Thursday, March 29, 2007

bunga bank, riba dan kepraktisan

Bunga bank adalah riba, adalah fatwa yang dikeluarkan MUI tahun awal 2004 lalu. Sudah finalkah? Sekalipun sekarang masih banyak diskusi ataupun ‘gugatan’ yang mempertanyakan fatwa tersebut, fatwa itu tak pernah dicabut hingga sekarang.

Saya tidak terlalu paham tentang bagaimana fatwa itu seharusnya berlaku, karena fatwa sendiri sepengatahuan saya adalah sebuah ijtihad. Dan sebuah ijtihad, adalah karya manusia yang bisa salah dan bisa betul. Pun juga dengan fatwa sebuah ‘perhimpunan ulama indonesia’. Namun, ijtihad/fatwa tentu tidaklah sembarangan. Karena pengeluar fatwa –apa yang saya yakini secara simpel-, tidak bisa lepas diri sepenuhnya atas dosa/pahala orang yang mengikuti ijtihad tersebut.

Dalam kaidah Islam sendiri, ijtihad sendiri menempati rujukan ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits. Dan ijtihad adalah jawaban atas masalah kontemporer, semisal bunga bank yang tidak ada di zaman Muhammad SAW. Dan menyakini kebenaran sebuah ijtihad (apalagi oleh lembaga ulama nasional) sama dengan menyakini kebenaran Al-Qur’an atau menyakini islam sebagai agama bagi pemeluknya. Itu bagian dari aqidah atau keimanan, alias mutlak.

Apa yang kemudian timbul adalah ijtihad yang ‘kurang didukung’ oleh zaman. Dalam kaitan bunga bank, bank syariah sendiri pun saat ini
belum tentu mampu mengoptimalkan peran bank-nya setelah kebanjiran dana migrasi. Belum lagi tentang infrastruktur perbankan yang harus mendukung, mulai jaringan ATM sampai mobile-banking.

Contoh sederhana, ketika jalan-jalan kemudian mampir di cafe, shop, atau berbelanja di
toko buku favorit, pusat elektronik, mall, FO dan lainya, maka akan lebih praktis untuk menggesek kartu debit (sementara debit, bukan kredit!) bank berjaringan merchant luas daripada mengeluarkan cash money. Karena uang cash bisa digunakan untuk hal-hal lain, mulai jaga-jaga hingga transaksi langsung. Dan untuk para netter atau mobiler, banyak fasilitas yang sangat membantu, mulai bayar listrik, tagihan cicilan rumah, transfer dan transaksi keuangan lainnya.

Secara pribadi muslim, disinilah sebenarnya letak-apa yang saya sebut- kecerdasan beragama itu diasah. Sebuah ruang antara konten-konteks ditakar dan diejawantahkan. Satu hal yang pasti, bunga bank itu riba alias haram dan itu harus diyakini. Tentang pelaksanaan, ada beberapa memang yang menjadi pertimbangan. Yang kemudian, pilihan menggunakan lebih dari satu rekening bank pun menjadi solusinya.

Pertama, sebuah atau beberapa rekening bank syariah. Disinilah sesungguhnya yang menjadi tabungan bagi kita (muslim yang menyakini), tempat dana utama kita disimpan. Tentang ‘profit sharing’ bank syariah, memang tidak untuk diharapkan lebih dibandingkan dengan bunga bank, karena kondisi keuangan syariah kita masih belum established. Sekarang, apa yang lebih kita cari adalah yang utama, yaitu keberkahan.

Kedua, karena keperluan kehidupan seperti diatas, maka satu atau beberapa rekening bank non-syariah juga diperlukan adanya (apalagi jika transfer gaji dari perusahaan melalui rekening jenis ini). Disini, uang yang disimpan pun tidak harus benar-benar habis, karena satu kebutuhan kepraktisan kehidupan diatas, dan dua karena biaya administratif yang selalu charged.

Tentang biaya administrasi yang ‘merugikan’ ini, pun bisa disiasati sebagai bagian win-win solution (alias tidak mau rugi!). Seseorang saat masih kuliah sempat menghitung minimal jumlah nominal tabungan ‘bank kerakyatan’ kiriman orang tuanya, dimana bunganya bisa menutup sendiri biaya administrasi bulanan sebesar Rp 5.000,-. Hal sama dilakukan seseorang pada bank swasta terbesar, yang biaya administrasinya sebesar Rp 10.000,-/bulan plus biaya transfer antar bank sesuai kebutuhan yang digunakan rutin bulanan.

Jumlah tabungan minimal itu setidaknya yang selalu ‘tinggal’ di rekening non-syariah, plus beberapa kelebihan untuk kepraktisan-kepraktisan transaksi. Konsepnya ialah autoself-living (menghidupi diri sendir). Sekalipun administrasi tidak sangat besar, tapi sejumlah uang itu pun tetap bisa dimanfaatkan untuk hal manfaat lainnya

Jadi, bunga bank adalah riba, titik! Itu bagian keimanan, yang seharusnya diyakini dalam hati, dinyatakan dalam lisan dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kita sudah menyakini dan melisankannya, lalu tidak sangat-sangat totalitas dalam pelaksanaan tentu akan berbeda jika kita masih ragu, mendebat, dan fully-interest. Dan jika boleh dianalogikan keimanan tentang keuangan syariah itu 100%, maka dengan konsep ini mungkin sudah didapatkan 66,7% atas yakin dan lisan, plus tindakan yang ‘sudah’ 16,7% (dan ada Yang Maha Menghitung).

Dan jika belum, maka sebagai muslim, keislaman kita masih patut dipertanyakan kembali (pun untuk umat beragama lain terhadap keyakinannya masing-masing). Wallahu’alam.

Friday, March 23, 2007

senja dari sebuah kota

Sengaja aku tidak memilih bus kota yang terakhir, sekalipun aku selalu ingin menghabiskan waktu lebih lama di kota ini. Bus terakhir, selalu membawa pesan penuh kehampaan. Wajah para penumpangnya, seperti ada sesuatu yang tak ingin mereka tinggalkan. Wajah tanpa rasa, tatapan kosong ke kaca jendela, memandang khidmat deburan riuh kota, suasana senyap, seolah-oleh mereka ragu untuk segera pergi dari kota ini. Bus terakhir selalu membuka ruang pedih lebih lebar, dengan menunjukan betapa kota ini pun dirasakan berarti bagi orang-orang lain sepertiku.

Bus kota pun melaju pelan, mulai menyusur jalan-jalan kota yang lengang, menyapa arsitektur tempo dulu dan sekarang, untuk menuju tempat akhir sebuah terminal bus di sudut bagian selatan kota. Wajah kota yang redup, lalu sedikit demi sedikit lampu berpijar, sedang bersiap untuk menyambut terpaan malam yang kian dekat. Kesibukan siang pun sedang berganti dengan aktivitas malam. Bus masih berjalan pelan, menerobos butiran hujan rintik yang sudah lama turun, dan menyapukan udara segar ke wajahku. Senja yang indah, halaman buku di pangkaun tak kuasa melawan syahdunya perjalanan ini.

Sampailah bus di tujuanku, kemudian aku harus berganti moda. Kutengok arloji jam, pukul 5. Tapi hujan telah menjadikannya lebih gelap daripada yang seharusnya. Petugas berteriak-teriak lima menit lagi akan berangkat. 5 menit, itulah waktu terakhirku dengan kota ini.

Ku tatap sebuah toko buku di seberang jalan, tempat pertama kali kita berniat untuk bertemu. Tapi kau tak pernah datang, dan itu bukanlah masalah besar pula bagiku. Namun seharusnya, disanalah kita mungkin bertemu dan bertegur sapa.

Dan kemudian, kita tak pernah bersapa kembali. Sebuah penjagaan, dari perasaan yang tak mau berbaik hati. Kita bukanlah yang separti dulu, laksana 2 burung kecil bersayap, terbang bebas kemanapun kita mau. Tidak kenal waktu, siang, pagi buta atau malam hari. Dan sayap burung itu sekarang hanya 1. Jangankan kita minta untuk terbang tinggi, untuk tetap terbang menjaga fitrah Sang-Pencipta pun sudah sangat sulit.

Sekalipun nanti, mungkin kita bersua. Tentu itu bukan pertemuan yang kita kehendaki. Tak mungkin kau berbesar hati menyadari suasana itu. Tak mungkin kau menerima perasaan sederhana, seharusnya kauberikan kepada orang yang lebih tepat menurutmu. Pintu itu sudah tertutup. Sakral bagimu untuk membukanya kembali.

Jika kemudian aku datang ke kota ini, suasana kota inilah yang tak bisa kulepaskan sepenuhnya dari relung dalamku.

Peringatan terakhir sudah dikumandangkan, travel akan segera berangkat. Kuayunkan langkah masuk, mengambil tempat duduk di bagian belakang, bersama seorang laki-laki setengah baya yang sudah mengambil tempat di pinggir jendela. Travel pun mulai merangkak, dan semua penumpang terbelenggu dengan pikirannya sendiri.

”Sedih meninggalkan kota ini dik?”, tiba-tiba laki-laki itu memulai pembicaraan. Sebuah pernyataan menantang. Aku balik menatapnya tajam, dia tetap memandang kosong keluar.
”Saya tebak, adikpun mengalami rasa itu. Ketercekatan meninggalkan suasana kota ini.” Kata-katanya mengalir tajam.
”Mengapa anda bicara seperti itu. Sepertinya anda mengalami hal yang begitu menyedihkan akhir-akhir ini.”
”Yang saya yakini. Semua orang yang pernah merasakan kota ini, lalu akan mencintainya. Selalu ada hal-hal yang menjadi penyebabnya. Dan karena seseorang, adalah penyebab yang paling memilukan.”
”Ijinkan saya menduga. Hati anda sedang merasakan sakit karena seseorang?”

Wajahnya menatap diriku, kami berpandangan sesaat. Mungkin usianya belum 30 tahun, cukup tampan dan memiliki aura keteduhan. Tak berapa lama, diputarnya kembali kepalanya menuruti kehendak matanya memandang keluar. Travel mulai masuk ke jalan luar kota, sebuah jalan menyusur bukit-bukit indah.

”Apakah itu artinya anda berusaha untuk melupakan kota dan segala kenangannya? Kesakitan adakala harus diobati dengan kembali ke tempat muasal sakit itu timbul. Atau ke tempat-tempat lain yang mampu mengalihkan rasa itu. Sepenuhnya bukan untuk mengobati, sekedar menindih atau memberikan sedikit ruang untuk adanya rasa-rasa lainnya.”
”Ya, begitulah rasa itu menggelayut dalam jiwa ini. Mungkin kali ini, kesekian kalinya saya hadir disana dengan penuh pundi harapan.” Sedikit serak suaranya mengatakan kalimat itu. Suasana hening, hanya derum mesin dan suara lalu lalang kendaraan lain yang melintas.

”Dulu saya berpikir, rasa itu akan hilang oleh terpaan angin di padang gurun kesepian nan luas. Saya sudah mencobanya di banyak tempat, tapi selalu saja gagal dan gagal.”
”Lalu, kemana anda akan melangkah saat ini?”
”Jika di tempat sunyi tak juga membuatnya hilang, mungkin rasa itu akan hilang di tempat paling ramai di dunia, Cina.”
"Tampaknya begitu berartinya dia bagi anda.”
Laki-laki itu menghela nafas, dengan pandangan yang masih menatap kosong keluar.
"Selaksa kasih sayang tercurah terhadap seseorang, dan hidup telah kita berikan demi masa depannya."

”Apakah itu artinya anda ikhlas membohongi diri sendiri?”
”Tidak, saya sedang mencoba memahami. Perasaan yang tulus seharusnya bisa saling mengerti, sekalipun hanya dengan menatap tanpa mengutarakan. Perasaan itu, harusnya tak perlu membuat dua orang harus saling mengemis untuk sebuah kata.”

Hujan rintik mulai semakin deras. Malam hari kiat pekat, sepekat pembicaraan kami malam itu. Laki-laki di sebelahku bukan manusia biasa, dan karena ketidakbiasaan itu mungkin dia menerima nasibnya. Dunia itu adil, hanya kepada orang-orang yang mampu saja, perasaan penuh makna itu dihadirkan.

”Anda berkesempatan bertemu, atau setidaknya untuk mengucapkan kalimat terakhir kepadanya?”
”Ya.. sore kemarin di depan toko buku.”
”Lalu, apa yang anda katakan?”
”Jika suatu masa kita bertemu, kita adalah hidup kita masing-masing. Andai pintu itu ada nantinya, kita bisa memulainya dari awal dengan lebih tulus.” Sebentar dia berhenti, menghirup napas panjang.
”..., jika kita tidak bisa saling menyayangi saat ini, setidaknya kita tidak untuk saling membenci...”

Tuesday, March 20, 2007

sepanjang bandung

long weekend kemarin, adalah waktu menjalin keeratan kembali dengan 'second wife'. jika biasanya rute cikampek-bandung melalui purwakarta, saatnya untuk melihat sisi dunia yang lainnya. maka cikampek-subang-bandung adalah jejak langkah yang dihasilkan.


kesan pertama, jalan menuju subang atau antara subang-bandung bukanlah jalan yang lebar (tipe II) seperti halnya jalan dari purwakarta-bandung (non-tol). jalan jalur subang relatif sempit, mungkin karena jarang dilalui truk-truk berat, sekalipun bus besar banyak juga yang ber-rute subang (subang-jakarta/bogor dll). akibatnya, kecepatan motor tak bisa dioptimalkan, mungkin rata-rata 60 Km/jam, berbeda dengan jalur purwakarta yang kecepatan motor bisa digeber rata-rata 70 Km/jam.

secara jarak tempuh, jalur subang ke bandung sekitar 100 km, melalui lembang. bandingkan dengan jalur purwakarta yang 'hanya' sekitar 90 km. beda 10 km kurang lebih, namun karena track (kondisi jalan, gradien jalan/pegunungan dsb), jalur subang harus ditempuh 2 jam. sedangkan purwakarta, sekitar 1,5 jam pun cukup.

namun, view jalur subang jauh lebih indah dibandingkan jalur purwakarta. inilah mungkin yang menjadikan 'touring' ini worthed. di bawah adalah beberapa jepretan 'non-profesional', anggap saja sebagai oleh-oleh perjalanan.

salah satu sudut kota subang yang cukup asri.


jalan kota subang yang paling berkesan (sampai dibelain muter lagi untuk ambil gambar ini)

pemandangan di sekitar ciater, sebelum tangkuban perahu.

sayangnya, hanya jepretan itu yang dibawa. banyak sekali yang menakjubkan, namun tak sempat diabadikan. kasihan second wife, kalau harus berhenti, jalan menanjak, berhenti lagi dst. mungkin lain kali beberapa spot yang sudah ditandai akan dijepret pula.

pagi ini, berangkat dari bandung, ingin merasakan berkendara dari bandung pagi-pagi. inilah kira-kira sudut kecil bandung di pagi hari.

jalan dago (juanda) yang terkenal itu, masih gelap sekitar pukul 05.10 (what an 'unwell' pic!).

dari atas jalan layang surapati (menyempatkan sejenak berhenti), sekitar pukul 05.15. masih relatif gelap juga bandung kota.

yang ini, tiang pancang surapati (hasil cipta karya anak negeri?). dan tampaknya, ada seseorang yang sedang bersiap menyambut mentari pagi bandung.

pagi tadi, 'touring' beralih menggunakan jalur purwakarta saja, lebih 'safe' dan more-experienced. sayangnya (lagi), view jalur ini tak sempat dijepret. cipularang dari atas juga ada sebenarnya. namun, perjalanan pagi ini sedikit was-was dengan sedikit macetnya jalan di purwakarta, apalagi setelah long weekend. belum lagi hujan saat baru tiba di cikampek. dan akhirnya, masuk ke kantor hari ini pun sedikit terlambat.

anyway, setiap perjalanan selalu memberi kesan.

Monday, March 12, 2007

Perjalanan

Setiap perjalanan mempunyai arti, bahkan ketika itu dilakukan oleh orang dan yang sama di tempat sama pula. Bagi sebagian orang, perjalanan membuka tabir kebertahanan, menjadi apa adanya dan lepas. Bagi orang lain, perjalanan adalah hidupnya. Tak mampu ia melanjutkan hidup penuh makna tanpanya.

Lalu, ada yang melihat perjalanan selain sebagai rekreasi. Ya… bahkan dia lebih mencintai perjalanan daripada tujuan perjalanan itu. Tapi bagi yang lain, perjalanan hanya masalah berpindah dari tempat satu ke tempat lain, tak ubahnya tidur sejenak kemudian tiba. Masing-masing kita punya rasa tentang perjalanan. Aku melihat perjalanan sebagai bagian dari hidup, mencari inspirasi dan rekreasi. Terlalu berlebihan? Tidak juga.

Perjalanan selalu memberikan kesan bahwa kita sedang melanjutkan penggalan hidup. Jika kita melakukan perjalanan jauh, maka tujuan kita untuk sampai di jauh tersebut. Jauh itu adalah hidup kita, maka perjalanannya pun menjadi bagian hidup itu.

Perjalanan selalu membuat orang merenung, sadar atau tidak. Tentang dirinya, orang lain atau kehidupan. Tak jarang, kejernihan pikiran dicapai disana. Lalu datanglah banyak gagasan dan inspirasi. Makanya tak heran, jika Yusuf Qardhawy beberapa kali menghasilkan buku dalam perjalanannya.

Perjalanan adalah rekreasi, karena sangatnya menikmati perjalanan itu. Orang yang berpisah, berjuang hidup dan banyak ekspresi ada disana. Rekreasi, karena sesudahnya kita justru merasa segar. Setelah banyak hal yang kita dapatkan setelah perjalanan.

Sangat mencintai perjalanan, hingga pernah suatu waktu dulu, naik bus ke Jogja dan kembali lagi hanya karena ingin menikmati suasananya. Banyak orang pergi diiringi lambaian tangan, perjuangan mencari sesuap nasi di terminal, dan beberapa tembang khas. Dan pada saat Ramadhan, banyak orang dalam perjalanan tidak seberapa itu yang tidak berpuasa. Di terminal, tak terasa kalau itu adalah bulan suci.

Dan karena pernah hampir tiap bulan ke Jogja saat itu, sampai titen (menandai) kalau di terminal Tirtonadi Solo, ada ”mbak” yang menyanyikan lagu D'Loyd, sebagian liriknya :
Hingga di suatu masa
Kau juga kan merasa
Betapa sakitnya hati terluka
Karena.. cinta..


Di waktu itu pula, ada kawan Surabaya yang sering mengajak jalan ke Surabaya saat weekend. Atau kalau kita bosan ke Surabaya, kita main ke Jogja. Impian kami adalah naik Sancaka (Surabaya-Madiun-Jogja pp) dengan nyaman, tapi hingga sekarang pun tidak kesampaian. Padahal kita dulu pernah mengubah lirik sebuah lagu :
Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
Dari tempatku ku bersandar
Seiring alun Sancaka (Kereta, ver aslinya)...


Juga pernah saat sudah kuliah, bukan karena tidak ada uang, beberapa kali naik kereta Kahuripan (kami orang jawa, sering menyebutnya ”Kehidupan”), Bandung-Madiun-Kediri pp. Benar-benat kahuripan (kehidupan), karena menampilkan potret kehidupan asli rakyat kita. Menarik, banyak dapat hikmah-hikmah beratnya kehidupan dari sana. Panas, sumpek dan lapar, itu tak jadi soal, hanya butuh ditahan dan melihat sketsa alam di luar.

Perjalanan pula salah satu yang membuat seseorang suka berbagi cerita, cerita perjalanan. Semua moda transportasi pernah dirasakan, Bus, KA, Kapal dan Pesawat. Semuanya berkesan bagi, tapi KA yang membuat paling memberi arti lebih. Melihat manusia menunggu di peron stasiun, mereka menunggu untuk pergi sendiri, bukan menunggu untuk dijemput. Dan beberapa kali, sengaja datang lebih awal untuk menikmati suasana peron sambil membaca.

Maka akan kita temukan. Rintihan roda kereta, suara peluit stasiun, lambaian tangan para pengantar kemudian pandangan yang mulai bergerak pelan lalu makin cepat dan cepat. Jika masih ada cahaya mentari, pasti indah. Seperti sebuah pameran lukisan kehidupan yang berjalan.

Namun, hampir dalam tiap perjalanan bangku sebelah selalu ”kosong”, belum ada teman bercerita. Dan SMS yang sering menemani. Berbagi suasana perjalanan. Ada yang ”terima”, apa adanya dan ada yang balik menantang. “Perjalanan membuka hati. Jangan hiraukan orang jika kau menangis, ataupun tertawa sendiri. Karena itu adalah hidupmu. Dan aku pun sering melakukannya”.

Perjalanan ”membuka” seserang, seperti juga perkataan Umar bin Khatab, bahwa jika ingin mengetahui kepribadian seseorang, maka lakukanlah tiga hal dengan orang lain, yaitu bermalam, berdagang dan perjalanan. Hanya SMS, sahabat tidak nyata duduk di sebelah. Tapi cukup mengurangi kerinduan kebersamaan dengan seseorang di perjalanan.

Karena perjalanan berarti saat ini dan nantinya, maka harus menyiapkan segalanya. Indonesia adalah negeri bahari, maka kita pula yang harusnya menikmati kebaharian itu yaitu dengan belajar selam. Dalam kunjungan ke Pantai Senggigi, Lombok (ah..betapa indah negeri ini. Apa hanya orang asing yang justru menikmatinya?) atau di Toba, banyak cerita perjalanan dari sana. Belum lagi jika berkesempatan ke Bunaken, Hutan Kalimantan, Papua dan seluruh Indonesia. Sayang jika kita tak berniat meyelami indahnya bumi kita, karena kita adalah anak semua bangsa.

”Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman.” (Q.S Saba’ [34] : 16)

Tapi hati-hati, perjalanan pula yang menjadikan seseorang menjadi ”bebas”, tidak terikat. Oleh karenanya, bila tiba waktunya kelak, mungin kuajak serta ”dia” dalam perjalanan. Berbagi cerita dalam perjalanan, menyelami indahnya lukisan alam dan belajar banyak hikmah dari sana.

***
Perjalanan inipun kadang merampas pijak hatiku
Sekali waktu pun mungkin menggoyahkan pundi cintaku
Melepaskan setiaku
Menafikkan engkau disana

Maafkan aku,
Cepat ku kembali...

Wednesday, March 07, 2007

kalender sejarah

Akhir-akhir ini, saya suka belanja buku di Togamas Bandung di Jalan Supratman. Pertama kenalnya dari Togamas Jogja. Satu pastinya, diskon dibandingkan dengan Gramedia sekalipun koleksi tidak sama lengkap dan ruang yang tidak sangat besar. Diskonnya sendiri sebenarnya masih kalah jika dibandingkan Palasari, kawasan pasar buku di Bandung. Tapi, selisih rata-rata 10% wothed-lah. Karena tidak sumpek dan relatif dekat dari kontrakan. Lagian, majalah didiskon 5%, lumayan.

Akhir pekan lalu, keinginan ke Togamas datang lagi setelah dari Pesta Makanan di Gasibu. Sekalian dekat. Daftarnya kali ini, cerita Perang Bubat punyanya Langit Kresna, sebuah buku komputer dan Gatra (mengejar "Hoakiao dari Jember" Andreas Harsono. Sebelumnya teman sms, naskahnya yang semula untuk Jakarta Post minggu tentang pembunuhan di Papua tak lolos dewan redaksi. Industri media!!). Kalau nafsu sulit dibendung, Bandung Di Gambar (dapat poster lukisan Gedung Sate euy..) mungkin juga masuk tas. 15 menit cukuplah, karena tujuan buku sudah jelas.

Oh, ternyata ada stan khusus buku-buku tentang sejarah. Yang menarik selain diskonya yang besar, setiap pembelian buku dapat hadiah Kalender Sejarah. Penasaran, bolehlah ’mencoba’ satu buku. Artinya harus ada daftar buku yang dirubah, dan itu adalah Bandung Di Gambar (ada yang mau memberi?).

Menarik kalender sejarah ini. Pertama judulnya: Kalender Sejarah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Bukan lazimnya kalender, hari ’merah’ di kalender ini berkaitan dengan peristiwa manusia. Tentu manusia yang menurut pembuatnya, layak masuk kategori 'manusia dalam kemelut sejarah'. Anda menebak itu hal-hal yang kontroversi? Tentu saja sebagian besar benar.

Inilah beberapa contohnya:
19 Februari 1949, Tan Malaka ditahan dan ditembak mati oleh pasukan Republik di Jatim.
30 April 1945, Adolf Hitler meninggal.
5 Mei 1993, Marsinah diculik dan beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan.
21 Juni 1970, Sukarno meninggal dunia dalam tahanan rumah.
7 September 2004, Munir tewas dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam.

22 November 1945, JF Kennedy tertembak di Dallas, Texas.

Ada juga peristiwa yang terekam dalam kalender ini, seperti:
15 Januari 1974, bentrokan menyambut PM Jepang, yang berakhir 11 tewas, 300 luka, 775 ditahan dan dikenal Malari.
11 Maret 1966, Surat Perintah Sebelas Maret dikeluarkan Soekarno dibawah tekanan.
18 September 1984, peristiwa tanjung priok.
7 Desember 1975, Tentara Indonesia di bawah Moerdani menyerbu Timor-Timur, dikenal Operasi Seroja.
26 Desember 2004, Tsunami di NAD menewaskan ratusan ribu orang.
1 Januari 2007, pesawat Adam air menghilang dalam penerbangan Surabaya-Manado.

Menarik? Aneh? Tidak adil? Mungkin itu sebagian perasaan yang timbul setelah membaca contoh diatas. Tidak runtut memang, pun tidak semua ‘peristiwa besar sejarah’ ada di kalender tersebut. Yang ‘aneh’ mungkin (atau justru menarik?), Adam Air dan Lapindo pun masuk disana.

Apapun itu, tetap saja kalender itu menarik bagi saya. Dari judul yang memikat, hingga isinya secara umum menarik (sekalipun ada perasaan ganjil juga kenapa ini-itu masuk). Beberapa weekend lalu, sejarah ‘perjuangan wanita’ dihadirkan dalam Biru, Hitam, Merah Kesumba. Dan kali ini, ada jejak sejarah lagi yang lain.

Saya jadi berpikiran, mungkin kita sudah waktunya untuk membuat catatan sejarah pribadi. Kapan kita dilahirkan, masuk sekolah, bisa membaca, mulai marasakan jatuh cinta, lalu patah hati dan kapan lulus kuliah atau peristiwa-peristiwa lainnya yang penting bagi diri kita. Kalau tak kita sendiri, pasti tak ada yang akan mau membuat sampai sedemikian detilnya. Buat apa? Karena manusia selalu dalam kemelut sejarah, terutama sejarahnya sendiri.

Monday, March 05, 2007

Pesta Makanan di Bandung

Sabtu lalu, Bandung punya hajat. Festival Jajanan Bango, diadakan di lapangan Gasibu Bandung. Perhelatan ini konon pertama kali-nya diadakan oleh Kecap Bango sebelum acara sama di kota-kota lain nantinya. Saya sendiri, datang sekitar pukul 2 siang. Cuaca agak mendung, dan justru membuat tidak panas namun khawatir juga jika akhirnya hujan.

Banyak stan-stan makanan yang turut serta. Ada Pepes Ikan Tasik, Cendol Elisabeth, Batagor Riri, Siomay Dan Es Bungsu, Gado2 Tengku Angkasa, Kantin Sakinah, Kupat Tahu Gempol, Martabak Jepang, Martabak Sanfransisko, Lomie Imam Bonjol, Lontong Kari Gg Kebon Karet, Nasi Bakar 15, Nasi Goreng Lodaya. Lalu ada juga Nasi Timbel Istiqomah, Nasi Tugtug Oncom Saparua, Mie Kocok Skm, Rm Manjabal, Sate Hadori, Sate Maranggi, Soto Bandung Ojolali, Sop Kaki Sapi Pak Kumis Banceuy, Warung Kopi Ranca Kendal, Kafe Enjoy, Es Goyobod, Serabi Imut Setiabudi, Warung Bawal Reds Dipo, Nasi Kuning Pasirkoja dan aneka jajanan khas Bandung.

Bukan hanya makanan khas bandung yang turut serta. Ada “perwakilan” dari daerah lainnya. Sebut saja ketoprak ciragil, nasi uduk laksa betawi yang dari Jakarta, lalu Rawon Setan dan Rujak Cingur Sedati dari Surabaya, serta Soto Udang Kesawan dari Medan.

Arena pameran dibuat tertutup pagar, dengan satu pintu masuk di depan Gedung Sate. Stan-stan dibuat melingkar di bagiam dalam pagar. Sedangkan di tengah-tengahnya selain ruang terbuka, ada deretan meja-meja makan dan counter dari produk makan Unilever macam Teh Sariwangi, Walls dan lainnya. Persis di tengah-tengah arena juga terdapat panggung yang menyajikan hiburan dipandu dua orang MC. Mulanya, lagu-lagu sunda yang dibawakan, kemudian lagu-lagu pop pun mengalir ringan.

Setelah berputar, semakin bingung menentukan pilihan sedangkan waktu sudah hampir jam 3 dan belum makan siang, maka jatuhlah pilihan ke Mie Baso Tegalega. Lumayan juga harganya, 8 ribu se-porsi. Rasanya? Hmm, ga segitunya sebenarnya. Tapi bolehlah, karena ini pesta makanan. Jadi mungkin rasa tidak optimal dan lebih mengejar momen-nya.

Kemudian berpikir, minumnya apa ya? Acara yang jarang seperti ini, minum jangan yang biasa saja. Muter-muter lagi, dan menemukan Es Goyobod. Pertama liat, nama yang aneh. Tapi murah, minum disitu Rp 1500 dan kalau dengan cup yang bisa dibawa Rp 2000. Mungkin karena khas dan murah, antrian pun memanjang. Setelah menunggu 20-an menit, akhirnya giliran tiba. Lama ngantri, masa cuma beli 1. Satu gelas diminum langsung dan 1 cup cukup untuk mereda “nafsu”.

Makan sudah, minum pun sudah. Sekarang, waktunya nyobain jajanan. Muter-muter lagi. Wow, es durian yang dari awal datang banyak antrian, masih saja mengekor sekitar 50-an orang. Niat betul orang-orang ini.

Surabi imut, kayanya asyik. Mendekat, koq sebagian besar perempuan yang pesan. Agak mundur lagi, jadi atau tidak. Jadilah, maka berniat untuk memesan. Tengok harga, rata-rata mulai Rp 4000 (ini mah bukan imut!). Lalu, terdengar bisik-bisik ibu di sebelah, ”antrian 205, sekarang baru 150”. Wah.., bisa sampai maghrib kalau kaya gini. Ikhlaskan sajalah!

Tak terasa, sudah jam 4 lewat. Saya belum Ashar juga. Jadi, waktunya untuk keluar arena. Menikmati juga jalan-jalan sendiri seperti ini. Cuek saja, sekalipun banyak yang datang biasanya berdua atau rame-rame. Pun tak ada teman yang menyapa. Oiya, mungkin karena di hari yang sama ITB punya gawe, wisuda lulusan Maret 2007. Akhirnya, buat teman-teman yang lulus, selamat ya...