Saturday, December 30, 2006

Dalam Do'a

Duduk bersimpuh di hadapanMU
mencoba mendekatiMU
yang terasa jauh

Sujud memohon ke hadiratMU
meraih cinta kasihMU
yang kuharap selalu

-----

Semua pinta..
kuhaturkan padaMU
semoga KAU mengabulkan
semuanya itu

Segala dosa
kukatakan padaMU..
semoga KAU mengampuni
kelalaianku

Sehingga akan terasa ringan
di setiap langkahku
menjalani hari-hariku
yang ku tak pernah tahu
sampai kapankah

-----


Mengangkat kedua tanganku
meminta pengampunanMU
bercucuran air mataku
mengharap kau melihat
kesungguhanku..

Mencari setitik cahyaMu
di kegelapan jiwaku
bergetar bibirku
saat mengucapkan namaMU
dalam do'a..
[Shaff - Fix]

------
* nasyid favorit beberapa orang

Tuesday, December 26, 2006

untuk sahabat

kau terlalu hidup dari cinta dan persahabatan..

tiba-tiba saja kau tersungkur di kamarku. antara bimbang dan mencoba menutupi. tapi wajah tak pernah bohong. baru mendapatkan sebuah pengingatan, pasti.

kalaupun kau tak mau jujur, bercerita, aku pun paham. siapa aku? dimana posisiku? tapi kau masih sedikit bergumam. ah.., itu pun aku tak yakin kau sebut semuanya.

dan aku ambil kesimpulan. kau terlalu hidup dari cinta dan persahabatan. maaf, aku sedikit bohong. itu bukan kata teman kita. itu kataku. sekalipun aku mendapatkan fenomena sama tentangmu dari teman itu.

kau terlalu ringkih. untuk memukul sebagai laki-laki saja kau tak bisa. bukankah aku sering memukulmu? atau kemarin tak sengaja malah menginjakmu. sebagai bahasa persahabatan, sekaligus menunjukan ini dunia yang keras. tapi aku tak tega melihat wajahmu. dan saat aku ingin kau lebih kuat, kau bilang singkat: suppose to be.

lagi-lagi aku bertanya, siapa aku berani mengungkapmu? atau itu justru menghujam diriku sendiri? karena kau juga bukan hatiku. tapi kau perhatianku.

stop! jangan bilang lagi kalau di dalam perhatian ada hati. cukup. aku tahu itu. tapi kau tentu juga paham apa maksudku.

aku bilang kemarin, kau tak akan pernah bisa mendapatkan satu rahasia besar itu. hanya satu orang yang tahu, pun sekarang aku tak mau mengganggunya lagi. melihatnya bahagia. aku tak tega hati menggangunya, untuk membagi lagi cerita yang lama tertunda.

oh.. bukan itu saja. bukankah kau juga belum pernah tahu tentang kisah tentang 3 itu? karena kau bukan hatiku. ya.. kau hanya perhatianku.

seandainya aku tidak ingat, bahwa hatiku nantinya hanya milik seorang, tentu sudah berbandang-bandang cerita membanjirimu. tapi bukan itu.

aku possesif, pencemburu. aku yakin kau pasti bisa merasa, bagaimana kejamnya cemburu. mencabik-cabik. hei.. bukankah kau juga? aku pernah liat (dan kau tahu itu), bahwa kau cemburu pada kedekatan D dan A, sahabat dekatmu di kelas. dan waktu itu kau bilang tentang aku: seseorang yang tidak rela barang miliknya tidak pada tempatnya. tega!

buat apa menyerahkan hati pada orang yang terlalu hidup dari cinta dan persahabatan? aku sadar. kau punya banyak sahabat. dan aku tak berhak sekalipun menggugatmu. tapi aku juga berhak untuk menjadikanmu hanya perhatian, bukan hati.

tapi jujur, perhatianku sudah mendekati titik atas. pun buatku, perhatiamu juga tak kuragukan. kau tahu kisah 3 itu, sekalipun remang. kau menjadi tempat bingungku (dan kau menunda 'lariku' dari kota itu). hanya satu yang belum, sebuah rahasia besar. lalu sebaliknya, aku pun juga tahu kisah 2 bulan itu, bahkan kakaknya pun belum tahu. dan kau tersungkur di kamarku malam itu.

sekali lagi kalau aku sejenak lupa, bahwa ada yang lebih berhak terhadap hatiku kelak, aku sudah jatuh di depanmu. oh.. aku lupa. aku tempatkan kau berdua dengan seseorang saat aku dalam genting. dia tak membalas, karena aku segera sadar ini belum saatnya. tapi aku menyengaja kau 'memegangku'. aku masih ingat. kau bilang: apakah tangisan aisyah karena cemburu salah?

benar, kau sudah mencapai titik atasku bahkan saat ini melebihi seseorang lain, bagian dari kisah 3 itu. tapi, kau belum hatiku. karena kau terlalu hidup dari cinta dan persahabatan.

sudahlah, aku tak mau memperpanjang kalam. aku tahu siapa diriku dan kamu. aku berharap kau tak membaca ini. seandainya membaca, aku tak ijinkan kau untuk membalasnya. hanya kita berdua saja yang tahu. anggap ini tak pernah ada. toh, selama ini hubungan kita baik-baik saja.

terakhir aku ingin katakan, satu kalimat yang sekarang belum saatnya untuk kukatakan ke seseorang itu. karena Allah, aku sayang kamu.

Thursday, December 21, 2006

menjadi kakak

Jakarta
"Mas lagi bete nih..masa dia bilang bahwa dia mau pindah kerja.kata dia,buat apa di jakarta kalau ga ada yang perhatian.katanya ndi terlalu nuntut,bingung nih…"

Sejenak aku menenangkan diri di tengah kerja, mulai lah mengetik sms.

"ndi juga harus paham.kan pindah kerja itu tugas.ga boleh gitu.laki-laki itu cenderung menguasai, ga ingin dituntut. emang udah yakin jodohnya?”

Seorang adik sepupu, mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Terpaut 2 tahun di bawahku. Anak sulung-adiknya kuliah tahun ini, tidak berjilbab, berkacamata, relatif manja dan manis. Cukup dekat, sering curhat atau minta saran tentang keluarga, kuliah, freelance, keuangan dan pastinya ‘teman dekatnya’.

Terakhir kali ketemu langsung, sebelum mengantarnya di stasiun bandung 1 bulan lalu,

“..Manfaatkan mumpung masih muda, masa mau nikah cepet sih… masih banyak yang harus dicapai. Makanya, jangan dekat-dekat, ga bosan apa ketemu tiap hari. Ntar kalo udah nikah, jadi ga ada manisnya lho..”

Sambil mengusap kepalanya. dan dia pun tersenyum nyengir.

Surakarta
“Jadi apa perlu cesar bu bidan? Bagimana dengan baby blues?hehe. Apa kabar nih bu bidan? Lagi praktek ya. Awas, jangan ‘main2’ ama cow ya. Jadi bu bidan dulu!… “

Lama menunggu, hampir 2 jam.. tiba-tiba :

“Maaf, baru bales. Habis ngantar pasien SC emergency, lari2 gitu, kaya di TV, he2x. skrg aq lg praktek di RS. Baby blues: tingkatkan PeDe si ibu, terutama dalam m’rawat bayi dan menyusui. Dukungan moril keluarga,Bantu ibu dalam m’rawat bayi. {padahal tanyanya ga serius, malah dijawab serius..}. B’arti kalo kaya Aa’, udah boleh ‘mcm2’ ama cew ya? Hayo..knalin dunk!..”

Seorang adik sepupu yang lain, sepantaran dengan Jakarta. Berjilbab, lulusan pondok pesantren putri, kuliah AkBid (Akademi Kebidanan), anak sulung-adiknya perempuan semua dan relatif dewasa. Baru akhir-akhir ini dekat. Merasa bersalah, kemana aja aku selama ini.

Jogjakarta
“ana (saya-arab) ga mau hanya jadi sekedar ibu rumah tangga. Masa smu pilihan, kuliah ngerjain tugas sampai malam-malam, susah-susah,..terus lulus dan selanjutnya nikah hanya jadi ibu rumah tangga ..masih banyak mimpi, mau jadi dosen, aktivis muslimah, professional dll..”

Selisih 1.5 tahun di bawahku. Pinter, keras tapi lembut (kadang2) dan semangat sehingga sering terburu-buru. Bukan sulung, tapi egaliter. Lumayan dekat akhir-akhir ini, walaupun tak pernah mengakuinya. Maka jawaban untuk yang diatas :

“itu semua bagus. Kamu bermimpi mengajar di depan kelas, mengadvokasi muslimah, atau professional andalan di bidangmu. Gut! Tapi, kamu harus tetap sadar untuk menjadi ibu RT juga, siap melakukan pekerjaan2 domestik..."

Makasar
“wie geh’t heute? Lagi ngapain kak? Aku baru aja pulang les. Besok aku ujian.”
Atau:
“kakak lagi d madiun atau bandung? Kalau ke makasar, mampir ya… ntar kalau ke jawa, anti kasih tau kakak..”

Biasa memanggilnya anti, bukan semata karena namanya yang mirip, tapi juga artinya kamu-perempuan(arab). Belum pernah ketemu. (Katanya) Anak bungsu-dua kakak laki-lakinya lulusan Australia dan yang satu masih di Unhas. Smu kelas 2, berjilbab, suka ikut pengajian dan bilang kalo dia manis.

“kakak abis pulang kerja, anti. Besok ujian, met belajar ya. Jangan lupa berdo’a dan tilawah…”

-----
Senang melihat mereka tumbuh dewasa...

You all are not alone..
I’m here for you,
Though you’re far away,
I’m here just stay..

Thursday, December 14, 2006

Apakah itu cinta?

Apakah itu cinta?
Jika untuknya,
Semua tak harus diawali

Apakah itu cinta?
Jika demi hari esok,
Tak membuat ada hari ini

Apakah itu cinta?
Jika karena alasan,
Tak pernah saling berbagi

Apakah itu cinta?
Jika hanya satu memberi,
Satu lagi menanti

Apakah itu cinta?
Jika semua atas hanya,
Karena mengasihani

Apakah itu cinta?
Jika untuk menemukannya,
Tak ada jerih denyut nadi

Apakah itu cinta?
Jika manusia sendiri,
Tak berani mengakui

Apakah itu cinta?
Jika tanpanya,
Tetap bisa hidup sendiri

Apakah itu cinta?
Jika cita-cita,
Tak mampu mendampingi

Apakah itu cinta?
Jika percaya dan setia,
Tak bisa menjadi bukti

Apakah itu cinta?
Jika atas namanya,
Semua harus saat ini

Apakah itu cinta?
Jika pada akhirnya,
Perpisahan yang terjadi

Apakah itu cinta?
Jika atas namanya,
Cinta tak harus memiliki

Apakah itu cinta?
Apakah itu cinta?

Jika itu semua benar
Maka,
Ajari aku mencinta


Tuesday, December 05, 2006

satu babak baru

Setiap kehidupan selalu diwarnai hal-hal yang baru. itu artinya meninggalkan hal-hal yang lama untuk menerima atau mendapatkan hal yang baru.

Per 28 november 2006, aku menjadi bagian dari PT Sulzer Hickham Indonesia (link), salah satu bagian dari Sulzer Turbo Services, dimana induk perusahaannya adalah Sulzer (link) yang berbasis di switzerland. Hickham Indonesia (HI) adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam turbo services. sederhananya, turbo services berhubungan dengan rotating equipment, peralatan yang banyak terdapat di power plant, mining industries, chemical dll. dan HI adalah satu-satunya sulzer yang berada di asia, jadi pasarnya selain indonesia adalah regional terutama south east asia.

Banyak yang bisa dipelajari saat bekerja di perusahaan asing. yang pasti, sistem yang mereka miliki adalah obyek yang menarik untuk dipelajari. HI baru berusia 12 tahun dan bukan perusahaan yang memproduksi alat (hanya services) dibandingkan dengan Alstom, Siemens atau GE. tapi secara sistem dan kultur pasti ada hal yang bisa didapatkani.

Semua komunikasi surat dan laporan dilakukan in english, mulai email intern sampai annual report. secara umum pula, orang-orang disini pun dituntut bisa komunikasi verbal in english. karena jaringan worldwide-nya, atau karena 2 diantara 3 director (Board of Director, BOD) adalah dari Sulzer Turbo Services (STS). selain itu, beberapa engineer atau ahli juga sering didatangkan dari jaringan sulzer. kita mengenalnya dengan istilah expatriates.

Posisiku sendiri di HI adalah Project Coordinator, sebuah internal project bernama Project MAJU yang dikomitmenkan HI dan STS untuk meningkatkan omzet. dan untuk posisi ini, seminggu dua kali minimal akan meeting dengan BOD dan manager-manager lainnya. menarik, melihat meeting style, dan yang pasti konsentrasi untuk melakukan dua hal. satu mengerti maksud pembicaraan (in english of course) dan mengerti kontens-nya. seringkali aku berpikir serius tentang kontens, ternyata yang diungkapkan hanya sebuah kiasan bahasa.

Dengan posisi ini, maka memungkinkan adanya percepatan dalam belajar, hal yang menarik dilakukan. karena bisa melihat perusahaan secara keseluruhan mulai dari shop hingga BOD.dan karenanya, sebuah confidential letter menyertai contract agreement. untuk pekerjaan ini, sebuah HP Pavilion dv2000 membantu sehari-hari. walaupun HI bukan jalan hidup yang pasti, karena setiap perusahaan ada plus-minusnya, tapi ini adalah pengalaman menyenangkan.

HI berlokasi di kawasan Bukit Indah City (BIC), Cikampek-arah bandung 300 m dari gerbang tol cikampek. dari gerbang BIC sendiri, masih masuk sekitar 1,5 km. BIC adalah sebuah kawasan industri seluas 2000 ha yang dilengkapi dengan pendukungnya (perumahan, fasilitas umum, dan hutan!). BIC masih belum 'ramai', karena mungkin masih banyaknya ruang kosong kawasan industri yang lebih dekat jakarta. tapi justru itu, BIC menjadi kawasan industri yang masih asri, sejuk dan tertata rapi dibandingkan dengan kawasan lainnya.

Maka tinggallah aku di daerah sekitaran cikampek, kos. berukuran kamar 3 x 3,8 m sudah sangat cukup untuk menjadi tempat singgah. semua yang kos disini adalah pekerja, di industri sekitar, indofood, dunlop, textil dll. hal yang sangat membutuhkan adaptasi adalah kosan yang campur, laki-perempuan. sekalipun mbak-mbaknya baik, tetap saja merasa kagok.

Dan bersyukur, kos sangat dekat dengan masjid (namanya sama dengan di dekat rumah bandung, Masjid Muhajirin). sengaja memang, mencari tempat tinggal di perumahan (walaupun ada mess di BIC), untuk mencari suasana kemanusiaan yang bertebaran. masa seharian bergelut dengan pekerjaan tidak ada suasana penyeimbangnya. dan terbukti, setiap selesai maghrib sampai isya, banyak anak-anak yang belajar ngaji disana. pengajarnya pun para pekerja pendatang. aku belum sempat jauh terlibat, tapi sudah diniatkan akan terlibat nantinya.

Tak lupa, my second wife menemani saat akhir pekan perjalanan bandung-cikampek via purwakarta kemarin. menyenangkan. jalan sepi, mulus, sehingga mengeluarkan hobi ngebut. banyak fenomena saat ber-bike ria. salah satunya, kenapa sepanjang ruas jalan banyak truk-truk berhenti? oh, ternyata yang dilihat (selain truk) sejalan dengan nasehat seorang bapak di HI, "hati-hati kalau di purwakarta!".

Setiap hal yang baru selalu menarik, dan memberikan banyak hal sisi lain. kunci mendapatkannya sederhana. banyak belajar.

Monday, November 27, 2006

dua sigit

Keduanya bernama depan Sigit. Dan keduanya menurutku, punya kemiripan sifat. Karakternya, kalem dan tenang. Cara bicaranya, runtut, pelan dan masuk. Cara jalannya, tegap dan pasti. Sorot matanya, tajam dan menandakan berpikir. Bawaanya, ransel punggung.

Yang pertama, Sigit Adi Prasetyo. Awalnya mengenal dari sebuah cerita, mantan Presiden KM ITB 1999-2001. Bicaranya sabgat ritmis, sepsrti mengikuti sebuah algoritma. Mahasiswa Informatika 95 ini sekarang sebagai karyawan bagian IT di sebuah perusahaan pertambangan. Kantornya di Menara Mulia. Terakhir melihatnya, awal oktober kemarin dalam sebuah acara di Bandung.

Kehidupannya sederhana, baju kemeja, celana kain dan sebuah tas ransel. Pernah bulan Juli lalu, aku mengantarkan ke rumahnya di daerah Jatiwaringin, Bekasi setelah beliau mengisi sebuah acara di Depok. Lewat Jakarta Outer Ringroad yang baru sekitar jam 00.30, kami melaju. Ketika aku bertanya, “ke kantor naik apa mas?”. Dijawabnya, “jalan kaki, ojek dan bus”.

Rumahnya biasa, dan cukup untuk ukuran seorang istri dan putri kecilnya. Ada sebuah mobil tua di garasinya. Pingin bicara banyak, tapi kami sama-sama letih. Beliau seharian bekerja, malam masih mengisi acara. Sedang aku, seharian jadi sopir.

Yang kedua, Sigit Wisnuadji. Mengenal sejak September kemarin karena sebuah pekerjaan proyek. Mahasiswa Arsitektur ITB 1993. sekarang sebagai direktur di sebuah kantor konsultan desain, dan beberapa pekerjaan proyek di luar yang dikerjakannya juga. Kami berinteraksi selama kurang lebih 2,5 bulan untuk proyek Feasibility Study beberapa obyek wisata di Pandeglang sampai tengah november ini. Beliau memimpin tim arsitektur, sedang aku memimpin tim TI.

Orangnya bersahaja, kemeja panjang, celana kain dan tak lupa juga ranselnya. Ukuran pimpinan kantor, menurutku cukup sederhana. Dan lagi, beliau adalah penerima Stuned (aplikasi beasiswa studi dari pemerintah Belanda), sebagai mahasiswa Groningen Universitet 2002-2004, bidang housing. Untuk yang satu ini, adalah alasan tersendiri aku berusaha banyak belajar darinya.

”Udah lulus kan? Jadi kapan undangannya?” pertanyaan yang sering dilontarkannya. Dalam hati, ”undangan apa? Wong mas sigit aja ke belanda dulu koq.” Lalu, banyak guyonan garing lainnya.

Rumahnya di dago, daerah komplek perumahan dosen itb, pastinya aku belum tau. Seorang istri, dan putri kecil. Sebuah sepeda motor karisma menemani aktivitasnya. Secara khusus, aku belum berinteraksi banyak dengannya. Kami hanya bertemu saat-saat forum koordinasi mingguan, sms, atau berangkat ke Pandeglang untuk presentasi. Tapi aku yakin, ada banyak yang bisa aku dapatkan darinya.

Dua orang Sigit, keduanya mirip. Tapi yang pertama, aku tak yakin beliau mengenalku. Tak apa. Bagaimanapun, senang bisa mengenal keduanya.

Saturday, November 18, 2006

6 tahun kebersamaan

November, enam tahun lalu dia datang. Cukup diantar oleh pengantar sederhana, masuk rumah dan dia pun menjadi bagianku. Bukan barang aneh. Sebuah sepeda motor Yamaha Vega.

Lalu sejak itu, dia menemani perjalanan setiap hari. Memenuhi perjalanan di sebuah kota kecil bagian barat jawa timur, menyusuri desa bukit dan gunung di sekitarnya, dan berjalan setidaknya 50 km setiap akhir pekan. Bahkan di akhir tahun mencoba ketangguhannya dengan perjalanan magetan-solo pp dalam sehari. Artinya, memutar roda untuk sekitar 200 km.

Mulailah sedikit perilaku ”kreatif” anak muda menjangkit. Pertama, dibongkarnya ”sayap”. Lalu dilepasnya pegangan tangan di jok, padahal itu tidak rusak atau apa. Hanya pingin terlihat lebih sporty, jika tanpa ada pegangan itu. Walaupun dulu ketika ditanya, jawabnya, ”biar orang yang membonceng pegangan sama yang di depan...”

Ingin lebih banyak berkreatif, tapi saat berpikir biaya semuanya terhenti. Bukan karena tak mampu, tapi lebih ada hal lain yang butuh. Semua dipertahankan, kecuali pagangan tangan.

Saking lekatnya, dia dulu (dan sampai sekarang sepertinya) mendapat sebutan ”second wife” dari empunya. Second dalam hal ini bukan karena ada first-nya. Hanya sebuah sebutan. Sekalipun belum ada first, dia sudah menempati sedikit ruang yang akan tersisa.

Lulus pelajar, mantap sudah kaki melangkah ke jogja. Semua yang bisa harus dicoba. Maka magetan-jogja via gunung lawu dirasakan. Walaupun harus dibayar dengan tersungkur di turunan Tawamangu. Roda dan setir sedikit bengkok, sayap motor lecet, serta pastinya dagu dan tangan ku kalah melawan aspal. Tapi jogja tetap jogja. Perjalanan lanjut dan menata jejak masa depan disana. Lagi-lagi, ditemani olehnya.

Menyenangkan, hemat, penuh tantangan dan juga konservatif. Dibandingkan berkendara roda 4, motor tetap bisa menghadirkan suasana. Sekalipun nyaman bermobil, orang yang berani membawanya harus lebih banyak uang. Bayangkan jika tiba-tiba bocor, rusak mesin atau nyerempet orang. Sedangkan motor, 10 ribu pun sangat cukup. Kalau ada apa-apa, di bawa jalan bisa asal ada bensin atau tenaga lebih.

Lalu tiba-tiba sekitar 6 bulan lalu, sebuah sms masuk. ”kalau sudah wisuda, motornya di bawa pulang ya..” wah, tidak biasa berpisah dengan second wife. Walaupun mobil bukan sebuah kesulitan, tetap saja histori selalu lekat dengannya. Sebuah perjalanan hidup. Saat cita-cita dirangkai, saat belajar mengharga, saat belajar cinta, saat kebersamaan dan saat merasakan diri sendiri.

Masih ada keinginan untuk mengajaknya kencan spesial. Sebuah perjalanan bandung-magetan. Sepertinya akan seru, penuh inspirasi, makna dan tentu menjadi bahan cerita menarik. Seharusnya itu semakin dekat terjadi saat ini. tidak lama mungkin, sekitar 12 jam jika harus dengan bus. Bisa berhenti dimana, lalu mengambil gambar, menghirup udara, merasakan hidangan dan teh hangat. Ditemani obrolan dengan penduduk dan tatapan hangat darinya. Ingin sekali.

----

Untuk dikatakan cantik, seperti lainnya, dia hanya tampak berparas di awal. Untuk dapat disebut hebat, bukan pula dia sesuatu yang hebat. Tapi saat ini, cara dia berjalan di awal cukup membuatnya lebih unggul dari lainnya. Lalu untuk dikatakan kekinian, ah...itu cuma soal waktu yang terus bergulir.

Dan sekarang, aku tahu rasanya bagaimana 6 tahun itu berlalu.

Tuesday, November 14, 2006

Sabtu, 11 November 2006

Jam menunjukan pukul 08.45, dan semakin banyak orang yang gerah menahan panasnya ruangan. Sebenarnya bukan karena tidak ada pendingin atau ruang kurang besar, tapi jumlah orang di dalamnya ditambah hampir semuanya berdegup kencang menantikan suasana yang dinantikan itu. Tapi bagaimanapun, setiap orang yang masuk ke ruangan ini sepanjang pagi sangat ceria. Tidak ada rona kesedihan, selalu ada kecerahan memancar dari wajah bersih nan ayu.

08.55 seorang tampak di layar memegang tongkat, terlihat dia paling depan dengan cukup banyak orang di belakangnya. “Rektor, Majelis Wali Amanat, Majelis Guru Besar dan Senat Akademik memasuki ruangan sidang terbuka.” Semua berdiri, degup semakin kencang dan prose situ pun semakin dekat. Antara tak sabar dan khidmat, semuanya diam menanti. Penuh harap.

Jelaslah sudah, pagi itu adalah wisuda bagi 1221 sarjana, magister dan doktor Institut Teknologi Bandung.

Semua berjalan lancar. Rektor membuka sidang, Indonesia Raya, mengheningkan cipta lalu dilanjutkan pengambilan janji wisuda dan pelantikan wisuda. Janji lulusan ITB tersebut adalah :

Kami
Segenap lulusan
Institut Teknologi Bandung
Demi Ibu Pertiwi

Berjanji,
Akan mengabdikan ilmu pengetahuan
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Perikemanusiaan dan perdamaian dunia

Kami berjanji akan mengabdikan
Segala kebajikan ilmu pengetahuan
Untuk menghantarkan bangsa Indonesia
Ke pintu gerbang masyarakat adil dan makmur
Yang berdasarkan pancasila

Kami berjanji akan tetap setia
Kepada watak pembangunan kesarjanaan Indonesia
Dan menjunjung tinggi susila sarjana,
Kejujuran serta keluhuran ilmu pengetahuan
Di manapun kami berada

Kemi berjanji
Akan senantiasa menjunjung tinggi
Nama baik almamater kami
Institut Teknologi Bandung

Ada tangan di lemparkan ke pundak berlawanan saat Indonesia Raya berkumandang dan pengambilan janji. Ada yang mendekap lurus keduanya di depan bawah, sambil menundukan wajah. Ada juga yang meletakan tangan ke belakang layaknya tertawan, untuk membantu semakin dalam wajah tertunduk.

Ada air mata hangat membasahi pelupuk, dari sumber-sumber air mata kesucian. Ada bibir-bibir gemetar menahan suasana. Ada pandangan hampa ke depan, tanpa maksud apapun, benar-benar lurus. Semuanya bertekur, dalam mayapada alam makna.

Jarum jam menunjuk 09.25, Rektor membacakan pidato kepada wisudawan dan hadirin semuanya. Tentang hal-hal baru di ITB, peran dan posisi ITB, pesan kepada wisudawan dan tak lupa selamat kepada orang tua. Lalu membusunglah para cum laude saat pembacaan keputusan rektor tentang status itu. Selingan terjadi saat dibacakan beberapa kesan wisudawan terhadap ITB.

Pukul 09.55, mulailah pemberian ucapan selamat kepada para wisudawan, dimulai dari doktor, magister dan sarjana. Panjang dan lelah untuk menunggu. Tapi mau tidak mau kesannya, inilah”wisuda” itu. Maju ke depan dan menerima ucapan selamat dari rektor, dekan dan ketua program. Setelah pembacaan pidato perwakilan wisudawan, do’a dan penutupan sidang, maka rektor dan lainnya meninggalkan ruang.

Senyum lepas menyeringai puas di setiap orang. Perasaan syukur, bangga, berhasil dan sukses terlukis dalam setiap helaan nafas.

Walaupun selalu saja akan ditemui wajah sarat harap ditutupi keceriaan, senyum mermbalut cemas dan tawa menimpa paksa gundah. Ini bukan saja waktu mulai untuk menapak kehidupan nyata, tapi ini adalah tentang tanggung jawab. Terhadap diri sendiri, orang tua, masyarakat, bangsa-negara dan agama. Pantas tidak bukan lagi soal, toh semua sudah berhasil hari ini. Tapi tanggung jawab, tidaklah bicara dalam ranah pantas atau sematan.

Karena berani maju, maka tidak ada pilihan untuk tidak mengambilnya. Dengan cita dan cinta. Selamat berjuang kawan!

Monday, November 06, 2006

selama liburan

Setelah akhir Ramadhan yang cukup berat (sakit), keleleran di ruang tunggu RSHS malam-malam (terima kasih adhi), ditolak opname RSHS esok paginya (terima kasih aan), maka mudik menjadi pilihan yang akhirnya dilakukan.

Punya hutang. Sudah lama sekali puasa selalu penuh hingga tak ingat lagi kapan terakhir puasa tidak penuh alias punya hutang (mungkin SD). Dan Ramadhan tahun ini, harus makan bubur di saat orang lain puasa. Ada malu, ada penyesalan dan ada syukur. Tapi, puasa terakhir yang kontroversi (hari ke-30) masih bisa dilakukan.

Idul Fitri, total 84 ucapan sms yang diterima. Melihat warna-warni Islam negeriku. Ada warna minggu, senin, selasa, bahkan rabu. Maka manusia di dalamnya pun bebas dan bertoleransi untuk memilih.

Bertemu dengan keluarga besar, sudah banyak saja aktiivitas masing-masing. Ada sepupu seumuran, mau berangkat ke Singapura buat pertukaran karyawan MCD tanggal 15 nopember ini selama 6 bulan. Dan yang seru, 3 sepupu perempuan yang manis-manis. Satu yang sedang kuliah di sebuah universitas negeri di Jakarta, sudah ”dekat abis” dengan seorang laki-laki dan kelihatannya hanya himbauan orang tuanya untuk bekerja dulu setelah lulus. Satu lagi, bercerita tentang kuliahnya di Akademi Kebidanan. Bercerita tentang kuliah, praktek dan berbagi sedikit tentang kehamilan (ada juga istilah baby blues). Dan satunya lagi yang masih smp, punya hal-hal menarik kehidupan pondok pesantren putri.

Berdiskusi seru dengan mas Zaim Uchrowi (yang sedaerah) di rumah orang tuanya. Ditemani oleh istrinya-mbak ira, mengalirlah diskusi tentang aktivitas, masa depan, pergerakan islam, aktivitas wanita, keluarga dan Indonesia. Tanpa tedeng aling-aling untuk sharing. Istrinya ternyata lebih talkactive, seorang manajer produk GAP (produsen garmen dari AS) untuk kawasan asia tenggara. Berdua mereka menempuh S2 development program di Filipina, saat kedua putra masih kecil. melihat sang istri yang berkerudung dan menjadi wanita karier sukses, maka diskusi tentang wanita pun menjadi lebih menarik.

Kembali bersama teman-teman SMU. Kabar tentang yang sudah nikah, punya anak, atau yang sudah lulus, masih kuliah dan yang sudah kerja. Akhirnya, seorang teman yang ”konflik” selama 3 tahun menjadi jurnalis di sebuah koran baru ibukota, meneruskan langkah dari majalah sekolah dulu. Dalam hati berujar, ”sudah cukup berarti, tak perlu ingin menjadi jurnalis lagi”. Tak lupa, (di)kumpul(kan) dengan ”komunitas”, yang semuanya kuliah di luar daerah. Banyak juga ternyata hasil perjuangan SMU itu. Yang dulu menjadi corong seruan, ada yang memutuskan berhenti dulu dengan ihwal alasan. Pun banyak yang sebaliknya.

Memperbarui pajak kendaraan dan mengalami birokrasi serta aroma korupsi dalam mengurus paspor. Hari terakhir, berkunjung ke SMU bertemu para guru. Waktu berjalan cepat sekali. Tak lupa, menumpahkan terima kasih kepada guru bahasa indonesia, seseorang yang pertama kali mengenalkan sastra saat mengajar kelas 2 dulu. ”sastra untuk masyarakat, bukan sastra untuk sastra”, pesannya kemarin. Kemudian berbagi dengan adik-adik SMU, tempat masa depan itu tergantung.

Mencium tangan ibu, dan merasakan alam pun tersenyum cerah.

Tuesday, October 10, 2006

Bandung, sore hari menjelang berbuka

Melihat Bandung setiap sore hari, saat-saat waktu mengarah berbuka puasa adalah keasyikan tersendiri. Sepanjang jalan-jalan utama, kita akan mendapatkan suasana yang tidak akan didapatkan selain di bulan suci ini.

Ada manusia-manusia yang keluar dari rumahnya untuk mendapatkan menu buka. Mereka menunggu, antri mulai satu jam atau bahkan lebih untuk mendapatkan sebungkus kolak, cendol, cemilan, atau makanan-manakan tradisional. Sungguh tidak masuk akal, jika dilihat bahwa untuk sekedar membatalkan puasa, seteguk air pun sudah cukup. Tapi pasti ada hal-hal lain yang menjadikan setiap harinya, banyak orang rela keluar, antri. Selalu.

Selisik melihat alasan sederhana, membatalkan puasa serasa belum cukup. Maka mungkin ada alasan-alasan lain yang menjadikannya selalu berulang, setiap hari selama bulan puasa.

Lalu, kita akan menemukan manusia-manusia yang memanfaatkan sore hari menjelang buka adalah waktu-waktu rekreasi. Banyak pekerja kantoran juga, sengaja pulang mendekati waktu-waktu buka.

Sambil nunggu buka, menghabiskan waktu bersantai di depan kampus, ruas jalan atau warung-warung tenda.

Untuk yang seperti ini, maka Bandung sore hari menjelang berbuka adalah sabtu malam yang dimajukan dan terjadi selama 30 hari. Apa yang khas dari sabtu malam? Satu, pasangan-pasangan. Atau para kembang bermekaran disertai kumbang yang bertebaran. Dua, mejeng. Itung-itung, sekali kayuh dua pulau terlampaui. Dapat menu buka, sambil JJS (Jalan-jalan Sore). Khas bandung.

Dan sesuai dengan hukum demand-supply, maka kita akan melihat di Ramadhan ini, jumlah pedagang-pedagang makanan buka terlihat makin banyak. Entah, apakah mereka sebelumnya berjualan makanan di siang hari saat tidak bulan puasa, kemudian mengganti jam kerjanya menjadi sore hari. Atau yang sepertinya lebih banyak, penjual-penjual dadakan yang memanfaatkan kesempatan.

Maka, sore hari menjelang berbuka, Bandung akan macet di banyak ruas jalan. Macetnya bahkan melebihi macet Bandung yang disebabkan weekend. Jika weekend lebih banyak disebabkan migrasinya orang-orang Jakarta, maka macet setiap sore menjelang berbuka karena orang Bandung sendiri atas beberapa alasan yang sama.

Memang, selalu saja ada hal menarik di Bandung.

----

foto : http://www.geocities.com/qqsamudra/Macet.jpg

Wednesday, October 04, 2006

tidur pagi hari

Tidur pagi menjauhi rezeki, itu orang jawa bilang. Dan dalam Islam, tidur pagi setelah shubuh sangat tidak dianjurkan. Pun tidak ada alasan pula dalam hal ini, baik di Ramadhan seperti sekarang atau bukan.

Itu pula yang dikatakan DR Hidayat NW dalam sebuah acara di Pusda’i Jawa Barat tempo hari (link). “Setelah salat Subuh, sindir Hidayat, umumnya sebagian Muslim tidur kembali, sehingga "kesiangan" ketika berangkat kerja,” begitu ungkap Mas Dayat.

Nah, sekarang ada pertanyaan lagi, bagaimana kalau tidur paginya itu sebagai istirahatnya? Mungkin saja dia bekerja sepanjang harinya, jam 8 sampai 17, kemudian dilanjutkan mengerjakan tugas lain sampai jam 23, baru kemudian istirahat dan jam 3 bangun lagi.

Bagi orang-orang yang super, tidur 4 jam (+ setiap hari!) mungkin cukup. Seperti dalam rubrik-rubrik, yang dibutuhkan kualitas tidur bukan kuantitas. Tapi haruskah dipaksakan?

Jika kemudian kurang tidur menjadikan seseorang lemas di tempat kerja, berarti tidur cukup penting. Waktu, tidak menjadi masalah mau malam atau setelah shubuh. Hal yang patut dipegang, tidak berlebihan serta tidak meninggalkan kewajiban dan keutamaan lainnya, seperti shubuh di masjid, lalu qiyamulail, atau tillawah.

Dalam hal kaidah prioritas, hal yang wajib lebih ditunaikan terhadap yang sunah. Wajib ketika kerja dan memenuhi semua tugasnya, wajib mencari nafkah, dan wajib menjaga kesehatan. Sedangkan tidur pagi, adalah tentang utama-tidak utama.

Pernah, menelepon seorang alumni-mantan kepala unit mahasiswa terpandang ITB- jam 5.30an. Dari lama telepon diangkat dan suaranya, sepertinya sedang tidur pagi juga. Pernah juga menlepon pagi seorang pengurus teras yayasan islam, pun sepertinya dalam kondisi sama. Keduanya tinggal di kota besar. Dan menurut teman, dunia kerja menjadikan ritme hidup mahasiswa (yang relatif ideal) berubah. Lebih realistis.

Maaf buat yang kurang setuju, bukan mutlak apologi alasan diatas. Secara pribadi, mengusahakan untuk tidak tidur pagi adalah lebih baik. Dan, kalau tidur pagi malah menjadikan semua terlaksana dengan baik, pun bukan sebuah tabu untuk dilakukan. Sederhana.

* bahkan dalam tidur, aku ingin terlihat indah...

Friday, September 15, 2006

sebuah pengantar

Alhamdulillah, segala puji tertinggi hanya untuk Allah SWT, atas kasih sayang-NYA dalam mengarungi kehidupan, termasuk kelapangan-NYA hingga penulis bisa melaksanakan penelitian Tugas Akhir dan menyelesaikannya dengan baik.

Selama mengikuti perkuliahan sampai dengan penyusunan tugas akhir ini, penulis banyak sekali menerima bantuan, dukungan, perhatian dan hasil usaha dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada :

Kedua Orang Tua, perantara hidupku. Kepada Ibu ku, terima kasih atas segala kasih sayang yang ditumpahkan, do’a yang dipanjatkan.dan suara telepon yang disampaikan. Maaf atas ketidakmampuan mengatasi semuanya. Seandainya, aku bisa lebih berbakti. Kepada Bapak ku, betapa dunia telah berubah. Terima kasih atas semua nasehatnya, dan ternyata hidup bukan masalah perjalanan umur, tapi kematangan berpikir dan bertindak.

Bapak Darwin, selaku Pembimbing TA, guru dan sekaligus partner. Terima kasih atas kepercayaan, segala proses dan aktivitas yang telah, serta yang akan dilakukan.

Ibu Indryati dan Bapak Titah sebagai Dosen Penguji, atas masukan dan semua yang membuat penulis menjadi manusia yang layak menyandang kepercayaan baru.

Bapak Leksananto, sebagai Dosen Wali yang terus memantau, dan sebagai bapak yang selalu menghadirkan suasana rumah dalam pertemuannya.

Bapak Sasono, atas keterbukaan informasi dan masukan-masukannya. Bapak Mumung dan Soetardjo atas data-datanya. Bapak Sahli, atas ketidakbosanannya. Bapak Dicky, Mas Edu, Mas Mulyana, Mbak Reni dan semua pihak di PT KA Daop 2 Bandung yang telah membantu selama TA, tugas kuliah dan KP juga.

Semua guru selama kehidupan ini, atas didikan dan bukan hanya pengajaran. Manusia yang telah menginjakkan kaki kanannya di Surga, dan tidaklah terlalu sulit atas izin-NYA, untuk menarik yang satunya lagi.

Para pemimpin masa depan yang tetap manusia, PPSDMS NF angkatan I Bandung. Sejarah tidak akan pernah terjadi, jika kita tak pernah melakukannya. Kepada Sukma, Ganda, Bustan, Anam, Gortum, Amir dan NGO teman sekamar, ‘ustadz’, Yogi, Ida, Abi, Gayuh dan semua yang pernah berbagi suka, dan suka. Karena memang, duka kita adalah suka kita di sisi lain.

Komunitas Gagak, dan semua kelanjutannya. Bermula dari ‘gubuk derita’, sekarang kita menjadi contoh dinamika yang luar biasa. Dalam perjalanan hidup, kalian lah yang tahu masing-masing kita sejak ‘kecil’ hingga ‘gede’ sekarang. Dan memimpin kalian selama ini, benar-benar amanah ‘tersendiri’. Terima kasih kepada Sang Kakak dan Sang Guru.

Penghuni Acapela’s, tempat kedewasaan itu bersemi. Tempat kepenatan ditumpahkan, tempat mimpi ditapaki, dan juga tempat realitas dihamparkan. Segala denyut dengan Adit, Aan, Rangga, dan yang pernah hadir: Aldi, Eri dan Lucky. Dan juga kepada teman-teman di kawasan Sadang Serang.

Teman-teman TI 2002, ITB 2002 dan ‘bocah’ 2002. Betapa catatan kampus gajah ini tak ada rasa tanpa kalian. Terima kasih atas kepercayaan, jabat tangan dan senyum-senyumnya. Terutama kepada seseorang yang telah menghidupkan kerlip-kerlip hati setelah sekian lama padam.

Kawan-kawan seperjuangan di Gamais ITB, Kabinet KM ITB, MTI dan MITI, serta Tawazun. Torehan aktivitas yang menyenangkan. Bermanfaat, tak harus dengan menjadi orang lain.

Rekan-rekan yang pernah bekerjasama dan berbagi ilmu, mencari sesuap nasi dan segenggam berlian. Mas Orid atas Powersim (dan pengalaman ‘keluarga’), Mas Ade, Dayat, dan Maya. Semoga hari depan lebih baik lagi.

Semua teman, rekan dan sahabat yang pernah datang dan pergi dalam kebersamaan untuk membuat banyak cerita. Dimanapun kita nantinya, ingatlah bahwa kita pernah membuat sebuah kisah klasik untuk masa depan, menjadi mozaik bagi kehidupan. Mari tidak terlalu larut dengan masalah, tetaplah menjadi bintang di langit.

Akhirnya, zaman tak dapat dilawan dan kepercayaan harus diperjuangkan. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Masukan dan kelanjutan dari TA ini sangat diharapkan. Dan harapan terbesar, semoga penelitian ini bisa bermanfa’at sebanyak-banyaknya bagi kita semua.

Bandung, September 2006

Monday, September 11, 2006

bekerja

kenapa manusia bekerja? sebuah pertanyaan yang bisa dijawab oleh orang sesuai dengan tipe atau karakter orang tersebut.

orang pertama, akan menjawab bahwa bekerja adalah untuk mempertahankan hidup. sebuah istilah penghalusan, dan tentu ada istilah yang lebih "jelas", yaitu untuk mencari uang. sederhana, tapi pasti.

orang jenis kedua, akan menjawab bahwa bekerja adalah panggilan manusia. kalau manusia tidak bekerja, dan berarti juga tidak beraktivitas, maka ia bukan manusia. urusan uang, bagi dia akan menjadi pertimbangan, tapi tentu bukan hal utama. bukankah pertanyaannya kenapa bekerja? dan, bukan kenapa berpenghasilan?

dalam tahap lebih, bekerja karena kebutuhan manusia adalah ibadah, sebuah bentuk penghambaan manusia kepada Pencipta. walaupun, biasanya terlupa akibat rutinitas yang terjadi.

orang tipe ketiga, adalah orang yang menggunakan filosofi kebutuhan puncak Maslow, eksistensi. manusia bekerja bukan untuk mencari uang, atau sekedar memenuhi penggilan alam, tapi itu adalah caranya untuk menjadi "aku". sebuah pengakuan akan lahir disana. dan karena pengakuan, maka masuklah aspek sosial disana, priceless. dalam istilah lain, bekerja manurut artian tipe ini adalah kontribusi.

ketiga istilah diatas bukan hal statis un sich, malah seringkali dinamis. selalu ber-elaborasi, tumpang tindih, atau berkombinasi.

bagi orang yang baru memulai masuk di "dunia nyata", atas alasan baik apapun -mulai dari untuk menapak masa depan, supaya lebih banyak bersedekah, atau untuk menggenapi setengah jiwanya-, alasan mendasarnya tidak akan jauh dari tipe pertama. mencari uang. dan itu bukan mutlak sebuah kesalahan.

bagi orang yang sudah lama, bertahun-tahun bekerja sehingga kerja itu sebagai sebuah rutinitas, maka nilai uang mungkin hanya muncul saat-saat periode tertentu, misal saat gajian atau bulanan. dia berangkat atau mulai kerja, karena setiap pagi hari kerja dia mandi, sarapan dan setelahnya bekerja. sorenya pulang, dan besok kembali lagi. bekerja, seperti kebutuhan makan, minum, atau buang air.

dan bagi orang yang berkecukupan (baca: kaya), atau mungkin sudah merasa bercukupan, atau karena sebuah alasan emosional, kontribusi adalah bekerja. jangan memberikan materi macam-macam kepada orang ini. cukup berikan saja pengakuan dan penghargaan.

semua manusia pasti akan melewati fase-fase tiga tipe persepsi manusia tentang bekerja, cepat atau lambat. jadi, bukan pada jenis pekerjaan, tapi bagaimana kita memandang pekerjaan. meskipun, jenis pekerjaan juga mempengaruhi, misal seorang pialang, atau jurnalis.

dan pertanyaannya, seberapa waktu yang kita inginkan untuk menjalani fase-fase itu?

bagiku, ingin rasanya segera melakukan ketiganya. walaupun kadangkala harus memilih, sebab tidak selalu mungkin untuk merengkuhnya bersama. dan dari sanalah, yang aku yakini, sebuah kedewasaan nantinya akan terbangun.

Tuesday, August 22, 2006

rumah kami

Dulu, kami sempat memberikan nama, Acapela. Kenapa? Karena beberapa orang dari 5 orang yang tinggal disitu suka menyanyikan sebuah genre lagu dengan acapela, mengandalkan kombinasi bunyi suara. Lalu ada yang menyebut pondok derita. Tidak tahu, apa maksud pondok derita itu.

Sudah 3 tahun, rumah ini kami sewa sejak 1 September 2003 dan akan menyewa lagi di tahun ke-4 ini. Aku sendiri menempatinya hanya 4 bulan diawal, karena pindah ke PPSDMS. Lalu berganti-ganti orang yang masuk disana, tapi 4 orang penghuni selalu tetap.

Rumah ini bersejarah bagi ”kami”, tidak hanya penghuninya. Di rumah ini, proses transformasi beberapa manusia yang berniat menjadi baik dimulai. Dan sekarang, beberapa manusia yang lebih muda pun memulainya di tempat ini.

Di rumah ini, sekelompok orang pernah menangis bersama, karena tidak adanya perubahan signifikan yang kami lakukan di tengah kejahiliyahan yang langsung atau tidak langsung, kami terlibat disana. Padahal sebelumnya, kami masih sempat menonton Passion of Christ bersama-sama.

Di rumah ini, bahasan dan perdebatan tentang masa depan aktivitas di antara kami dibahas oleh kami sendiri, bukan para dewa. Apakah harus menjadi ketua organisasi, ketua panitia atau kemajuan adik-adik, dan langkah-langkah yang bisa dilakukan. Walaupun dimulai dan diakhiri dengan khusyu, selalu saja ada canda dan tawa (serta ”hinaan”) yang tak bisa kami hindarkan.

Di rumah ini, sebuah aktivitas persiapan menuju cita-cita pernah bersama dilakukan. Sebagai ruang diskusi, sekaligus gudang. Menjadi bengkel intelektual, sekaligus bengkel perkakas. Tentang intelektual, pernah teman tetangga rumah memberi julukan kawasan kami, KISS (Kawasan Intelektual Sedang Serang).

Di rumah ini, kesepakatan tak terrtulis menyebutkan wanita (bukan muhrim) dilarang masuk. Tapi tetap saja, dengan alasan tugas atau apa (emang apa ya?), semua kamar pernah dimasuki oleh wanita. Tapi itu dulu.

Penghuni dan ”kami” memang khas. Jangan heran dengan suara gitar, musik masa kini, film terbaru, atau shubuh yang kesiangan (agak mending sekarang). Tapi, membaca Al-Qur’an atau berjuang keras sedikit-sedikit menghafalnya, sholat malam (walaupun beberapanya sebelum tidur, karena sangat malam) atau puasa senin-kamis.

Hidup memang dinamika, hitam, putih dan warna-warna lainnya. Kalau menurut Nabi, mungkin kami akan masuk orang syahid tingkat tiga, orang yang beriman baik dan masih mencampuradukan kebaikan-keburukan, tapi saat agama membutuhkan, siap membela.

Kalau anda sempat, mampirlah atau sekedar lewat di depannya. Tengoklah manusia-manusia penganut paham brunch -breakfast and lunch- (baca: bawa makanan). Jangan lewatkan untuk Ashar di masjid Muhajirin, masjid dekat rumah. Terutama hari senin-kamis, dan bersiaplah 20an adik-adik kecil kita berebutan mencium tangan kita setelah sholat.

----

buat ganda, kapan kita "bertukar rumah"?

Wednesday, August 16, 2006

Merdeka...!!!

Bahagianya, berjalan di tengah merah putih di sekelilingku. Bendera kecil bergelantungan di tali-tali, membentang di jalan-jalan masuk gang. Di bawahnya, jalan aspal yang hitam di beri batas luar warna putih. Umbul-umbul turut serta mewarnai, ada kain umbul warna merah, hijau, biru, kuning, dan putih. Tak lupa, lampu kerlap-kerlip yang menyapa. Semuanya berpadu rancak menyambut siapapun orang yang lewat.

Sudah 61 tahun lalu ternyata, bangsa ini merdeka. Padahal, suara Bung Karno masih saja terngiang jelas, selalu menemani kesendirian. Memberi pijar harapan, dalam semua keterbatasan hidup. Padahal, suara-suara mesiu, dan bau-bau ledakan masih tak juga hilang dari ingatan. Dan yang masih sangat jelas, pekik-pekik “Merdeka…Merdeka, Merdeka!”. Melihat seolah semua penduduk negeri ini berhamburan keluar, bersatu, tak peduli siapapun dia, akan dengan bangga saling berkata dan berjabat tangan, “kita sudah merdeka bung..!”. Jatuh air mata ku mengenangnya.

Berarti, sudah 61 tahun pula bangsa ini membangun. Demi kesejahteraan rakyat, itu tujuan pembangunan seperti yang pernah dikatakan Bung Karno di Lapangan Benteng menjelang peringatan kemerdekaan ke-10. Sederhana saja, membangun artinya membuat rakyat sejahtera, tidak sulit hidupnya, tidak perlu mengantri bahan pangan lagi, tidak usah pula meringis kelaparan, hidup tenang, punya garapan sawah dan anak-anak yang bisa bersekolah.

Karena menurut para cerdik-pandai perjuangan kemerdekaan dulu, Indonesia adalah bangsa yang kaya. Dalam kesendirian kami, pejuang-pejuang ini berjalan menyiisir hutan demi hutan, sawah, sungai, dan gunung, tak satupun tanah negeri ini yang kering, tak menghasilkan apa-apa. Di saat-saat malam penjagaan di pos, ditemani sebuah radio peninggalan meneer mandor tebu, lirik lagu Ismail Marzuki inilah yang selalu sering diputar, memberi hiburan bagi kami yang selalu penuh harap..


Tanah air-ku, Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darah-ku yang mulya
Yang kupuja s’panjang masa

Tanah airku aman dan makmur..

Ah, itu lah cerita masa lalu. Masa kami, orang-orang tua mendirikan bangunan bangsa ini. Ya..bangunan bangsa, bukan bangunan Jakarta, Surabaya atau Bandung. Karena dimana-mana, di atas tanah bernama Indonesia, tak peduli apakah Bung Karno, Bung Hatta atau Bung Sjahrir tahu atau tidak, kami merasa harus membangun Indonesia, negeri tempat anak dan cucu kami akan lahir.

Tidak susah, tinggal angkat senjata. Ambil parang, buat tombak, atau rampas senjata lawan. Tembak atau tertembak, mati atau sekarat, tak jadi soal. Bukankah semua sudah digariskan? Kalaupun tiada, mati kami mulia karena perjuangan. Tuhan tak akan salah melihat kami.

Tapi ternyata, membangun tak semudah mengangkat senjata. Membangun butuh orang pintar. Dan seperti kata ibu-ku, semakin orang pinter, makin mudah keblinger. Kami tak paham, istilah-istilah yang digunakan orang-orang pintar negeri ini. Pemberdayaan, globalisasi, atau reformasi.

Katanya pemberdayaan berasal dari kata daya. Jadi, apakah pemberdayaan berusaha menjadikan orang berdaya, punya daya? Jadi, selama ini rakyat tidak punya daya? Lho, tenaga yang dipakai buat mengidupi anak istri, itu kan daya juga. Lalu, globalisasi. Aku malah jadi ingat gombalisasi. Sama seperti musang-musang pribumi yang jadi cecunguk Belanda, bermuka manis di depan, tapi ternyata gombal. Reformasi katanya perubahan pelan-pelan. Kalau kemudian repot-nasi, apa itu pelan-pelan juga? Tak ngerti aku dengan orang-orang pintar ini. Bung Hatta yang berkali-kali pergi ke negeri Belanda sana, rasanya masih bisa berbicara kepada kami-kami ini.

Kalau sekarang, hidup kami tak dikenal, kami juga tidak akan marah. Kami bukan anak-anak muda zaman sekarang. Berteriak-teriak, istilahnya demonstrasi, menuntut ini itu, bakar sana sini. Tapi, urusan gaya hidup, sama saja. Makan cukup, necis dengan kaos dan celana dari negeri Amerika. Apa mereka pernah merasakan jadi orang-orang yang mereka bela? Mana ada cerita, berjuang demi sesuatu yang belum pernah ia rasakan.

Kalau sekarang, banyak orang yang sikut-sikutan ingin menjadi pemimpin, terkenal, dihormati, atau kaya, kami pun tak perlu ikut-ikutan atau berkata bodoh, ”kami yang harusnya menjadi orang yang paling dihormati, karena bangsa ini tak akan tanpa kami”. Walaupun, mereka mengatasnamakan pihak-pihak yang baik, sebagai penerus perjuangan, generasi muda, harapan baru, penyemai kebenaran, pembawa kesejahteraan. Dan semuanya mengatakan demi rakyat, atau umat. Mereka harusnya melihat, apa yang sudah mereka lakukan untuk bangsa ini? Apa mereka serta merta mau mengambil nasib negeri ini, dengan dalih menyelamatkan masa depan?

Rasa-rasanya, pendiri dan pejuang bangsa ini tak pernah gontok-gontokan, dari banyak macam golongan pun. Bangsa ini punya sejarah. Jangan dikira hanya lahir kemarin sore dan kalian berhak mengaturnya, demi apapun yang kalian punya. Sekali lagi, kami pun tak perlu ikut-ikutan yang seperti itu.

Walaupun kami hanya diingat di saat-saat hari kemerdekaan, dengan bunga, ucapan atau bantuan hidup sekedarnya, tak pernah menjadikan kami bosan untuk selalu mencintai negeri ini. Meskipun sekarang, sangat sedikit orang yang berteriak ”Merdeka!” dan paham semangat di dalamnya, kami tak juga merasa perlu untuk membenci anak-anak kami. Bahkan untuk yang sangat sederhana, saling berucap ”Selamat Hari Merdeka” pun jarang. Padahal dalam akhir puasa, cucuku selalu ikut berdesakan berkirim pesan lewat hp. Lalu, lampu hias, jalan berbatas putih, bendera bergelantungan dan umbul-umbul serasa hening, tak berucap merdeka.

Kami cinta negeri ini. Disini tempat lahir kami, dan disini pula kami akan menutup mata. Rasanya, Bung Karno dan Bung Hatta hadir kembali membacakan teks proklamasi tanggal 17 esok. Dan ingin sekali, esok pagi...pagi-pagi sekali aku membuka pintu rumah. Mengirup udara 17. Lalu berteriak parau nan lantang, selantang-lantangnya...MERDEKA!.

Wednesday, August 09, 2006

friends

sometimes...
you might feel that you'll be happier alone
but, it's always nice to have someone to dream around with..

someone to think about
someone to share about
someone to care about

so, take chance
you'll never know
until you have really tried

so, if there's somebody you miss
tell them that you do
cause there's something only love can do...

Wednesday, August 02, 2006

Sang Pemimpi

Jika Shakespeare dengan Romeo dan Juliet nya, Paulo Coelho punya Sang Alkemis, Sadeq Hedayat ada The Blind Owl, maka karya unggulan seorang penulis yang biasa kita sebut masterpiece, selalu menjadi pembanding bagi karya-karya tulisan mereka lainnya. Serasa tidak adil memang, acapkali pembaca sangat excited terhadap sebuah karya, kemudian memendam kesan kuat itu dalam khasanah nya, lalu mengharapkan karya berikutnya lebih dahsyat atau setidaknya sama baiknya dengan masterpiece itu.

Andrea tentu menjadi salah satu yang (akan) mengalami fenomena itu. Laskar Pelangi (LP) menjadi bookseller, mengguncang jagad buku dan sastra Indonesia, berani melawan arus, membawa nilai-nilai konservatif dan menggambarkan potret paradoksial pembangunan setelah 4 dasawarsa kemerdekaan negeri ini.

Sang Pemimpi (SP), novel kedua nya yang dibuat sebagai bagian kedua dari rencana tetralogi LP benar-benar ditunggu oleh penikmat buku, terutama orang-orang telah mendaki indahnya pelangi filicium, dan rindu dengan nuansa pendidikan yang menyenangkan dan penuh hikmah yang tergambar dalam LP.

Pembaca agaknya akan mengalami overestimated di awal-awal membaca SP ini. Andrea memberikan bagian akhir dari cerita besar tentang kejar-kejaran, yang baru diketahui keseluruhan cerita itu setelah membaca selesai mozaik pertama. Istilah dan bahasa yang digunakan di bagian awal, langsung mengajak pembaca untuk memasang kerutan dahi, berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Dan terlihat berbeda dengan LP, yang lebih enak dibaca di awal karena pendekatan yang digunakan adalah narasi ringan kecemasan orang tua murid SD Muhammadiyah di hari pertama masuk sekolah.

Cerita SP adalah penggalan kehidupan lanjutan ikal, subyek pencerita yaitu Andrea sendiri. Penggalan karena saat-saat awal SMU tak pernah digambarkan disana, pun cerita lulusan SMU hanya diberikan tentang pembagian rapor SMU terakhir. SP banyak mengekplorasi kerasnya perjuangan hidup tiga anak manusia, ikal, Arai (saudara sepupu jauh ikal yang ditinggal orang tua dan menjadi saudara pungut orang tua ikal), dan Jimbron (anak gagap, yang mengidap obsesif kompulsif terjadap kuda, berperawakan tambun, mempunyai dunia sendiri tapi berhati bersih).

Mozaik saat Arai ditinggal orang tuanya, menunggu dijemput ayah ikal di tengah kebun tebu di depan gubuknya yang reot, lalu dukanya tersembunyi saat ikal dan ayahnya datang, menghibur ikal yang ngilu di depan seorang anak 9 tahun yang sudah menjadi Simpai Keramat-sebutan melayu yang menjadi orang terakhir dalam suatu klan, mengingatkan kita dengan kisah Lintang. Usaha kerasnya mengayuh sepeda puluhan km demi mencicipi pendidikan, belajar di tengah-tengah malam ditemani kemerlip bintang ilmuwan-ilmuwan tersohor. Benar-benar, Arai adalah Lintang nya SP. Jika Lintang harus menanggung beban keluarga, Arai lebih beruntung dengan hanya menanggung hidup sendiri untuk terus mengenyam pendidikan. Disini, pembaca disajikan kerja keras dan optimisme. ”Kita tak ’kan pernah mendahului nasib, ” ungkap Arai.

Kisah hikmah indahnya pendidikan tidak hilang (dan sepertinya menjadi mainstream tetralogi LP). Pak Balia, adalah ”malaikat” yang melanjutkan kisah hikmah Bu Mus dan Pak Harfan. Seorang guru sastra, yang selalu mengajak anak didiknya bercita-cita tinggi, dan tak perlu takut dengannya. Padahal cita-cita itu seolah-seolah menjadi mimpi bagi anak-anak Belitong yang menimati ”sedikit” pendidikan di SMU Bukan Main, satu-satunya SMU di kawasan Belitong. Sekilas buah ajarnya yang dalam : Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana-sini tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk montase seperti Antoni Gaudi. Mozain-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kau kerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian.., ”maka berkelanalah di atas bumi ini untuk menemukan mozaikmu!”

Dan mimpi itu dikibarkan tinggi-tinggi. ”Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkah kakimu di atas altar suci almamater terhebat sepanjang tara: Sorbone. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra dan seni hingga mengubah peradaban..”

Maka anak-anak Belitong berkesempatan memetik buah hikmah pendidikan sejati dari Bu Mus, Pak Harfan dan Pak Balia. Tertancap dalam, kuat, membentuk visi dan kekal.

Dan jika A Ling dan nuansa mistis menjadi feature LP, maka SP punya cerita Arai berjuang menarik Nurmala yang indifferent, Jimbron yang akhirnya membuat Laksmi tersenyum dan kenakalan remaja menginjak dewasa menerobos pintu bioskop yang terlarang bagi pelajar demi dorongan Testoseron akibat foto wanita bercarik merah yang membawa Pudel nya.

Setelah kita hanya disuguhkan singkat dengan cerita singkat di LP tentang ikal di UI, manjadi juru sortir dan mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri, maka SP memberikan cerita lengkapnya. Walaupun ada banyak irisan dengan LP dan kurang menarik lagi, karena kita sudah tahu ending dari kisah itu. Yang ’baru” adalah suasana syahdu keluarga ikal dan Arai di kampung Belitong menerima dan membuka surat pemberitahuan beasiswa. Dan mozaik kehidupan itu mereka bangun, altar suci itu pun mereka dapatkan, keduanya diterima di : Sorbone.

Sekali lagi, kesenangan kita membandingkan-bandingkan satu karya dengan karya lainnya dari seorang penulis sah-sah saja, dan itu memang kewajaran. Namun, kesewenangan kita untuk men-judge karya satu adalah lebih baik, masterpiece tak tertandingi dan berujung kekecewaan bahkan menjadi underestimeted terhadap karya-karya selanjutnya, menurut saya adalah tindakan kurang adil. Walaupun itu, memang hak pembaca. Setiap karya adalah unik, dan hikmah apapun yang kita dapatkan, sedikit atau banyak tetaplah hikmah, yang menjadi mozaik kehidupan kita.

Menyodorkan buku kepada pembaca yang punya hak istimewa itu, mirip dengan ungkapan Andrea yang dituliskan di akhir SP, setelah mendapat petuah tentang tingginya sastra melayu. Menceburkan diri dalam sastra melayu, sama rasanya menggoda sarang tawon.

Selamat membaca dan menemukan mozaik-mozaik kehidupan..

Saturday, July 29, 2006

cerita akhir pekan, luar biasa!

Akhir pekan kemarin, dimulai dengan sebuah kecemasan, apakah kemajuan penelitian tugas akhir (TA) ku disetujui oleh dosen pembimbing. Kamis sudah membuat janji untuk ketemu, dan kecerahan mulai ada. Bukan tentang TA, tapi kemungkinan terlibat dalam sebuah pekerjaan analisa kelayakan pembangunan di sebuah kawasan pinggiran bandung. Tapi, itu belum disetujui, sedang dalam proses pengajuan. Analisa kelayakan pembangunan di suatu regional. Menantang.

Jumat ketemu, dengan model dan pembahasan yang sudah dipersiapkan malam sebelumnya. Alhamdulillah, approval. Walaupun aku yakin, bukan mutlak karena model ku yang benar. Tapi didukung dengan tampilannya. Cerdik.

Sorenya, kembali ke asrama lama. Ketemu dengan akhi-ukhti kecil yang manis (akhi = saudara laki-laki, ukhti = saudara perempuan). Memulai ngaji bersama lagi, disertai dekapan dan tangisan mereka. Kangen terobati.

Ada paket buat saya. Kaget. Jurnal Balairung edisi terbaru, tentang sampah dan lingkungan. Meminjam istilah di dalamnya, kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal besar : ideologi, Tuhan, politik, pembangunan atau globalisasi, tapi melupakan hal-hal yangt kecil dan penting. Karena sampah bukan hanya masalah kebersihan, tapi itu adalah tentang gaya hidup. Mengingatkan tentang semangat indie dan kesahajaan teman-teman di jogja. Dengan ucapan menyertai, ”maaf, baru dikirim sekarang. Sebagai gantinya, aku kasih gratis deh edisi ini. Salam...alfi”.

Sabtu siang, hp yang ”on-off” 2 harian ini menjerit, untung pas hidup. ”Assalamu’alaikum, ” suara sedang meninggi khas mas andrea. ”Where have u been?”, tukasnya. ”i’m sorry, i didn’t have pulsa anymore”, jawabku sengaja menekankan kata pulsa, bukan memilih account misalnya.

Mengajak mengoprek blog nya. Padahal, aku bukan ahli IT. Cuman mungkin lebih karena i Te Be, dan blogger juga, maka ajakan itu mampir. 20-an menit, cukup mengubah profile, mempelajari tampilan dan memposting ”hal baru”. Sang Pemimpi, novel keduanya setelah LP (Laskar Pelangi). Terakhir, dia menyerahakan ’kunci’ blog ke aku, disertai buku hasil tesis S2 nya yang sudah terbit, ’the science of bussiness’. ”Ya Allah.., aku aja sudah ga sering-sering amat blogging mas, ” batinku. Bahkan satu blog yang ku inisiasi, aku ’titipkan’ ke orang lain. Alhamdulillah, dapat buku tentang kebijakan pricing.

Lalu, mampir juga ajakan bertemu dengan teman-temannya katanya. Di Potluck. OK, jawabku. Lagian aku belum pernah jenak disana. Disana, ternyata ketemu dengan mas kris, mas hermawan (Diah Pitaloka), Mbak Senny (dosen sastra dan penulis buku), Dipi (Renjana, EO acara-acara diskusi buku, khususnya buku-buku mas andrea), dan kemudian datang menyusul mas ardian (penulis buku manajemen ’kacamata kuda’, kerja di telkom, sama seperti mas andrea).

Meeka mebicarakan tentang launching ’Sang Pemimpi’ (SP), dan akhirnya dilaksanakan sabtu depan (5 agustus) di Gramedia Bandung nyang di organize, waktunya menyusul, sekitar jam 3 sore. Ajakan dari Dipi untuk menjadi panitia launching. ”wah, aku kan ada agenda keluar kota weekend ini, ” dalam hati menjawab, dengan senyuman yang terlihat.

Mas kris lalu menyerahkan beberapa buku hasil cetakan SP, yang mana di Gramedia Merdeka, itu juga belum datang. Setelah berbagi dengan mas her dan mbak senny, SP pun disodorkan ke depanku. Kesempatan membaca mozaik 1 di depan penulis, disertai saran-saran membaca SP yang baik dan pastinya, signing. Wow, exciting!!

Obrolan selanjutnya tentang apapun perbukuan ditemani lemon tea hangat. Ada fenomena turunan Da Vinci Code, perkembangan milis pasar buku, dan membangun lingkungan yang gemar membaca menulis. Yang terakhir, sebuah ajakan datang lagi. Renjana mempunyai proyek kecil-kecilan mensosialisasikan baca tulis di remaja-remaja, khususnya smu-smu di Bandung. Yang sudah, masuk di smu 6 dan beberapa lainnya. Menarik.

Dan mas ardian ternyata juga mengambangkan hal sejenis untuk remaja-remaja di medan, tempat kerjanya. Maka diskusi bagaimana mengembangkan kegiatan itu pun mengalir. Ajakan ke medan suatu saat kepada Renjana. Tak terasa di sebelah kami duduk, pemutaran video art mingguan sudah mulai.

Wah, begitu banyak aktivitas luar biasa yang bisa kita lakukan. Banyak hal, seperti kata mas andrea,
terlalu banyak cita-cita, sehingga sebuah pekerjaan saja justru menjadikan kita kecil. Dan sore itu, aku benar-benar merasa begitu beruntungnya hidup dengan beribu karakter orang di sekelilingku. Bermacam-macam. Sayang kalau dilewatkan ketika hal bermanfaat itu hadir. Terima kasih Ya Allah.

Ah, seandainya diri ini bisa menggapai semua hal menarik dan bermanfaat di dunia ini. Aku hanya ingin, diri ini merasa puas dengan senyuman tulus dari wajah- wajah mereka. Betapa indahnya, what a wonderfull world.