Friday, July 29, 2005
Refleksi Laut Kita
Hidup dia atas kapal adalah jalan hidup yang dialami para pelaut kita, termasuk TNI AL. Bagi TNI AL, laut menjadi rumah kedua (atau pertama?) bagi mereka. Sebagai pengaman perairan Indonesia (konon sangat luas) mereka dituntut untuk bisa melakanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Sekalipun kita semua tahu, bahwa sarana yang dimilki dan digunakannya tidak mendukung.
Dengan laut yang luas (sekitar 70% wilayah negara kita laut), Indonesia masih kalah kekuatan armada laut bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang luas lautnya jauh lebih kecil. Taruhlah negara tetangga Malaysia, Brunei, Australia, dan Singapura. Dengan beberapa negara diatas, sebenarnya tidak kalah telak. Hanya karena kita memilki laut yang luas, kemampuan saat ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan.
Kita lihat dalam tinjauan yang baru hangat akhir-akhir ini, yaitu permasalahan Ambalat dan Selat Malaka dimana itu berkaitan dengan dua negara kita, Malaysia dan Singapura.
Dalam kasus Ambalat, yang luasnya hampir sama dengan luas Jawa Barat, TNI AL hanya bisa menjadi unsur militer negara yang mengamankan dan memeprtahankan laut wilayah. Sedangkan dalam keputusan finalnya, peran diplomasi yang akan lebih dituntut dan yang memberikan hasilnya.
Namun dalam menjalankan perannya tersebut, TNI AL tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai (baru setelah Ambalat, DPR sedikit melihat strategisitas AL). Secara keseluruhan di Ambalat, kekuatan personel kita (alat dan SDM) tidak kalah dibandingkan Malaysia. Tapi jika banyak kekuatan yang dikerahkan ke blok laut itu, maka konsekuensinya akan mengurangi kekuatan AL do seluruh wilayah laut negara kita.
Menurut informasi dari TNI AL, ketegangan di blok tersebut memang terjadi, dari yang hanya memamerkan senjata sampai bertabrakan (ditabrak oleh kapal Malaysia) yang kemudian diberikatakan bahwa terjadi gesekan. Dari segi mental, negara kita lebih kuat daripada mereka. Sehingga banyak warga masyarakat yang membentuk garda penyelamatan Ambalat dan ingin dikirim kesana (meeka tidak tahu bahwa Ambalat adalah laut semua).
Tapi dari sustainable action, kita kalah. Lihat bagaimana Sipadan-Ligitan bisa lepas. Karena yang membangun pariwisata disana Malaysia. Sedangkan kita hanya melakukan reaksi emosional dan percaya sepenuhnya jalur diplomasi, tidak optimal dalam aksi di lapangan dan lobi internasional. Sehingga dalam kasus Amabalat, TNI AL berusaha meminimkan kemungkinan kesalahan di lapangan dengan membangun mercusuar yang kemarin diawasi oleh freegat.
Tapi bagaimanapun, lobi internasional atau peran diplomasi yang berkuasa. Sekuat atau se-emosional kita di lapangan tanpa diplomasi, kita hanya sepsrti banteng yang ditunjukan warna merah tapi mampu memikirkannya.
Sipadan-Ligitan telah menjadi korban, jangn sampai Ambalat menyusul kemudian. Tapi sayangnya, isu Ajmablat seolah-olah menghilang (karena BBM?). Dan sekarang kita tidak tahu apakah Ambalat masih tetap diproses oleh yang berwenang (Deplu RI). Sepertinya TNI AL merasakan kedongkolan juga dengan gaya-gaya pengelolan pulau dan laut kita.
Kemudian tentang Selat Malaka. Awalnya dari keinginan US Navy untuk ikut berpatroli disana karena banyaknya perompak yang beroperasi. Padahal menurut pengamatan penulis, Selat Malaka sangat ramai. Tapi ternyata tidak seperti jalan darat, justru karena ramai itu yang banyak menjadi kawasan yang tidak aman.
Praktis saja Indonesia, Malaysia dan Singapura (tumben juga nih Singapura) tidak mau dengan intervensi itu. Karena Selat Malaka adalah irisan wilayah laut ketiga negara dan jika diserahkan dengan pihak luar akan mempengaruhi kedaulatan ketiganya.
Lalu perjanjian trilateral dilakukan di Bali beberapa waktu lalu. Terakhir hasilnya, Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian karena Ambalat belum selesai dipersengketakan (atau karena belum menjadi miliknya?). padahal Indonesia dan Singapura sudah sepakat dan teken perjanjian itu.
Tapi sebenarnya, Singapura sendiri sepsrti menanam bom waktu di Selat tersebut. Ingat reklamasi pantai? Dari tahun 80 sampai sekarang, proyek tersebut masih berjalan. Dengan mata kepala sendiri, penulis, melihat bahwa reklamasi itu sungguh luar biasa dilakukan oleh Singapura. Kawasan putih berbukit kelihatan berada jauh di depan pelabuhan Singapura. Dan dari pemetaan radar, mereka telah bergerak keluar mencapai 8 KM di depan garis pantainya.
Sebaliknya di wilayah Indonesia, Pulau Nipah yang menjadi Pulau terluar dalam tahap kritis. Jika pasang tiba, tinggal pohon yang kelihatan ada. Dan sekarang, dibangun mercusuar untuk “menyelamatkan” pulau itu.
Walaupun dalam definisi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of Sea) tahun 1984, definisi pulau adalah yang terbentuk secara alami. Jika itu buatan, maka tidak (atau belum) diatur. Tapi jika dnegan kekuatan lobi Singapura, bisa jadi pulau buatan akan menjadi pertinbangan dalam menetapkan peraturan laut dalam forum internasional. Konsekuensi pastinya, kedaulatan kita akan teriris.
Jadi sangat miris (lagi) melihat bangsa kita sekarang ini. Potensi laut yang besar dan belum teroptimalkan (dari 75 M hanya bisa dimanfaatkan 4 M per tahun), pulau yang banyak (17. 505 dan 10.118 belum ada nama), SD mineral yang besar terkandung dalamnya dan yang pasti laut sebagai batas yang luas tapi tidak terperhatikan.
Kondisi laut tidak didukung dengan pertahanan yang memadai. Tidak harus selalu dengan peralatan atau kapal yang cangggih yang lebih cocoknya dalam kondisi pertempuran, tapi tetap diperlukan sebagai kekuatan moral. Memang kondisinya uang 1,5 T akan lebih diprioritaskan membangun Jalan Tol Cipularang yang indah dan kongkrit dampaknya dibandingkan dengan membeli dua kapal patroli atau bahkan hanya satu kapal penyerang. Tapi secara politis internasional, adanya corvet (jenis kapal patroli) yang mengawasi akan menambah bargaining kita jika ada kapal asing yang melintasi laut kita.
Potret-potret diatas yang masih menghantui kelautan kita. Padahal bangsa kita dikenal sejak zaman dulu sebagai bangsa pelaut, dan kondisi negara kita yang berbetuk kepulauan. Memang akan tidak mudah dengan mengatur kebijakan negara yang secara internal juga mengkhawatirkan. Tapi jika tidak dipikirkan dan ditindaklanjuti, mungkin anak cucu kita akan menyalahkan tindakan kita saat ini.
[Catatan Perjalanan Bahari, 16 Juli 2005]
Labels:
Travel
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
thanks lots..
saya tunggu lagi ulasan-ulasannya. terutama tentang TNI AL, isu-isu dan manuver yang ada di tubuh angkatan kita ini.
Post a Comment