Saturday, January 28, 2006

Laskar Pelangi, Sebuah Potret Realita


Di tengah ramainya jagad buku akhir-akhir ini dibanjiri cerita chicklit dan teenlit, sebuah langkah berani dilakukan oleh Bentang Pustaka. Tidak hanya karena menawarkan tema yang “sedikit” berbeda dari arus, tapi juga karena cerita ditulis oleh seorang pemula di kalangan novelis, cerpenis atau kalangan sastra Indonesia.

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, memberi suasana baru di dunia sastra kita sekarang. Di Laskar Pelangi (LP), Andrea menceritakan kisah hidupnya sendiri bersama teman-temannya ketika masa-masa menikmati pendidikan dasar di daerah pelosok Pulau Belitong, daerah yang sebenarnya merupakan penghasil timah terbesar nasional. Sekawanan anak manusia itulah yang mereka namakan sendiri sebagai laskar pelangi, karena kesukaannya pada fenomena pelangi yang mereka nikmati di atas pohon Filicium.


Ceritanya mengalir dimulai dari hari pertama penerimaan murid baru SD Muhammadiyah, sebuah sekolah swasta yang digambarkan dengan bangunan seperti kandang ayam yang terdiri dari seorang kepala sekolah dan seorang guru untuk 9 tingkat sekolah (SD dan SMP), akhirnya berhasil memenuhi target jumlah minimal 10 siswa sehingga sekolah tidak dibubarkan. Karena semata-mata sekolah itu gratis Dan hari-hari petualangan LP mulai menarik dinikmati, dengan karakteristik anak-anaknya yang unik.

Misalnya, seorang anak pesisir bernama Lintang, yang mewakili adegium bahwa kecerdasan bisa terlahir dimana saja, tidak melihat status sosial dan geografis. Kemudian Mahar, dengan kemampuannya berhasil mendalami dan mengaktualisasikan bahasa seni dari alam sekitarnya. Dan keduanya seperti perpaduan Yin-Yang, mampu menciptakan keseimbangan dinamis yang mengangkat posisi sekolahnya menjadi terpandang di Belitong.


Hal yang paling kuat disampaikan dalam novel ini, bahwa dibutuhkan keteguhan, ketekunan, keinginan dan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita. Keterbatasan yang dimiliki, tetap akan menumbuhkan kebahagiaan bila dimaknai dengan keihlasan berkorban untuk sebanyak-banyaknya memberi, bukan menerima. Kita juga dihadapkan pada banyak perjuangan manusia dengan segala keterbatasannya, sangat menghargai pendidikan.


Banyak potret kehidupan yang ditampilkan novel ini. Kesahajaan seorang guru, Bu Mus, yang benar-benar layak digugu dan ditiru. Atau kebijaksanaan sang Kepala Sekolah, Pak Harfan. Kesenjangan pendidikan di daerah-daerah pelosok negeri ini, ketidakadilan yang harus menenggelamkan potensi kecerdasan anak bangsa, dan kehidupan sosial masyarakat Pulau Belitong, sebuah gambaran paradoks pemerataan pembangunan.


Kisah percintaan gaya anak kecil, keberanian dan keingintahuan yang besar menjadi feature dalam cerita ini. Andrea sendiri sengaja mengeksplorasi pengetahuan hayati, sehingga kita disajikan dengan banyak kiasan menggunakan bahasa tumbuhan, yang di satu sisi memperkaya kosakata kita tapi disisi lain akan membuat pembaca bosan.


Dari jenisinya, LP bisa dimasukan dalam deretan novel realis, hampir sejalan misalnya dengan cerita fiksi yang disandarkan pada kisah nyata atau sejarah. Dan bagi penulis pemula, sebuah karya akan mudah lahir bila alur ceritanya memiliki ikatan emosional kuat dengan pengarang. Pun demikian dengan Andrea. Sehingga kelemahan seorang pengarang pemula yang terjebak pada ketidakjelasan alur dan muatan cerita, gaya bahasa, serta kemampuan deskriptif banyak tertutupi karena Andrea seolah-olah hanya memindahkan pengalamannya ke dalam LP.


Akhirnya, Laskar Pelangi layak dibaca siapa saja, tidak hanya penikmat sastra, tapi juga penggiat atau stakeholder pendidikan. Dan khasanah cerita kita, akan semakin bermakna dengan kehadiran Laskar pelangi ini. Selamat membaca...

Tuesday, January 17, 2006

risalah kekerasan

(1)
"saya kan udah besar, masa di dikte terus", brak.

suara putra kesayangan disusul pintu yang ditutup paksa.

pedih, sakit, sayang, kasihan bercampur menjadi satu. sudah lama hubungan ini tak berujung. anak itu memang sudah lebih berumur, daripada dulu, ketika ia mengajarkannya berjalan. atau dulu, ketika dengan manja minta dibelikan es di depan rumah. atau yang pasti, saat yang sangat diingatnya karena menjadi awal perubahan itu, "bu, saya ingin kuliah keluar kota", pinta sang anak.

seingatnya sejak itu, putranya menjadi manusia baru, jauh dari apa yang diajarkannya saat dulu, untuk berbicara sopan, menghormati orang lain, rendah hati dan segala kebaikan sebagai manusia beradab. sekarang, sudah jengah dihadapkan pada kemunafikan orang-orang pasar yang dijumpai tiap hari, menunggu 4 atau 6 bulan sekali untuk bertemu putranya, dan setiap ditanya hanya untuk selalu dijawab bercampur dengusan.

sakit? tidak juga. hati seorang ibu tak akan semudah itu. sedih? sudah pasti, tapi sang ibu bingung harus kepada siapa ia bertanya.yang ia tahu, anaknya sedang belajar di perguruan bergengsi di negeri ini. dan setiap minggu arisan, tak henti-hentinya pak RT berujar,

"anak ibu akan menjadi orang besar, do'akan selalu bu!".

dan sang ibu tersenyum paksa.

tapi sebentar, sang ibu tak sedang menyalahkan anaknya, sekolahnya, atau kota tempat tinggalnya sekarang. menyalahkan sekolah, sudah pasti disekolah itu banyak orang-orang terpintar di negeri ini. banyak orang-orang bijaksana disana, guru yang benar-benar malakukan tugas dengan mulia, bersahaja seperti dirinya. banyak profesor, kata kepala smu anaknya.

menyalahkan kehidupan kotanya, tak tahu pula bagaimana nanti harus menyalahkan kota. wong untuk meminta tanggung jawab terbakarnya kios nya tempo hari, sulitnya minta ampun. apalagi harus menyalahkan kota besar, bingung harus kemana.

menyalahkan sang anak? berarti pula ia menyalahkan dirinya sendiri. karena seperti yang dikatakan kyai kampung,

"anak-anak kita mencerminkan perilaku kita, jangan hanya menyalahkan anak bila mereka berbuat tidak baik"

sekarang, haruskah sang ibu menyalahkan diri sendiri?

(2)
yang kuingat darinya, bahwa pada suatu malam ia pernah berujar,

"an, tunggu aku, aku akan kembali 3 tahun lagi. aku akan membawa mu untuk pindah ke rumah yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya, rumah di bawah langit dan di atas daun"

kata-kata yang manis. tapi kini, sudah 3 tahun berlalu sejak pertemuan itu. aku tak tahu dimana ia sekarang. kabar tak pernah kudapatkan. tidak juga sebenarnya, karena dua bulan yang lalu, pernah tukang pos mengantarkan sebuah paket. pengirimnya atas namamu. tapi kosong, tanpa asal kota paket ini dikirim.

aku buka, sebuah kamera. kenapa kau kirimkan kamera mu ke aku?yang aku tahu, kamera ini adalah hidupmu. kau pernah berkata,

"an, kamera ini adalah ruh ku. aku tak tahu hidupku tanpa kamera ini"

kau bercita-cita menjadi fotografer sejati, dan dengannya akan membangun rumah impian itu.yang kuingat juga, dengan kamera ini pula kaujepret diriku dalam berbagai pose, bahkan orang tua ku pun tak pernah tahu aku melakukanya hanya untuk mu.demi idealisme seni fotografi. ah, aku sendiri tak terlalu peduli.

tak ada pesan lagi, kucari-cari dan tetap nihil. tetap sebuah kamera yang tak menjawab keraguan ku.

tiga tahun berlalu, kenapa pula aku harus mengingatnya. ia telah mengirimkan hidupnya untuk ku, sebelum tenggat waktu. dia bukan tipe orang yang mudah menyerah, tapi kenapa ia kirim kamera nya untukku?

sebuah pegangan membuyarkan lamunannya, disusul kalimat yang meluncur dari seorang pria.

"dian, sudah dua bulan kita jalan. tak inginkah kau untuk lebih menegaskan hubungan kita malam ini?"

ternyata, kita lebih akrab dengan kekerasan,
daripada kita mengenal diri sendiri

Wednesday, January 04, 2006

belajar dari Arok

saya barusan baca Arok Dedes nya Pramoedya. seperti yang disampaikan penerbit dalam "blurbs", pergulatan kekuasaan pada dasarnya adalah serupa, yang ditunjukan oleh novel tersebut, antara penguasa, kalangan terdekatnya sendiri dan pihak diluarnya. dalam hal ini, Arok lah yang berada di luar lingkaran kekuasaan inti dan mendapat dukungan rakyat Tumapel, daerah tempat peristiwa ini.

dengan gayanya, Arok Dedes ini seperti sebuah fakta sejarah yang dibungkus dengan narasi dan dramatisasi sana sini khas Pram. jika anda seorang yang baru pertama kali membaca kisah Arok-Dedes-Tunggul Ametung (Akuwu Tumapel-mungkin seperti gubernur salah satu negara bagian Kediri, yang digulingkan), maka jangan salahkan diri sendiri bila kemudian hampir seratus persen menyakini bahwa kisah Pram ini memang benar-benar fakta sejarah, pun demikian dengan saya yang baru tahu detil tentang semua drama kekuasaan tersebut lewat Pram ini.

tapi kemudian, saya masih berpegangan bahwa karya Pram ini tidak lain sebagai sebuah fiksi sejarah. tidak lain didukung dua hal berikut :

pertama, dalam buku-buku sejarah yang diajarkan selama kita sekolah, tidak sangat jelas disebutkan tentang prahara tersebut sama persis (banyak sama) dengan cerita yang disebutkan di Arok Dedes ini. namun bukan berarti saya menjauhkan diri pada "sebuah kenyataan" yang disajikan Pram, tapi semata-mata sejarah sendiri hanya memberikan tokoh, wilayah dan garis besarnya, tidak sampai detil bahkan tentang percakapanya. artinya, Pram melakukan kolaborasi dan rekonstruksi peristiwa atas fakta sejarah yang terjadi.

kedua, dalam buku terbaru Pram "Jalan Pos, Deandels" disebutkan oleh penerbit sendiri (dalam resensi Kompas atau Republika, lupa), bahwa yang ditulis Pram (Jalan Pos) bukanlah semacam buku sejarah, melainkan sebagai sebuah deskripsi kisah masa yang benar-benar ada. artinya Pram melakukan juga dramatisasi dan romanisasi (pengolahan sehingga layak sebagai roman) atas kisah yang benar-benar ada, yaitu pembuatan jalan Deandels dan sekarang menjadi patokan penentuan kode pos.

dari dua alasa diatas, saya menegaskan kesimpulan bahwa Arok Dedes bukanlah semuanya fakta sejarah. dia adalah sebuah cerita yang disandarkan pada fakta sejarah, atau dalam bahasa lain sebuah fiksi sejarah. keahlian Pram lah dalam melakukan studi dan elaborasi yang menjadikan ia "hidup" seolah-olah semuanya murni sejarah.

terlepas dari itu, kisah itu sendiri memang menjadi cermin tentang sinema kekuasaan yang terjadi di indonesia. konon, prahara Tumapel sekitaran 1220 M itu sebagai bentuk "coup de tat" pertama dalam sejarah indonesia (ada yang bisa menyebutkan lainya?).dan seperti halnya dalam perjalanan sejarah berikutnya, maka tidak jauh dengan tipe-tipe pergulatan Tumapel, antara penguasa, orang-orang terdekat dan pihak luar. yang terdekat, peristiwa tahun 1966, 1998 tidak lain adalah rupa prahara dalam kisah Arok dan Tunggul Ametung.

sepertinya, para pemimpin bangsa sendiri sedkit banyak mengetahui bahwa sejarah selalu berulang. itulah mengapa Pak harto mundur dengan terhormat, dibandingkan dengan Tunggul Ametung yang dibunuh oleh tamtama nya sendiri atau Pak karno yang disendirikan. atau kenapa Bu tien yang selalu mendampingi suaminya kemana-mana karena (mungkin) tahu bahwa Pak karno sebagai pemimpin bangsa besar mempesonakan bagi wanita dan Arok sebagai orang yang terlahir sudra, bertingkah satria dan berhati brahmana tidak bisa melepaskan dari jerat indahnya "perhiasan dunia". Ah.. sejarah memang benar menjadi pelajaran berharga.