Wednesday, May 30, 2007

Kartini

Pramoedya Ananta Toer, melihat banyaknya buku yang lahir darinya, maka buku tentang Kartini buah tangannya ini membuat ketertarikan tersendiri, karena Pram biasa (lebih) dekat dengan roman, atau novel. Sedangkan buku ini, tertulis jelas diatasnya: Biografi.

Judulnya pun menarik, Panggil Aku Kartini Saja. Diambil dari sebuah kalimat surat yang dikirimkan Kartini, 25 Mei 1899 kepada Estelle Zeehandelaar (Stella), teman korespondensinya seorang sosialis-feminis di Belanda. Sengaja diambil Pram, karena dengan Kartini (saja), tanpa embel-embel RA (Raden Ajeng, gelar kebangsawanan sebelum menikah-Raden Ayu, setelah menikah), maka Pram sejalan dengan Kartini untuk menjauhkan feodalisme (jawa) yang sengaja dipelihara oleh kolonial.

Buku diawali dengan sejarah singkat Tanampaksa (Cultuurstelsel) sebagai akibat merosotnya ekonomi Hindia Belanda ataupun Kerajaan Belanda karena Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830). Melalui tanampaksa ini (sampai 1977 sebanyak 800 juta gulden dialirkan ke Belanda), tidak hanya hutang Kerajaan terlunasi, bahkan ekonomi Belanda telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan di pasar eropa. Di sisi lain, pribumi benar-benar merasakan imbasnya, mulai dari kemiskinan hingga penurunan jumlah penduduk karena penyakit, kekurangan pangan dll .

Dalam masa itu, 21 April 1879, Kartini lahir. Ayahnya, Ario Sosroningrat, yang nantinya menjadi Bupati Jepara. Kartini lahir dalam keluarga terpandang, ‘feodal’ dan terpelajar. Ayah dan paman-pamannya salah satu sedikit orang di seluruh Jawa yang bisa berbahasa Belanda saat itu, dan Kartini (serta saudaranya, Kardinah dan Rukmini) pun perempuan-perempuan pertama yang bisa berbahasa Belanda. Bahkan dalam sebuah pameran kerajinan di Belanda dimana karya ukir Jepara dipamerkan, tulisan Kartini tentang seni ukir Jepara mendapat kekaguman pembesar kerajaan (bahasa Belanda-nya sempurna).

Kartini, dari buku ini terlihat lebih dari ‘sekedar’ perempuan yang memperjuangkan emansipasi wanita, hal yang kita kenal dari sosoknya. Sekalipun Kartini ingin sekali merasakan pendidikan setinggi-tingginya, namun Kartini sangat menghormati dan mencintai ayahnya, sangat-sangat. Izin dan restu dari ayah yang dicintainya sungguh dinantikannya. Sekalipun izin itu jarang sekali keluar, apalagi dengan niatnya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda (yang akhirnya beasiswa itu ‘diberikannya’ ke Agus Salim).

Dan sekali Kartini mendapatkan izin untuk menjadi guru, betapa girang hatinya: “..aku begitu senang, malah riang, seakan aku sudah merasa bahwa percakapanku dengan ayah akan berhasil, ..... Duh, jadi tiada salah dugaanku terhadap dirinya; dan ia memang cintai putrinya ini dan ia pahami dia dengan baiknya.” (Hal 277).

Namun sebenarnya, perjuangan dan cita-cita besar Kartini mengahadapi tembok pertama dan penuh perasaan di depan-dekatnya sendiri. Kebencian Kartini terhadap feodalisme, berhadapan dengan ayahnya yang tetap mempertahankan gaya feodal (dimana sudah membudaya). Pembebasannya tentang perempuan, dibenturkan dengan ayahnya yang mempunyai ‘selir-selir’ yang sudah biasa sebagai nigrat saat itu, dan Kartini lahir dari ibu istri ‘non-resmi’ dari ayahnya yang setelah melahirkan anaknya kemudian diusir keluar rumah (baca Gadis Pantai, lebih lengkapnya). Dan Kartini akhirnya pun, menikah dengan Bupati Rembang sebagai istri kesekian.

Kemudian dalam budaya literasi Kartini, selama 4 tahun dipingit di rumah (mulai umur 12,5 tahun) benar-benar dimanfaatkan Kartini untuk membaca dan banyak belajar menjadi ‘perempuan’. Maka, Kartini juga adalah sosok perempuan biasa saat itu (karena dia sendiri ingin melepaskan atribut feodal dan ingin menjadi rakyat), yang bisa menyulam, membatik, dan menyukai kesenian. Baginya, seorang yang ingin memperjuangan rakyat harus menyukai seni rakyat, denyut nadi rakyat itu sendiri. Jiwa seni Kartini tumbuh, dengan kain batik dan beberapa lukisan hasil tangan-nya sendiri.

Kesukaan Kartini juga pada sastra, terutama puisi. Dalam salah satu suratnya: “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni. Tapi, mana ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini, adalah puisi.

Seni telah menjalari kehidupannya dalam perjuangan, katanya: “Sebagai pengarang, aku akan bekerja besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami.”

Dalam masa pingit itu pula, Kartini banyak membaca sekaligus belajar Bahasa Belanda melalui buku-buku. Sangat banyak buku-buku yang dibaca Kartini. Sungguh merupakan anugerah bagi dirinya saat itu berkesempatan mambaca banyak buku, bahkan dengan memesan langsung ke Belanda. Lalu, setelah masa pingit pada usia sebelum 20 tahun, mulailah Kartini berkorespondesi dengan teman-teman Belanda-nya, dan beberapa teman luar negeri lainya.

Surat-surat Kartini, tidak hanya merupakan kegelisahananya pada kaum perempuan negerinya (melalui dirinya), melainkan juga nasib bangsa-nya keseluruhan yang membuatnya resah serta bentuk-bentuk aktivitas-nya, diantaranya adalah menjadi guru untuk sekolah perempuan di Jepara, membina pengrajin ukiran Jepara, membaca dan menulis karya sastra, serta aktivitas dengan rakyat biasa. Dalam suratnya pula, Kartini menyatakan betapa Barat (melalui membaca Kartini mengenal Barat) adalah contoh keunggulan saat ini dan juga memiliki kelemahan segabaimana dunia pribumi yang dikenal ‘lemah’ namun sebenarnya juga memilki keunggulan.

Dan dalam buku ini, Pram ingin sekali menunjukan bahwa surat-surat Kartini yang dikenal dalam Door Duisternis tot Licht (DDTL) adalah upaya sistematis kolonial untuk mengebiri jiwa sesungguhnya seorang Kartini, terutama dalam hal patriotik. Surat-surat yang termaktub dalam DDTL itu sudah melalui ‘pemilahan’ oleh J.H Abendanon, disesuaikan dengan kebijakan politik kolonial. Dimana di belahan dunia lain, adanya pejuang perempuan India (jajahan Inggris), Pandita Ramabai, yang dengan simpati internasional kemudian terbentuk Ramabai Foundation di New York dan London untuk mendanai perjuangan untuk perempuan India dalam pendidikan, kesejahteraan dll.

Apalagi, apa yang dilakukan Abendanon dengan menerbitkan ‘hanya’ 105 surat itu tidak bisa dianggap shahih karena kemungkinan adanya ‘popularitas pribadi’ demi karier politiknya (61 surat ditujukan untuk keluarga Abendanon). Padahal, sebelum mengenal Abendanon (dan istrinya saat kunjungan ke Jepara 1900), lebih banyak surat tertuju pada Stella, sahabatnya yang sangat mendukung dengan cita-cita Kartini untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, memperjuangkan pendidikan bagi pribumi (tidak hanya perempuan) dan kesejahteraan lebih untuk Hindia Belanda.

Di indonesia sendiri, DDTL diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, dan pertama diterbitkan 1920 oleh Commissie voor de Volkslectuur (sekarang Balai Pustaka). Dan pada cetakan ketiga (1951), Armijn Pane mengedit surat-surat Kartini karena menurutnya ada beberapa poin pokok surat yang repetitif.

Akhirnya, buku ini menarik untuk dibaca terutama jika ingin mengetahui gambaran Kartini ‘yang lebih utuh’, mungkin berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini, meskipun buku ini sebenarnya tidak lengkap karena dari empat jilid hanya dua jilid yang bisa diselamatkan dan menjadi buku ini. Sedang jilid ketiga dan keempat (diantaranya tentang pernikahan Kartini hingga meninggalnya bersama anak pertama yang dikandungnya), hilang saat peristiwa pemberangusan semua yang ‘berbau’ PKI 1965.

Dan dalam dewasa ini, semangat dan perjuangan Kartini yang dipaparkan buku ini relevan untuk terus dilakukan. Bukan lagi sekedar simbol kebaya pada 21 April setiap tahunnya. Serta buat saya pribadi semakin menyadari, betapa sulitnya mencari Kartini masa kini.

Thursday, May 24, 2007

Ceritakan kembali

Tolong ceritakan kembali padaku,
Apa itu perjuangan

Ceritakan padaku,
Tentang kisah anak-anak
Memancar semangat tanpa sendu
Mengejar mimpi hingga puncak

Tentang lelah para ibu
Dan peluh para ayah
Dari keduanya surga dunia bertemu

Tentang para pejuang dan pengabdi
Dengan ketulusan mereka terus maju
Dengan penuh harap mereka terus menatap

Ceritakan padaku,
Tentang para syuhada mulia
Yang mati lebih dicintai dari hidupnya

Dan hari ini,
Ceritakan kembali padaku

Apa itu arti perjuangan
Karena esok, aku berangkat berjuang
Terus berjuang

Monday, May 21, 2007

Kepemimpinan bangsa dan jawa

Hari ini, 21 Mei adalah hari dimana 9 tahun lalu Soeharto turun dari kursi Presiden setelah 32 tahun berkuasa. Hari reformasi, mungkin identik dengan 21 Mei ini. Sekalipun Soeharto sendiri sebelum turun sudah mengutarakan kata reformasi, tapi Hari Reformasi lebih tepat disandangkan pada 21 Mei karena momen lengser-nya Soeharto.

Berbicara tentang lengser dan kepimimpinan bangsa, saya teringat awal bulan lalu membaca sebuah buku* tentang tipologi kepemimpinan dalam pandangan seorang pujangga jawa. Adalah Ranggawarsita, seorang pujangga Keraton Surakarta di abad 19 akhir, mempunyai ramalan tentang tipologi kepemiminan.

Tipologi yang ada tujuh tersebut, yaitu Satria Kinunjara Murwa Kuncara, Satria Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, Satria Jinumput Sumelar Alur, Satria Lelana Tapa Ngrame, Satria Piningit Hamong Tawuh, Satria Boyong Pembukaning Gapura, dan Satria Pinandita Sinisihan Wahyu.

Satria Kinunjara Murwa Kuncara, ditafsirkan kepada Soekarno dimana sebelum menjadi pemimpin keluar masuk penjara (Kinunjara). Selepasnya, Soekarno berhasil memimpin Indonesia merdeka dan menjadi pemimpin dunia dengan gerakan non-blok (Kuncara)

Satria Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, yang mirip Soeharto yang di masa kepemimpinannya dinilai presiden yang makmur dan berwibawa (mukti wibawa). Namun jenderal besar itu jatuh dan disalahkan banyak orang (Kesandung Kesampar).

Satria Jinumput Sumela Alur, Habibie yang mendapatkan tampuk presiden dengan dipungut (Jinumput), dan hanya sebentar serta kurang dihargai (Sumela Alur). Dan mungkin Megawati yang melanjutkan tongkat presiden Gus Dur sebelum tenggat waktunya termasuk juga dalam tipologi ini.

Satria Lelana Tapa Ngrame, adalah dipilih melalui pilihan rakyat kemampuannya terbatas dan membuat kegaduhan (Rame). Dan ini mirip dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang selama berkuasa banyak mengembara keliling dunia (Lelana).

Satria Piningit Hamong Tawuh, adalah seorang pemimpin yang tersembunyi dipingit, kemudian seolah keluar dari persembunyiannya dan mendapatkan legitimasi luas karena Hamong Tuwuha dari keturunanya. Ia menjadi simbol penderitaan orde sebelumnya, sehingga begitu keluar mendapat dukungan luas dari publik. Pemimpin ini mengantarkan ke gapura pembuka zaman keemasan.

Satria Boyong Pembukaning Gapura, ditafsirkan yang berpindah tempat dan membuka gerbang. Pemimpin ini akan menjembatani ke arah kemakmuran. Ia adalah negarawan tanpa pamrih, mengemban tugas meletakan pondasi, membuka pintu gapura, menggelar tikar namun tidak sempat menduduki tikar yang digelar itu.

Satria Pinandita Sinisihan Wahyu, adalah tipe pemimpin yang berjiwa religius kuat. Pemimpin ini yang ditunggu-tunggu untuk membawa kemamuran dan keejatian bangsa.

Lalu, dimanakh posisi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam 7 tipologi ini? Menurut saya, SBY lebih dekat dengan tipe Satria Piningit Hamong Tawuh. SBY “didzalimi” oleh Megawati sehingga mendapat dukungan luas dari publik yang dipilih langsung rakyat lewat pemilu 2004 lalu. Beberapa kebijakannya cukup baik, dan mungkin juga membuka pintu gapura, dan sepertinya SBY tidak akan banyak menikmati hasilnya.

Bagaimana dengan Satria Boyong Pembukaning Gapura (SBPG) dan Satria Pinandita Sinisihan Wahyu (SPSW). SBPG, saya belum menemukan tokoh di bangsa ini yang akan menjadi stereotip tipologi kepemimpinan ini (atau memang belum saatnya muncul?). Sedangkan SPSW, sepertinya Hidayat Nur Wahid (HNW) bisa dekat dalam tipologi ini. HNW dikenal sholeh, merakyat dan bersahaja, serta berpeluang menjadi presiden di masa datang. Ditambah lagi, HNW orang jawa!

Jawa, salah satu suku terbesar di negeri ini memang memiliki banyak pandangan dan filosofi tentang kehidupan, mulai keseharian sampai urusan negara. Disebut aneh atau ada-ada saja atau bahkan klenik, tapi memang itu adanya. Bagi saya pribadi, hal-hal yang berbau jawa justru lebih menarik saat saya sudah tidak berdomisili tetap di ”wilayah jawa”. Tentang percaya atau tidak, saya lebih tertarik untuk menjadikannya khasanah budaya. Memperkaya cara pandang, dan menghargai sebagai bentuk budaya bangsa.

Dan kepada Mas Langit Kresna saya katakan, ”Jawa memang kompleks..

***

Dunia Spritual Soeharto, menelusuri laku spritual, tempat-tempat dan guru spritualnya.
Arwan Tuti Artha, wartawan Kedaulatan Rakyat, Jogja. Cetakan IV 2007 Best Seller, (cetakan I pada tahun 2007 juga)


Wednesday, May 16, 2007

Buku yang ‘menyesatkan’

sebuah perjalanan Perempuan!*

Dalam puisi Perempuan!, beberapa komentar mempertanyakan atas landasan apakah saya membuat puisi tersebut? Kenapa seperti ini atau itu, dll. Dan bukan lantaran komen-komen tersebut, perlu juga rasanya sedikit berbagi bagaimana saya menelurkan kata dan bait dalam puisi itu.

Yang penting disampaikan, bahwa kata-kata dalam puisi itu diinspirasi oleh beberapa buku atau bacaan. Dan yang paling ’berpengaruh’ terhadapnya, adalah dua buah buku.

Sudah sangat jelas dicantumkan di bagian bawah setelah isi puisi, bahwa kata mengerikan diinspirasi oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman Gadis Pantai (GP, 2005-Lentera Dipantara). Dalam sebuah blog teman yang mengulas tentang roman tersebut, saya pernah berkomentar bahwa dari roman itu saya mendapatkan inspirasi kata mengerikan.

Dalam GP, tokoh utama -seorang gadis pantai yang dijadikan ’pemuas’ bangsawan jawa, lalu dicampakan, mengatakan kepada bapaknya (bisa mudah dibaca di blurb, review cover belakang), ”Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini..”

Kemudian saya dapatkan kalimat inspirasi untuk puisi,
Mengerikan, mengerikan sekali perempuan itu

Yang kedua, Ali dan Nino, sebuah novel Kurban Said yang pertama kali diterbitkan 1937 berlatar di tepian Uni Soviet (2004-Serambi). Secara umum, novel ini bercerita seperti halnya kisah klasik Romeo-Juliet. Namun yang ’unik’ di dalamnya, Ali adalah Muslim sedangkan Nino seorang Kristen. Ali lebih mewakili seorang Asia, sedang Nino lebih memiliki kepekaan Eropa. Mereka memadu kasih di sebuah daerah, dimana antara Timur dan Barat bertemu.

Dalam novel (yang membosankan) itu, Ali mendapatkan nasehat dari ayahnya tentang ’karakter’ perempuan. Diantara karakter itu adalah tidak stabil, jangan mudah dipercaya, jika seorang perempuan memberi nasehat terhadap sesuatu ialah A maka laksanakan kebalikan dari A, serta pandai mengambil hati laki-laki (beberapa lupa, karena sudah sekitar setahun lalu membacanya). Dan, seorang laki-laki diminta tidak berhubungan dengan perempuan jika dalam kondisi mempertaruhkan kehidupan ('titik kritis'), semisal dalam ujian masuk sekolah atau tes kerja.

Dan itulah yang seolah-olah menjadi bagian besar tubuh dari puisi Perempuan!. Tambahan disana-sini pasti ada, sesuai dengan emosi dan imaji si penulis puisi.

Dalam sebuah milis sastra dimana puisi Perempuan! Juga saya kirimkan, menjadi ramailah orang membicarakan puisi itu. Padahal dalam ingatan saya, satu/dua kesempatan memposting disana, selalu sepi-sepi saja. Bahkan, Pak Hasan Aspahani (HAH) langsung mengatakan tegas bahwa puisi itu adalah contoh puisi yang buruk(!).

Puisi buruk, karena sarat dengan kebencian dan emosi kepada perempuan. Dalam hal ini saya sempat ’mempertanyakan’ tentang puisi yang unik, karena beberapa waktu sebelumnya sempat ada diskusi tentang puisi unik dimana, yang kurang saya sukai, seringkali diidentikan dengan (maaf) kelamin atau yang berbau-bau ’eksotis’ dan kekerasan (atau malah vandalis?).

Lalu satu komentar yang paling dalam adalah ketika bertanya kepada si penulis puisi, ”kira-kira si penulis bisa hidup tanpa perempuan? atau tidak dilahirkan dari seorang perempuan?”. Tentu saja tidak dimaksudkan adanya puisi tersebut.

Dengan kapasitas belajar yang seadanya, memilih banyak mendengarkan 15an komentar rasa-rasanya lebih tepat. Apalagi komentator para begawan sastra yang sudah mengorbit dengan buku-bukunya. Namun, ada juga seorang yang mengucapkan terima kasih karena dengan Perempuan!, banyak ilmu bisa keluar dari Pak HAH dan lain-lainnya.

Dan setidaknya, saya belajar banyak dari sini. Dan memang manusia harus senantiasa terus belajar, dan belajar. Namun tetap, sempat mengalami masa merasa bersalah (dan bodoh!) karena mempublikasikan puisi tersebut (sudah lebih 3 bulan jadi koleksi pribadi). Dan akhirnya-meminjam sebuah judul buku Pram, saya terbakar amarah sendiri.

*Tulisan ini membahas tentang ’fisik’, sedang ’jiwa’ puisi mudah-mudahan masih ada kesempatan pada April 2008

Friday, May 11, 2007

warisan accounts

Dari apa yang saya lakukan dalam merapikan accounts, saya sampai pada dua kesimpulan.

Pertama, begitu lekatnya kehidupan manusia zaman sekarang (seperti saya dan anda) pada internet. istilahnya, setiap hari tanpa internet. ok, mungkin selama ini kita memanfaatkan internet di kantor atau kampus, tapi setidaknya ketergantungan terhadap internet sangat tinggi. mungkin yang tidak mendapatkan jatah internet kantor atau kampus, tidak setiap hari online, akan tetap menyempatkan diri setidaknya selama periode tertentu untuk mengecek mail, browsing atau blogwalking.

Dan idealnya memang, setiap rumah di masa depan sudah terjalin dengan internet. karena bagaimanapun kita tak bisa menafikan peran internet dalam kehidupan sekarang maupun di masa depan. sehingga kesimpulan buat saya, rumah masa depan sepertinya harus terkoneksi dengan internet. semoga saja koneksi internet makin murah.

Yang kedua, sepertinya kita para netter, harus mulai berpikir untuk menunjuk pewaris accounts kita. ya... pewaris untuk mewarisi semua accounts yang kita buat dan miliki di internet.

Sederhananya, bagaimana jika besok kita tiada alias meninggal? Maka accounts yang banyak yang telah eksis itu akan terbengkalai. Timbul gagasan, setidaknya dibalaskan kepada semua orang yang mengirim pesan ke mail/blog kita, menyampaikan ke milis yang kita ikuti bahwa pemilik mail/blog (accounts) ini sudah tiada. dan untuk memintakan maaf serta do'a bagi pemilik accounts tersebut.

Bukankah itu menyedihkan, jika kita sudah terlanjur meninggal namun accounts tersebut tak bertuan. saya teringat akan sebuah blog, yang ditinggal pergi selamanya oleh tuannya. dan komen sangat panjang yang bisa dilihat (sedih sekali..).

Jadi saatnyalah kita memilih salah satu teman kita untuk menjadi pewaris accounts internet kita. bersyukur bagi anda yang sudah berpasangan. dan jika belum, sebaiknya cukup memilih satu sahabat untuk saling berbagi accounts masing-masing.

Dan mengutip salah satu tagline di blog seorang mas, jadikan blog sebagai warisan anak cucu. karena menulis, adalah bekerja untuk keabadian..

if i die tomorrow, i will be alright
because i believe
spirit carries on...
[DT]

*Status: Mencari pewaris accounts.. (done, 31 May 07)

Monday, May 07, 2007

di resepsi pernikahan

Menghadiri resepsi pernikahan tentu sering kita lakukan, apalagi bila musim-musimnya waktu pernikahan alias 'bulan baik'. inilah mungkin beberapa alasan mengapa kita hadir dalam sebuah resepsi pernikahan, dalam sisi yang baik maupun yang juga 'baik' sebenarnya.

Pertama, memberi ucapan dan do'a kepada kedua mempelai. ini adalah hal yang utama seharusnya dilakukan oleh hadirin atau pengunjung. Do'a yang diajarkan Islam untuk pasangan mempelai: Barakallahulaka wa baraka 'alayka wajama'a baynakuma fi khair.. semoga Allah memberkati kalian dan menyatukan kalian dalam kebaikan.

Dan tidak hanya do'a saja sebaiknya yang diberikan. berikan sesuatu sebagai 'bekal' hidup baru pengantin. dan bekal atau oleh-oleh itu, menurut seorang mas, sebaiknya bukan berupa uang. alasannya, barang bisa langsung digunakan oleh 'keluarga baru' dimana biasanya punya kehidupan baru (baca: rumah). dan biasanya, orang yang sudah berkeluarga itu akan lebih mikir dalam pengeluaran hanya untuk membeli barang-barang alat-alat 'kecil' rumah tangga. selain itu, kalau uang belum tentu uang yang diberikan akan dinikmati oleh pasangan pengantin. dan hari gini, pemberian uang 'nominal tertentu' rasa-rasanya masih kurang pantas juga.

Selain itu, karena menghadiri resepsi secara otomatis mengetahui kedua pasangan, maka bagi tamu resepsi menjadi sarana tahu pasangan dari teman, kenalan atau kerabat yang menikah tersebut. karena sering, sebuah proses pernikahan dilakukan dengan lingkaran keluarga dekat. sekedar mengetahui wajah saja pastinya (sekalipun bukan wajah aslinya). dan mungkin sembari membatin, "oo... jadi seperti ini.."

Kedua, sarana silaturahim dengan teman atau tamu lain yang hadir dalam resepsi tersebut. bagi anak kost, dalih silaturahim itu bisa saja dimanfaatkan untuk perbaikan gizi karena sebenarnya tidak terlalu berkaitan langsung dengan mempelai (atau tidak diaundang). bagi para single, silaturahim itu bisa juga ajang 'ketemuan', siapa tahu jodohnya ada disitu. tapi pertemuan di tempat semacam resepsi patut diwaspadai, karena yang datang sering tidak menampakan 'wajah' aslinya.

Bertemu dalam acara resepsi, bagi kalangan tingkat tertentu mungkin bagian dari menunjukan eksistensi. seberapa sukses, dilihat dari kendaraan yang dibawa atau pakaian serta asesorisnya. pun juga menunjukan 'kualitas' pasangannya bagi yang sudah berpasangan, biasanya bagi yang masih muda saja. tapi yang menarik bagi saya, melihat batik berseliweran memberikan kesan bersahaja pada sesuatu.

Ketiga, menjadikan berkaca pada diri sendiri. baiknya memang, tidak hanya datang saat resepsi dimana biasanya tidak ada nasehat atau khutbah nikah (kecuali jika menggunakan susunan acara adat). bagi pasangan yang sudah berumur, menghadiri rangkaian resepsi pernikahan seperti men-charge komitmen akan bingkai pernikahan.

Dalam sebuah akad nikah, saya teringat sebuah petuah yang bagus, "hadir disini seperti menghadiri sebuah acara pelepasan. anda pengantin berdua yang akan berangkat berlayar, menghadapi ombak, badai dan terjangan kapal lain. kami disini, berdiri dari hanggar dan melambaikan tangan seraya berdo'a bagi anda berdua."

Bagi yang belum menikah, resepsi juga tetap menjadi sarana berkaca pada diri sendiri. paling sederhana, kapan dirinya akan menyusul menikah. atau bisa juga berhitung, jika pengantin laki-lakinya menikah pada umur segini (atau istilah angkatan jika di kampus) mendapat perempuan yang segini, maka dirinya (yang belum menikah) kira-kira akan menikah berapa lama lagi dan mendapatkan pasangan yang usia (angkatan) berapa. berhitung, counting days.

---
Dan weekend lalu, saya menghadiri dua resepsi pernikahan. pertama rekan kantor yang bersuami seorang polisi penerbangan. jadinya, resepsi pun dilakukan dengan prosesi Pedang Pora. menarik, dan (sedikit-banyak) menggabungkan urusan cinta pribadi dan nasionalisme sebagai ksatrian. alasan satu, dua dan tiga tak jadi masalah besar bagi diri sendiri.

Yang kedua, saya dan sekawanan pondok derita* menghadiri sebuah resepsi pernikahan adik angkatan kami. ya.. adik angkatan kami. alasan satu dan dua diatas, bisa kami terima. untuk alasan ketiga, menjadi tidak tepat untuk kami-kami ini. mereka lebih muda (secara angkatan dan mungkin umur), tapi berani untuk mengambil keputusan itu. anak muda yang berani.

Berbicara tentang anak muda yang berani, saya jadi ingat kata-kata dari ibu teman saya dalam bahasa jawa tengah yang khas, "gek do ngopo tho, rabi koq podo enom-enom.."

Wah..untuk yang seperti ini, tiap orang punya alasan masing-masing.

*foto bertiga (kiri-kanan), aan, saya, adit - lucky sedang sakit.

Wednesday, May 02, 2007

Menjadi Guru

Guru, sebuah pekerjaan yang mulia. Pahlawan tanpa tanda jasa, demikian julukan itu disematkan. Membayangkan pendidikan, tanpa sosok guru laksana melukis di langit. Tanpa kehadiran seorang guru, pendidikan apapun itu mulai tingkat paling dasar hingga atas, formal maupun informal, tak akan pernah bisa berjalan.

Banyak orang menjadi guru, bukan sebab material. Karena guru, terutama di Indonesia, sudah dikenal dengan profesi yang bergaji sedang (untuk tidak dikatakan rendah). Sehingga minat untuk menjadi guru mungkin hanya ada di kepala sebagian kecil anak-anak. Padahal melalui perantara guru lah, cahaya ilmu itu bersemai.

Bagi guru sendiri, kebahagian terbesarnya adalah saat melihat anak didiknya sukses di masa depan. Itulah yang menjadi kebanggaan guru, yang mampu menghilangkan lelahnya dalam mendidik putra didiknya dengan hanya 'imbalan materi' yang masih secukupnya. Maka bagi anak didik, memberikan bentuk penghormatan atau sekedar tegur sapa kepada guru-gurunya dulu kala, akan memberikan energi kepada guru tersebut untuk terus mengabdi, dan mengabdi dalam pendidikan mencetak generasi penerus yang lebih baik.

Menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Apa yang saya yakini, sebuah analogi yang diberikan guru SMU dulu, bahwa menjadi guru berarti sudah berniat untuk meletakan satu kaki di Surga, dan bukan sebuah hal yang berat untuk menggeser satu kakinya yang lain. Atas dasar sebuah keikhlasan akan perjuangan.

Maka, jadilah guru! Tidak hanya guru bagi anak-anak kita sendiri, tapi guru bagi anak, atau bahkan masyarakat. Formal atau informal, kecil maupun besar jumlah anak didik bukan menjadi soal. Karena semuanya akan berbalas. Menjadi guru, yang patut digugu dan ditiru.

Berbicara tentang pendidikan nasional, maka pertama kali kita seharusnya berbicara tentang guru. Selamat Hari Pendidikan...

---
Kapan Sekolah Kami Lebih Baik Dari Kandang Ayam

"Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah.
Tanpa sebuah kemunafikan,
Semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan.
Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu.
Tidak berhati.

Otonominya, kompetensinya, profesinya
hanya sepuhan pembungkus rasa getir,"

"Bolehkan kami bertanya,
apakah artinya bertugas mulia
ketika kami hanya terpinggirkan
tanpa ditanya, tanpa disapa?
Kapan sekolah kami lebih baik dari
kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap
yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?"

"Ketika semua orang menangis,
kenapa kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan,
kami harus tetap kelaparan?
Bolehkah kami bermimpi di dengar
ketika berbicara?
Dihargai layaknya manusia?
Tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap
dalam kondisi terburuk,"

"Sejuta batu nisan
guru tua yang terlupakan oleh sejarah.
Terbaca torehan darah kering:
Di sini berbaring seorang guru
semampu membaca buku usang
sambil belajar menahan lapar.
Hidup sebulan dengna gaji sehari.
Itulah nisan tua sejuta
guru tua yang terlupakan oleh sejarah,"

*Prof. Winarno Surahman, dibacakan saat peringatan hari guru, 2005