Thursday, August 02, 2007

Memilih pekerjaan, perlukah idealis?

Sebenaranya, apa yang kita cari ketika kita bekerja? Baiklah, semua hampir sepakat pasti uang. Tapi tentu itu tidak semua karena uang, tentu ada pertimbangan lain-lainya. Buat saya pribadi, setidaknya ada tiga hal; to work is to learn, to earn and to contribute (jika ada yang tanya dimana letak untuk ibadah? Maka itu sebagai pondasinya).

Buat para yang baru saja lulus dari perguruan tinggi (PT), bekerja ini adalah menjadi tahapan momen penting dalam kehidupan selanjutnya. Lebih tepatnya, memilih pekerjaan.

Katanya, seorang lulusan ‘PT bergengsi’ tentu akan lebih ‘kobnservatif’ dalam memilih pekerjaan. Semua kebanyakan sepakat melihatnya dari sisi materi, salary (yang biasanya berkolerasi dengan perusahaan prestisius). Pragmatis memang, tapi begitulah sistem kehidupan kita cenderung mengajarkan seperti itu.

Karena alasan itu pula, kadang-kadang seorang sarjana rela menunggu lama untuk mendapatkan pekerjaan yang diidam-idamkannya, di perusahaan yang mempunyai gaji golongan atas. Seorang senior pernah cerita tentang kawannya yang saking inginnya bekerja di perusahaan minyak internasional rela menunggu hingga 2 tahun. Walaupun setelah kerja 6 bulan kemudian berhenti.

Idealis dalam memilih pekerjaan yang diidamkan tentu sah-sah saja, itu naluri manusia. Tapi tentang menunggu? Menurut saya sayang seribu sayang jika ‘masa menanti’ itu lama, berbilang bulan atau tahun. Sekalipun menurut kabar teman, seorang analis finansial di salah satu BUMN telekomunikasi, rata-rata ‘menunggu’ lulusan sarjana science di indonesia 1,5 tahun, sedang yang social 2 tahun.

Beda ceritanya, jika masa menunggu itu ada aktivitas yang dilakukan, misal menjadi volunteer yang menurut seorang teman di sebuah vendor IT MNC terkenal, banyak dilakukan oleh lulusan sarjana di manca sana.

Maka jika memang niatnya untuk berkerja (baca: menjadi karyawan) dan bukan enterpreneur, maka secepat mungkin untuk bekerja. Pragmatis, kerja dimanapun dulu, syukur-syukur kalau langsung di tempat bagus. Masalah tidak betah, dan lain-lain, yang penting coba dulu. Rasakan bagaimana bekerja itu, terutama jika belum pernah bekerja sebelumnya. Dan jika 1 bulan kemudian resign dan jobless, yang jelas sudah merasakan (plus strategi keluar setelah gajian).

Karena dalam kondisi diam, pikiran juga cenderung ‘tidak dioptimalkan’. Sayang, jika lulusan PT (apalagi ‘bergengsi’) yang kuliahnya susah, lalu otaknya ‘berhenti’. Lebih bagus memang, di tingkat akhir kuliah pun sudah mulai lagi berburu pekerjaan. Tentu, ini sudah melalui jawaban mau jadi apa setelah kuliah.

Ada lagi idealis yang kedua selain idealis diatas, yaitu dalam memilih perusahaan khususnya bicara antara asing atau pribumi. Sederhananya, kita bicara tentang nasionalisme yang sensitif itu.

Ini tidaklah sederhana, dan dunia memang dalam kondisi Indonesia ‘kalah’. Banyak perusahaan bergensi adalah asing, dan ini tentu saja dengan salary yang ‘wah’. Pilihan pengembangan diri (training dll) di luar negeri tentu menggiurkan, plus fasilitas-fasilitas lainnya. Di sisi lain, perusahaan dalam negeri pun belum banyak yang bertaji.

Karena naluri manusia ingin segera mungkin ‘mapan’, maka itu seperti sebuah shortcut. Tapi pertanyaannya sekarang, apakah hanya karena ingin kaya cepat lalu menelantarkan bangsa sendiri?

Idealisme kedua ini memang sulit, dan bisa saja dibalas dengan pertanyaan, apa jika bekerja di perusahaan asing lalu tidak nasionalis? Apalagi dengan konsep saham, sebuah perusahaan 51% saham BUMN sedang 49% saham asing, apa karyawannya sudah bisa disebut PNS (Pegawai Negeri Singapura)? Daripada menjadi bangsa miskin, investasi asing bisa menggerakan sektor riil. Rumit sekali jawabannya.

Pilihan masa depan yang lebih baik mungkin, jika setelah mapan lalu membuka usaha sendiri dan selesai menjadi ‘buruh asing’, sekaligus membuka lapangan kerja. Karena setinggi-tingginya posisi karyawan, tetap saja dia adalah buruh (kecuali kalau bisa menjadi pemegang saham).

Jangan tanya saya salah atau benarnya, saya sendiri sedang mencoba menjaga idealisme tersebut, dan jika saat ini ada, apakah itu bisa bertahan selamanya. Saya tidak ingin menyalahkan orang-orang yang bekerja di perusahaan asing, karena kondisi yang memang adanya. Mungkin hanya sekedar berharap, semoga nasionalisme memang bisa dikonversikan dalam bentuk yang lainnya yang lebih baik.

Pun jika bertemu dengan teman-teman saya yang sekarang bekerja ‘untuk asing’, saya tak mengulik-ulik tentang idealisme diatas. Cukup saya bertanya, “kapan rencana resign?”

9 comments:

Rachmawati said...

Kyaa...jadi kalo kebetulan kerja di luar... kalo ketemu Trian... ditanya mulu jadwal resign yah?

:P
aih..aih...
kasian atuh yang kebetulan garis rezekinya keluar dari 6 derajat LU, 11 derajat LS
hehehe

Yang penting mah kerjanya barokah ajah...
ada hasilnya buat keluarga, ada kontribusinya buat masyarakat
gak masalah orangnya mengais rizki di mana pun... :)

piss ah ;)

Vina Revi said...

rejeki udah ada yang mengatur. jadi klo kebetulan kita mendapat amanah untuk bekerja di luar, why not? selama kita mendapatkannya dengan cara yang halal, menurutku sih sah-sah aja kali, ya?
toh di negeri sendiri, keahlian anak-anak bangsa yang begitu mengagumkan malah seringkali diremehkan. tidak dihargai sebagaimana mestinya.
Ironis, memang ...

ratih putri said...

tergantung pemahaman org-nya ttg arti bekerja.susah kalo menilai dr luar.bisa jadi kerja d perusahaan asing adl sbuah strategi.tp bisa jadi jg itu adl nafsu duniawi belaka.tgt dr niatnya...

cari kerja,perlu idealis? perlu lah,tapi realistis jg.

yg penting itu ngejaga idealisme-nya,keyakinan ttg arti hidup n perjuangan sesungguhnya:)(halah..)

knpa Pak?
mo resign??
ck..ck..ck...

Trian Hendro A. said...

#Rachma dan Vina:
bukan, saya tidak mempermasalahkan secara langsung kalau memang pilihannya mengais rezeki di negeri orang (atau 'untuk asing') itu yang terbaik saat ini.
tapi tetap pada paradigma, masa selamanya akan untuk asing dan mau 'menelantarkan' bangsa sendiri? kalau bukan yang ahli, lalu siapa yang akan membuat keadaan bangsa menjadi lebih baik?:)

#Ratih: yup, idealis namun tetap realistis. emang perjuangan sesungguhnya apa bu ratih?:D
sudah seringkali resign sy mah.. :p

Pecintalangit said...

"untuk asing". asing yang mana neh? :p

Anonymous said...

gimana mau resign Bos?
lha wong diterima kerja aja belom pernah :P

Herru Suwandi said...

saya kira tidak secara begitu saja bahwa kita bekerja di perusahaan asing berarti menelantarkan bangsa sendiri. Diakui atau tidak, penanaman modal asing di Indonesia menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.

Bahkan kalau kita kerja di luar negeri pun, buat saya adalah syah-syah saja. Makin banyak expat Indonesia di negeri orang makin bagus dong. Pahlawan devisa. Sama dengan TKI-TKI kita.

Suwun....

Anonymous said...

Bekerja pada perusahaan asing sah-sah aja, kan nantinya uangnya juga untuk menolong keluarga, dan berguna bagi masyarakat sekitar. Bagaimana dengan kerja di luar negeri? Nggak masalah, kan rejekinya sebagian dikirim, dan menambah pemasukan devisa bagi negara.

Dari neraca pemerintah, biaya yang keluar untuk membayar tenaga asing di Indonesia masih lebih besar dibanding hasil tenaga kerja Indonesia yang kerja di luar negeri (dari sisi devisa). Jika itu bisa dibalik, alangkah indahnya.

Jadi jangan mempermasalahkan asing atau bukan, namun uang tadi digunakan untuk apa? Inilah yang penting.

Dan kalau dilihat sekarang, bagi BUMN yang go public, saham pemerintah tinggal kecil, walaupun masih di atas 50%.

Anonymous said...

hmmmm....kayanya yg jadi masalah bukan MNC ato bukannya ya?? Tapi kita punya greater goal apa gak dr kerja itu..skdr cari duit..atau somethin else yg beyond yourself..yang impacting buat kepentingan orang banyak di negeri ini..iya gak sih??
sama ky km la yg kerja di XX, yg kebetulan aja bukan MNC, u have greater goal kan selain cari duit?n ur greater goal itu bukan buat bikin indonesia jadi kontributor utama global warming kan?? tp supaya bangsa ini bisa memenuhi kebutuhan energinya sendri n jd lebih maju??
(pembelaan dr org2 yg kerja di MNC hehehe...:p)

-Liva-