Monday, November 27, 2006

dua sigit

Keduanya bernama depan Sigit. Dan keduanya menurutku, punya kemiripan sifat. Karakternya, kalem dan tenang. Cara bicaranya, runtut, pelan dan masuk. Cara jalannya, tegap dan pasti. Sorot matanya, tajam dan menandakan berpikir. Bawaanya, ransel punggung.

Yang pertama, Sigit Adi Prasetyo. Awalnya mengenal dari sebuah cerita, mantan Presiden KM ITB 1999-2001. Bicaranya sabgat ritmis, sepsrti mengikuti sebuah algoritma. Mahasiswa Informatika 95 ini sekarang sebagai karyawan bagian IT di sebuah perusahaan pertambangan. Kantornya di Menara Mulia. Terakhir melihatnya, awal oktober kemarin dalam sebuah acara di Bandung.

Kehidupannya sederhana, baju kemeja, celana kain dan sebuah tas ransel. Pernah bulan Juli lalu, aku mengantarkan ke rumahnya di daerah Jatiwaringin, Bekasi setelah beliau mengisi sebuah acara di Depok. Lewat Jakarta Outer Ringroad yang baru sekitar jam 00.30, kami melaju. Ketika aku bertanya, “ke kantor naik apa mas?”. Dijawabnya, “jalan kaki, ojek dan bus”.

Rumahnya biasa, dan cukup untuk ukuran seorang istri dan putri kecilnya. Ada sebuah mobil tua di garasinya. Pingin bicara banyak, tapi kami sama-sama letih. Beliau seharian bekerja, malam masih mengisi acara. Sedang aku, seharian jadi sopir.

Yang kedua, Sigit Wisnuadji. Mengenal sejak September kemarin karena sebuah pekerjaan proyek. Mahasiswa Arsitektur ITB 1993. sekarang sebagai direktur di sebuah kantor konsultan desain, dan beberapa pekerjaan proyek di luar yang dikerjakannya juga. Kami berinteraksi selama kurang lebih 2,5 bulan untuk proyek Feasibility Study beberapa obyek wisata di Pandeglang sampai tengah november ini. Beliau memimpin tim arsitektur, sedang aku memimpin tim TI.

Orangnya bersahaja, kemeja panjang, celana kain dan tak lupa juga ranselnya. Ukuran pimpinan kantor, menurutku cukup sederhana. Dan lagi, beliau adalah penerima Stuned (aplikasi beasiswa studi dari pemerintah Belanda), sebagai mahasiswa Groningen Universitet 2002-2004, bidang housing. Untuk yang satu ini, adalah alasan tersendiri aku berusaha banyak belajar darinya.

”Udah lulus kan? Jadi kapan undangannya?” pertanyaan yang sering dilontarkannya. Dalam hati, ”undangan apa? Wong mas sigit aja ke belanda dulu koq.” Lalu, banyak guyonan garing lainnya.

Rumahnya di dago, daerah komplek perumahan dosen itb, pastinya aku belum tau. Seorang istri, dan putri kecil. Sebuah sepeda motor karisma menemani aktivitasnya. Secara khusus, aku belum berinteraksi banyak dengannya. Kami hanya bertemu saat-saat forum koordinasi mingguan, sms, atau berangkat ke Pandeglang untuk presentasi. Tapi aku yakin, ada banyak yang bisa aku dapatkan darinya.

Dua orang Sigit, keduanya mirip. Tapi yang pertama, aku tak yakin beliau mengenalku. Tak apa. Bagaimanapun, senang bisa mengenal keduanya.

Saturday, November 18, 2006

6 tahun kebersamaan

November, enam tahun lalu dia datang. Cukup diantar oleh pengantar sederhana, masuk rumah dan dia pun menjadi bagianku. Bukan barang aneh. Sebuah sepeda motor Yamaha Vega.

Lalu sejak itu, dia menemani perjalanan setiap hari. Memenuhi perjalanan di sebuah kota kecil bagian barat jawa timur, menyusuri desa bukit dan gunung di sekitarnya, dan berjalan setidaknya 50 km setiap akhir pekan. Bahkan di akhir tahun mencoba ketangguhannya dengan perjalanan magetan-solo pp dalam sehari. Artinya, memutar roda untuk sekitar 200 km.

Mulailah sedikit perilaku ”kreatif” anak muda menjangkit. Pertama, dibongkarnya ”sayap”. Lalu dilepasnya pegangan tangan di jok, padahal itu tidak rusak atau apa. Hanya pingin terlihat lebih sporty, jika tanpa ada pegangan itu. Walaupun dulu ketika ditanya, jawabnya, ”biar orang yang membonceng pegangan sama yang di depan...”

Ingin lebih banyak berkreatif, tapi saat berpikir biaya semuanya terhenti. Bukan karena tak mampu, tapi lebih ada hal lain yang butuh. Semua dipertahankan, kecuali pagangan tangan.

Saking lekatnya, dia dulu (dan sampai sekarang sepertinya) mendapat sebutan ”second wife” dari empunya. Second dalam hal ini bukan karena ada first-nya. Hanya sebuah sebutan. Sekalipun belum ada first, dia sudah menempati sedikit ruang yang akan tersisa.

Lulus pelajar, mantap sudah kaki melangkah ke jogja. Semua yang bisa harus dicoba. Maka magetan-jogja via gunung lawu dirasakan. Walaupun harus dibayar dengan tersungkur di turunan Tawamangu. Roda dan setir sedikit bengkok, sayap motor lecet, serta pastinya dagu dan tangan ku kalah melawan aspal. Tapi jogja tetap jogja. Perjalanan lanjut dan menata jejak masa depan disana. Lagi-lagi, ditemani olehnya.

Menyenangkan, hemat, penuh tantangan dan juga konservatif. Dibandingkan berkendara roda 4, motor tetap bisa menghadirkan suasana. Sekalipun nyaman bermobil, orang yang berani membawanya harus lebih banyak uang. Bayangkan jika tiba-tiba bocor, rusak mesin atau nyerempet orang. Sedangkan motor, 10 ribu pun sangat cukup. Kalau ada apa-apa, di bawa jalan bisa asal ada bensin atau tenaga lebih.

Lalu tiba-tiba sekitar 6 bulan lalu, sebuah sms masuk. ”kalau sudah wisuda, motornya di bawa pulang ya..” wah, tidak biasa berpisah dengan second wife. Walaupun mobil bukan sebuah kesulitan, tetap saja histori selalu lekat dengannya. Sebuah perjalanan hidup. Saat cita-cita dirangkai, saat belajar mengharga, saat belajar cinta, saat kebersamaan dan saat merasakan diri sendiri.

Masih ada keinginan untuk mengajaknya kencan spesial. Sebuah perjalanan bandung-magetan. Sepertinya akan seru, penuh inspirasi, makna dan tentu menjadi bahan cerita menarik. Seharusnya itu semakin dekat terjadi saat ini. tidak lama mungkin, sekitar 12 jam jika harus dengan bus. Bisa berhenti dimana, lalu mengambil gambar, menghirup udara, merasakan hidangan dan teh hangat. Ditemani obrolan dengan penduduk dan tatapan hangat darinya. Ingin sekali.

----

Untuk dikatakan cantik, seperti lainnya, dia hanya tampak berparas di awal. Untuk dapat disebut hebat, bukan pula dia sesuatu yang hebat. Tapi saat ini, cara dia berjalan di awal cukup membuatnya lebih unggul dari lainnya. Lalu untuk dikatakan kekinian, ah...itu cuma soal waktu yang terus bergulir.

Dan sekarang, aku tahu rasanya bagaimana 6 tahun itu berlalu.

Tuesday, November 14, 2006

Sabtu, 11 November 2006

Jam menunjukan pukul 08.45, dan semakin banyak orang yang gerah menahan panasnya ruangan. Sebenarnya bukan karena tidak ada pendingin atau ruang kurang besar, tapi jumlah orang di dalamnya ditambah hampir semuanya berdegup kencang menantikan suasana yang dinantikan itu. Tapi bagaimanapun, setiap orang yang masuk ke ruangan ini sepanjang pagi sangat ceria. Tidak ada rona kesedihan, selalu ada kecerahan memancar dari wajah bersih nan ayu.

08.55 seorang tampak di layar memegang tongkat, terlihat dia paling depan dengan cukup banyak orang di belakangnya. “Rektor, Majelis Wali Amanat, Majelis Guru Besar dan Senat Akademik memasuki ruangan sidang terbuka.” Semua berdiri, degup semakin kencang dan prose situ pun semakin dekat. Antara tak sabar dan khidmat, semuanya diam menanti. Penuh harap.

Jelaslah sudah, pagi itu adalah wisuda bagi 1221 sarjana, magister dan doktor Institut Teknologi Bandung.

Semua berjalan lancar. Rektor membuka sidang, Indonesia Raya, mengheningkan cipta lalu dilanjutkan pengambilan janji wisuda dan pelantikan wisuda. Janji lulusan ITB tersebut adalah :

Kami
Segenap lulusan
Institut Teknologi Bandung
Demi Ibu Pertiwi

Berjanji,
Akan mengabdikan ilmu pengetahuan
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Perikemanusiaan dan perdamaian dunia

Kami berjanji akan mengabdikan
Segala kebajikan ilmu pengetahuan
Untuk menghantarkan bangsa Indonesia
Ke pintu gerbang masyarakat adil dan makmur
Yang berdasarkan pancasila

Kami berjanji akan tetap setia
Kepada watak pembangunan kesarjanaan Indonesia
Dan menjunjung tinggi susila sarjana,
Kejujuran serta keluhuran ilmu pengetahuan
Di manapun kami berada

Kemi berjanji
Akan senantiasa menjunjung tinggi
Nama baik almamater kami
Institut Teknologi Bandung

Ada tangan di lemparkan ke pundak berlawanan saat Indonesia Raya berkumandang dan pengambilan janji. Ada yang mendekap lurus keduanya di depan bawah, sambil menundukan wajah. Ada juga yang meletakan tangan ke belakang layaknya tertawan, untuk membantu semakin dalam wajah tertunduk.

Ada air mata hangat membasahi pelupuk, dari sumber-sumber air mata kesucian. Ada bibir-bibir gemetar menahan suasana. Ada pandangan hampa ke depan, tanpa maksud apapun, benar-benar lurus. Semuanya bertekur, dalam mayapada alam makna.

Jarum jam menunjuk 09.25, Rektor membacakan pidato kepada wisudawan dan hadirin semuanya. Tentang hal-hal baru di ITB, peran dan posisi ITB, pesan kepada wisudawan dan tak lupa selamat kepada orang tua. Lalu membusunglah para cum laude saat pembacaan keputusan rektor tentang status itu. Selingan terjadi saat dibacakan beberapa kesan wisudawan terhadap ITB.

Pukul 09.55, mulailah pemberian ucapan selamat kepada para wisudawan, dimulai dari doktor, magister dan sarjana. Panjang dan lelah untuk menunggu. Tapi mau tidak mau kesannya, inilah”wisuda” itu. Maju ke depan dan menerima ucapan selamat dari rektor, dekan dan ketua program. Setelah pembacaan pidato perwakilan wisudawan, do’a dan penutupan sidang, maka rektor dan lainnya meninggalkan ruang.

Senyum lepas menyeringai puas di setiap orang. Perasaan syukur, bangga, berhasil dan sukses terlukis dalam setiap helaan nafas.

Walaupun selalu saja akan ditemui wajah sarat harap ditutupi keceriaan, senyum mermbalut cemas dan tawa menimpa paksa gundah. Ini bukan saja waktu mulai untuk menapak kehidupan nyata, tapi ini adalah tentang tanggung jawab. Terhadap diri sendiri, orang tua, masyarakat, bangsa-negara dan agama. Pantas tidak bukan lagi soal, toh semua sudah berhasil hari ini. Tapi tanggung jawab, tidaklah bicara dalam ranah pantas atau sematan.

Karena berani maju, maka tidak ada pilihan untuk tidak mengambilnya. Dengan cita dan cinta. Selamat berjuang kawan!

Monday, November 06, 2006

selama liburan

Setelah akhir Ramadhan yang cukup berat (sakit), keleleran di ruang tunggu RSHS malam-malam (terima kasih adhi), ditolak opname RSHS esok paginya (terima kasih aan), maka mudik menjadi pilihan yang akhirnya dilakukan.

Punya hutang. Sudah lama sekali puasa selalu penuh hingga tak ingat lagi kapan terakhir puasa tidak penuh alias punya hutang (mungkin SD). Dan Ramadhan tahun ini, harus makan bubur di saat orang lain puasa. Ada malu, ada penyesalan dan ada syukur. Tapi, puasa terakhir yang kontroversi (hari ke-30) masih bisa dilakukan.

Idul Fitri, total 84 ucapan sms yang diterima. Melihat warna-warni Islam negeriku. Ada warna minggu, senin, selasa, bahkan rabu. Maka manusia di dalamnya pun bebas dan bertoleransi untuk memilih.

Bertemu dengan keluarga besar, sudah banyak saja aktiivitas masing-masing. Ada sepupu seumuran, mau berangkat ke Singapura buat pertukaran karyawan MCD tanggal 15 nopember ini selama 6 bulan. Dan yang seru, 3 sepupu perempuan yang manis-manis. Satu yang sedang kuliah di sebuah universitas negeri di Jakarta, sudah ”dekat abis” dengan seorang laki-laki dan kelihatannya hanya himbauan orang tuanya untuk bekerja dulu setelah lulus. Satu lagi, bercerita tentang kuliahnya di Akademi Kebidanan. Bercerita tentang kuliah, praktek dan berbagi sedikit tentang kehamilan (ada juga istilah baby blues). Dan satunya lagi yang masih smp, punya hal-hal menarik kehidupan pondok pesantren putri.

Berdiskusi seru dengan mas Zaim Uchrowi (yang sedaerah) di rumah orang tuanya. Ditemani oleh istrinya-mbak ira, mengalirlah diskusi tentang aktivitas, masa depan, pergerakan islam, aktivitas wanita, keluarga dan Indonesia. Tanpa tedeng aling-aling untuk sharing. Istrinya ternyata lebih talkactive, seorang manajer produk GAP (produsen garmen dari AS) untuk kawasan asia tenggara. Berdua mereka menempuh S2 development program di Filipina, saat kedua putra masih kecil. melihat sang istri yang berkerudung dan menjadi wanita karier sukses, maka diskusi tentang wanita pun menjadi lebih menarik.

Kembali bersama teman-teman SMU. Kabar tentang yang sudah nikah, punya anak, atau yang sudah lulus, masih kuliah dan yang sudah kerja. Akhirnya, seorang teman yang ”konflik” selama 3 tahun menjadi jurnalis di sebuah koran baru ibukota, meneruskan langkah dari majalah sekolah dulu. Dalam hati berujar, ”sudah cukup berarti, tak perlu ingin menjadi jurnalis lagi”. Tak lupa, (di)kumpul(kan) dengan ”komunitas”, yang semuanya kuliah di luar daerah. Banyak juga ternyata hasil perjuangan SMU itu. Yang dulu menjadi corong seruan, ada yang memutuskan berhenti dulu dengan ihwal alasan. Pun banyak yang sebaliknya.

Memperbarui pajak kendaraan dan mengalami birokrasi serta aroma korupsi dalam mengurus paspor. Hari terakhir, berkunjung ke SMU bertemu para guru. Waktu berjalan cepat sekali. Tak lupa, menumpahkan terima kasih kepada guru bahasa indonesia, seseorang yang pertama kali mengenalkan sastra saat mengajar kelas 2 dulu. ”sastra untuk masyarakat, bukan sastra untuk sastra”, pesannya kemarin. Kemudian berbagi dengan adik-adik SMU, tempat masa depan itu tergantung.

Mencium tangan ibu, dan merasakan alam pun tersenyum cerah.