Wednesday, February 28, 2007

mozaik kehidupan

/1/
Suatu masa nanti, seorang anak bertanya pada bapaknya: “Ayah, apa itu cinta?”

Cinta. Nak, kau tak akan tahu jawabnya sebelum merasakan. Dan jika suatu saat kau merasa: rindu, sayang, cemburu, benci, ingin memiliki dan melindunginya, maka kau mungkin sedang jatuh cinta. Dan ketika kau mencintai, maka kau pun harus siap untuk terluka karenanya.

/2/
Sebuah kain batik, diberikan seorang ibu kepada anaknya.

Nak, bawalah kain ini untuk dirimu di rantau. Kain ini diberikan nenekmu, sebagai kain penutup dalam drama pernikahan ibu. Jika kamu kangen ibu, pakailah kain ini sebagai selimut tidurmu. Apalagi jika kamu sakit.

/3/
“Tidak ada pembagian struktur antara laki-laki dan perempuan, bahkan untuk domestik, hal yang sering diidentikkan sebagai tugas kaum perempuan semata.”

Jika setiap hari laki-laki seperti itu, aku tak akan pernah menjadi wanita.

/4/
“Kakak, bentar lagi adik mau sholat terus tidur. Apa yang kakak minta?”

Dalam do’a, do’akan supaya bisa istiqomah di jalan-NYA.

/5/
“Setelah semua rasa aku tumpahkan, tetap saja tak ada satu pintu-pun yang terbuka.”

Pintunya sudah tertutup, waktulah yang menutupnya. Dan akan kuingat seperti katamu: dekat berjarak, jauh bertepi.

/6/
“Mengapa kau selalu mengharapkan. Tidak adakah hal lain yang bisa memalingkanmu?”

Untuk orang yang bisa melakukan sesuatu dengan tulus, maka aku pun pantas berjuang untuk menjadi bagian penting dalam hidupnya.

/7/
“Mintalah sesuatu, jika ada yang harus kulakukan untuk dirimu.”

Buatkan aku sebuah puisi, dari buah keteduhan jiwamu.

Saturday, February 24, 2007

tentang niat menikah

Untuk apa menikah? Beberapa jawaban mungkin timbul dari pertanyaan ini, karena kodrat, ibadah, mencegah dosa, butuh melindungi dan dilindungi, kasih sayang, menurunkan generasi, dan lain sebagainya. Menurut saya untuk coba membuat sederhana, menikah itu memiliki dua tujuan utama. Satu tujuan agama atau keyakinan (ibadah dll), kedua tujuan pribadi sebagai pribadi manusia (cinta dsb).

Dan ada tujuan sekunder lain untuk menjadikan menikah menjadi lebih sempurna, yaitu tujuan sosial. Tujuan sosial artinya tindakan kita untuk menikah, memberikan dampak ke sosial mulai dari keluarga hingga masyarakat yang lebih besar. Dengan mempunyai tujuan sosial, maka menikah tidak hanya duduk dalam ruang privat kehidupan manusia.

Jika dengan tujuan agama atau pribadi telah jelas bentuk ejawantahnya, lalu bagaimana menikah dengan memberikan efek sosial? Sekarang mari kita bermain dengan data sebagai salah satu contoh, dalam hal ini pandangan Islam.

Potensi zakat indonesia menurut KH Didin Hafidudin sampai sekitar 20 triliun rupiah (what a huge number). Di sisi lain, anggaran pendidikan 2007 dimana pendidikan adalah masa depan bangsa ‘hanya’ sebesar 90,10 triliun atau 11,8% dari total APBN 2007 sebesar 763,4 triliun. Jumlah anak putus sekolah juta anak yang masih tinggi (sekitar 4,5 juta) menjadikan rasio pertisipasi pendidikan penduduk indonesia baru sebesar 68,4% dan tingkat pendidikan indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Lalu jumlah anak jalanan di 12 kota Indonesia 75 ribu jiwa, dan di Jakarta sendiri 40 ribu. Sedangkan jumlah anak yatim piatu seluruh indonesia tidak pernah terdata dengan baik, untuk contoh di Aceh sebagai akibat tsunami, angkanya mencapai 72 ribu.

Lalu, apa hubungan angka-angka diatas dengan menikah? Tentu ada karena kita sedang bicara tentang menikah dalam bingkai sosial. Sebuah keluarga (yang mampu) seharusnya bisa menjadi salah satu solusi masalah rendahnya tingkat pendidikan, tingginya anak putus sekolah, anak yatim piatu atau tentang anak jalanan. Dalam kata lain, kita sedang bicara tentang anak asuh, bantuan pendidikan atau bahkan adopsi.

Karena dalam implementasi kehidupan Islam, potensi zakat yang sedemikian besar selama ini hanya terkumpul dalam hitungan miliar, sedangkan pemerintah tidaklah terlalu ‘mampu’ untuk menyelesaikan semuanya (disini kita mengenyampingkan segala ‘kesalahan’ pemerintah).

Tentang anak asuh, atau bantuan pendidikan tentu bukan hal yang sulit, yang dibutuhkan hanya kemauan dari kita semua. Yang lebih sulit adalah adopsi, karena adopsi artinya mengajak anak untuk masuk ke dalam kehidupan keluarga. Timbul sedikit masalah jika anak yang diadopsi ‘kurang beradab’, karena berasal dari lingkungan sosial berbeda. Tapi inipun sebenarnya bisa disiasati. Islam sendiri jelas-jelas berbicara tentang masalah egalitarian kecuali di hadapan Khaliq, tapi pemeluknya sendiri masih sulit untuk memandang semua manusia sama dalam kehidupan sosial.

Berkaitan dengan adopsi dan kesamaan, kita bisa melihat contoh baik dari pasangan Hollywood, Brad Pitt dan Angeline Jolie. Disamping Shiloh, anak dari hasil ‘cinta’ mereka, ada Maddox dari Kamboja dan Zahara dari Ethiopia. Sebagai umat beragama (terutama Islam), pemandangan diatas tentu menarik. Jadi, apakah kita (terutama jika muslim dan besar di daerah mapan) mau hidup serumah atau mengadopsi anak dari Papua? (maaf, ini hanya sebagai contoh). Atau anak dari lingkungan sosial yang jauh berbeda dari kita. Dan Pitt-Jolie ternyata bisa. Dalam sejarah Islam, posisi Bilal bin Rabbah yang asli Ethiopia dalam kehidupan Muhammad pun mulia.

Sehingga akan lebih baik jika anak-anak muda (apalagi keluarga yang sudah mapan) meniatkan menikahnya sebagai solusi masalah sosial. Jika semua keluarga (tentu asumsinya semua manusia akan menikah) yang berpenghasilan diatas rata-rata bertindak kongkrit pemecah masalah sosial, maka jumlah anak putus sekolah akan berkurang drastis, rata-rata pendidikan akan terangkat dan masa depan bangsa pun lebih cerah. Dan tentang pendidikan hingga adopsi diatas hanyalah salah satu contoh, dan masih terbuka contoh yang lain.

Dalam sebuah percakapan dengan seorang istri wartawan senior di kampung halaman kami, ternyata mereka telah melakukan tindakan diatas sejak hari pertama menjadi keluarga, hingga anak lulus kuliah dan berulang ke anak lain lagi. Dan itu hasil sebuah ikrar. Jika Tuti berkata kepada Yusuf, “Hidup kita adalah kerja..”, maka kita juga bisa membisikan nantinya kepada (calon) pasangan kita, “Hidup kita tak pernah sendiri..”.

Monday, February 19, 2007

dalam diskusi ”Biru Hitam Merah Kesumba”

Sore, sabtu lalu menjelang Ashar di Salman ITB sebuah telepon masuk. Andrea Hirata, teman yang akhir-akhir ini jarang bertemu meminta bertemu di Prefere 72, sebuah kafe di Jl. Juanda Bandung. Setelah sholat, saya pun segera meluncur kesana.

Ternyata, sedang diadakan diskusi kumpulan puisi
Biru Hitam Merah Kesumba (BHMK), dengan empat penulisnya yang menyebut diri Perempuan Bukan Penyair. Saya pikir akan ketemuan saja dengan Andrea, ternyata ada sebuah acara. Tak ada salahnya ikut sebentar, mengingat sudah lama tak ikut diskusi seperti ini dan kebetulan dengan tema tentang, perempuan!

Acara diawali dengan pementasan dari teater 11 dengan mengambil kontens puisi-puisi di BHMK. Sekalipun semua pemeran laki-laki, tapi mereka memainkan kontens perasaan wanita. Agak dipaksakan, terutama saat salah satunya benar-benar bersikap (dan berpenampilan) seperti wanita.

Lalu, diskusi pun dimulai. Empat perempuan penulis,
Lulu Ratna, Oppie Andaresta, Olin Monteiro dan Vivian Idris (Vivian tidak bisa hadir karena banjir) serta dengan pembedah seorang dosen Unpar dan aktifis perempuan, Valentina Sagala.

Pembedah memulai analisisnya bahwa puisi dan karya sastra perempuan lainya adalah medium perempuan untuk menunjukan eksistensi, dalam hal ini eksistensi politik perempuan. Dalam dunia yang dominan ”laki-laki”, aktivitas penulisan perempuan adalah aktivitas politik perlawanan dari aktivitas biasanya. Hal yang kental ditunjukan dalam kata-kata dalam sebuah puisi Vivian, Hari ini... / Aku ingin membangkang.

Kumpulan puisi ini menggambarkan dunia perempuan dalam sudut yang beragam, ada puisi seorang perempuan sebagai istri bagi suaminya, ibu bagi anaknya, kekasih bagi pacarnya, teman bagi sesama gender, ataupun bagi pribadi perempuan sendiri. Namun, mereka membingkainya dalam pandangan sosok perempuan urban.

Sebagai istri. Kau paku aku sebagai permaisurimu / Di ranjang yang sesak... / Lalu kau pinta restu untuk berbagi, karna tak cukup / Nafsu kauumbar pada satu bini / atas nama lelaki halal kau miliki dua tiga / Dan empat... (Cerita Teman, Oppie)

Sebagai ibu. Mari sini sayangku, Nak / Genggam jariku lalu mimpi / Sampai pagi kita pergi / mengayuh angin menumpang awan (Anak Sayang, Vivian).

Sebagai teman. Des, ceritakan juga gubuk-gubuk tua / Tempat banyak perempuan desa / Dianiaya, dicerca, tak bersuara / Tersiksa batinnya atas nama status istri aku juga / Seorang istri... aku juga/ Seorang istri (Teruskan Menulismu, Olin). Midah temanku terdampar di negeri orang / Midah temanku cari makan sebagai pembantu / Midah temanku pahlawan devisa / Midah temanku badan kecil, bernyali besar / Midah temanku... / Masih saja ada anjing-anjing, yang menjilatimu / yang menggongong parau, yang tak punya malu, / mengerjaimu, menipumu, merampokmu, / memperkosamu, mengarang aturan sialan, / Sesampainya di tanah air (Terminal 3, Oppie)

Sebagai pribadi. Malam ini biru / Aku mencari diriku / yang hilang dalam bibirmu / dan menemukannya / di pojok-pojok gelap kota / ternyata aku masih bisa pulang (Tersesat, Lulu). Jangan kasihani aku / Aku baik-baik saja / Bernapas, bermimpi, beradaptasi / Kita jalan minggu, bulan, tahun / dengan / Kita maknai dengan cara kita / bukan karena aku perempuan, tapi karena aku / manusia... (Karena Aku Manusia, Oppie). Aku menulis / Menyita rasa dan perhatian / agar bebas lepas / dalam sebuah dunia jiwa / sebab / aku adalah sebuah puisi... (Akulah Puisi, Lulu).

Dan hal yang cukup menarik, buku ini pun menyajikan ”kronologis sejarah” aktivitas perjuangan perempuan, semisal aksi perempuan, advokasi dan lain-lainya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin saya diskusikan kemarin, bahwa penempatan perempuan dalam kajian apapun (termasuk sastra) seolah-olah menjadikan perempuan ”terlepas” sendiri dari keperempuannya dan sama bebas dari dunia laki. Mungkin akan ada jawaban, dalam dunia penuh kelaki-lakian, sentimen ”anti” wajar adanya untuk menumbuh-kembangkan eksistensi perempuan.

Dan sebagai bukti, sampai saya beranjak pergi lebih awal, pembahasan BHMK belum disinggung tentang negative side dimana bisa jadi, itu tentang mengembalikan perempuan dari rasa bebas-lepas nya.

Thursday, February 15, 2007

menulis sejarah

Membuat tulisan sejarah adalah sebuah tantangan. Bukan semata sebuah upaya untuk melawan lupa, karena sejarah sendiri selalu disikapi dengan dengan melupakan sekaligus mengingatnya. Tdak semua yang hitam harus dilupakan, pun tidak semua yang putih senantiasa diingat. Sejarah sebagai estafet antar generasi seharusnya tetap bisa menyajikan lanskap hitam-putih dalam sebuah nada harmonika sejarah

Jika penulisan sejarah identik dengan sumber, maka keberadaan pelaku-pelaku sejarah kunci tidak berarti memudahkan untuk membuat menuskrip peta perjalanan sebuah sejarah. Karena kemudian kita akan masuk dalam dua hal yang sangat ringkih.

Pertama, adalah menentukan, menggabungkan, memilah, dan mengkritisi dari semua yang berhasil dikumpulkan, mulai dari buku, wawancara hingga penelusuran. Bukan pekerjaan mudah. Bagi kami, kian terasa betapa pekerjaan manusia semacam Imam Bukhari, Muslim, Ahmad adalah pekerjaan maha sulit yang luar biasa untuk menyusun Hadits Rasulullah yang sudah beratus tahun berlalu.

Kedua, adalah lebih dalam untuk proses penyusunan itu sendiri. Karena keberadaan pelaku-pelaku sejarah, maka tidak ada cara yang lebih baik selain dengan mengumpulkan serpihan cerita pelaku-pelaku tersebut atas peristiwa sejarah.

Jika sudah masuk kategori cerita, maka sudah sangat tipis batasan antara cerita sejarah atau sejarah yang bercerita. Cerita sejarah seperti halnya kita membaca sebuah kumpulan sejarah-sejarah biasa, tidak ada sebuah ikatan khusus yang lebih emosional untuk mengungkap lika-liku sebuah peristiwa. Sedangkan sejarah yang bercerita, manusia pelaku sejarah lah yang menjadi subyek. Sehingga sebuah peristiwa bisa mempunyai dua, tiga atau lebih sudut pandang dan suasana psikologis yang berbeda. Bergantung pada berapa sudut sumber yang dielaborasikan.

Lalu, penyusunan sejarah itu sendiri sudah masuk dalam ranah yang melebar dari yang diperkirakan. Antara sejarah dan cerita. Jika sejarah adalah ilmu dan wawasan, maka cerita adalah seni dan romantika.

Membayangkan sejarah sebagai ilmu dan wawasan seperti halnya kita membaca sebuah teks buku sejarah biasa. Minim interpretasi. Monoton karena sangat diusahakan selalu dalam lokus kebenaran. Berbeda dengan membaca sejarah dalam sudut pandang seorang pelaku sejarah, atau sebuah cerita. Maka imajinasi dan kreativitas untuk menelaah dan mengkritisi sejarah terbuka lebih lebar. Ditambah lagi kecenderungan manusia untuk bercerita atau mendengar cerita. Tapi, jebakan terhadap sempitnya pengambilan sudut atau sisi romantiknya yang meluap bisa menjadikan sejarah berubah menjadi dongeng siang hari.

Walaupun memang, kendala terbesar dalam menuliskan sebuah sejarah adalah tarikan kuat antara obyektifitas dan subyektifitas. Apalagi bila sejarah selalu diindentikan untuk menjadi milik pemenang. Padahal, dua kutub tersebut tidaklah mati dan berhenti dalam sebuah kebuntuan statis. Obyektivitas memang lebih didengungkan untuk selalu memimpin dalam penulisan sejarah. Namun subyektivitas-lah yang sebenarnya menjadikan sejarah hidup dalam ruang dan waktu yang dinamis.

Di sisi yang lain, jika sejarah selalu ditempatkan dalam lokus yang ideal, sebuah perisiwa yang benar-benar terjadi, justru sejarah itu sendiri telah kehilangan élan vitalnya, yaitu menjadi guru dalam kehidupan manusia. Sehingga memang, kemampuan penulisan sejarah untuk menyentuh dua sisi keping tersebut secara proporsional dan elegan adalah niscaya.

-sebuah pengantar-

Friday, February 09, 2007

Geliat Sastra Lama

Terinspirasi dari pelajaran sastra di SMU, maka mulailah membaca satra-satra lama. Pertama dan yang paling mengesankan, Di Bawah Lindungan Ka’bah-DBLK (tak tahu kapan Roman ini ditulis atau cetakan pertama, namun sepertinya sebelum Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sedang cetakan 23, 1999). Membacanya saat bulan pertama/kedua tinggal di Bandung.

Lalu roman Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kedua yang kubaca, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, ditulis 1938 dan mendapat cetakan 23 (1999). Mulai membaca tidak beberapa lama setelah menyelesaikan DBLK. Lebih tebal, masih kental sastra melayu kono. Berikutnya, roman Layar Terkembang, St Takdir Alisyahbana, cetakan pertama 1937. Menemukan buku usang cetakan 23 (1995) saat iseng jalan-jalan di pasar buku bekas Madiun liburan lebaran 2006 lalu.

***
Di Bawah Lindungan Ka’bah
Hamid, setelah ditinggal mati ayahnya tinggal bersama ibunya dan membantu urusan rumah tangga sebuah keluarga kaya. Zainab, anak dari keluarga tersebut berselisih 3 tahun dari Hamid, dan mulailah masa anak-anak yang ceria sebagai abang-adik mewarnai mereka. Selepas MULO, Hamid cenderung mendalami agama sedangkan Zainab sesuai adapt, dipingit di rumah sampai kelak bersuami.

Dalam menuntut agama, Bapak Zainab, Engku Haji Ja’far, orang yang selama ini membiayai hidupnya meninggal. Disusul kemudian ibunya. Sebelum meninggal, ibunya menangkap bahwa Hamid mencintai Zainab, kemudian memberi pesan bahwa Zainab dan Hamid laksana emas dan loyang yang tak akan mungkin bersatu. Seharusnya sudah cukup, bersyukur atas kebaikan Engku.

Setelah selesai mendalami agama di Padang Panjang, pulanglah Hamid ke Padang dan bertemu dengan Zainab. Tertangkaplah, betapa mereka berdua saling merindukan, tapi Hamid hanya berprasangka. Sayang sungguh sayang, ibunya Zainab tak paham apa gerangan. Maka Hamid lah sebagai ‘abang’ yang diminta membujuk Zainab untuk khitbah dengan laki-laki lain yang sedang menyelesaikan sekolah di Jawa. Pilu hati, Hamid meminta Zainab memenuhi kehendak ibunya.

Dengan kepedihan, merantaulah Hamid ke medan, kemudian ke Singapura, Thailand dilanjtkan terus hingga mencapai Tanah Suci. Diserahkanlah hidupnya untuk memohon, di bawah lindungan ka’bah. Melayani perjalanan haji dan berguru kepada seorang syekh. Sampai akhirnya, bertemu dengan Soleh-sahabat kampunya dan mengalirlah cerita-cerita kepedihan itu. Tahulah Hamid, batapa Zainab mencintainya dan sering menangis di depan surat pertama yang dikirim Hamid dari medan.

Setelah mengirim surat kedua, terbukalah cinta mereka, saat tubuh Zainab tak sanggup lagi menerima beban sekalipun embun segar itu hadir kembali. Hamid pun mulai memikirkannya, dan akhirnya jatuh sakit dan setelah Hamid mengetahui kabar Zainab telah mendahului berpulang. Dan di hari yang sama, 9 Zulhijah, di bawah ka’bah Hamid berdoa dengan khusyuk kemudian menyusul. Di dunia, cinta tak harus memiliki.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk
Zainuddin, seorang pemuda ayahnya berasal dari minangkabau-padang panjang yang beradat bangsa dari ibu (matrilineal), sedangkan ibunya bugis-makasar yang beradat bangsa dari ayah (patrilineal, umunya suku bangsa di Indonesia). Setelah sendiri ditinggal mati kedua orang taunya, dia memutuskan untuk ‘pulang’ ke sumatera, mengharap sebuah penerimaan. Akan tetapi, adat berkata lain.

Lalu berkenalanlah dia dengan Hayati, bunga Batipuh. Mulailah dirangkai jalinan cinta keduanya. Tapi lagi-lagi adat tak memberi kesempatan. Anak tak bertuan hendak beristri perempuan minang. Pinangan zainuddin ditolak, seseorang bernama Aziz menikah dengan Hayati. Terluka dan diusir karena tak punya asal di minang, maka Zainudin merantau ke Jakarta lalu menetap di Surabaya. Di sanalah Zainuddin menjadi pengarang yang disegani.

Takdir berkata lain. Aziz berpindah kerja ke Surabaya, dan lewat pertunjukan tonil bertemulah mereka bertiga. Watak aziz yang boros di meja judi, sehingga sengsaralah hidup Hayati hingga sempat berdua mereka menumpang di rumah Zainuddin. Aziz kemudian memutuskan menalak Hayati karena perasaan dosa kepada Zainuddin dan bunuh diri di Banyuwangi. Tapi Hayati tak diterima oleh Zainuddin. Perempuan katanya, hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan lupa kekejamannya sendiri pada orang lain walaupun bagaimana besarnya.

Disuruh pulang Hayati ke minang, menumpang Kapal Van Der Wijk yang menjalani Mengkasar-Tanjung Perak-Semarang-Tanjung Priok-Pelembang. Di Priok, berganti kapal menuju Padang. 20 Oktober 1936 dini hari, Kapal Van Der Wijk karam, beberapa jam setelah dari Perak. Sempat membisikan Syahadat di telinga Hayati sesuai permintaannya di rumah sakit daerah Tuban, setahun kemudian Zainuddin pun meninggal karena terlalu berat merenung dan sakit-sakitan.

Kalimat terakhir karangannya yang penghabisan:
”...dan akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan bahagia.”

Layar Terkembang
Tuti dan Maria, saudara tapi berbeda watak seperti api dan air. Tuti adalah potret wanita mandiri, tegas, teratur, berpenampilan polos dan bersahaja. Dia menjadi guru dan aktif di sebuah pergerakan perempuan. Melalui Putri Sedar, dia bergelut dalam hal emansipasi wanita dalam hal pendidikan, pekerjaan dan kedudukan di masyarakat. Meminjam istilah penulis puisi Hartoyo, Tuti adalah wanita-wanita perkasa, dalam konteks pergerakan saat itu.

Maria, adalah potret keceriaan, manja, berpenampilan cerah, dan segala hal kesan pesolek menempel dengannya. Masih duduk di sekolah tingkat atas, dan bercita-cita menjadi guru. Bersama ayahnya (ibunya meninggal karena TBC), mereka tinggal di batavia. Jika Tuti yang memastikan kerapihan perabot dan alat rumah tangga, maka Maria lah yang mewarnai kerapihan itu dengan vas atau pot bunga.

Yusuf, anak muda setuden Tabib Tinggi batavia, putra dari seorang Demang di Martapura, Sumatera Selatan. Yusuf mewakili anak muda pintar di zaman pergerakan. Selain sebagai mahasiswa, dia aktif di organisasi Pemuda Baru, sebuah organisasi pergerakan dan hampir semua mahasiswa pribumi berjuang kemerdekaan melalui organisasi. Tergambarlah, bahwa Yusuf jatuh cinta pada Maria sejak pertemuan pertama.

Bergulirlah kisah cinta mereka, penuh keceriaan dan kebahagiaan. Sementara Tuti, semakin sibuk dengan Putri Sedarnya dan lama kelamaan mulai merasakan kering hati yang amat sangat. Mulai dengan mengalihkan bacaan dari buku wacana ke roman-roman kepunyaan Maria yang sering diejeknya, hingga kemudian menghadapi kebingungan ketika mendapat lamaran rekan gurunya. Di tengah kebutuhan akan kedamaian berpasangan, Tuti menolaknya. Dia tak ingin memberikan cinta palsu atau membohongi diri sendiri hanya karena umurnya telah 27, sedangkan laki-laki itu-seusianya pula memberikan ketulusan dan kesucian.

Setelah lulus, Maria terserang TBC hingga masuk sanatorium di Pacet, Jawa Barat. Berliku kisah pilu Maria menghadapi kesendirian disana dari Yusuf, permata hatinya. Sesekali Yusuf dan Tuti menjenguk, dengan menumpang tinggal di pasangan suami-istri temannya di Sindanglaya, yang memberikan pelajaran berharga tentang praktek emansipasi wanita. Banyak hal mereka (Yusuf dan Tuti) diskusikan, mulai tentang pergerakan hingga kondisi Maria. Hingga kemudian Maria merasa saatnya tiba, dan berpesan dengan menyatukan kedua tangan Yusuf dan Tuti.

Dalam sebuah Ziarah, saat sebentar mereka akan menikah, Tuti berbisik mesra, ”..tetapi Yusuf, hidup kita adalah kerja..”

*** Membaca sastra lama adalah membaca sejarah. Bagaimana sebuah budaya atau nilai dibangun, dijaga dan dipertahankan. Hamka, secara sosio-psikologis paham dengan budaya minang sangat apik mengangkat itu. Hamka pun seorang ulama, lihatlah bagaimana sarat maknanya DBLK sekalipun tak sampai 100 halaman. Lihat pula AA Navis, atau St Takdir dalam menyelingkan antara pergerakan, cinta dan kehidupan. Tak lupa kelebihan dalam membahasakan dalam tutur kelembutan sastra melayu tingkat tinggi.

Membaca sastra lama adalah membaca kisah masa lalu. Ya..tentang kisah masa lalu. Tentang perjalanan cinta yang sejatinya adalah sama (cinta) dalam konteks waktu dan ruang senantiasa menghadirkan suasana santun, bersahaja dan tetap penuh romantik. Bandingkan dengan kisah-kisah drama anak zaman ini.

Lebih dalam lagi, membaca sastra lama adalah menjaga dan membangkitkan kembali semangat. Semangat ketulusan, kepolosan, kejujuran, perjuangan, dan pengorbanan. Bukan romantisme, karena semangat adalah energi dan energi bersifat kekal. Dia hanya perlu ditransfer, dari ruang yang berbeda.

Dan sastra lama, sekalipun tertindih jutaan jenis cerita, novel atau roman baru tetap akan langgeng dengan kisah bersama energinya.


Friday, February 02, 2007

rumah mimpi

Rumah mungil itu ada di tepian. Berwarna ceria, bahkan cerahnya pun bisa menerangi kegelapan orang yang melihatnya. Itu bukan rumah yang besar, namun senantiasa asri dengan taman kecil dan sebuah dudukan beratap diantaranya. Dan lihatlah, sebuah pintu selalu menampakan sapa ramah kepada pengunjungnya. Hanya dengan melihatnya, semua orang telah dibuat kesan olehnya.

Rumah mimpi, demikian orang biasa menyebutnya. Begitulah pemiliknya memberinya nama. Konon, karena mimpi lah rumah itu dibangun. Mimpi sejak pertama kali membayangkan sebuah rumah, yang akan berada diantara langit dan gunung. Gunung adalah puncak dunianya, sedangkan langit tujuan abadinya. Gunung selalu menghadirkan kesejukan, penuh khidmat dalam keteguhan tekadnya, dan langit adalah tempat bagi semuanya bernaung, siapapun dia.

Dan di rumah mimpi, semua orang bebas untuk bermimpi. Bahkan ketika masuk pun, sesegera semuanya diajak untuk bermimpi. Bermimpi tentang hidupnya, tentang tujuannya dan tentang cintanya. Mimpi yang mengurai kesedihan pun tak dicegah. Semua bebas bermimpi, pun untuk memulai menuju mimpi itu. Bukankah semua bermula dari mimpi?

Tapi, tak semua orang suka bermimpi. Bahkan mereka cemas, semakin bermimpi semakin takut mereka untuk bangun. Karena tak berani melihat kenyataan, mereka pun membenci mimpi. Hanya anak-anaklah yang masih bermimpi. Ya...anak-anaklah yang senantiasa membangun mimpi-mimpi panjangnya.

Maka, rumah mimpi adalah rumah dengan banyak ragam mimpi anak-anak di dalamnya. Bisakah membayangkan, bagaimana mereka mengukir pahatan mimpi mereka? Diawali dengan mencermati banyak dongeng dan bingkai cendekia, lalu mulailah menggores tinta mimpi, membangunkan tempat mimpinya, membuatnya langit-langit hingga mewarnainya dengan indah. Indah sekali mimpi mereka, indah sekali. Dan bila sesekali mereka menumpahkan noda di atas kanvasnya, tetap saja itu sebuah lukisan mimpi yang indah.

Maka di rumah mimpi mereka mewujudkan imaji sehebat-hebatnya. Bersama bidadari, mereka seperti peri-peri kecil yang berterbangan mengitari permata mahligai sang nakhoda. Membawakan satangkup cinta, dalam cendawan penuh asa dan segenggam noktah maaf untuk terus disemaikannya. Begitu indah itu semua di rumah mimpi.

Dan bagi diriku, rumah mimpi serasa telah menghentikan waktu.