Judulnya pun menarik, Panggil Aku Kartini Saja. Diambil dari sebuah kalimat surat yang dikirimkan Kartini, 25 Mei 1899 kepada Estelle Zeehandelaar (Stella), teman korespondensinya seorang sosialis-feminis di Belanda. Sengaja diambil Pram, karena dengan Kartini (saja), tanpa embel-embel RA (Raden Ajeng, gelar kebangsawanan sebelum menikah-Raden Ayu, setelah menikah), maka Pram sejalan dengan Kartini untuk menjauhkan feodalisme (jawa) yang sengaja dipelihara oleh kolonial.
Buku diawali dengan sejarah singkat Tanampaksa (Cultuurstelsel) sebagai akibat merosotnya ekonomi Hindia Belanda ataupun Kerajaan Belanda karena Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830). Melalui tanampaksa ini (sampai 1977 sebanyak 800 juta gulden dialirkan ke Belanda), tidak hanya hutang Kerajaan terlunasi, bahkan ekonomi Belanda telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan di pasar eropa. Di sisi lain, pribumi benar-benar merasakan imbasnya, mulai dari kemiskinan hingga penurunan jumlah penduduk karena penyakit, kekurangan pangan dll .
Dalam masa itu, 21 April 1879, Kartini lahir. Ayahnya, Ario Sosroningrat, yang nantinya menjadi Bupati Jepara. Kartini lahir dalam keluarga terpandang, ‘feodal’ dan terpelajar. Ayah dan paman-pamannya salah satu sedikit orang di seluruh Jawa yang bisa berbahasa Belanda saat itu, dan Kartini (serta saudaranya, Kardinah dan Rukmini) pun perempuan-perempuan pertama yang bisa berbahasa Belanda. Bahkan dalam sebuah pameran kerajinan di Belanda dimana karya ukir Jepara dipamerkan, tulisan Kartini tentang seni ukir Jepara mendapat kekaguman pembesar kerajaan (bahasa Belanda-nya sempurna).
Kartini, dari buku ini terlihat lebih dari ‘sekedar’ perempuan yang memperjuangkan emansipasi wanita, hal yang kita kenal dari sosoknya. Sekalipun Kartini ingin sekali merasakan pendidikan setinggi-tingginya, namun Kartini sangat menghormati dan mencintai ayahnya, sangat-sangat. Izin dan restu dari ayah yang dicintainya sungguh dinantikannya. Sekalipun izin itu jarang sekali keluar, apalagi dengan niatnya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda (yang akhirnya beasiswa itu ‘diberikannya’ ke Agus Salim).
Dan sekali Kartini mendapatkan izin untuk menjadi guru, betapa girang hatinya: “..aku begitu senang, malah riang, seakan aku sudah merasa bahwa percakapanku dengan ayah akan berhasil, ..... Duh, jadi tiada salah dugaanku terhadap dirinya; dan ia memang cintai putrinya ini dan ia pahami dia dengan baiknya.” (Hal 277).
Namun sebenarnya, perjuangan dan cita-cita besar Kartini mengahadapi tembok pertama dan penuh perasaan di depan-dekatnya sendiri. Kebencian Kartini terhadap feodalisme, berhadapan dengan ayahnya yang tetap mempertahankan gaya feodal (dimana sudah membudaya). Pembebasannya tentang perempuan, dibenturkan dengan ayahnya yang mempunyai ‘selir-selir’ yang sudah biasa sebagai nigrat saat itu, dan Kartini lahir dari ibu istri ‘non-resmi’ dari ayahnya yang setelah melahirkan anaknya kemudian diusir keluar rumah (baca Gadis Pantai, lebih lengkapnya). Dan Kartini akhirnya pun, menikah dengan Bupati Rembang sebagai istri kesekian.
Kemudian dalam budaya literasi Kartini, selama 4 tahun dipingit di rumah (mulai umur 12,5 tahun) benar-benar dimanfaatkan Kartini untuk membaca dan banyak belajar menjadi ‘perempuan’. Maka, Kartini juga adalah sosok perempuan biasa saat itu (karena dia sendiri ingin melepaskan atribut feodal dan ingin menjadi rakyat), yang bisa menyulam, membatik, dan menyukai kesenian. Baginya, seorang yang ingin memperjuangan rakyat harus menyukai seni rakyat, denyut nadi rakyat itu sendiri. Jiwa seni Kartini tumbuh, dengan kain batik dan beberapa lukisan hasil tangan-nya sendiri.
Kesukaan Kartini juga pada sastra, terutama puisi. Dalam salah satu suratnya: “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni. Tapi, mana ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini, adalah puisi.”
Seni telah menjalari kehidupannya dalam perjuangan, katanya: “Sebagai pengarang, aku akan bekerja besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami.”
Dalam masa pingit itu pula, Kartini banyak membaca sekaligus belajar Bahasa Belanda melalui buku-buku. Sangat banyak buku-buku yang dibaca Kartini. Sungguh merupakan anugerah bagi dirinya saat itu berkesempatan mambaca banyak buku, bahkan dengan memesan langsung ke Belanda. Lalu, setelah masa pingit pada usia sebelum 20 tahun, mulailah Kartini berkorespondesi dengan teman-teman Belanda-nya, dan beberapa teman luar negeri lainya.
Surat-surat Kartini, tidak hanya merupakan kegelisahananya pada kaum perempuan negerinya (melalui dirinya), melainkan juga nasib bangsa-nya keseluruhan yang membuatnya resah serta bentuk-bentuk aktivitas-nya, diantaranya adalah menjadi guru untuk sekolah perempuan di Jepara, membina pengrajin ukiran Jepara, membaca dan menulis karya sastra, serta aktivitas dengan rakyat biasa. Dalam suratnya pula, Kartini menyatakan betapa Barat (melalui membaca Kartini mengenal Barat) adalah contoh keunggulan saat ini dan juga memiliki kelemahan segabaimana dunia pribumi yang dikenal ‘lemah’ namun sebenarnya juga memilki keunggulan.
Dan dalam buku ini, Pram ingin sekali menunjukan bahwa surat-surat Kartini yang dikenal dalam Door Duisternis tot Licht (DDTL) adalah upaya sistematis kolonial untuk mengebiri jiwa sesungguhnya seorang Kartini, terutama dalam hal patriotik. Surat-surat yang termaktub dalam DDTL itu sudah melalui ‘pemilahan’ oleh J.H Abendanon, disesuaikan dengan kebijakan politik kolonial. Dimana di belahan dunia lain, adanya pejuang perempuan India (jajahan Inggris), Pandita Ramabai, yang dengan simpati internasional kemudian terbentuk Ramabai Foundation di New York dan London untuk mendanai perjuangan untuk perempuan India dalam pendidikan, kesejahteraan dll.
Apalagi, apa yang dilakukan Abendanon dengan menerbitkan ‘hanya’ 105 surat itu tidak bisa dianggap shahih karena kemungkinan adanya ‘popularitas pribadi’ demi karier politiknya (61 surat ditujukan untuk keluarga Abendanon). Padahal, sebelum mengenal Abendanon (dan istrinya saat kunjungan ke Jepara 1900), lebih banyak surat tertuju pada Stella, sahabatnya yang sangat mendukung dengan cita-cita Kartini untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, memperjuangkan pendidikan bagi pribumi (tidak hanya perempuan) dan kesejahteraan lebih untuk Hindia Belanda.
Di indonesia sendiri, DDTL diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, dan pertama diterbitkan 1920 oleh Commissie voor de Volkslectuur (sekarang Balai Pustaka). Dan pada cetakan ketiga (1951), Armijn Pane mengedit surat-surat Kartini karena menurutnya ada beberapa poin pokok surat yang repetitif.
Akhirnya, buku ini menarik untuk dibaca terutama jika ingin mengetahui gambaran Kartini ‘yang lebih utuh’, mungkin berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini, meskipun buku ini sebenarnya tidak lengkap karena dari empat jilid hanya dua jilid yang bisa diselamatkan dan menjadi buku ini. Sedang jilid ketiga dan keempat (diantaranya tentang pernikahan Kartini hingga meninggalnya bersama anak pertama yang dikandungnya), hilang saat peristiwa pemberangusan semua yang ‘berbau’ PKI 1965.
Dan dalam dewasa ini, semangat dan perjuangan Kartini yang dipaparkan buku ini relevan untuk terus dilakukan. Bukan lagi sekedar simbol kebaya pada 21 April setiap tahunnya. Serta buat saya pribadi semakin menyadari, betapa sulitnya mencari Kartini masa kini.