. Dan secara jelas, temanku tepat menyampaikan alasannya.

Setahunya, akhir dari diskusi itu sebatas bahwa kyai itu minta maaf jika ijtihadnya membawa keburukan bagi keluarganya. Beliau juga mau memutus kembali ikatanya, walaupun memang ayahnya juga yang harus menghadirkan semua perangkatnya termasuk pihak wanita.

Dia lega awalnya, tapi ternyata ayahnya dengan pertimbangannya tidak cepat mekukan pemutusan itu. Tapi temanku tetap mendesaknya untuk memutus karena itu permintaan ibunya. Kemudian dia mengajukan dua alternatif, ayahnya meutus didepan ibunya atau memutuskan dengan disertai tanda tangan dia atas kertas. Dan keduanya ditolak, dengan alasan tidak mungkin membawa ibunya dan nikah sirri awalnya tidak pakai surat, kenapa harus pakai surat untuk memutusnya?

Dan ibunya makin tidak terkendalikan. Marahnya ketika bertemu ayahnya adalah hal yang biasa di rumah. Tetangga pun mengetahuinya, bahkan kata-kata ibunya yang aneh-aneh dan kasar. Tapi ayahnya memang orang yang defensif, dia hanya diam. Dan selama berapa minggu, kemarahan dan kata-kata kasar yang mewarnai kehidupan keluarganya.
Karena memang sebenarnya, temanku mengakui bahwa kejadian yang serupa pernah terjadi sekitar 15 tahun yang lalu. Tapi itu tidak seberapa dibanding sekarang. Nikah sirri, itu yang inti menjadi sumber sakitnya. Dan itu sudah cukup lama, hampir dua tahun ditambah kecenderungannya yang mungkin sebelum akad nikahnya. Betapa pengkhianatan terjadi disini. Dan itu yang menyakitkan, sampai tak terobati kata ibunya.

Akhirnya keputusan ibunya sudah bulat untuk mengajukan cerai. Kenapa bisa seperti itu, dia sendiri heran. Karena temanku tika lagi pulang sesering sebelumnya sampai ia mengajukan alternatif kepada ayahnya. Mungkin, ibunya tidak kuat untuk menahannya. Dia sendiri menilai, peran dia hanya sebagai perantara. Sedang intinya, di kedua orang tuanya. Secara naluri pun, di sudah capek dan bosan memikirkan mereka. Pasangan yang harusnya sadar bahwa semua anaknya sangat mencintainya. Matanya berkaca saat mengatakan itu. Aku memegang bahunya dan menenangkannya.
***

“Pokoknya cerai, sudah hilang kepercayaanku”, tuntut ibunya.
“Itu bukan penyelesaian”, ayahnya menjawab singkat.
“Daripada sakit hati lalu kemudian mati, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri. Biar puas dengan selirnya dan saya tidak dosa karena sudah melepas ikatan kita”, tentang ibunya.
Dan ketika saatnya tiba, temanku angkat bicara didampingi kakaknya.
“Jujur, kami, saya dan kakak, sebenarnya tidak bisa menyelesaikan masalah ini. karena yang paling bisa adalah ayah dan ibu sendiri. Kami hanya menjadi perantara dan berharap ayah ibu juga ikut memikirkan perasaan kami.”

Dia kemudian mengela napas dan diam sejenak. Kemudian dilanjutkan dia bercerita padaku.
“Tapi, izinkan saya untuk merunut dan menyampaikan masalah yang dihadapi. Pertama, istri memang berhak mengajukan tuntutan cerai yang dinamakan khuluq. Itupun, terjadi cerai jika suami memberikan atau karena alasan yang sangat kuat misalnya, tidak diberi nafkah selama enam bulan maka pengadilan bisa yang memutusnya. Kedua, masalah ini akan berujung pada dua hal”

Dia diam lagi dan kami hanya mendengar bunyi mesin bus yang menderu.
“Pertama, bersatu kembali yang ini sangat kami harapkan. Tapi ini memang bukan hal yang sederhana, butuh pengorbanan dan keihlasan yang besar. kedua, perceraian yang akan dengan cepat menyelesaikan masalah. Walaupun kita sebenarnya tidak tahu, apa yang terjadi setelahnya pada keluarga kita”
“Saya inginya, ayah dan ibu bersatu bagaimanapun caranya. Ayah bisa meutuskan hubungan dan ibu mengikhlaskannya”, sahut kakaknya.
Temanku menambahkan, “Secara runut kita bisa melihat bahwa kalau sekarang bersatu, saya sadar bahwa landasan yang digunakan kurang kuat. Hanya berdasar atas saya yang masih kuliah dan ayah yang masih harus bekerja di kantor.”

Memang, alasan itu yang temanku simpulkan manjadi utama dalam ketahanan masalah. Alasan dia yang masih kuliah dan jika cerai, kantor ayahnya akan berpikir tentang prestasi dan segala jabatan ke depannya.
“Ketika saya seleai dan ayah sudah pensiun, dan dengan kondisi ibu yang makin berkurang, sangat besar kemungkinan untuk bermasalah kembali. Karenanya, dibutuhkan komitmen ulang dan keikhlasan untuk mempertahankan atas dasar kebaikan sampai akhir hdup, bukan statusnya”
“Jadi tolong, ayah jangan jadikan saya sebagai alasan bertahan. Karena saya setidaknya sudah menyiapkan secara batin menghadapi perpisahan ini. saya Cuma khawatir,jika ujungnya, rumah tangga juga berantakan”
“Kami ingin ayah ibu tetap bersatu. Tapi jika memang tidak bisa, kami insyaallah siap menerima apapun yang terjadi. Yang jelas, kami tidak mau ini berlarut-larut sehingga kami pun tidak tahu harus melakukan apa. Terakhir saya sampaikan, kami, anak-anak kalian sangat sayang pada ayah ibu.”
Disitu, temanku menangis tersedu dan aku pun segera mendekapnya. Sebuah hal yang dulu pun biasa kami lakukan saat sekolah. Aku mengelus-elus punggungya dan secara tak sadar, mataku juga mataku mulai berair.
***

Dan aku tak kuasa menuliskan lagi. Sunguh tiada sopan bagiku, jika aku sibuk mengingat apa yang diceritakannya selanjutnya, sedang temanku tenggelam dalam perasaan.

Kemudian aku berpikir pada diri sendiri, betapa sulit menebak hati manusia. Bahkan ketika rumah tangga yang sudah berlangsung selama 25 tahun, tak ada yang bisa menjaminnya. Singkatnya, Sang Maha Pencipta yang tahu atas perasaan dan nasib hambanya.

Ceritanya benar-benar menyentuh sampai batas rasaku, mungkin karena sahabatku juga yang mengalaminya. Aku tahu, itu adalah kisah sedih temanku. Tapi aku juga gamang, bahwa itu juga bisa terjadi padaku. Bukan kepada orang tuaku dan bukan perceraian di hidupku mungkin. Tapi lebih dalam lagi, perasaan yang menlandasi itu semua bagi kehidupan keluarga.

Aku sendiri bukanlah orng yang mudah ditebak, itu juga kata teman-temanku sejak sekolah menengah. Hari ini sikapnya A dan besok bisa jadi sikapnya B. Walaupun aku selalu punya dasar semuanya. Bahwa perubahan itu karena alasan atau fakta yang kulihat, walaupun mereka seringkali tidak kuberitahu akhirnya. Aku sendiri menilai, konsisten dalam menerapkan prinsip yang aku pegang. Sehingga, orang juga melihat bahwa keras menjadi karakterku. Bagaimana tidak keras, jika itu untuk mempertahankan prinsip dan pendapatku?

Toh aku juga bukanlah orang yang seperti batu sekeras-kerasnya. Dalam diriku, aku sangat menghargai perasaaan manusia. Aku senang dalam setiap perjalan yang aku alami, aku berpikr tentang semua yang aku lihat dan rasakan saat itu, terutama jika terjadi ketika malam. Banyak hal pula yang karena merenung dan berpikirku, aku mendapatkan banyak hikmah kehidupan yang mempengaruhi jiwaku. Dan seringkali pula, aku membayangkan ada orang yang mau berbagi saat mengalami kejadian seperti itu.
Aku juga suka sastra dan kisah-kisah kehidupan manusia lainnya. Tapi memang, tidak semua orang tahu itu. Mereka banyak tahu bahwa aku sangat koleris dan seakan tidak berperasaan. Dan benar juga mereka, kehidupan luarku banyak dalam hal yang membutuhkan ketegasan dan disiplin. Sekali lagi, mungkin inilah yang unik bagiku. Karakter keras yang tidak mudah ditebak berpadu dalam kebermaknaan menjalani kehidupan.

Urusan prestiseku dan embel-embelnya mungkin hal yang biasa bagi temanku. Atau itu juga menjadi jalan hidupku? Lalu, bagaimana dengan wanita? Ini yang aku pikirkan kerena mendengar kisah sahabatku.

Kesimpulanku, komunikasi dalam rumah tangga sangat penting. Bagaimana dengan sifatku? Mungkin nantinya, pasanganku akan menjadi teman bicara dan tumpahan yang selama ini hanya kutuang dalam tulisan. Semudah itu, aku sendiri tak tahu. Yang kutahu, orang-orang hanya melihatku dari luar yang itu adalah koleris. Dan tidak semua manusia pula senang dengan cerita-cerita yang melankolis.

Disini aku ada di persimpangan, antara menjaga perasaan pendamping nantinya. Atau melanjutkan kisah hidup yang bagiku sangat menarik. Maksudnya, aku bukanlah murni orang rumah dan aku sangat menghargai pertemanan. Tak lupa, jalan-jalan sendiri malam hari dalam keberartianku. Urusan kerja, aku sangat menggemari dan jika itu cocok, kadang berlebihan sehingga partnerku akan merasa terjepit. Kalau ditanya mengapa, komitmen itu yang jadi kuncinya barangkali.

Dengan kisah sahabatku pula, merubah segala kenisbian dalam menilai wanita. Mereka mungkin indah, dan keindahan pula yang aku sukai dalam hidup. Sehingga, jangan mudah memberikan hati pada seseorang. Satu sisi, mereka belum tentu menjamin kelangsungan apalagi dengan karakter unikku. Sisi yang lainnya, jangan menyakiti perasaan wanita dengan memberi kesempatan. Tapi mereka sebenarnya tidak tahu lebih dalam tentang diriku. Kesenangan sesaat tidak bisa menggantikan duka hidupnya.

Saling memahami dan niat mungkin menjadi kuncinya kelak. Tapi, bagaimana bisa paham jika kita hanya tahu seketika? Sehingga komunikasi sendiri, aku berpendapat sangat penting dalam mengawali pintu kelurga juga. Bukan mengawali lebih tepatnya, tapi proses menuju kesananya. Karena itu melandasi hal yang menentukan hidup kita sepanjang hayat. Jodoh memang hak Allah, tapi keterlibatan manusia dalam menentukan bukan hal yang salah bagiku.

Sahabatku telah tidur nyenyak di sampingku. Senang rasanya dia bisa menumpahkan kesedihanya dan akhirnya bisa tidur tenang. Sedang aku, biarlah aku lanjutkan renungan ini.

Lalu, apakah berarti aku harus memilih diantara teman atau sahabatku? Orang yang mungkin paham dengan diriku dan aku pun paham dengannya. Satu hal yang pasti dari masa laluku, biarlah mereka menjadi bintang di langitnya masing-masing. Dan sekarang, memang tidak banyak orang yang tahu aku dibanding teman kisah hidupku di awal dewasa. Jadi, haruskah kupetik salah satunya di taman hidupku saat ini?

Aku tak tahu jawabnya, dan aku pun tak tahu apa nantinya. Mudah-mudahan kegamangan ini bukan alasan kenapa aku tak sesegera mengambil keputusan besar itu. Menentukannya mungkin mudah bagi banyak orang, dan berbondonglah manusia melakukannya. Tapi bagiku, itu sama sulitnya karena akan berpengaruh dalam hidupku selanjutnya.

Sekarang, aku tak tahu itu jam berapa dan bus ada dimana. Suara-suara kendaraan besar yang berpapasan dengan bus sering terdengar. Berarti, kami tidak sedang berada di kota. Kulihat di kaca jendela, pandangan hitam yang sepertinya menandakan persawahan. Semuanya menjadi saksi bisu yang menunjukan bahwa kami merangkai kembali persahabatan. Tapi aku kembali merindukan, ada orang yang mau berbagi kisahku saat ini. [6/05]