Sunday, September 13, 2009

Susahnya Taksi di Palembang

Susahnya mencari taksi di Palembang, maksudnya tentu taksi standar dengan argometer sebagai pedoman ongkos taksi. Hampir 99% taksi di Palembang ber-argo kuda, artinya semua tidak ada standar alias borongan. Ada standar, tapi standar menurut para supir taksi Palembang. Jarak tidak selalu menjadi patokan, tapi tujuan yang lebih menjadi acuan.

Contohnya adalah taksi dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB). Taksi dari SMB ke dalam kota Palembang, maka tarif sekarang 60 ribu. Sedangkan agak pinggir kota (seperti Pusri) bisa 75ribu, Plaju bisa jadi 100 ribu. Ada juga taksi yang membuka agen di dalam gedung SMB dengan tulisan terpampang Taksi Argo (maksudnya menggunaka argo, bukan borongan), namun saya pribadi sangsi mengingat hampir pasti semua taksi Palembang adalah borongan (argo namun tetap diminta "negoisasi"dengan sopirnya).

Tentu sangat berbeda jauh dengan Taksi di Jakarta (maaf, bukan melebihkan hanya sebagai perbandingan). Rasanya tidak ada satu perusahaan taksi di Jakarta yang menganut borongan. Kalaupun ada, itu pelayanan taksi khusus carteran, bukan yang umum di jalan. Jika keluar SMB yang akan dikerumuni oleh para sopir taksi serta ojek, berbeda saat keluar Soekarno-Hatta kita tinggal memilih taksi argo mana yang akan digunakan (ada tawaran namun batas wajar).

Menggunakan taksi dari hotel biasanya standar pelayanan yang sangat di utamakan, bahkan hotel bintang melayani antar-jemput bandara/stasiun untuk para tamu nya (free charge). Sedangkan di Palembang, pelayanan jemput hotel rata-rata saat dari SMB dan sulit untuk antar dari hotel ke SMB. Dari Novotel misalnya, pihak pengelola hotel seperti sudah mem-formal-kan taksi borongan (mobil) untuk tujuan bandara atau point lain sebesar 75 ribu.

Pemesanan taksi pun tidak menjamin mendapatkan taksi argo, bahkan secara terang-terangan call center taksi tersebut menyatakan bahwa tarif tergantung negoisasi dengan sopirnya. Bertemu dengan taksi di jalan pun sudah pasti akan terkena tarif borongan. Tentu saja untuk sebagian orang, lebih baik dengan argo yang transparan daripada borongan. Sekalipun menurut sebagian orang taksi argo bakal menjebak bagi orang yang belum tahu rute (diajak muter-muter), namun pada dasarnya transparansi itu lebih utama. Apalagi didukung dengan kepercayaan yang sebenarnya sangat mutlak dalam industri jasa seperti taksi ini.

Kondisi di Palembang tersebut mungkin sama persis dengan yang di Bandung 3 tahun lalu, dimana semua taksi adalah borongan. Sampai akhirnya muncul Blue Bird yang awalnya ditentang, namun akhirnya beroperasi dengan baik hingga hari ini (dibatasi jumlahnya). Taksi Putra juga sudah 2 tahun lalu. Bahkan taksi lokal Bandung Gemah Ripah sudah hampir selalu argo, lokal yang lain pun satu persatu ikut nyusul juga. Sedangkan yang tetap non-argo, sudah pasti lambat laun akan ditinggalkan karena tidak transparan dan moda yang relatif kurang nyaman dibandingkan taksi argo nya. Hotel sebagai bagian dari pariwisata kota pun ikut berdampak positif dengan pelayanan taksi yang lebih baik di Bandung.

Kembali ke Palembang, tampaknya memang dibutuhkan pionir perusahaan taksi argo seperti halnya Bandung. Saya kurang paham dengan sosial budaya, namun sedikit tahu jika karakter masyarakat Palembang relatif lebih keras dibandingkan Bandung. Artinya jika di Bandung ada pertentangan taksi argo, tidak dipungkiri di Palembang akan terjadi juga.

Namun semuanya bisa ditengahi oleh pemerintah, didukung oleh sektor pariwisata kota. Sangat disayangkan jika Visit Musi Palembang yang terpampang dimana-mana tidak bisa di dukung dengan pelayanan ramah bagi para pendatang di Palembang, dimulai dari Bandara SMB sebagai salah satu gerbang utama Palembang.

Pemerintah kota Palembang hendaknya belajar pada kota Manado, yang meski termasuk kota kecil dan jauh dari pusat pulau jawa, pelayanan taksinya cukup memuaskan. Untuk membenahi masalah pelayanan taksi ini dalam rangka mendukung Visit Musi Palembang memang butuh waktu dan akan timbul gesekan sosial khususnya di kalangan sopir taksi Palembang saat ini. Namun jika tidak dimulainya sebuah perbaikan, rasanya tekad Visit Musi Palembang hanya menjadi jargon semata dan semakin berat, apalagi visi menjadi pusat ekonomi Sumatera Bagian Selatan.

Friday, September 04, 2009

Memahami PSC (Production Sharing Contract)

PSC adalah skema pengelolaan sumber daya minyak dan gas (migas) dengan berpedoman kepada bagi hasil produksi, antara pemilik sumber daya dan investor. PSC dimulai tahun 1960-an terinspirasi dengan model pengelolaan bagi hasil di pertanian yang sudah turun temurun di Indonesia. Konon PSC tersebut juga menginspirasi negara-negara lain yang kemudian hari berkembang masing-masing.

Beberapa latar belakang PSC yaitu:
1. Kegiatan migas membutuhkan dana yang besar (teknologi dan sumber daya) sehingga dibutuhkan investor selain pemerintah (Pertamina). Ambil contoh untuk drilling 1 well onshore rata-rata membutuhkan 5 juta USD, sedangkan offshore 50 juta USD (hanya drilling!).
2. Ciri khas dari kegiatan migas adalah kegiatan eksplorasi yang belum tentu mendapat hasil temuan migas. Kegiatan analisa bawah tanah (sub-surface) yang tidak bisa dipastikan 100% akurasi nya.
3. Lapangan eksploitasi menurun produksinya, biaya operasi semakin meningkat. Hal ini seperti halnya kendaraan dimana semakin tua maka semakin rumit maintenance dan meningkat biayanya.
4. Banyak potensi migas di daerah Indonesia belum dilakukan eksplorasi dan eksploitasi (terutama di laut). Sehingga perlu untuk didorong investasi di migas untuk eksplorasi dan eksploitasi nya dengan skema kerjasama yang menarik (PSC).
5. Migas menyumbang kurang lebih 40% pendapatan Negara. Sehingga perlu dibuat skema kerjasama yang tetap menjaga pendapatan pemerintah sebagai pemilik migas.

Istilah-istilah dasar yang harus dipahami dalam PSC adalah:
- GOI (Government of Indonesia) ialah Pemerintah yang menjalankan amanat pengelolaan SDA yang secara operasional teknis dilakukan oleh BP Migas dalam bidang produksi hulu untuk minyak dan produksi hulu-hilir untuk gas(hilir minyak ditangani oleh BPH Migas).
Sedangkan Contractor ialah perusahaan migas yang melakukan kegiatan migas di Indonesia. Dikenal juga dengan KPS (Kontraktor Production Sharing), atau sekarang KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).

- Lifting Oil ialah Produksi Oil dalam Barel Oil Per Day/BOPD (1 Bbl=159 L). Sedangkan gas dalam satuan MMSCFD (million million standard cubic feet per day)

- Split ialah bagi hasil antara GOI dan Con yakni 85% : 15% (Oil). Sedangkan untuk gas umumnya 65% : 35%.

- FTP (First Tranche Petroleum) ialah bagian lifting yang disisihkan sejumlah tertentu (20%) untuk dibagi antara GOI dan Contractor.

- Cost Recovery , ialah biaya investasi dan operasi produksi migas yang dikeluarkan Contractor dan dibayar GOI dalam mekanisma bagi hasil produksi (diperjelas dengan skema di bawah).

- DMO (Domestic Market Obligation) ialah kewajiban kontraktor menjual minyak di Indonesia (25% dari jatah/entitlement Contractor), dengan harga DMO fee 15% harga ekspor atau 25% harga ekspor untuk kawasan timur Indonesia. DMO fee tersebut berlaku setelah produksi lebih dari 60 bulan, jika kurang 60 bulan maka 100% harga pasar. Sedangkan untuk gas DMO sesuai dengan harga pasar.

Sebagai konsekuensi dari PSC, karena modal 100% dari investor dan lahan tetap menjadi milih negara, maka jika investor menemukan migas dalam ekspolarasinya maka seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi akan diganti oleh negara yang dikenal dengan cost recovery. Sebaliknya jika investor gagal menemukan migas, maka biaya menjadi tanggungan investor. Dalam detil kontrak PSC, batas investor melakukan eksplorasi adalah 10 tahun (3 tahun pertama, 3 tahun kedua, 4 tahun tambahan) yang diawasi oleh pemerintah. Selambatnya sampai batas 10 tahun tersebut tidak ada prospek migas, maka kontraktor harus mengembalikan wilayah kerja ke pemerintah.

Dan setelah dilakukan produksi (eksploitasi) migas, maka skema PSC untuk produksi oil adalah sebagai berikut (angka sebagai contoh):
Dengan skema diatas, dengan asumsi produksi 1000 BOPD dan Cost Recovery (CR) 30%,, maka total entitlement GOI 548 Bbl (55%) dan Con 452 Bbl (45%). Jika di awal disebutkan sharing GOI : Con = 85% : 15%, maka dalam skema diatas terlihat bahwa angka tersebut sangat jauh berbeda. Pun jika jeli mengamati, ternyata angka 15% adalah angka yang diterima bersih kontraktor karena dalam perhitungan split diatas sudah di-gross up tax 44% sehingga sharing contractor menjadi 26.7857% (bukan 15%!). Dan jika lebih jeli lagi, terlihat bahwa CR tidak terkena tax (sekalipun ada wacana CR akan dikenakan tax karena dianggap revenue contractor, opini penulis CR bukan revenue karena CR adalah pembayaran terhadap biaya investasi yang sudah dikeluarkan di muka).

Skema PSC diatas masih ada tambahan beberapa insentif khusus untuk merangsang ikliim investasi (yang artinya entitlement GOI berkurang), misalnya investment credit (credit yang diberikan GOI kepada Con yang tidak mempunyai dana dalam pembangunan fasilitas produksi, dimana terkena Tax 44%) dan interest holiday (bunga pinjaman untuk pembangunan fasilitas produksi yang dibebankan ke CR).

Dengan sedikit gambaran skema diatas, kita harus melihat secara fair bahwa PSC dibutuhkan di Indonesia untuk menjaga produksi migas dalam pemenuhan domestik dan ekspor. Resiko kegagalan, biaya besar dan keekonomian investasi bagaimanapun adalah hal yang harus ditanggung dan dipertimbangan investor. Sebuah trade-off yang dengan PSC diharapkan terciptaa win-win solution.

Namun dengan penjelasan skema diatas, menurut anda apakah PSC terbaik diterapkan di Indonesia?

-to be continued, about cost recovery-