Salah satu gejala yang biasanya terjadi di kalangan anak muda yang sudah berpenghasilan adalah meningkatnya kebutuhan hidup, alias bertambahnya pengeluaran. padahal, sebelum berpenghasilan sendiri (dari kiriman ortu), dia biasanya bisa hidup dengan 'seadanya', namun ketika sudah bisa 'mandiri', pola hidupnya pun sedikit demi sedikit berubah.
Ada bebarapa hal yang bisa dijadikan langkah-langkah untuk mengelola keuangan, terutama bagi kalangan yang masih 'panjang hidupnya' dan di sisi lain adanya mental 'kecukupan mendadak' setelah berpenghasilan sendiri.
Pertama, 50 persen pendapatan. maksudnya, belanjakan maksimal 50% dari pendapatan/penghasilan (take home pay). konsep ini melatih untuk selalu hidup di bawah kemampuan maksimal-nya. karena tidak selalu roda kehidupan berada di atas, ada kalanya di bawah dan kondisinya terjepit. jika kita bisa berpenghasilan 1 bulan, maka dengan 50% pendapatan, itu cukup untuk hidup 2 bulan. jika 3 (bulan atau tahun), maka 6 (bulan/tahun). itulah contoh praktisnya.
Dari konsep diatas, maka minimal 50% penghasilan akan menjadi tabungan (saving). minimal, jadi bisa saja lebih besar nominal yang harus disimpan daripada yang dibelanjakan. dengan tabungan atau simpanan ini, maka memicu adanya tindakan berikutnya.
Kedua, investasi, dan investasi. Landasan paling mendasar investasi (di sektor riil) adalah nilai uang yang terus menurun sejalan dengan waktu (time value of money). sekalipun besar tabungan, nilai tukar riil jumah yang besar tersebut akan berkurang seiring waktu berjalan. katakanlah besar bunga (interest) atau bagi hasil (profit sharing) dari lembaga keuangan maksimal 6% per tahun, sedangkan inflasi tahunan rata-rata 8%, maka nilai uang yang disimpan tersebut secara nilai tukar akan turun 2%.
Selain pertimbangan time value, ada pertimbangan lain yaitu ikut menggerakan sektor riil dan sosial. Sektor riil merupakan lapangan usaha yang bergerak di tengah masyarakat. sektor riil tidak berkaitan tepat langsung dengan makro ekonomi yang diwakili oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, GDP (Gross Domestic Product), neraca pembayaran dll, atau dengan perangkat-perangkatnya semisal bursa saham. Bisa saja terjadi, GDP sebuah negara tinggi dengan IHSG yang fanstastis namun sektor riil-nya tidak bergairah. hal itu mungkin disebabkan investasi baru (riil) tidak terjadi dan hanya 'permainan' jual/beli saham (atau alat tukar keuangan lainnya) semata.
Alasan sosial investasi, karena biasanya teman atau kerabat dekat yang merintis usaha baru membutuhkan modal usaha atau investasi, dimana lembaga keuangan formal kemungkinan besar akan menilai tingkat kelayakan atau kepercayaan (reliability) yang rendah terhadap usaha-usaha yang baru dirintis tersebut. Tentu, bukan berarti investor non-lembaga keuangan tidak berhitung resiko. Alangkah sayang, jika pengorbanan yang dilakukan dengan konsep 50% tadi diakhiri dengan investasi tiada hasil bahkan hilang pula pokoknya.
Sepertinya, masalah investasi akan dibahas lebih detil dalam tulisan yang lain nantinya, karena ada beberapa hal yang harus sama-sama diperhatikan dalam berinvestasi, yaitu profitability (keuntungan), durability (ketahanan), dan yang paling penting keberkahan.
Jadi, yang lebih penting saat ini bagaimana menjalankan konsep 50% sehingga mampu menyisihkan uang sebanyak-banyaknya (investasi dalam nominal 'kecil', tentu sangat jarang), dan kemudian berpikir untuk investasi. pertanyaan-nya kemudian, berapa jumlah minimal penghasilan sehingga konsep 50% bisa berjalan?
Pertanyaan tersebut memberikan jawaban yang subyektif karena 'standar' setiap orang berbeda. seorang buruh pabrik di jakarta mungkin akan berpenghasilan sekitar 1 juta (sesuai UMP) dan dengan beberapa tambahan hingga taruhlah 2 juta sampai ke rumah (take home pay). ada lebih banyak yang di bawah angka tersebut, tapi tidak sedikit pula yang diatasnya. menurut saya, angka 2 tersebutlah (ada teman yang menyebut 1,5) yang bisa dijadikan batas bawah biaya hidup di kota besar (baca: Jakarta).
Kemudian, konsep 50% bergerak dari batas bawah tersebut. Misalnya, jika berpenghasilan 2,5 juta, maka 500 ribu setidaknya bisa disimpan. dan jika 10 juta, maka belanja maksimal harus 5 juta. sekali lagi, semua terserah pada personal karena 'standar hidup' masing-masing berbeda, antara seseorang single atau married, yang sudah menikah antara dua-duanya bekerja atau salah satu, dan antara tinggal jakarta atau jogjakarta. Angka 2 tentu menjadi besar buat mantan mahasiswa rantau yang pernah bisa hidup dengan 500 ribu/bulan (diluar biaya kuliah+kontrakan), atau menjadi tak berarti karena 2 juta itu juga sudah habis buat BBM mobil (apalagi tol, parkir dll).
Namun, disitulah sebenarnya kita harus mengukur diri, dimana sebenarnya kita berada. Esensinya adalah, paradigma dan kepandaian kita dalam mengelola keuangan dan sebisa mungkin menyisihkan sebagian penghasilan. Dan jangan sampai, seperti pepatah, Besar Pasak Daripada Tiang. Penghasilan besar, memang membuka peluang bisa menyimpang lebih besar. Itu benar, tapi tidak selamanya menjamin. Yang lebih pasti, besar penghasilan akan mendorong manusia untuk lebih banyak pengeluaran.
Akhirnya, bukan besar kecilnya penghasilan, namun seberapa besar yang bisa disimpan. Dan sebaiknya, memberikan 'buah tangan' kepada ibu, sekalipun beliau masih mampu, karena akan membahagiakan beliau dengan kondisi anaknya. Serta jangan lupa, kewajiban zakat dan atau infaq yang harus ditunaikan.
Selamat belajar mengelola keuangan!
Ada bebarapa hal yang bisa dijadikan langkah-langkah untuk mengelola keuangan, terutama bagi kalangan yang masih 'panjang hidupnya' dan di sisi lain adanya mental 'kecukupan mendadak' setelah berpenghasilan sendiri.
Pertama, 50 persen pendapatan. maksudnya, belanjakan maksimal 50% dari pendapatan/penghasilan (take home pay). konsep ini melatih untuk selalu hidup di bawah kemampuan maksimal-nya. karena tidak selalu roda kehidupan berada di atas, ada kalanya di bawah dan kondisinya terjepit. jika kita bisa berpenghasilan 1 bulan, maka dengan 50% pendapatan, itu cukup untuk hidup 2 bulan. jika 3 (bulan atau tahun), maka 6 (bulan/tahun). itulah contoh praktisnya.
Dari konsep diatas, maka minimal 50% penghasilan akan menjadi tabungan (saving). minimal, jadi bisa saja lebih besar nominal yang harus disimpan daripada yang dibelanjakan. dengan tabungan atau simpanan ini, maka memicu adanya tindakan berikutnya.
Kedua, investasi, dan investasi. Landasan paling mendasar investasi (di sektor riil) adalah nilai uang yang terus menurun sejalan dengan waktu (time value of money). sekalipun besar tabungan, nilai tukar riil jumah yang besar tersebut akan berkurang seiring waktu berjalan. katakanlah besar bunga (interest) atau bagi hasil (profit sharing) dari lembaga keuangan maksimal 6% per tahun, sedangkan inflasi tahunan rata-rata 8%, maka nilai uang yang disimpan tersebut secara nilai tukar akan turun 2%.
Selain pertimbangan time value, ada pertimbangan lain yaitu ikut menggerakan sektor riil dan sosial. Sektor riil merupakan lapangan usaha yang bergerak di tengah masyarakat. sektor riil tidak berkaitan tepat langsung dengan makro ekonomi yang diwakili oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, GDP (Gross Domestic Product), neraca pembayaran dll, atau dengan perangkat-perangkatnya semisal bursa saham. Bisa saja terjadi, GDP sebuah negara tinggi dengan IHSG yang fanstastis namun sektor riil-nya tidak bergairah. hal itu mungkin disebabkan investasi baru (riil) tidak terjadi dan hanya 'permainan' jual/beli saham (atau alat tukar keuangan lainnya) semata.
Alasan sosial investasi, karena biasanya teman atau kerabat dekat yang merintis usaha baru membutuhkan modal usaha atau investasi, dimana lembaga keuangan formal kemungkinan besar akan menilai tingkat kelayakan atau kepercayaan (reliability) yang rendah terhadap usaha-usaha yang baru dirintis tersebut. Tentu, bukan berarti investor non-lembaga keuangan tidak berhitung resiko. Alangkah sayang, jika pengorbanan yang dilakukan dengan konsep 50% tadi diakhiri dengan investasi tiada hasil bahkan hilang pula pokoknya.
Sepertinya, masalah investasi akan dibahas lebih detil dalam tulisan yang lain nantinya, karena ada beberapa hal yang harus sama-sama diperhatikan dalam berinvestasi, yaitu profitability (keuntungan), durability (ketahanan), dan yang paling penting keberkahan.
Jadi, yang lebih penting saat ini bagaimana menjalankan konsep 50% sehingga mampu menyisihkan uang sebanyak-banyaknya (investasi dalam nominal 'kecil', tentu sangat jarang), dan kemudian berpikir untuk investasi. pertanyaan-nya kemudian, berapa jumlah minimal penghasilan sehingga konsep 50% bisa berjalan?
Pertanyaan tersebut memberikan jawaban yang subyektif karena 'standar' setiap orang berbeda. seorang buruh pabrik di jakarta mungkin akan berpenghasilan sekitar 1 juta (sesuai UMP) dan dengan beberapa tambahan hingga taruhlah 2 juta sampai ke rumah (take home pay). ada lebih banyak yang di bawah angka tersebut, tapi tidak sedikit pula yang diatasnya. menurut saya, angka 2 tersebutlah (ada teman yang menyebut 1,5) yang bisa dijadikan batas bawah biaya hidup di kota besar (baca: Jakarta).
Kemudian, konsep 50% bergerak dari batas bawah tersebut. Misalnya, jika berpenghasilan 2,5 juta, maka 500 ribu setidaknya bisa disimpan. dan jika 10 juta, maka belanja maksimal harus 5 juta. sekali lagi, semua terserah pada personal karena 'standar hidup' masing-masing berbeda, antara seseorang single atau married, yang sudah menikah antara dua-duanya bekerja atau salah satu, dan antara tinggal jakarta atau jogjakarta. Angka 2 tentu menjadi besar buat mantan mahasiswa rantau yang pernah bisa hidup dengan 500 ribu/bulan (diluar biaya kuliah+kontrakan), atau menjadi tak berarti karena 2 juta itu juga sudah habis buat BBM mobil (apalagi tol, parkir dll).
Namun, disitulah sebenarnya kita harus mengukur diri, dimana sebenarnya kita berada. Esensinya adalah, paradigma dan kepandaian kita dalam mengelola keuangan dan sebisa mungkin menyisihkan sebagian penghasilan. Dan jangan sampai, seperti pepatah, Besar Pasak Daripada Tiang. Penghasilan besar, memang membuka peluang bisa menyimpang lebih besar. Itu benar, tapi tidak selamanya menjamin. Yang lebih pasti, besar penghasilan akan mendorong manusia untuk lebih banyak pengeluaran.
Akhirnya, bukan besar kecilnya penghasilan, namun seberapa besar yang bisa disimpan. Dan sebaiknya, memberikan 'buah tangan' kepada ibu, sekalipun beliau masih mampu, karena akan membahagiakan beliau dengan kondisi anaknya. Serta jangan lupa, kewajiban zakat dan atau infaq yang harus ditunaikan.
Selamat belajar mengelola keuangan!
12 comments:
Asik, comment pertama :D.
Urutannya salah Trian...
1st: bayarin dulu zakat maalnya 2,5 %, walopun secara hukum belum tentu dah masuk nisab :D, ini salah satu pembelajaran yang sangat baik dalam mengelola keuangan... ;)
*kasarnya, mastiin dulu, kalo penghasilan kita tuh dah bersih [gak ada hak orang lain nyangkut di pendapatan kita] :D*
another comment menyusul (kalo ada ide lagi, :D), sekarang mah matanya dah maksa-maksa buat tidur ~_~
verifying words: jahyjca
aneh2 aja kata verifikasinya ...
saya dulu juga mikirnya gitu Ma, tapi ternyata orang tua, kerabat dekat itu yang lebih harus diutamakan daripada zakat profesi 2,5% ke lembaga zakat.
(Jagalah kerabatmu dari api neraka.. , kefakiran itu mendekatkan pada kekafiran.. -CMIIW)
jadi tetap, jika belum masuk nishob 'belum ada' kewajiban zakat.bagusnya memang, ke keluarga iya (jika masih ada butuh) dan ke lembaga zakat iya.
comment part dua:
hehehe, Rachma diajarinnya gitu sih, keluarin dulu 2,5 %, biasanya ke mesjid, bukan ke lembaga zakat institusional...
Kalo buat keluarga mah... y biasanya Rachma ngasi tau punya tabungan segini, punya tunai segini... terus misal bilang ... mu dipake buat ganti HP segini :P, mu dipake beli gadget lain segitu :D.
Tapi ujung-ujungnya...ortu bilang gini:"Loh, punya uang segitu toh? kalo gitu Mama pake dulu yah"
jreng jreng...bye bye the planned to buy gadget... heuheuheu
[Trian,eta pertanyaan dragon ball di buku tamu belum dijawab... pundung ah, ngisi biku tamu teh gak ditanggepin]
heheheh
:P
kee writing ;)
verifying amcgesyg
Sepertinya harus pintar2 mengatur uang nih, perempuan itu kadang suka boros... membeli suautu yang gak perlu, hehehe...
Dan konsumtif... :D
Marrriii menabung...
Kontan no.42-Xi minggu ke-III Juli 2007, keluarga yang memiliki kondisi keuangan sehat, akan memiliki komposisi pengeluaran bulanan sbb:
-30% mencicil utang (KPR)
-30% menabung dan berinvestasi (untuk tujuan finansial)
-20% kebutuhan pokok (makanan, air, listrik, gas, transportasi dsb)
-20% lifestyle (Hp, hobi, salon, fitnes, makan, kado ultah, pakaian dll)
Tapi itu hanya panduan, saya saat awal mulai kerja, 70% malah untuk kost dan makan, sisanya baru yang lain-lain.
oya, ada juga Pak formula 1234 dari pak Edy Zaqeus (di buku "Orang Gajian juga bisa kaya"):
10% amal (zakat,infaq,dkk)
20% investasi (training,beli buku,investasi real tadi)
30% ditabung
40% kebutuhan konsumtif (makan,bayar macem2)
katanya sudah dicoba 5tahun, dan bisa jadi jalan "kaya" menurut buku itu.
#yzi: perempuan,mungkin ada benarnya juga.
btw, ada tetangga sebelah bilang, laki-laki rela mengeluarkan uang 1.200,- demi membeli barang seharga 1.000,- yang diperlukannya, sedang perempuan rela mengeluarkan uang 800,- untuk membeli barang seharga 1.000,- yang tidak diperlukannya.
#Bu Enny adan Mas agung: siip, sip, terima kasih.
sharing ilmunya bisa dipraktekan juga nih, buat alternatif makin kaya.. :)
iki mantep juga
wah boleh di terapin nich mas. makasih
hahahaha depannya buauuusss blakangnya buat zakat... wah kejar dunia akhirat nih
Cuma masalahnya saya kadang sulit untuk memulai menabung, karena kebiasaan jajan saya yang kadang ga terkendali. Gimana ya kira - kira solusinya. Salam Mitra Rencana Edukasi
Cuma masalahnya saya kadang sulit untuk memulai menabung, karena kebiasaan jajan saya yang kadang ga terkendali. Gimana ya kira - kira solusinya. Salam Mitra Rencana Edukasi
Post a Comment