Jika sekarang anak muda negeri ini ditanyakan tentang mana yang mereka lebih pilih, antara sengsara di negeri sendiri atau menjadi kaya di negeri orang lain. Dengan rasa optimis yang tinggi, saya yakin para anak muda itu akan banyak menjawab yang kedua, yaitu lebih baik kaya walaupun di negeri lain.
Terlepas dari gerusan budaya yang Itu adalah efek sampingan dari semakin tak berbatasnya masyarakat dunia saat ini, jawaban dari pertanyaan sederhana diatas akan mampu menunjukan beberapa hal menarik dari kondisi negeri kita sendiri.
Pertama, bahwa fakta itu akan menjawab pepatah kita sejak SD dulu, bahwa lebih baik sengsara di negeri sendiri daripada kaya raya di negeri orang. Dalam terminologi Jawa dikenal dengan, mangan ora mangan asal kumpul. Karena ternyata ketika kita dewasa, semakin banyak penduduk Indonesia yang diekspor ke LN, entah sebagai pembantu RT atau buruh pabrik. Walaupun kehidupan manusiawinya seringkali tidak diperhatikan oleh pemerintah yang selalu mengharap devisa dari mereka.
Kedua, fakta itu akan menunjukan bahwa sampai tahap ini saja, pemerintah belum mampu menyediakan nasi bagi para warga negaranya. Nasi itu bisa berupa kesempatan yang sama untuk berjuang demi mempertahankan dan memperoleh kemuliaan hidup. Disini berarti pemerintah memberikan kail untuk mendapatkan ikan yaitu nasi yang sesungguhnya, makanan dari beras yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk kita.
Namun baru-baru ini di beberapa daerah, nasi yang sesungguhnya itulah yang sedang rakyat susahkan. Berita yang mencengangkan terjadi sekitar enam minggu yang lalu. Ketika ada anak kecil dari pesisir selatan kepulauan Indonesia (NTB) menderita busung lapar. Secara sederhana, busung lapar adalah keadaan manusia karena minimnya asupan makanan yang masuk. Atau dengan lebih mudah, kita sebenarnya bisa menyebutnya dengan ”kelaparan”.
Ternyata, kejadian itu bukan hanya diderita oleh seanak-dua anak. Banyak anak-anak di daerah tersebut yang mengalaminya. Namun apa daya mereka. Ketika ini dikonfirmasi ke Pemerintah setempat, pejabatnya menolak bahwa anak-anak itu terkena busung lapar. Mereka mengtakan bahwa anak-anak itu kekurangan gizi. Beberapa program bantuan susu yang pernah dilakukan Pemerintah setempat juga diungkit-ungkit untuk menunjukan bahwa Pemerintahnya tidak tinggal diam.
Yang mengherankan tentu saja adalah sikap Pemdanya yang ”tidak mengakui” fenomena itu. Apakah merekA sengaja menutup-nutupi sehingga daerahnya bisa dicap sebagai daerah yang sejahtera? Ingat program KB Orde baru kemarin. Ketika petugas BKBN (dan pastinya aparatur negara ada yang terlibat) rela memalsu data kelahiran anak untuk menunjukan bahwa program KB berhasil. Atau program-program Orba lainnya, yang banyak mencari kesan dibandingkan konsekuensi dari penghargaan itu sendiri.
Dan lebih memeprihatinkan, sudah ditngkap basah rakyatnya busung lapar, masih saja mencarai pledoi-pledoi. Bahwa itu ”hanya” kekurangan gizi. Jadi ingat pula bahwa rakyat miskin zaman dulu disebutnya pra sejahtera 1, 2 atau 3. Padahal, miskin adalah miskin, tanpa harus mengkotak-kotakan hal itu.
Dari potret diatas, kita sangat jelas melihat seperti apa kualitas aparatur negara kita dalm melayani masyarakat. Apakah ini akibat dari otonomi daerah? Kita tidak boleh menyimpulkannnya terlalu cepat. Tapi ternyata kejadian busung lapar tidak hanya terjadi di NTB, daerah yang konon menjadi lumbung padi di kawasan Indonesia Timur. Busung lapar juga melanda beberapa daerah di Jawa, khususnya Jawa Barat-propinsi yang juga terkenal dengan lumbung padi bahkan untuk skala nasional.
Jika ini memang akibat adanya misperseption diakibatkn adanya otoda, mungkin kita juga harus melihat lebih dalam. Jadi dimana peran pemerintah pusat yang jajaran dinas kesehatan atau logistiknya tidak pernah diserahkan ke pemda. Intinya baik daerah ataupun pusat semuanya terkena dosa ini. Secara keseluruhan, pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas bencana ini.
Terlihat dari mental pejabat kita masih ”malu-malu” untuk berkata fakta yang terjadi, itu menunjukan betapa abdi rakyat ini masih ingin saling melempar tangung jawab dan meminimalkan resiko. Lebih baik jika itu disertai dengan tindakan nyata penanganan, tapi malah terkesan membiarkan anak-anak yang menderita. Semuanya sibuk berpolemik, sedangkan esensi masalahnya tidak terselesaikan.
Betapa potret bangsa kita semakin buram dengan nasib generasi mendatang yang harus mengambil estafet pembangunan bangsa, jika banyak anak-anak yang kekurangan gizi. Sedangkan anak-anak yang lebih beruntung, makin kehilangan national character karena budaya pop gaya modern. Dan bapak-bapaknya yang sebenarnya tak lama lagi hidup, sibuk mengamankan posisi diri sendiri. Mungkin supaya dikenang tetap baik ketika mati kelak.
Padahal kita bangsa yang pada tahun 1984 mengirimkan bantuan pangan ke Somalia, dan dengan bangga Soeharto kala itu mengatakan Indonesia swasembada pangan. Pun lahan pertanian di negara kita sekarang tidak sangat minimnya sehingga kita harus mengimpor mengatasnamakan untuk menghindari bencana busung lapar tadi. Tapi sekarang, busung lapar yang melanda, sedang swasembada beras tidak pernah tercapai kembali.
Jika busung lapar ini menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya pemerintah. Sudah sepatutnya pemerintah membuat kebijakan pangan integral untuk menghindari bencana kembali dan menuju kemandirian. Bangsa sebesar ini malu jika rakyatnya kelaparan dan beras yang dimakan juga impor dari negara yang lebih kecil wilayahnya. Bagaimanapun pesatnya industri, pertanian tidak akan pernah lepas dari sebagian besar kehidupan bangsa ini. Dan itu harus didukung dengan perhatian khusus negara terhadap pembangunan pertanian nasional. Jangan sampai kita mendapat bantuan penanganan busung lapar dari negara lain, karena itu lebih memalukan lagi. Jika tidak malu, mungkin kita tak harus berbangsa lagi.
No comments:
Post a Comment