Monday, November 26, 2007

Antara harapan dan ketakutan

Apa yang membedakan antara dua kondisi berikut?

Pertama, saat menginginkan sesuatu hal maka dengan berpikir tentang hal itu dan kebahagian yang didapatkan bila mendapatkannya, maka seseorang mempunyai harapan untuk mendapatkan sesuatu tersebut.

Kedua, saat menginginkan sesuatu hal maka dengan berpikir tentang kejadian buruk yang akan menimpa bila hal itu tidak didapatkannya, maka seseorang mempunyai ketakutan sehingga berusahan mendapatkan sesuatu tersebut.

Dilihat dari hasil (result), dua hal itu sama bukan? Dan memang pada dasarnya saat menginginkan sesuatu, kita bisa berharap kebahagian karenanya atau karena takut kehilangan darinya. Misalnya, saat mengingnkan memasuki perguruan tinggi atau perusahaan yang diidamkan, maka harapan yang dibangun adalah kesempatan yang lebih besar dan kebanggan keluarga, sedang ketakutannya bisa tidak menghambat milestone hidup berikutnya serta dicitrakan tidak mampu.

Tentang harapan, Imam Al-Ghazali memberikan tiga tipe harapan yang dibangun oleh manusia yang diceritakan dalam kisah seorang petani:

1. Seorang petani yang menanam padi pada masam tanam. Kemudian berharap bahwa pada masa panen tanaman itu akan memberikan hasil baiknya. Namun petani itu tidak mau merawat dan memelihara tanaman untuk mendapatkan hasil baik tersebut. Maka petani ini termasuk golongan pengkhayal.

2. Seorang petani yang menanam padi bukan pada masa tanam (bukan penghujan), dan dia berharap bahwa hujan yang sangat tidak pasti itu akan turun sehingga hasil tanamnya baik. Maka ketidakpastian yang didapat petani tersebut. Dan petani ini termasuk dalam golongan penjudi.

3. Seorang petani yang menanam padi di musim tanam, lalu merawat tanamannya itu dan kemudian berharap bahwa hasil tanamnya akan baik.

Dari ketiga golongan petani diatas, harapan yang sesungguhnya adalah milik petani ketiga. Harapan yang telah disertai dengan pemikiran dan usaha yang maksimal. Bukan khayalan atau perjudian.

Sedangkan ketakutan, ada pandangan dari Anthony Robbins yang melakukan penelitian terhadap harapan (hope) dan ketakutan (fearness) sebagai daya yang mendorong manusia dalam melakukan sesuatu, ternyata faktor karena ketakutan itulah yang lebih tinggi tingkat pencapaiannya (achievement).

Misalnya, pada sebuah malam seorang harus mencari uang untuk dapat membayar sekolah besok. Maka membayangkan kebahagiaan dan masa depan yang akan dicapai anaknya dengan sekolah itu adalah pendorong utama pencarian uang dalam semalam itu. Pada kasus yang sama, pendorong utama mencari uang adalah karena ketakutan jika anaknya tidak bisa bersekolah maka hilanglah masa depannya.

Ternyata diantara dua tipe pendorong tersebut, manusia lebih efektif bila terdorong oleh tipe kedua yaitu karena ketakutan. Dengan membayangkan ketakutan-ketakutan, hal-hal negatif yang akan didapatkan bila tidak mencapai sesuatu keinginan itu, maka semangat mencapainya akan lebih besar. Praktisnya, dengan mendaftar ketakutan yaitu kemungkinan-kemungkinan buruk apa saja yang mungkin terjadi bila kesempatan yang tidak datang setiap saat itu lepas.

Bila dikaitkan dengan budaya, apa yang dikatakan Robbins mungkin terlihat sangat Barat. Karena budaya Timur cenderung mengajarkan bahwa berpikir positif atau membayangkan hal-hal positif itu lebih baik daripada berpikir yang negatif, atau kemungkinan buruk.

Tapi sebenarnya dalam risalah Islam sendiri, berpikir kemungkinan negatif inipun telah dilakukan Rasul Muhammad saat menghadapi perang besar pertama dengan kaum Quraisy, yaitu Perang Badar. Dengan jumlah yang hanya 313 menghadapi 1000 maka saat itu Muhammad berdo’a kepada Allah SWT, kurang lebih menyatakan bahwa jika kaum kafir berhasil mengalahkan mereka sampai tiada tersisa, maka tidak akan ada lagi umat manusia di dunia ini yang akan menyembah Allah. Dan atas izin-NYA, perang itu dimenangkan kaum muslim.

Jadi sebenarnya, antara harapan dan ketakutan seperti sepasang sayap yang sama-sama digunakan untuk meraih sesuatu. Keduanya bisa digunakan, dan tidak perlu anti untuk memanfaatkan keduanya. Bisa jadi dengan memakai dua sayap utuh, terbang itu pun akan semakin tinggi dan tinggi.

Mari kita mencobanya.

Wednesday, November 21, 2007

Opportunity lost, yang selalu terlupa

Setiap kejadian dalam kehidupan kita, ujung-ujungnya selalu saja memunculkan respon antara positif dan negatif, antara suka dan tidak, antara kemauan dan realita. Tidak ada yang dalam posisi di tengah-tengah, selalu saja setidaknya menimbulkan kecenderungan.

Jika yang diterima itu adalah sesuatu yang baik, sudah barang asti tidak ada lagi yang perlu diributkan. Namun jika itu adalah hal yang tidak baik, tidak beruntung, atau keburukan pasti hati kecil pun akan mengatakan tidak menghendaki kondisi tersebut.

Dalam kondisi yang kurang baik itulah, kita seringkali lebih mengedepankan aspek yang lebih tampak (tangible) berupa materi atau uang, padahal ada aspek lain yang tidak tampak (intangble) yang dinamakan opportunity lost.

Opportunity lost (OL) secara bebas adalah hilangnya kesempatan lain (yang diharapkan lebih baik) karena suatu kejadian sebenarnya yang tidak dikehendaki. Itulah opportunity lost, yang secara langsung akan menyebabkan adanya opportunity cost (OC) sebagai ‘bentuk’ kalkulasi perkiraan kerugian yang diderita. Dan tampaknya, tidak semua orang tidak sadar bahwa sebenarnya OC ini lebih besar daripada biaya-biaya tampak.

Kejadian OL ini misalnya, saat kehilangan semua data di laptop karena format yang salah dalam rencana servis, maka kesempatan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih baik jika data itu masih ada pun menjadi hilang. Ini bukan tentang jumlah uang 1-2 juta untuk biaya tangible servis dan upaya recovery data (yang seolah-olah ‘useless’) sebesar, tapi ini tentang OC yang priceless.

Dengan data yang masih ada, sumber serta bahan tulisan masih sangat banyak sehingga frekuensinya tidak terganggu. Apalagi histori data sejak mulai mengenal komputer. dari Dengan format yang dijadwalkan lancar-lancar saja, maka akan ada banyak waktu untuk silaturahim kepada kawan yang mulai tinggal se-kota, atau berkunjung ke kota sebelah yang akhirnya batal karena 10 hari waktu ‘terbuang’ mengurus servis tersebut.

Bersikap realistis, legowo, dan sedikit menghibur diri (toh masih ada barang yang lain!) mungkin bisa mengobati. Tapi sejujurnya, manusia tetap akan berat menghadapi kondisi lost macam itu. Yang menimbulkan opportunity cost dan menghilangkan kesempatan lain yang lebih baik.

Jika ingin menyesal, marah kepada orang lain, atau menangisi nasib diri sendiri bisa saja hal itu dilakukan. Tapi tetap, hal itu tidak akan mengembalikan semua opportunity lost. Akhirnya sekarang, hikmah yang didapatkan dan mengusahakan tindakan preventif sehingga kemungkinan kejadian di masa depan tidak ada. Karena kesempatan dan waktu sangat berharga, priceless.

Seperti pepatah, kesempatan yang sama belum tentu datang dua kali. Tidak perlu menyesal diri karena hilangnya sesuatu karena risalah Islam mengajarkan, cukuplah barang dunia digenggam di tangan tapi tidak dimasukan di hati. Dan selalu menghargai kesempatan (waktu) seperti kata Nabi, dua rezeki yang manusia sangat sering lupa mensyukurinya, kesehatan dan waktu.

Jadi sekarang, mari selalu berusaha bertindak disertai rencana matang dengan banyak kemungkinan, sehingga mudah-mudahan semakin sedikit kemungkinan opportunity lost yang kita dapatkan.

Sunday, November 04, 2007

3 karakter perempuan Jawa, masih adakah?

Dari masa tumbuh hingga besar di Jawa, ada tiga karakter yang saya tangkap dari umumnya perempuan jawa itu.

1. Tangguh, bekerja keras, pantang menyerah
Karakter ini bisa terlhat jelas di pedesaan jawa, sangat banyak (mungkin semua) perempuan jawa bekerja membantu kehidupan keluarga di sawah, rumah sendiri atau rumah orang lain. Parameter bekerja aadalah menghasilkan (earning) dan cukup bisa membagi waktu untuk keluarga. Ketangguhan dan pantang menyerah terhadap tujuan hidup untuk perempuan jawa modern sekarang mungkin bisa dilihat dengan banyaknya yang merantau keluar daerah seorang diri untuk bekerja atau pendidikan.

2. Hemat, tidak matre, mau hidup susah
Relatif mementingkan hal yang lebih besar dan jangka panjang daripada penampilan sesaat. Tidak berlebihan dalam bersolek sesuai dengan kondisi sosial-ekonominya, lebih memilih rumah yang cukup daripada memaksakan diri punya mobil, hemat sekaligus siap segala sesuatu yang menyusahkan, serta mau berjuang hidup bersama dengan kondisi pas-pasan.

3. Penurut, setia, lembut
Menurut apa kehendak laki-laki (dan memang cenderung inferior atau justru bisa dilihat sebagai bentuk menghargai laki-laki), tidak menuntut, dan lemah lembut (konon apalagi untuk perempuan Solo). Ada ‘kurang baiknya’ juga mungkin, dimana banyak poligami dilakukan oleh laki-laki jawa (hanya kemungkinan melihat statistik minimal 50% penduduk Indonesia adalah Jawa). Ingat Ayam Bakar Wong Solo, kata sebuah sumber penjualannya di sebuah kota di non-jawa) merosot (sekarang tutup?) karena ‘aksi boikot’ yang dilakukan oleh ibu-ibu di kota tersebut. Terlepas dari poligami, disini hanya melihat dari sisi penurutnya.

Tiga hal diatas pun sesuai dengan Ranggawarsita yang terbahas sedikit di sebuah buku tentang 3 watak perempuan yang menjadi pertimbangan laki-laki, yaitu:

Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati. Untuk pasangan yang terpisah jarak, seorang teman yang sudah menjadi istri pernah di nasehati untuk selalu patuh dengan kehendak suami, tentu dalam hal yang tidak bertentangan norma. Sudah terpisah jarak dan tidak setiap hari bertemu, masa harus disertai perselisihan yang tidak pokok.

Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?

Watak Gemati, penuh kasih. Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli dan cepat atau pembantu, apalagi untuk perempuan kerja zaman sekarang, tapi tetap masakan sendiri yang tidak tiap hari adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).

Tiga karakter yang baik dan sebenarnya tidak hanya bagus untuk dilekatkan dengan perempuan Jawa. Karena setiap laki-laki rasa-rasanya akan menyenangi karakter-karakter diatas.

Dan di era ini, bukan asal (suku) yang jadi masalah tapi karakter tersebut. Karena pun harus diakui tidak semua perempuan jawa mempunyai semua karakter diatas. Berkaitan dengan hal itu, saya sempat menemukan sebuah syair bagus yang dibuat oleh seorang perempuan jawa zaman ini untuk merepresentasikan kondisi tersebut (namun maaf, saya lupa dari mana sumber penulisnya). Jadi sekarang, semua kembali pada kita.

wanita Jawa itu,

ngerti tata-krama..
unggah-ungguh,
lemah lembut,
pemalu,
pantang menyerah,
pembaharu,
dan
setia

tapi aku juga seorang wanita jawa