Friday, February 22, 2008

Memasak itu seperti membaca

Banyak yang menanggapi dengan adanya fenomena ibu-ibu zaman sekarang. Bisa memasak memang bukan syarat menjadi istri, tapi syarat menjadi koki. Memasak dan membeli makanan pun bisa dipandang dengan analisis ekonomi, mana yang lebih untung dilakukan dengan usaha yang sedikit. Maka membeli makanan dalam keseharian keluarga kecil lebih hemat daripada memasak sendiri.

Semua logika diatas benar adanya. Namun ada pendapat yang sangat humanis, saat seorang ibu mendengar dari anaknya sendiri bahwa masakan ibunya enak. Maka segala ‘jerih payah’ memasak pun menjadi hilang.

Dalam keluarga, memasak sebenarnya merupakan keahlian dasar. Sama halnya dengan membaca (dan berhitung), maka memasak sama halnya dengan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan yang dasar. Karena kebutuhan dasar manusia salah satunya adalah makan (kebutuhan paling dasar?), maka usaha pemenuhan kebutuhan itupun menjadi fundamental.

Mari membayangkan sebuah analogi berikut. Jika seseorang tersesat di tengah hutan, maka keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah membaca situasi, petunjuk jalan, atau arah angin. Membaca, itu kata kuncinya. Lalu jika semua usaha membeli makanan diluar jadi tidak ada alias tutup, maka keterampilan dasar bagi sebuah keluarga adalah memasak untuk mencegah kelaparan.

Jadi, memasak itu seperti membaca sebagai keterampilan dasar yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia (terutama kaum hawa). Ya, semua manusia karena kebutuhan makan itu menyangkut semua manusia.

Kemampuan memasak dalam sebuah keluarga juga penting untuk memantau asupan gizi yang diberikan kepada keluarga. Kita tidak pernah bisa pasti melihat semua makanan di luar sehat dari bahan, pemasakan dan cara penyajian. Tapi jika dilakukan sendiri, pemantauan itu dalam kontrol. Hal ini sangat penting misalnya saat-saat masa pertumbuhan anak dalam keluarga tersebut.

Dalam sebuah survei kasar, saya amati bahwa kemampuan memasak perempuan dewasa (baca: mahasiswi) zaman sekarang jauh menurun. Kesibukan aktivitas, kuliah dan bermain. Semua memang bisa dibeli saat ini, tapi dengan analogi dan pertimbangan diatas, maka kemampuan memasak tetap penting adanya. Dalam potret keluarga di luar negeri pun, selalu ditampilkan suasana makan bersama di keluarga dengan masakan rumah.

Tidak perlu mengernyitkan dahi karena memasak makanan yang rumit ala hotel bintang lima. Saya tidak ahli dalam menentukan kemampuan memasak apa yang sebaiknya minimal dimiliki. Setidaknya, dengan analogi tidak bisa membeli diluar diatas, maka masakan dasar pun tak jadi soal asal berasa, sehat dan pastinya enak.

Ini bukan pemaksaan kehendak bahwa semuanya harus bisa memasak. Memang ada bakat, tapi tetap lebih besar pengaruh niat (betul kan?). Sibuk bekerja sehingga membeli makanan diluar, atau menggunakan tenaga ‘juru masak’ tak jadi soal asalkan proporsional, dan tidak berarti tidak butuh kemampuan memasak sesuai uraian diatas. Sekali lagi ini kembali tentang niat.

Dan buat kaum adam sendiri, tentu akan lebih bahagia jika punya (calon) istri yang bisa memasak. Akhirnya, selamat belajar memasak. :)

Wednesday, February 20, 2008

Pantas, tidak hanya benar

Banyak orang hanya perhatian pada benar atau tidaknya suatu hal, dan tidak disertai dengan pantas atau tidaknya hal tersebut dilakukan. Antara benar dan pantas memang dua hal yang hampir sama, tapi sepenuhnya berbeda.

Benar, berbicara tentang 1 atau 0. Mutlak, antara benar atau salah (jangan dibawa ke ranah pentafsiran agama). Benar tidak ini mengacu aturan yang umum, naluriah, sunnatullah, standard operating procedure (SOP) atau bahasa hukum. Jelas dan rigid, karena hampir semuanya mempunyai ‘aturan’ yang membuat sesuatu tindakan yang dalam lingkup aturan bisa tersebut ditimpakan kepadanya benar atau salah.

Sedangkan pantas, lebih berbicara tentang etika, ukuran kepantasan. Bagaimana kita mengukur pantas tidaknya sebuah tindakan? Memang semuanya bisa kembli dalam standar norma masing-masing individu, tapi akan selalu ada hal yang umum atau pedoman. Baik yang paling jelas dibandingkan dengan kondisi sosial lingkungan di sekitarnya atau yang paling jujur hati nurani manusia.

Dalam lingkungan negara, kelakuan pejabat (dan wakil rakyat) yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok bisa saja ditimpakan benar, untuk menunjang kerja kedinasan. Namun itu akan berada di jalur ketidakpantasan bila jumlah dan frekuensinya di luar batas kewajaran. Batas wajar bagi pejabat publik tentu kondisi umum masyarakat yang dipimpinnya. Apakah layak jika pejabat bergaya mewah sedangkan rakyatnya hidup dalam keterbatasan?

Dalam lingkungan perusahaan, kepantasan seorang karyawan dalam hal menggunakan fasilitas. Contoh sederhana, menggunakan taksi untuk perjalanan Cengkareng-Bandung memang diperbolehkan, tapi rasa-rasanya itu kurang pantas karena bisa menggunakan travel yang masih juga nyaman dan safety (bukan bus umum). Tapi hal itu masih saja lebih baik, dibandingkan berbohong tentang nominal taksi itu sendiri. Atas nama pengorbanan atau apapun karena justru paling mendasar pada wilayah benar saah. Silahkan tanya ke hati nurani sendiri (atau hati nurani rekan jika diri sendiri tidak berani), apakah hal itu dibenarkan?

Dalam Islam, kebenaran adan kepantasan menggunakan istilah benar (halal) dan baik (ahsan). Makan tidak hanya butuh makanan yang halal, tapi juga thoyyib (baik) yang menyehatkan, dan wajar/pantas. Naik haji memang halal dan sangat dianjurkan bagi yang telah mampu, tapi naik haji bagi orang yang sudah pernah haji atau pernikahan yang melebihi kemampuan, mungkin akan lebih baik jika dananya digunakan untuk hal-hal yang lebih manfaat lainnya.

Lalu, bagaimana untuk bisa mengukur diri sendiri tentang benar dan pantas ini? Menurut saya jawabanya sederhana, mari membuka mata hati nurani kita. Hati nurani kita semua seperti cermin bersih yang akan ada kotoran penutup jika tidak sering dibersihkan. Jika cermin itu sudah penuh debu, maka pantulan dari cermin itupun tidak akan sempurna lagi. Nurani kita tidak bisa lagi membedakan kepantasan atau parahnya lagi sudah tidak bisa membedakan benar salah.

Cermin nurani itu bisa dibersihkan kalau menurut nasehat Islam diantaranya dengan tiga cara sederhana yaitu menengok kehidupan fakir miskin (yang hidupnya lebih susah), melayat orang meninggal, dan berkumpul dengan orang sholeh. Dan cermin hati nurani adalah bahasa universal, yang secara umum sama pada siapapun orangnya, agama atau kepercayaannya.

Karena cermin itu selayaknya bersih, sekalipun tidak bisa menjadi sungguh-sungguh bersih seperti terlahir kembali. Tapi manusia bisa berusaha, dan meminta kepada Sang Maha Pencipta untuk membuat cermin itu tetap terjaga.

Wallahu’alam..

Wednesday, February 13, 2008

Pupus sudah Multiply

Setelah mengkomplain ke pihak Multiply tentang kasus pencurian account saya, maka ini lah jawabannya:

Hi,Unfortunately, once yor account has been terminated, there is no
way of reinstating that username. The best thing to do is go ahead and join
again under a new username. Sorry for the inconvenience.

Preston

Sebenarnya sangat sangat tidak puas, jawaban yang tidak membantu. tapi bagaimana lagi? Misuh-misuh bukan sebuah solusi. tampaknya saya akan membuat account baru. jadi ingat guyonan tukang becak asal madura, "1500 koq minta selamat". gratisan koq minta baik pelayanan.

Terima kasih kepada Rachma yang mengusulkan complaint ke MP, serta Igun atas penjelasan teknisnya. hmm, saya harus berpikir account yang unik lagi.

*blogging from Cengkareng, starting to Palembang

Friday, February 08, 2008

Pulang

Kereta berjalan pelan masuk ke stasiun besar Madiun, stasiun kota terdekat di kampung halamanku. Jam masih menunjukan pukul 3.05 pagi hari. Jelas, naik kendaraan umum sepagi ini tidak akan membawa ke rumah ibu. Hanya ada dua pilihan. Menunggu hingga matahari agak naik lalu menuju jalur bus yang akan membawa pulang, atau naik taksi yang baru sekali aku lakukan saat lebaran kemarin.

Tentu bukan masalah uang, dibandingkan segera bertemu dengan ibu pasti lebih berharga. Tapi cinta itu rasional. Aku belum mendapatkan tiket kembali ke Jakarta, maka sambil menunggu loket buka jam 7, tak ada salahnya tidur dan sarapan nantinya.

Jarum jam menunjukan 3.25. Setelah memberitahu ibu tentang rencanaku, ku rebahkan tubuh di bangku peron stasiun. Untung aku segera menadapatinya sesaat turun kereta tadi, karena tak ada yang kosong lagi. Semua penuh dengan manusia yang entah menunggu pagi atau kereta pagi, terbuai dalam mimpi atau lamunnya.

Kursi peron yang tidak bisa menampung selonjoran tubuh. Jadi ingat bahwa kursi peron inilah yang menjadi tempat favorit saat smu dulu. Duduk disini, sambil membaca. Melihat kereta dan orang lalu lalang dalam perjalanan. Selalu menyukai tempat semacam peron ini. Bahkan di Bandung pun, ukuran dan bentuk kursi peron ini tidak juga beda. Tampak sebuah mozaik.

Tas ransel dijadikan penyangga kepala, badan direbahkan, kaki dilipat, tidur miring supaya muat dan nyaman dilihat orang. Sandal, ah..biarlah semoga tetap aman.

Mata masih sempat melihat jarum panjang hampir menyentuh angka 11, sempat mendengar suara lokomotif kereta dari Bandung. Deru lokomotif sekali-sekali masih terlintas di telinga, namun mata tak pernah ingin membuka. Lelap sekali.

Terperanjat, masih cukup gelap ternyata. Takut terang, ketinggalan Subuh. Jam 5 kurang, syukurlah. Bangun, lalu ke mushola stasiun.

Pukul 5.25, masih lama juga. Beranjak keluar mushola, menemukan petugas stasiun dan ternyata katanya loket buka jam 7.30 atau malah jam 8. Duh, akan lama bengong dari sekarang. Berpikir cepat, sudahlah coba beranjak keluar stasiun.

Ini salah satu yang tidak aku sukai saat pulang. Apalagi kalau bukan tukang bejak, ojek atau taksi yang berkerumun di gerbang keluar. Bahkan sudah ada satu, dua orang yang membuntuti sejak bangun dari peron tadi.

Jadi ingat kejadian pulang kampung saat masih kuliah dulu. Hanya karena aku bertekad tak akan pernah menerima tawaran dari mereka-mereka, maka ku paksakan berjalan lebih dari 2 kilometer untuk mendapatkan angkutan kota. Ada satu tukang ojek yang keukeuh membuntuti dari peron sampai keluar stasiun. Semakin ditawari, semakin hati menolak. Beradu keras kepala. Dan akhirnya aku yang menang. Puas.. ingat cerpen Becaak yang ada di buku bahasa zaman SMP atau SMU dulu.

Sekarang pasti beda, tak ingin sekejam dulu. Tapi prinsipnya tetap, penumpang adalah raja dan berhak menentukan pilihan.

Ada satu tukang becak yang menempel dari tadi. Usianya sekitar 40an tahun. Aku bilang mau sarapan dulu, dia malah memebri saran sarapan nasi pecel di depan kiri stasiun, katanya enak. Pura-pura menuju kesana. Hmm, tidak sebegitu selera karena ingin lari dari abang ini.

Setelah bertanya berkali-kali dari keluar tadi, akhirnya kujawab ingin ke jalur bus antar kota (ingat, aku tak boleh sekejam dulu). Dia semakin semangat menawarkan. Inilah pelajaran bagi calon penumpang yang dikejar. Saat dibuka pintu, dia akan minta lebih mendorongnya masuk. Ada kalanya lebih baik diam saat ditanya memang. Tapi dari tadi dia sangat nempel sendirian, tampak berharap mendapat rezekinya pertama pagi ini (saya tidak boleh sekejam dulu, tidak boleh!).

Becak, tak ada salahnya dicoba. Cukup artistik. Sangat sulit ditemukan di kota besar, di Jakarta atau Bandung. Ingat saat naik becak dari Lempuyangan bersama teman ke rumahnya di Timoho. Menyusuri jalan-jalan sepi pagi hari di Jogja, sungguh menyenangkan.

Oh berapa, 10 ribu? Dengan jarak tidak jauh, itu terlalu mahal. Itulah pelajaran kedua, setelah mendapatkan kesempatan menjadi penumpangnya, tetap berpikir logis antara jarak tempuh dan ongkosnya. Konon, setidaknya tawar sampai setengahnya dulu. Dan memang dengan 5 ribu aku berpikir ojek pun akan mau. Jadi posisiku kuat sekarang.

Turun menjadi 8 ribu, tapi aku tak bergeming, sambil berpura-pura menatap tukang nasi pecel. Aku membalik badan dan berjalan karena tak ingin meladeninya. Toh ada ojek di depan jauh ku persis, sambil menunggu seandainya tukang becak gagal mengambil penuh hatiku.

Lalu menjadi 6 ribu, sambil mengatakan selisih seribu buat rokok sebatang katanya. Rokok, bukan alasan yang baik pikirku. Makin hilang respek. Pun dengan seribu lagi, aku yakin dia akan mau ke angka 5 ribu. Aku hampir menang, hanya perlu sabar. Inilah pelajaran ketiga, jika sudah logis dengan sebuah angka saat menawar. Pertahankan dengan baik dan sabar.

Berjalan sebentar, dan dia menyatakan mau. Dia masih punya posisi. Tidak apa-apa ucapnya, sekalian ingin ke pasar barang bekas. Dalam hati, setidaknya aku tidak sekejam dulu (astagfirullah..).

Mengkhawatirkan juga, naik becak dan agak goyang-goyang saat duduk di atasnya. Kursi ini buat dua orang lebih tepatnya, hmm.. memang seharusnya bersama teman perjalanan yang menemani nantinya. Naik becak, merasakan jalan meliuk dan pagi yang cerah. Sebuah perjalanan yang artistik.

Becak menyusur jalan anggrek, dari depan stasiun ke kiri dan bukan ke jalan biliton. Jalan-jalan perumahan, segar udara pagi Madiun. Menengok jam, masih belum jam 6. Sepanjang jalan, ada saja orang yang disapa si tukang becak itu. Mulai tegur sapa, tanya kabar anak, bisa saja jadi bahan bertemu orang sekitaran jalan. Mungkin orang daerah sini, pikirku.

Jalan ternyata tembus ke terminal lama, dan berhenti di warung nasi pecel yang kata tukang becak enak, warung bu gito. Kuberikan 5 ribu untuknya, dan aku masuk ke warung.

Warungnya persis di pinggir jalan, keluar nanti bisa langsung menunggu bus. Sudah lama tak makan nasih pecel. Padahal rumus nasi pecel itu sederhana. Asal sambal dan paduan daun-daunnya pas, maka itu akan membuatnya enak. Benar kata tukang becak, nasi pecelnya enak. Dengan teh hangat, daging (di Jawa dikenal dendeng ragi, di Bandung yang mirip dinamakan gepuk), serta nasi pecel menggunakan pincuk (daun pisang yang dibentuk untuk wadah makan), benar-benar membuat pagi yang menyenangkan.

Jarum menunjuk sekitar 6.20, dan bus yang lewat tempat ibuku datang. Dalam hati berkata, rute yang layak dijadikan rute pulang kampung di masa depan. Bersama seorang istimewa, perjalanan inipun akan terasa lebih menyenangkan nantinya. Ibu, aku pulang...


Saturday, February 02, 2008

Semua generalisasi adalah salah

Generalisasi secara sederhana adalah menempatkan semua masalah setipe pada opini yang sama. Generalisasi merupakan pengungkapan opini terhadap masalah secara pragmatis, tidak mau menelaah bahwa setiap masalah belum tentu mempunyai kondisi sama alias mungkin berbeda.

Untuk sebuah opini pribadi, generalisasi sah-sah saja dan menjadi pandangan orang tersebut terhadap masalah. Namun untuk opini publik, atau opini pribadi yang dipaksakan ke publik, generalisasi menurut saya sangatlah tidak tepat.

Contoh yang simpel dan sedang marak-maraknya terjadi, meng-generalisasi bahwa selama pemerintahan Soeharto buruk. Atau malah sebaliknya semuanya baik sehingga tidak ada yang perlu diungkit-ungkit sisi buruknya lagi, apalagi Bapak tersebut sudah seda. Opini yang semacam ini adalah generalisasi, dan ini menurut saya bahaya. Opini tersebut tidak fair, dan justru menunjukan betapa tidak dewasanya penyuara opini tersebut.

Opini yang lebih fair dan mendewasakan bila melihat segalanya dari dua sisi, antara kebaikan dan keburukannya. Kita akui semua jasa-jasanya selama membangun indonesia (dan mungkin bisa dianugerahkan pahlawan?), dan di sisi yang lain memproses kasus-kasus yang melibatkannya dilanjutkan penyelidikan kepada pihak-pihak yang hidup ada saat ini.

Tampaknya bangsa ini sudah terlalu ingin menyederhanakan segalanya menjadi mudah, berpikir biner alias 1-0. Artinya kalau tidak 1, ya 0. Kalau tidak baik, ya buruk. Kalau tidak pahlawan, ya penjahat. Bukankah semua persoalan hidup ini tak bisa semata dilihat dari sudut 1-0?

Begitu pula dengan Soekarno, yang banyak dirindukan semangatnya untuk memajukan bangsa. Soekarno memang pemimpin luar biasa, sederhana dan visioner. Tapi jangan lupa, Soekarno pula yang mendefinisikan dirinya sebagai ‘aktor demokrasi terpimpin’.

Bagaimana itu bila itu berupa opini pribadi? Satu hal, itu sekali lagi sah-sah saja. Dan hanya akan menjadi penilaian lingkungan terhadap orang tersebut. Kembali masalah kedewasaan. Namun saat itu dipaksakan kepada orang lain, itulah yang menjadi kurang bijak.

Misalnya seperti ini, seorang teman sangat keukeuh untuk tidak menikah (atau ‘berhubungan’) dengan perempuan berjilbab. Alasanya, karena perempuan yang memakai jilbab belum tentu baik hatinya. Saya pun balik bertanya, apa semua orang yang tidak memaikai jilbab baik hatinya? Baik-tidak baik memang tidak ditentukan oleh jilbab semata, namun jilbab bagi seorang muslimah (yang menyakininya dengan benar) merupakan bentuk pelaksanaan syariat agama.

Generalisasi yang tidak boleh dilakukan adalah yang menyangkut dengan kepercayaan (faith) dan hukum alam (law of nature). Bahwa Risalah Tuhan itu benar, tidak perlu dibantah. Bahwa air akan mendidih di suhu 100 derajat celcius, tidak perlu dicoba untuk disentuh.

Sedangkan yang berhubungan dengan interaksi antar manusia, semua generalisasi adalah salah. Bukankah demikian?

*
weekend@bandung

My 1st Paper in Oil Area

Analysis of Drilling Time and Cost per Foot at Kaji Field

Drilling is the most critical and expensive activity in oil gas industry. That is why a drilling operation must be well programmed in accordance with time, cost and drilling target. The main job of a drilling engineer is to design a drilling program, contains of target depth, drilling time, cost, casing, and cementing program. In drilling operation at a producing field or development wells, there is a relationship between cost and depth. And by mathematical model, it can be obtained the drilling and trip time formula using the sample data. The drilling time formula can be used as guidance in creating drilling program in Kaji Field is td=0.748(e0.00121D-1), and the trip time formula is tt=(0.003)D. In order to get an optimum cost-per-foot, a 517 bit 8½ in should be better operated for about 32 hours rotating hours. While the optimum rotating hours for 117 bit 12¼ in can not be obtained because the main goal of early drilling is to direct drill string in operating directional drilling and that drilling needs to be controlled in a certain Weight on Bit (WOB) even in soft formation to maintain Rate of Penetration (ROP).


Notes:
- Kaji Field is here
- Completely paper could be obtained by contacting me, please state your purpose and clear institution*

*except my buddies :)