Saturday, December 29, 2007

Welcome Oil and Gas

Tidak mudah untuk mempelajari hal-hal baru yang tidak berkaitan dengan dasar pendidikan tinggi kita. Sekalipun itu hal baru yg menarik, setidaknya itu butuh waktu untuk lebih paham dan menjadi bagian dari pikiran utama kita.

Lalu hal yang bisa dilakukan adalah memulai dengan berpikir positif, membuka pikiran selebar-lebarnya sehingga semakin banyak hal-hal baru yang masuk di pikiran. Karena semua ilmu pada dasarnya adalah baik, dan bermanfaat untuk manusia.

Berpikir tertutup dengan tetap memegang dasar pendidikan yang artinya tidak merelakan adanya ilmu baru bisa diangggap sebagai orang yang egois terhadap ilmu. Tapi sekali lagi, semua butuh waktu. Tidak semudah membalik telapak tangan.

Untuk lebih mudahnya, bisa digunakan dua konsep antara harapan dan ketakutan. Berharap bahwa semuanya untuk masa depan, mencapai tahap-tahap kehidupan selanjutnya. Sedangkan ketakutan kehilangan semua yang sudah di depan mata, menyesal, dan akhirnya harus memulai perjuangan hidup baru lagi.

***

Sudah lima bulan ini, saya mempelajari hal-hal baru tentang oil and gas. Bukan sebagai background saya sebagai seorang industrial engineer, tapi bener-benar dididik untuk bisa menjadi seorang petroleum engineer. Dibandingkan dengan track records pekerjaan sebelumnya, trainee ini tentu saja sangat berbeda secara keilmuan.

Setelah melalui tahap pembelajaran termasuk pengamatan di sebuah lapangan minyak, sedikit demi sedikit mulai tergambar sebuah gambaran lengkap kompetensi technical dalam oil and gas. Dimana secara umum, petroleum engineering terbagi dalam empat bidang kompetensi khusus, yang sangat dekat pembagian tugasnya dengan kondisi oil dan gas mulai di dalam sumur hingga sampai di sales point.

Satu, reservoir engineering (reservoir). Reservoir bertanggung jawab terhadap reservoir (batuan yang mengandung cadangan oil dan gas). Secara singkat, seorang reservoir engineer akan menghitung cadangan dan properties dari oil atau gas tersebut. Dengan peran seorang reservoir engineer, bisa ditentukan produksi sebaiknya dilakukan dengan rate berapa, bertahan berapa lama, lalu kemudian dilakukan enhanced oil recovery (sebuah tahap meningkatkan performa sumur).

Kedua, drilling engineering (drilling). Drilling bertugas melakukan pengeboran ke target depth untuk sebuah sumur eksplorasi (baru untuk mancari oil and gas), atau development wells. Seorang drilling engineer termasuk bagian dalam pekerjaan yang sangat kritis. Dengan melihat apa yang terjadi di Brantas Sidoarjo oleh Lapindo, maka sedemikian kritisnya pekerjaan drilling ini. Masuk ke bagian drilling ini juga operasional treatment yang dilakukan terhadap existing wells yang masuk dalam pekerjaan work over atau well services.

Ketiga, production engineering (production) atau biasa dikenal juga subsurface. Setelah lobang sumur selesai dibor dan oil terbukti ada, maka tugas production lah untuk mengangkat sumur dari resorvoir lalu dialirkan ke stasiun. Pengaliran oil dan gas ini termasuk juga teknik yang dilakukan untuk bisa memproduksi sumur yang bertekanan rendah sehingga dibutuhkan sebuah artificial lift. Artifcial lift ini contohnya berupa gas lift, rod pump (pompa angguk yang sangat khas di oil), atau submersible pump.

Keempat, surface fecilties engineering (surface). Setelah sampai di stasiun, maka oil and gas diolah lanjut. Stasiun disini bukanlah stasiun untuk pengolahan minyak (refinery). Stasiun ini hanya untuk mengolah untuk memenuhi kriteria dari sales. Kriteria ini misal dari aspek water content, salt content, endapan sedimen, dan tekanan uapnya. Jika reservoir setiap saat berhubungan dengan hal-hal di bawah sana yang tidak terlihat, maka surface ini sangat terlihat jelas karena bertanggung jawab pada alat-alat di permukaan dari stasiun hingga pipeline ke sales point.

Sebenarnya ada lagi satu bagian yang tidak dimasukan dalam bagian engineering namun sangat penting, terutama dalam eksplorasi minyak-gas, yaitu bidang geology and geophisic (geoscience). Bidang ini sangat terkait erat dengan batuan, hal di bawah tanah yang sangat interpretatif. Sedangkan engineering ‘bekerja’ setelah oil dan gas terbukti ditemukan (proven). Interface antara geoscience dan engineering adalah reservoir.

***

Orang boleh bilang bahwa oil and gas adalah industri yang paling attraktif dan ‘menjanjikan’. Kebutuhan engineers baru disana selalu ada setiap waktu, dalam tahun hingga mingguan! Untuk masuk kesana pun, tidak hanya dibutuhkan tekad mendapatkan ‘sesuatu yang lebih’ karena itu pun harus dibayar dengan kompetensi yang sangat spesifik pula.

Dan untuk bisa eksis dalam sebuah bidang industri, maka harus masuk dalam core-bussiness nya. Jika masuk industri telekomunikasi, maka orang yang tau telco lah yang bisa ‘menguasai’ bisnis tersebut. Sedangkan di oil and gas, maka orang petroleum (plus suplemen manajerial) lah yang akan bisa eksis disana.

Jadi sekarang, tidak masalah buat saya untuk ‘banting setir’ menjadi seorang (new) petroleum engineer. Di perusahaan yang proud of Indonesia senantiasa dihembuskan sehingga masih bisa proporsional dalam idealis bekerja, maka mencari ilmu baru in ‘a most wanted industrymenjadi hal yang menantang untuk belajar dan belajar.

Saatnya bekerja, menyelesaikan masa trainee ini sebaik-baiknya. Do’akan saya, terima kasih. :)

*Blogging from SMB II, South Sumatra

Saturday, December 22, 2007

Menjelang tidur

"Nak, kamu harus segera tidur. Mamamu sudah dari tadi memintamu untuk segera tidur kan?" kata sang ayah kepada putranya.

"Ayah.., sebentar lagi ya! Ini tanggung bacanya, lagi seru-serunya. kan kata ayah, sehari 50 halaman," si anak sungguh-sungguh menjelaskan kepada ayahnya.

"Iya.. tapi mamamu benar juga nak. besok pagi kamu harus ikut jama'ah shubuh di masjid sama ayah."

"Aku janji deh yah, besok ikut ke masjid. Asal dibangunin..." jawab si anak sambil senyum kecil.

"Oh, baiklah. Sekarang janji ke ayah dulu ya, segera berangkat tidur setelah 50 halaman. Sudah malam nak, mamamu khawatir. Mama sayang sama kamu."

"Ya ayah, aku janji. Tapi ayah jangan bilang ke mama ya, kalau aku belum tidur sekarang." "hmm.., ok. Selamat tidur sayang. Besok pagi kita shubuh ke masjid, ok?"

"Ok yah!"

"Tapi, tapi ayah.." si anak kembali menyahut persis sebelum ayahnya beranjak dari tempat tidur.

"Besok abis shubuh dan mengaji, boleh tidur lagi? Kan libur.. hehe," si anak senyum manja kepada ayahnya.

"lho.. bukanya besok kita mau lari pagi?"

"ya.. setengah jam juga lumayan ayah, membayar malam ini.. hehe"

"Wah, kamu ini yaa. Ssssttt....!" sang ayah berkata sambil menutup jari telunjuk tangannya ke mulut.

"Aku sayang ayah...., " sergap si anak merangkul sang ayah.

"Jangan lupa berdo'a ya. Have a nice dream sayang!"

***
padahal, tidak hanya ibu!
selamat hari ibu..


:)


@ oil field, south sumatera

Monday, December 17, 2007

BCA, Mandiri dan BSM

Apa yang terlintas di pikiran anda saat 3 nama bank sebagai judul diatas? Apakah anda mengira saya akan membandingkan ketiganya? Kurang lebih memang perbandingan namun dari sudut pandang customer ketiganya yaitu BCA, Bank Mandiri dan Bank Syariah Mandiri(BSM), dan khususnya untuk pelayanan tabungan reguler (Tahapan BCA, Tabungan Mandiri, dan Tabungan BSM).

Pertama, tujuan menabung pada dasarnya adalah sebagai cadangan, uang yang siap digunakan sewaktu-waktu. Urusan bunga/interest bisa saja nomor dua, yang penting aman dan mudah dijangkau. Dan bunga yang menarik tentu akan semakin menambah atraktif tabungan tersebut.

Tapi dengan jeli melihat biaya yang dibebankan dibandingkan bunganya, nasabah akan berkerut dahi. Silahkan mengamati data historis tabungan nyata berikut, dengan penyesuaian dan pembulatan tapi dijamin tidak berbeda jauh.

Rp

BCA

Mandiri

BSM

Service

Konvensional

Konvensional

Syariah

Interest % *

2.0%

2.25%

Profit Sharing

Min Balance Interest

Rp 1,000,000

Rp 500,000

-

Adm Fee

Rp (10,000)

Rp (7,000)

Rp (5,000)

Account ±

Rp 5,100,000

Rp 5,200,000

Rp 5,400,000

Interest ±

Rp 8,500

Rp 9,000

Rp 24,000

Balance ±

Rp (1,500)

Rp 2,000

Rp 19,000

Min Account to 0 Balance

Rp (6,000,000)

Rp (3,734,000)

Rp 1,500,000

*BCA; 1-10 juta(2%), 10-100 juta(2.5%), 100-1000 juta(3%), >1 M (4%)
Mandiri; 0.5-5 juta(2.5%), 5-50(3.25%, 50-100 (3.5%), 100-500(3.75%), 500-1000(4%), > 1 M (4.25%)
BSM; profit sharing (40% nasabah: 60% bank)

Dengan ‘hanya’ menyimpan 5 jutaan uang di BCA, beban > bunga artinya nasabah rugi. Di Mandiri relatif ‘lebih manusiawi’, dan BSM jauh lebih manusiawi. Jika ingin tidak rugi, setidaknya nasabah harus menyisakan uang di BCA 6 juta, Mandiri 3,75 juta sedang BSM sekitar 1,5 juta (karena BSM berbasis nisbah/bagi hasil, maka jumlah tersebut pendekatan terpercaya).

Lalu jika nasabah melihat range skema return yang ditawarkan, terlihat bahwa BCA menerapkan ‘reward’ lebih kepada si kaya, dengan batas bawah bunga 1 juta. Mandiri pun demikian (batas bawah 0.5 juta) namun tidak ‘sepelit’ BCA, sedangkan BSM semuanya sama (minimal saldo tabungan 50 ribu).

Di BCA atau Mandiri, nasabah yang tidak elligible dimana kurang dari 1 juta di BCA atau 0.5 juta di Mandiri, maka harus siap menhitung hario mengingat uangnya akan semakin habis membayar biaya admin. Di BSM pun pada dasarnya juga sama ketika dana kurang 1.5 juta dimana return lebih kecil admin cost, namun tingkat percepatan tergerusnya uang tidak ‘secepat’ BCA atau Mandiri.

Bagaimana dengan nasabah yang super kaya? dimana tabunganya kurang 1 M? Saya belum melakukan simulasi, terutama dengan rekening BSM saya yang ‘terbatas’. Namun dengan hitungan sederhana diatas, jika di angka 5 jutaan saja return-nya bisa 2.5 kali lipat, maka kenaikan bunga dari 2.5% (untuk tabungan 5 jutaan) ke 4.25% (tabungan lebih besar 1 M, interest terbesar dari Mandiri) hanya 1.7 kali, jelas tidak sebanding dengan perbedaan antara Rp 24,000 dan Rp 9,000 yang 2.7 kali!

Ok, untuk alasan hitung-hitungan keuangan sederhana diatas nasabah yang jeli sebenarnya akan tahu kemana harus mempertimbangkan penempatan dananya. Tapi ada filosof, high pain high gain, low gain low pain. Nasabah ‘dibiarkan’ punya return rendah tapi mendapatkan pelayanan terbaik. Mari kita lihat tabel berikut.

BCA

Mandiri

BSM

ATM^

Banyak

Banyak

Terbatas, di Mandiri ambil free

Cash-in

Cabang banyak

Cabang banyak

Cabang terbatas (kota besar)

ATM setor

-

-

Merchant

Sangat banyak

Banyak

Minim (via Mandiri)

Services

Beragam banyak

Beragam banyak

Mulai berkembang

M - Banking

Ya, SMS Based

Ya, SMS Based

Ya, Application Web Based

Net Banking

Ya

Ya

Ya

^Banyaknya jaringan ATM yang saling terhubung membuat kendala ini tidak sangat signifikan (penambahan pengambilan uang non-ATM sendiri 5 ribu per transaksi)

Dari tabel pelayanan diatas, harus jujur diakui jika BCA sebagai bank dengan pelayanan perbankan terbaik. Menyusul Mandiri yang mulai menyaingi BCA, baru kemudian BSM sebagai salah satu bank terbaik di sektor syariah.

Namun untuk beberapa bidang layanan, semuanya tidak bisa dipukul rata BCA atau Mandiri sebagai terbaik. Untuk mobile-banking, terbukti BSM sebagai bank yang menggunakan application web based sehingga tampilan program (yang sudah didownload saat registrasi) di Hp nasabah mirip seperti halnya menu-menu di ATM. Sedangkan BCA atau Mandiri, masih sms based dimana nasabah harus mengirimkan sms ke sms center baru kemudian transaksi akan diproses. Secara biaya, BSM dan Mandiri sama-sama memberikan Rp 500 per transaction request.

Jika BSM sudah mampu memberikan layanan mobile yang lebih mudah, maka praktis semua layanan perbankan-nya bisa lebih mudah via Hp (atau via Net-banking BSM). Memang ada biaya, tapi biaya itu tidaklah sebanding dengan high return, kemudahan m-banking, dan mobile cost yang sama. Sedangkan untuk pengambilan ATM tunai bisa dilakukan dengan gratis di ATM Mandiri. Hanya mungkin jaringan merchant, dan branch-nya yang kalah jauh dibanding rivalnya disini, BCA atau Mandiri.

***

Akhirnya setelah melihat analisis diatas, ujung-ujungnya akan kembali lagi ke nasabah akan ditempatkan dimana uang tabungannya. Sebagai bahan pertimbangan, ada setidaknya 2 hal yang sebaiknya harus kita perhatikan dalam menentukan penempatan uang.

1. Fungsi tabungan
Tabungan difungsikan sebagai apa? Jika kita berbisnis dan membutuhkan bank yang punya jaringan dan pelayanan luas, maka peran bank-bank besar tetaplah harus digunakan. Jadi, bisnis tetaplah bisnis.

2. Tujuan Tabungan
Dalam rangka apa kita menabung? Jangka panjang untuk investasi-kah, atau sebagai intermediasi finansial lainnya misalkan KPR, Reksadana atau Kredit Mobil? Dengan tahu tujuan jangka panjang sebuah tabungan, maka kita bisa memberikan perlakuan sesuai dengan tujuannya tersebut. Misalnya bank sebagai alat mediasi investasi di saham atau reksadana, maka harus dipilih bank yang mempunyai program reksadana menarik misalnya Mandiri.

Lalu, bagaimana dengan BSM dengan high return-nya? Maka saran saya untuk menempatkan alokasi keuangan yang benar-benar tabungan disana. Pun kita masih bisa melacaknya dengan baik via fasilitas yang disediakan. Tabungan kita bisa saja dibanyak tempat, karena pertimbangan teknis. Namun, pasti ada satu rekening yang benar-benar menjadi tabungan kita. Apalagi dengan kombinasi pertimbangan syariah dan teknis, maka kita pun lebih bisa menyusun susunan bank yang kita gunakan.

Jika sudah punya planning dan kuasa atas tabungan-tabungan kita, tahapan selanjutnya controlling terhadapnya. Biasanya ini yang lebih sulit karena ketersediaan uang cash yang cukup di tabungan. Tapi dengan pengelolaan keuangan yang baik, kebocoran bisa ditanggulangi.

Selain itu pun, ada kendala nonteknis yang tampaknya tidak terlihat tapi cukup signifikan, yaitu perilaku ‘pasangan’ kita. Tapi untuk yang satu ini, saya tidak bisa memberikan banyak pendapat. :)

Monday, December 10, 2007

Di balik jendela

Jika kau melintas disana
Kau akan melihat sosoknya
Antara ada dan tiada
Di balik secarik renda
Terbungkus tutup kepala

Seorang yang menatap
Di balik jendela gelap

Menoleh sejenak kesana
Sebelum surau terbuka

Ingin hati berkata
Jangan kau kirim asa
Seorang yang terlihat disana

Karena seorang pun tahu
Ada kisah jauh menunggu
Untuk sebuah rindu

Hingga itu
Di batas waktu

Monday, November 26, 2007

Antara harapan dan ketakutan

Apa yang membedakan antara dua kondisi berikut?

Pertama, saat menginginkan sesuatu hal maka dengan berpikir tentang hal itu dan kebahagian yang didapatkan bila mendapatkannya, maka seseorang mempunyai harapan untuk mendapatkan sesuatu tersebut.

Kedua, saat menginginkan sesuatu hal maka dengan berpikir tentang kejadian buruk yang akan menimpa bila hal itu tidak didapatkannya, maka seseorang mempunyai ketakutan sehingga berusahan mendapatkan sesuatu tersebut.

Dilihat dari hasil (result), dua hal itu sama bukan? Dan memang pada dasarnya saat menginginkan sesuatu, kita bisa berharap kebahagian karenanya atau karena takut kehilangan darinya. Misalnya, saat mengingnkan memasuki perguruan tinggi atau perusahaan yang diidamkan, maka harapan yang dibangun adalah kesempatan yang lebih besar dan kebanggan keluarga, sedang ketakutannya bisa tidak menghambat milestone hidup berikutnya serta dicitrakan tidak mampu.

Tentang harapan, Imam Al-Ghazali memberikan tiga tipe harapan yang dibangun oleh manusia yang diceritakan dalam kisah seorang petani:

1. Seorang petani yang menanam padi pada masam tanam. Kemudian berharap bahwa pada masa panen tanaman itu akan memberikan hasil baiknya. Namun petani itu tidak mau merawat dan memelihara tanaman untuk mendapatkan hasil baik tersebut. Maka petani ini termasuk golongan pengkhayal.

2. Seorang petani yang menanam padi bukan pada masa tanam (bukan penghujan), dan dia berharap bahwa hujan yang sangat tidak pasti itu akan turun sehingga hasil tanamnya baik. Maka ketidakpastian yang didapat petani tersebut. Dan petani ini termasuk dalam golongan penjudi.

3. Seorang petani yang menanam padi di musim tanam, lalu merawat tanamannya itu dan kemudian berharap bahwa hasil tanamnya akan baik.

Dari ketiga golongan petani diatas, harapan yang sesungguhnya adalah milik petani ketiga. Harapan yang telah disertai dengan pemikiran dan usaha yang maksimal. Bukan khayalan atau perjudian.

Sedangkan ketakutan, ada pandangan dari Anthony Robbins yang melakukan penelitian terhadap harapan (hope) dan ketakutan (fearness) sebagai daya yang mendorong manusia dalam melakukan sesuatu, ternyata faktor karena ketakutan itulah yang lebih tinggi tingkat pencapaiannya (achievement).

Misalnya, pada sebuah malam seorang harus mencari uang untuk dapat membayar sekolah besok. Maka membayangkan kebahagiaan dan masa depan yang akan dicapai anaknya dengan sekolah itu adalah pendorong utama pencarian uang dalam semalam itu. Pada kasus yang sama, pendorong utama mencari uang adalah karena ketakutan jika anaknya tidak bisa bersekolah maka hilanglah masa depannya.

Ternyata diantara dua tipe pendorong tersebut, manusia lebih efektif bila terdorong oleh tipe kedua yaitu karena ketakutan. Dengan membayangkan ketakutan-ketakutan, hal-hal negatif yang akan didapatkan bila tidak mencapai sesuatu keinginan itu, maka semangat mencapainya akan lebih besar. Praktisnya, dengan mendaftar ketakutan yaitu kemungkinan-kemungkinan buruk apa saja yang mungkin terjadi bila kesempatan yang tidak datang setiap saat itu lepas.

Bila dikaitkan dengan budaya, apa yang dikatakan Robbins mungkin terlihat sangat Barat. Karena budaya Timur cenderung mengajarkan bahwa berpikir positif atau membayangkan hal-hal positif itu lebih baik daripada berpikir yang negatif, atau kemungkinan buruk.

Tapi sebenarnya dalam risalah Islam sendiri, berpikir kemungkinan negatif inipun telah dilakukan Rasul Muhammad saat menghadapi perang besar pertama dengan kaum Quraisy, yaitu Perang Badar. Dengan jumlah yang hanya 313 menghadapi 1000 maka saat itu Muhammad berdo’a kepada Allah SWT, kurang lebih menyatakan bahwa jika kaum kafir berhasil mengalahkan mereka sampai tiada tersisa, maka tidak akan ada lagi umat manusia di dunia ini yang akan menyembah Allah. Dan atas izin-NYA, perang itu dimenangkan kaum muslim.

Jadi sebenarnya, antara harapan dan ketakutan seperti sepasang sayap yang sama-sama digunakan untuk meraih sesuatu. Keduanya bisa digunakan, dan tidak perlu anti untuk memanfaatkan keduanya. Bisa jadi dengan memakai dua sayap utuh, terbang itu pun akan semakin tinggi dan tinggi.

Mari kita mencobanya.

Wednesday, November 21, 2007

Opportunity lost, yang selalu terlupa

Setiap kejadian dalam kehidupan kita, ujung-ujungnya selalu saja memunculkan respon antara positif dan negatif, antara suka dan tidak, antara kemauan dan realita. Tidak ada yang dalam posisi di tengah-tengah, selalu saja setidaknya menimbulkan kecenderungan.

Jika yang diterima itu adalah sesuatu yang baik, sudah barang asti tidak ada lagi yang perlu diributkan. Namun jika itu adalah hal yang tidak baik, tidak beruntung, atau keburukan pasti hati kecil pun akan mengatakan tidak menghendaki kondisi tersebut.

Dalam kondisi yang kurang baik itulah, kita seringkali lebih mengedepankan aspek yang lebih tampak (tangible) berupa materi atau uang, padahal ada aspek lain yang tidak tampak (intangble) yang dinamakan opportunity lost.

Opportunity lost (OL) secara bebas adalah hilangnya kesempatan lain (yang diharapkan lebih baik) karena suatu kejadian sebenarnya yang tidak dikehendaki. Itulah opportunity lost, yang secara langsung akan menyebabkan adanya opportunity cost (OC) sebagai ‘bentuk’ kalkulasi perkiraan kerugian yang diderita. Dan tampaknya, tidak semua orang tidak sadar bahwa sebenarnya OC ini lebih besar daripada biaya-biaya tampak.

Kejadian OL ini misalnya, saat kehilangan semua data di laptop karena format yang salah dalam rencana servis, maka kesempatan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih baik jika data itu masih ada pun menjadi hilang. Ini bukan tentang jumlah uang 1-2 juta untuk biaya tangible servis dan upaya recovery data (yang seolah-olah ‘useless’) sebesar, tapi ini tentang OC yang priceless.

Dengan data yang masih ada, sumber serta bahan tulisan masih sangat banyak sehingga frekuensinya tidak terganggu. Apalagi histori data sejak mulai mengenal komputer. dari Dengan format yang dijadwalkan lancar-lancar saja, maka akan ada banyak waktu untuk silaturahim kepada kawan yang mulai tinggal se-kota, atau berkunjung ke kota sebelah yang akhirnya batal karena 10 hari waktu ‘terbuang’ mengurus servis tersebut.

Bersikap realistis, legowo, dan sedikit menghibur diri (toh masih ada barang yang lain!) mungkin bisa mengobati. Tapi sejujurnya, manusia tetap akan berat menghadapi kondisi lost macam itu. Yang menimbulkan opportunity cost dan menghilangkan kesempatan lain yang lebih baik.

Jika ingin menyesal, marah kepada orang lain, atau menangisi nasib diri sendiri bisa saja hal itu dilakukan. Tapi tetap, hal itu tidak akan mengembalikan semua opportunity lost. Akhirnya sekarang, hikmah yang didapatkan dan mengusahakan tindakan preventif sehingga kemungkinan kejadian di masa depan tidak ada. Karena kesempatan dan waktu sangat berharga, priceless.

Seperti pepatah, kesempatan yang sama belum tentu datang dua kali. Tidak perlu menyesal diri karena hilangnya sesuatu karena risalah Islam mengajarkan, cukuplah barang dunia digenggam di tangan tapi tidak dimasukan di hati. Dan selalu menghargai kesempatan (waktu) seperti kata Nabi, dua rezeki yang manusia sangat sering lupa mensyukurinya, kesehatan dan waktu.

Jadi sekarang, mari selalu berusaha bertindak disertai rencana matang dengan banyak kemungkinan, sehingga mudah-mudahan semakin sedikit kemungkinan opportunity lost yang kita dapatkan.

Sunday, November 04, 2007

3 karakter perempuan Jawa, masih adakah?

Dari masa tumbuh hingga besar di Jawa, ada tiga karakter yang saya tangkap dari umumnya perempuan jawa itu.

1. Tangguh, bekerja keras, pantang menyerah
Karakter ini bisa terlhat jelas di pedesaan jawa, sangat banyak (mungkin semua) perempuan jawa bekerja membantu kehidupan keluarga di sawah, rumah sendiri atau rumah orang lain. Parameter bekerja aadalah menghasilkan (earning) dan cukup bisa membagi waktu untuk keluarga. Ketangguhan dan pantang menyerah terhadap tujuan hidup untuk perempuan jawa modern sekarang mungkin bisa dilihat dengan banyaknya yang merantau keluar daerah seorang diri untuk bekerja atau pendidikan.

2. Hemat, tidak matre, mau hidup susah
Relatif mementingkan hal yang lebih besar dan jangka panjang daripada penampilan sesaat. Tidak berlebihan dalam bersolek sesuai dengan kondisi sosial-ekonominya, lebih memilih rumah yang cukup daripada memaksakan diri punya mobil, hemat sekaligus siap segala sesuatu yang menyusahkan, serta mau berjuang hidup bersama dengan kondisi pas-pasan.

3. Penurut, setia, lembut
Menurut apa kehendak laki-laki (dan memang cenderung inferior atau justru bisa dilihat sebagai bentuk menghargai laki-laki), tidak menuntut, dan lemah lembut (konon apalagi untuk perempuan Solo). Ada ‘kurang baiknya’ juga mungkin, dimana banyak poligami dilakukan oleh laki-laki jawa (hanya kemungkinan melihat statistik minimal 50% penduduk Indonesia adalah Jawa). Ingat Ayam Bakar Wong Solo, kata sebuah sumber penjualannya di sebuah kota di non-jawa) merosot (sekarang tutup?) karena ‘aksi boikot’ yang dilakukan oleh ibu-ibu di kota tersebut. Terlepas dari poligami, disini hanya melihat dari sisi penurutnya.

Tiga hal diatas pun sesuai dengan Ranggawarsita yang terbahas sedikit di sebuah buku tentang 3 watak perempuan yang menjadi pertimbangan laki-laki, yaitu:

Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati. Untuk pasangan yang terpisah jarak, seorang teman yang sudah menjadi istri pernah di nasehati untuk selalu patuh dengan kehendak suami, tentu dalam hal yang tidak bertentangan norma. Sudah terpisah jarak dan tidak setiap hari bertemu, masa harus disertai perselisihan yang tidak pokok.

Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?

Watak Gemati, penuh kasih. Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli dan cepat atau pembantu, apalagi untuk perempuan kerja zaman sekarang, tapi tetap masakan sendiri yang tidak tiap hari adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).

Tiga karakter yang baik dan sebenarnya tidak hanya bagus untuk dilekatkan dengan perempuan Jawa. Karena setiap laki-laki rasa-rasanya akan menyenangi karakter-karakter diatas.

Dan di era ini, bukan asal (suku) yang jadi masalah tapi karakter tersebut. Karena pun harus diakui tidak semua perempuan jawa mempunyai semua karakter diatas. Berkaitan dengan hal itu, saya sempat menemukan sebuah syair bagus yang dibuat oleh seorang perempuan jawa zaman ini untuk merepresentasikan kondisi tersebut (namun maaf, saya lupa dari mana sumber penulisnya). Jadi sekarang, semua kembali pada kita.

wanita Jawa itu,

ngerti tata-krama..
unggah-ungguh,
lemah lembut,
pemalu,
pantang menyerah,
pembaharu,
dan
setia

tapi aku juga seorang wanita jawa

Sunday, October 21, 2007

Menanggalkan ‘status mahasiswa’

Menarik sebuah golongan dalam masyarakat yang dinamakan Mahasiswa. Golongan ini mempunyai keunikan karakter, aktivitas hingga pola hidup. Di satu sisi secara strata pendidikan, mahasiswa termasuk dalam bagian pendidikan yang tinggi atau bagian kaum terpelajar. Namun dalan strata sosial, mahasiswa pun sebenarnya masih bisa digolongkan dalam masyarakat tak bekerja alias pengangguran.

Dalam dualisme pola pandang tersebut, kehidupan mahasiswa selalu lebih khas dibandingkan anak SMU yang lebih terkesan ‘ABG’, atau dibanding para karyawan muda yang terpaksa harus dimasukan dalam bagian ‘mapan’.

Sebagai bagian kaum terpelajar, mahasiswa sering menyebut dirinya bagian dari gerakan moral masyarakat, yang non kepentingan kecuali kepentingan rakyat. Sebagai pembela rakyat atau setidak-tidaknya mempunyai nurani kerakyatan. Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dalam kehidupan harian mahasiswa sendiri yang penuh ‘perjuangan’. Mulai dari tempat tinggal (idiom dengan anak kost), makanan ‘secukupnya’, atau setidaknya pola pikir yang ingin hemat sehemat-hematnya.

Namun dengan dualisme ini pula sebenarnya mahasiswa menjadi pembatas, perekat atau bahkan penghubung antara golongan ‘atas’ dengan ‘bawah’. Percaya atau tidak, status mahasiswa menjadikannya mudah diterima dimana dia pergi. Mulai dari Gedung DPR hingga perumahan kolong jembatan. Dengan status itu pula, yang seringkali digunakan untuk tetap mendapatkan ‘harga pelajar’ saat menggunakan sarana umum, seperti trasnportasi yang biasa terjadi di Jogjakarta.

Oleh karenanya, status mahasiswa bisa dikatakan sebagai status fleksibel. Saat dibutuhkan untuk naik dalam ‘strata atas’,maka ia pun bisa dengan leluasa melakukannya. Apalagi bila untuk merakyat bersama ‘strata bawah’, maka mahasiswa bisa seolah menjadi ‘dewa’ yang peduli akar rumput.

Status itu juga percaya atau tidak juga mempengaruhi pola pikir, pembangunan karakter bahkan hingga perilaku. Karena mahasiswa itu fleksibel, cenderung bebas,maka para mahasiswa pun cenderung ‘seenaknya sendiri’ dengan kurang melihat situasi, atau dalam bahasa halusnya ekspresif.

Dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, hal itu tentu saja sangat baik untuk menumbuh-kembangkan kreatifitas dan keberanian menembus kejumudan. Namun dalam kehidupan pasca kampus, tidak semua ‘hal ekspresif’ itu bisa tetap dipelihara karena harus lebih melihat kondisi lingkungannya.

***

Saya sendiri mengalami hampir semua masa yang digambarkan diatas dengan cukup. Karena enaknya menggunakan status mahasiswa itu, sempat membuat saya sering memakainya sekalipun gelar sarjana sudah tersematkan.

Saat berbicara dengan sopir mikrolet di Jakarta yang berasal dari Bandung, maka tanpa sengaja ‘status’ itu yang lebih dikedepankan daripada mengatakan sebenarnya saya sudah lulus (saya tidak berbohong, hanya mengatakan bahwa saya kuliahnya di Bandung). Saat dalam perjalanan pun pernah saya lebih nyaman untuk mengatakan ‘kuliahnya di Bandung’ daripada jujur mengakui bahwasanya saya seorang karyawan.

Hingga sekarang, satu tahun selesainya status mahasiswa itu, akhirnya saya harus memutuskan untuk berusaha menanggalkan ‘status’ itu. Bukannya saya tidak ingin berlama-lama dengan status yang menjadikan saya bisa lebih fleksibel, namun semata-mata karena ada beberapa hal ‘paradigma mahasiswa’ yang tidak sesuai diterapkan di lingkungan baru (baca: kerja) saya.

Gaya ‘bebas’ versi mahasiswa harus dibenturkan dengan office-netiket. Budaya ‘ekspresif’ khas mahasisawa harus berhadapan dengan sopan santun. Mulai baju yang rapi dengan kancing kerah terpasang jika ada hingga budaya makan di acara bersama. Dari sikap bicara asertif dengan orang hingga cara mengajukan pertanyaan. Ada baiknya karena harus mulai berbudaya ‘beradab’. Tapi tetap saja, selalu ingin sebagian karakter mahasiswa yang dipertahankan.

Mungkin salah satu fase adaptasi yang sederhana adalah dengan lebih jujur mengatakan status pekerjaan saat bertemu dengan orang, dalam perjalanan atau di transportasi umum. Dan mulai sekarang, semoga saya bisa melakukannya, mengatakan sejelasnya bahwa sudah bekerja, saya adalah karyawan di sebuah perusahaan swasta. Dengan begitu setidaknya saya ‘tidak berdusta’ (sekalipun sulit juga untuk dikatakan ‘jujur’).

Dan tidak lupa dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa saya sudah berpenghasilan. Bukan untuk apa-apa, hanya menyakinkan diri sendiri sehingga 'mental mahasiswa' yang selalu mengharapkan gratisan itu mulai berubah. Namun bukan berarti pula semua harus diukur dengan materi. Hanya semoga dengan kesadaran sudah berpenghasilan itu, ada lebih kesadaran untuk berbagi dan berpikir dewasa.

Lalu mengenai beberapa pola hidup harian yang masih ingin menggunakan ‘pola dan gaya mahasiswa’, saya tak perlu lelah memikirkannya. Saya menikmati hidup yang seperti ini, yang bisa ‘ke atas’ tapi juga bisa ‘ke bawah’. Saya hanya berusaha untuk wajar, tidak berlebihan. Karena bukankah hidup itu sendiri adalah naik-turun yang kita sendiri tak pernah bisa memprediksinya? Hidup bersahaja, mungkin itu kuncinya.

Note:
Karena si empunya harus ke field di daerah Sumatera Selatan, maka selama 3 minggu blog ini akan hiatus. Silahkan menikmati blog sederhana ini. Do’akan baik-baik saja, terima kasih.

Tuesday, October 16, 2007

Khadijah, True Love Story

Perempuan mulia istri Rasulullah Muhammad Saw, Khadijah, menjadi pendorong, penyokong utama di masa-masa awal dakwah Islam. Kisah Muhammad dan Khadijah sebagai sepasang suami-istri istimewa menjadi dasar terbitnya buku yang inspiratif ini, Khadijah The True Love Story of Muhammad.

Cerita tentang kisah hidup mereka dimulai dengan latar belakang kondisi masing-masing, Muhammad sebagai ‘anak angkat’ Abi Thalib pamannya sedangkan Khadijah adalah seorang janda yang mempunyai kerajaan bisnis besar. Singkat kata, Khadijah mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjalankan misi dagangnya, hingga akhirnya diputuskanlah Muhammad, orang terpercaya (Al-Amin) dimana Khadijah sudah memberi perhatian khusus kepadanya.

Misi dagang berhasil dan pembantu yang disertakan dengan Muhammad menceritakan kepada Khadijah tentang kebaikan karakter Muhammad yang semakin membuat Khadijah mantap untuk menjadikan Muhammad sebagai pendamping hidup. Maka diutuslah pembantu Khadijah untuk bertanya kepada Muhammad tentang rencana Khadijah tersebut.

Muhammad tahu diri, dibandingkan Khadijah yang terpandang sebagai perempuan saudagar, Beliau bukan apa-apa. Tidak ada terpikir dalam diri Muhammad untuk menikah dengan Khadijah karena Muhammad tidak mempunyai banyak hal untuk dijadikan sebagai mahar. Namun secara prinsip, Muhammad tidak menolak kemungkinan tersebut karena Khadijah adalah perempuan mulia yang bisa menjaga dirinya, dermawan dan teguh memegang moral agama Ibrahim.

Dan diundanglah Muhammad untuk datang ke rumahnya. Akhirnya, Khadijah sendiri yang menyatakan keinginan untuk meminang Muhammad sebagai suaminya. Muhammad menerima, maka menikahlah keduanya dalam usia Muhammad 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.

Hari-hari kehidupan Khadijah-Muhammad pun berjalan. Muhammad sebagai kepala rumah tangga sekaligus pemimpin bisnis, Khadijah sebagai istri yang mendukung suaminya. Dan lahirlah putri-putri Rasulullah (Allah mentakdirkan Muhammad tidak mempunyai putra yang berumur panjang).

Selain tentang kehiidupan keluarga Muhammad-Khadijah, buku ini lebih banyak berbicara tentang sirah (sejarah) kerasulan Muhammad mirip halnya buku sirah lainnya. Hal ini tentu tak lepas karena kehidupan keluarga selalu menyertai kisah kenabian, usai diangkatnya Muhammad sebagai Rasul di usia 40 tahun.

Sedikit tentang keislaman sahabat, perjuangan dakwah Islam, hingga masa hijrah. Sehingga pembaca pun akan diberikan penjelasan cukup tentang kisah dakwah Rasulullah Muhammad Saw sendiri. Namun tetap, pembahasan selalu dikaitkan dengan peran keluarga (Khadijah) dalam mendukung dakwah Muhammad.

Buku ini diakhiri dengan keistimewaaan-keistimewaan Khadijah, dimana Allah sampai memberikan salam khusus kepadanya yang disampaikan kepada Muhammad melalui Jibril. Kepada Aisyah (Istri yang paling disayangi Rasul sepeninggal Khadijah) Muhammad mengatakan bahwa Khadijah tiada tergantikan, sehingga sering membuat Aisyah cemburu. Khadijah, dengan kelembutan hati, kesabaran, karakter mengayomi telah menyokong, mendampingi Muhammad di masa-masa awal Islam. Tidak hanya sebagai istri dan partner, Khadijah juga memberikan kasih sayang Ibu mengingat Muhammad sudah yatim piatu sejak umur 6 tahun.

Jika kisah cinta Muhammad-Khadijah bagaikan ‘kisah ideal’, maka di bagian paling akhir juga disertakan sekelumit kisah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah bin Muhammad yang ‘lebih membumi’. Keduanya dipersatukan dan sangat dicintai Rasul. Ada kemuliaan, namun ada juga kesahajaan. Ada kesejatian, tapi juga ada kecemburuan. Dari Ali-Fathimah, Muhammad mendapatkan 2 cucu yang sangat dicintai beliau, Hasan dan Husain.

Membaca buku ini, akan banyak hal ‘manusiawi’ kehidupan yang menyertai perjuangan awal dakwah Islam. Semua yang dibahas dalam buku ini tentu sangat berbeda dengan kondisi zaman sekarang. Namun pesan kehidupannya selalu sama, karena manusia kapan dan dimanapun mempunyai akal dan perasaan. Dengan pesan inilah, Muslim zaman sekarang harus berusaha mengejawantahkannya. Dengan contoh yang paling baik, semoga juga dihasilkan keluarga yang baik di zaman ini.

Hal yang ‘cukup unik’, sampul buku ini tertulis label ‘100% untuk wanita’. Namun tentu tak ada salah jika dibaca oleh para laki-laki. Karena dalam keluarga, bukankah keduanya harus saling mendukung? Karena di balik suami yang hebat, selalu ada perempuan hebat di belakangnya. Pun sebaliknya. Selamat membaca, belajar dari kehidupan cinta Khadijah, Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

Tuesday, October 09, 2007

Jakarta mencari Keimanan

Penatnya kehidupan ibukota menjadikan Ramadhan di Jakarta sangatlah khas. Ramadhan yang dikampanyekan sebagai bulan suci, membuat Jakarta berbenah sesaat sebelum memasukinya.

Jakarta khusus mencari identitas baru untuk ramadhan. Maka pub,klub dan karaoke ditutup atau izin malamnya dibatasi, ‘wanita malam’ ditertibkan, razia miras-narkoba-judi, hingga para pejabat pun memulas diri untuk ramadhan.

Saat ramadhan pun, praktis semua kehidupan Jakarta berjalan seperti biasanya. Normal di siang hari dengan aneka kemacetan, ramainya mal,sibuknya kantor serta tetap teriknya jalanan atau bahkan banyaknya orang makan-minum di tempat umum seperti biasanya. Ramadhan di Jakarta baru kemudian terasa saat menjelang bedug berbuka, waktu tarawih atau sahur.

Bukan Jakarta namanya, jika suasana itu berada di banyak sudut Jakarta dengan berbagai macam variasi. Buka puasa bersama di kafe atau restoran tanpak jauh lebih banyak di bandingkan di masjid. Kumpulan orang-orang di tempat nongkrong atau di kemacetan jalan jauh lebih banyak daripada yang menunaikan Tarawih. Hanya sahur mungkin, yang lebih banyak orang melakukannya dengan ‘khusyu’.

Tapi akhir-akhir ini, budaya sahur on the road konon lebih parah menggejala dibanding ramadhan tahun lalu. Sekarang tidak hanya orang berlomba memberikan ta’jil gratis, namun Jakarta telah mulai menambahkannya dengan sahur gratis. Salah satunya di sepanjang jalan antara Tendean - Blok M, setiap sahur akan banyak pembagian makanan yang dilakukan mulai dari partai politik hingga klub sepeda motor.

Hingga 10 hari tarakhir ramadhan pun, Jakarta masih berkutat pada identitas yang tak kunjung ada. Sudah mulai surut bulan, beban pekerjaan seperti tak mau ditinggal untuk diganti dengan keutamaan 1000 malam, shaf-shaf Tarawih dan Subuh semakin saja tergerus, pusat-pusat belanja kekurangan ruang bernafas, dan energi hidup pun mulai mengarah pada ritual silaturahim lebaran.

Namun, ada sebagian tempat di sudut Jakarta yang tetap pada usaha mencari keimanan ramadhan. Dan ternyata tidak sedikit orang yang melakukannya. Ribuan orang berkumpul, di satu tempat untuk mengejar yang dijanjikan tentang Malam Utama. Tidak hanya berkumpul untuk satu malam, ada sangat banyak orang (bahkan keluarga!) yang berpindah tinggal di Masjid itu, Masjid At-Tien, untuk beberapa malam dalam 10 hari terakhir.

Ribuan orang, rela berbagi lantai merebahkan diri sejenak sebelum bangun di tengah malam, kemudian berdesakan untuk menyucikan diri.

Ribuan orang bangun di malam hari, terisak menyadari kesalahan, menutup wajahnya karena malu atau memohon ampunan dari-Nya.

Kemudian ribuan orang duduk bersama di taman pelataran masjid, menikmati jamuan sahur bersama keluarga atau saudara seiman, sembari menikmati temaram sabit dan bintang malam.

Dibandingkan dengan lebih dari 10 juta populasi Jakarta, jumlah 2000 mungkin tidaklah seberapa. Apa yang dilakukan sejumlah orang malam itu mungkin masih belum cukup menghapus besarnya beban dosa yang harus ditanggung bersama.

Tapi dengan orang-orang yang seperti itulah, sangat mungkin yang membantu untuk membuat Jakarta aman, berkurang laknat Allah akibat kezaliman yang merajalela, dan akhirnya Jakarta masih mampu menjadi tumpuan hidup Bangsa Indonesia.

Dalam Ramadhan Jakarta mencari identitas Islam, Jakarta mencari keimanan. Semoga setelah Ramadhan, kerasnya Jakarta menjadikan makin banyak orang mendekat diri pada Sang Pemberi Kehidupan dan berempati untuk Jakarta yang lebih akrab.


Selamat Idul Fitri 1428 H,
Taqabalallahu Minna Wa Minkum
Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian