Monday, August 01, 2005
Kisahku di Panti Asuhan Medan
Beberapa hari yang lalu, kami serombongan Pelayaran Kebangsaan V dalam perjalanan ke Medan, Sumut. Agenda utama kali saat itu adalah berkunjung ke Panti Asuhan yang menampung beberapa anak korban tsunami Aceh. Kenapa di Medan? Karena pelabuhan di Aceh tidak siap dengan kedatangan kapal dan keamanan Aceh yang tidak bisa dipastikan. Sehingga tujuan semula yang ke Banda Aceh via Meulaboh, dipindahkan ke Medan.
Bagiku, itu bukan hal yang prinsipiil harus ditolak. Toh pada intinya kita bisa mengekspresikan rasa sayang sebagai satu keluarga bangsa (dan Islam) bisa terealisasikan. “Manusia yang sukses adalah manusia yang bermanfaat bagi bagi banyak orang”, sedikit yang kutahu dari Riwayat Muhammad.
Sayangnya, kami baru berangkat ke Panti Asuhan ketika jarum jam menunjukan lebih dari pukul 12 siang. Padahal jam 15 nanti, kita sudah harus berada kembali di Gubernur-an untuk berangkat ke Toba. Ternyata bus yang aku tumpangi datang paling lambat dibandingkan bus lainnya. Segera kami masuk dalam komplek Panti tersebut.
Tercengang bukan main aku saat itu. Sebuah sambutan shalawat yang dibawakan oleh beberapa santri menyambut kami. Ada tenda besar dan deretan kursi yang berjejer di sebuah panggung tempat penampilan shalawat tersebut. Dan kami banyak yang duduk di kursi di depan panggung itu.
Koq bisa-bisanya kita disuguhi dengan penampilan ceremonial seperti itu? Kami (atau aku pribadi) dtang dengan tulus bertemu, berkomunikasi, berbagi kasih, menyapu rambut mereka, mengusap muka, mencium, menggendong dan mendekap mereka. Tapi kita malah disambut dengan gaya tamu yang sifantnya formal (untung tanpa konsumsi!!!). Padahal, kami tidak lebih dari 1,5 jam berada disana.
Aku tak peduli dengan yang mereka (anak santri di panggung). Segera aku duduk di dekat santri-santri yang sibuk membawakan kursi tambahan buat kami. Oh...betapa sedih dan menangis hati ini. kutahan mereka, “sudah cukup dik”. Tapi mereka membalas dengan senyuman. Aku jadi ingat keponakan yang ada di Magetan yang mungkin seusia. Dan aku tak kuasa menahan mata yang berbicara keharuan.
Kemudian kutanyakan pada santri-santri ikhwannya (tentu aku berusaha menjaga diri dari santri akhwat) tentang nama, usia, kelas, sekolah, sudah berapa lama tinggal di panti, betah, asli mana dan yang tak lupa juga hafalan surat-surat pendek (sebagai motivasi bagiku juga....). Dan tak mungkin aku menanyakan orang tuanya, karena ini panti asuhan aku takut akan menambah kedukaan bagi meeka.
Yang kudapatkan, mereka adalah Abu Dzar, Pahili, Syari’at, Rapama (ini yang manis), Al Nuris (ini yang paling pinter di kelasnya) dan beberapa yang aku lupa. Mereka sungguh manis, mereka sungguh tulus menyambut kami. Walaupun mereka tidk tahu kami ini siapa. Dan benar, mereka hanya tahu dari uwaknya (mereka menyebut kyai) bahwa ada tamu. Ya Alah...mereka membuat hatiku makin pilu.
Sebut saja Rapama, dia yang pertama aku dekati karena manis dan geraknya yang lincah. Dia sudah ½ tahun disini, sekarang kelas 4 SD. Ketika kutanya hafalannya. Daia tak tahu pasti, tapi Al Humazah sudah selesai.
Yang lainnya aku menghampirinya, karena kulihat dia sendiri duduk di pojok gedung di saat panggung bernyanyi Cindai. Dia tidak suka dengan teman-temannya yang berjoget bersama bebeerapa temanku juga. Namanya bagus, Al Nuris. Katanya “Al” diambil dari Al Qur’an, “Nur” adalah Cahaya dan “Is” dari Islam. Intinya cahaya islam. Dia SMP kelas 2, dan hafalannya masih loncat-loncat. Tapi Al-Baqarah 293-295 bisa. Pun kemudian dia membacakan hafalannya ke aku. Beberapa aku benarkan bacaannya.
Aku berpikiran, nama yang bagus. Dan Al Nuris ingin kugunakan sebagai nama salah seorang anak kelak. Ehm...it’s good plan.
Oiya..ternyata ia pingin jadi polisi. Karun kupanggil Taruna Polisi yang ikut serta. Senangnya Nuris dan Taruna itu juga. Apalagi Nuris peringkat no 1 di kelasnya waktu ujian terakhir kemarin. Saking girangnya, kuberikan pembatas Buku berupa nama-nama Surat di Al-Qur’an.
Indah sekali pertemuan kami di sing nan singkat itu. Di panggung lagu “Cindai” Siti Nurhaliza dinyanyikan oleh seorang santri perempuan kedua kalinya. Dan banyak santri-santri yang berjoget serta. Betapa sedihnya hatiku. Bukannya kita membuata kesan dengan membuat semacam Games atau metode lain untuk menghibur mereka dengan nilai-nilai yang baik, malah joget yang jauh dari keseharian mereka di panti. Mereka menyanyi dan joget, mungkin karena ada tamu saja.
Tidak terasa waktunya tiba untuk berpisah. Kucari-cari Nuris tak kutemukan juga. Rapama pun demikian. Aku tak tahu kemana mereka. Satu persatu pergi kami serombongan. Masih sempat ku telatkan keluar komplek untuk melaiht mereka. Tapi tetap tak kutemukan mereka.
Hanya sesaat sebelum naik bus, aku berkenalan lagi dengan seorang anak kecil yang belum sekolah. Tapi aku lupa namanya. Dia juga ingin menjadi polis. Segera kupanggil lagi Taruna polisi. Satu pesan dari kami, “belajar yang rajin. Kalau pintar, mau jadi apa yang disukai bisa”.
Kami naik bus sambil mengusap kepalanya (pipinya ada koyo sakit gigi, menambah imut). Bus pun berangkat. Rapama, Abu Dzar, Pahili, Syari’at, Al Nuris dan yang lainnya maafkan kami. Kami merasa bersalah tak optimal dalam beramal. Kalain kembali beraktivitas seperti semula. Tapi aku disini, tetap mengingat senyum dan semangat kalian.
[Catatan Perjalanan Bahari, 17 Juli 2005]
Labels:
Travel
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
wah, trian ternyata penyayang anak kecil!
Post a Comment