Sebuah pertanyaan sederhana bisa membuat kita berpikir dan memilki jawaban yang berbeda dengan pertanyaan tersebut. pertanyaannya begini, mengapa bangsa kita, zamrud khatulistiwa, sekarang menjadi bangsa terpuruk yang sulit bangkit dibandingkan bangsa-bangsa lainnya?
Setiap orang yang ditanya dan diharuskan menjawab, akan memiliki jawaban berbeda atasnya. Mulai dari jawaban formal sok tahu tentang kondisi bangsa, hingga jawaban yang paling standar manusia tanpa empati, ”nggak tahu”. Padahal, jika pertanyaannya dibalik, anda mau bangsa ini memperlakukan anda seperti apa? Mungkin jawabannya akan relatif lebih mudah tanpa banyak berpikir panjang,
Tapi kita tidak akan membahas tentang pertanyaaan dan jawaban tersebut. Yang akan menjadi sorotan kita adalah, esensi dari pertanyaan tersebut, bahwa negara kaya raya ini (dalam idiom yang terkenal, tata tentram kartarahardja, gemah ripah loh jinawi) terpeleset –untuk tidak dikatakan terjerumus- dalam lubang keterbelakangan bila dibandingkan dengan negara lain yang se-angkatan usia kehidupan berbangsa dan bernegaranya, bahkan dari negara yang ”lebih muda”, kita juga mulai ”mengalah”, misalnya Malaysia atau Vietnam.
Secara sumber daya alam, tak ada negeri satu pun di dunia yang mampu menyaingi Indonesia. Kita pun tak usah dijelaskan lagi posisi Indonesia sekarang dalam urutan berapa soal produksi timah, kelapa sawit, rempah-rempah, hutan, batubara, gas alam dan sumber mineral serta energi lainnya. Karena walaupun kita tak tahu saat ini urutannya, hampir semua rakyat Indonesia yang pernah mengenayam pendidikan dasar (minimal SD), pasti masih sangat yakin bahwa potensi SDA negeri ini masih sangat banyak. Toh, kenyataanya memang tidak salah. Potensi kekayaan alam kita sekarang masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disedot oleh kapitalisme global dan didukung koruptor ”heartless” bangsa.
Tapi dasar bangsa ini adalah bangsa yang sudah di-nina bobok-an oleh kekuatan tersistematis selama lebih dari tiga dasawarsa, maka kesadaran untuk bangkit dan mengambil beban tanggung jawab sebagai bangsa yang besar tak pernah dilakukan. Pucuk pimpinan bangsa ini masih dengan bangga menyatakan bahwa negara kita butuh bantuan, tidak bisa berjalan sendiri dengan alasan yang klasik, ”masa sebuah bangsa tidak bersosialisasi”.
Sebuah fenomena perih, karena banyak pimpinan bangsa ini yang masih melakukan pembodohan terhadap banganya sendiri. Sesuatu yang benar tidak ditempatkan pada tempatnya, dengan menggunakan dalil kebenaran untuk menghalalkan tindakan yang salah kaprah. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang lain, dengan menggunakan aksioma-aksioma kebenaran. Padahal itu tak ubahnya seperti sebuah pembodohan massal.
Jika ditanya tentang suatu kegagalan, maka jawaban yang ”diplomatis” keluar. ”Jangan saling menyalahkan, mari kita perbaiki bersama”, atau ”Jangan tanya siapa, tapi apa?”. Jika tidak terbiasa dengan gaya politik negeri ini, seolah hal-hal diatas memang mendinginkan dan bijaksana. Padahal, hal itu tak berbeda dengan mengalihkan tanggung jawab sosial masyarakat yang harusnya dilakukan.
Lalu banyak kalangan yang peduli dengan kerusakan bangsa ini mulai untuk menjalin kekuatan. Namun tak sedikit pula yang pesimis, karena kita terjebak antara dua pilihan, yakni memperbaiki orang (SDM) atau membuat sistem. Malahan, orang-orang yang bingung harus mulai dari mana itu adalah orang-orang yang ikut menikmati kerusakan bangsa ini dan mungkin ingin mempertahankan. Yang namanya kebobrokan atau ketidakadilan, harus diperbaiki dari segala arah yang mungkin dilakukan. Kita tidak bisa terjebak antara orang atau sistem. Kalau perlu perbaikan itu sendiri menyangkut tidak hanya dua hal itu (orang atau sistem), tapi juga interface antar keduanya atau lingkungan kedunya. Hematnya, perbaikan harus dilakukan dan tidak perlu gamang bagaimana harus memulainya.
No comments:
Post a Comment