Dalam dualisme pola pandang tersebut, kehidupan mahasiswa selalu lebih khas dibandingkan anak SMU yang lebih terkesan ‘ABG’, atau dibanding para karyawan muda yang terpaksa harus dimasukan dalam bagian ‘mapan’.
Sebagai bagian kaum terpelajar, mahasiswa sering menyebut dirinya bagian dari gerakan moral masyarakat, yang non kepentingan kecuali kepentingan rakyat. Sebagai pembela rakyat atau setidak-tidaknya mempunyai nurani kerakyatan. Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dalam kehidupan harian mahasiswa sendiri yang penuh ‘perjuangan’. Mulai dari tempat tinggal (idiom dengan anak kost), makanan ‘secukupnya’, atau setidaknya pola pikir yang ingin hemat sehemat-hematnya.
Namun dengan dualisme ini pula sebenarnya mahasiswa menjadi pembatas, perekat atau bahkan penghubung antara golongan ‘atas’ dengan ‘bawah’. Percaya atau tidak, status mahasiswa menjadikannya mudah diterima dimana dia pergi. Mulai dari Gedung DPR hingga perumahan kolong jembatan. Dengan status itu pula, yang seringkali digunakan untuk tetap mendapatkan ‘harga pelajar’ saat menggunakan sarana umum, seperti trasnportasi yang biasa terjadi di Jogjakarta.
Oleh karenanya, status mahasiswa bisa dikatakan sebagai status fleksibel. Saat dibutuhkan untuk naik dalam ‘strata atas’,maka ia pun bisa dengan leluasa melakukannya. Apalagi bila untuk merakyat bersama ‘strata bawah’, maka mahasiswa bisa seolah menjadi ‘dewa’ yang peduli akar rumput.
Status itu juga percaya atau tidak juga mempengaruhi pola pikir, pembangunan karakter bahkan hingga perilaku. Karena mahasiswa itu fleksibel, cenderung bebas,maka para mahasiswa pun cenderung ‘seenaknya sendiri’ dengan kurang melihat situasi, atau dalam bahasa halusnya ekspresif.
Dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, hal itu tentu saja sangat baik untuk menumbuh-kembangkan kreatifitas dan keberanian menembus kejumudan. Namun dalam kehidupan pasca kampus, tidak semua ‘hal ekspresif’ itu bisa tetap dipelihara karena harus lebih melihat kondisi lingkungannya.
***
Saya sendiri mengalami hampir semua masa yang digambarkan diatas dengan cukup. Karena enaknya menggunakan status mahasiswa itu, sempat membuat saya sering memakainya sekalipun gelar sarjana sudah tersematkan.
Saat berbicara dengan sopir mikrolet di Jakarta yang berasal dari Bandung, maka tanpa sengaja ‘status’ itu yang lebih dikedepankan daripada mengatakan sebenarnya saya sudah lulus (saya tidak berbohong, hanya mengatakan bahwa saya kuliahnya di Bandung). Saat dalam perjalanan pun pernah saya lebih nyaman untuk mengatakan ‘kuliahnya di Bandung’ daripada jujur mengakui bahwasanya saya seorang karyawan.
Hingga sekarang, satu tahun selesainya status mahasiswa itu, akhirnya saya harus memutuskan untuk berusaha menanggalkan ‘status’ itu. Bukannya saya tidak ingin berlama-lama dengan status yang menjadikan saya bisa lebih fleksibel, namun semata-mata karena ada beberapa hal ‘paradigma mahasiswa’ yang tidak sesuai diterapkan di lingkungan baru (baca: kerja) saya.
Gaya ‘bebas’ versi mahasiswa harus dibenturkan dengan office-netiket. Budaya ‘ekspresif’ khas mahasisawa harus berhadapan dengan sopan santun. Mulai baju yang rapi dengan kancing kerah terpasang jika ada hingga budaya makan di acara bersama. Dari sikap bicara asertif dengan orang hingga cara mengajukan pertanyaan. Ada baiknya karena harus mulai berbudaya ‘beradab’. Tapi tetap saja, selalu ingin sebagian karakter mahasiswa yang dipertahankan.
Mungkin salah satu fase adaptasi yang sederhana adalah dengan lebih jujur mengatakan status pekerjaan saat bertemu dengan orang, dalam perjalanan atau di transportasi umum. Dan mulai sekarang, semoga saya bisa melakukannya, mengatakan sejelasnya bahwa sudah bekerja, saya adalah karyawan di sebuah perusahaan swasta. Dengan begitu setidaknya saya ‘tidak berdusta’ (sekalipun sulit juga untuk dikatakan ‘jujur’).
Dan tidak lupa dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa saya sudah berpenghasilan. Bukan untuk apa-apa, hanya menyakinkan diri sendiri sehingga 'mental mahasiswa' yang selalu mengharapkan gratisan itu mulai berubah. Namun bukan berarti pula semua harus diukur dengan materi. Hanya semoga dengan kesadaran sudah berpenghasilan itu, ada lebih kesadaran untuk berbagi dan berpikir dewasa.
Lalu mengenai beberapa pola hidup harian yang masih ingin menggunakan ‘pola dan gaya mahasiswa’, saya tak perlu lelah memikirkannya. Saya menikmati hidup yang seperti ini, yang bisa ‘ke atas’ tapi juga bisa ‘ke bawah’. Saya hanya berusaha untuk wajar, tidak berlebihan. Karena bukankah hidup itu sendiri adalah naik-turun yang kita sendiri tak pernah bisa memprediksinya? Hidup bersahaja, mungkin itu kuncinya.
Note:
Karena si empunya harus ke field di daerah Sumatera Selatan, maka selama 3 minggu blog ini akan hiatus. Silahkan menikmati blog sederhana ini. Do’akan baik-baik saja, terima kasih.
9 comments:
duluan lagi euy...
satu lg Tri keuntungan status mahasiswa, serasa awet muda...
iya..tetap menggunakan 'gaya mahasiswa' serasa 'segar' :)
*makasih Mas Jaya.. 2x 'kebetulan' duluan nih hehe
Bukannya Trian juga masih pantas jika mengaku SMA???
Peace...:D
ciyehhh...yg udah bukan mahasiswaaa... :P
saya mah nunggu oleh2nya waelah dari sumatra selatan...
Boleh minta traktir dong setelah pulang dari Sumsel :)
saya udah 2 tahun menanggalkan status itu, tapi malah masih pengen juga...ternyata kondisi dalam keadaan nggak mapan kayak gitu lebih menarik untuk dijalani ;))
#Bu Enny: sma, masa sih bu?:p
#Mbak Fathy: ini mah mintanya oleh-oleh mulu. apa saya ganti aja ya 'nias' kemarin itu hehe
#Mbak Isnu: wah, saya malah ketinggalan gathering monas nih mbak..:)
#Mas Donny: makasih sudah mampir,apa kabar IMB? :)
Alhamdulillah, berkat kebaikan seorang teman (makasih banyak) bisa akses internet terbatas selama di field. jadi sekarang, bingung mau nulis apa nih..:D
kangen jaman2 kuliah..kangen bestatus pelajar...tapi skrg dah gak bisa lg deh yah..malu ama anak :P
kangen kuliah bisa bolos hehehe
Post a Comment