Thursday, June 18, 2009

Signifikansi, Produk Kartu Kredit

Dalam minggu ini, saya di telepon oleh dua kali telemarketing sebuah kartu kredit yang saya pegang.

Yang pertama menawarkan sistem asuransi rawat inap dengan menunjukan copy-an tagihan rumah sakit maka akan mendapatkan cash 1 juta per hari inap (saya lupa pagu nya, yang jelas cukup 'wah'). Premi nya 'hanya' 180-an ribu per bulan, dimana jika dalam 10 tahun tidak ada klaim maka 100% akumulasi premi kembali, meski dengan prinsip time value of money menjadi biasa saja. Bagaimana jika setelah 2 tahun, klaim 5 hari karena rawat inap lalu kemudian memutuskan kontrak misalnya karena alasan ekonomi. Konon kata sang telemerketer, hal tersebut sangat mungkin. Bagaimana, menggiurkan bukan?

Dengan marketing tersebut, saya hampir saja terbujuk untuk mengatakan 'iya' untuk autodebet dari kartu kredit. Namun saya membatalkan karena dengan kata 'iya' tersebut, maka otomatis masuk dalam program karena semua percakapan direkam, yang akan menjadi dasar hukum bla...bla..dan seterusnya. Saya menjadi sangsi (baca: sedikit 'gimana' gitu, teringat tentang dasar hukum transaksi elektronik), dan akhirnya membatalkan. Dalam hati sebenarnya saya tidak tega (apalagi oleh usaha keras marketer), namun rasio masih bicara.

Penawaran yang kedua adalah hari ini, dengan judul yang sama. Bedanya, asuransi ini meng-cover khusus kecelakaan dan klaim rawat inap 150 rb (300rb suami-istri) hingga 60 hari, jika rawat jalan batasan maksimal 1,5 juta/tahun per orang. Namun, tidak ada batasan waktu sehingag tidak ada 100% premi kembali. Catatan buruknya, proses klaim meski fotokopi namun tetap membutuhkan tanda tangan asli pihak rumah sakit.

Untuk yang kedua ini, langsung saya tolak dengan mengatakan bandingan tawaran pertama dengan keunggulan-keunggulan yang lebih fleksibel dan menarik, terakhir skak mat untuk mengatakan tidak karena tidak cukup signifikan. Si telemarketer langsung diam dan mengucapkan terima kasih.

Tentang program asuransi lain sejenis pernah ditawarkan pula dengan skema yang lain. Jika itu asuransi kesehatan, rawat inap dll, maka dalam otak bawah sadar saya akan menolaknya karena 100% biaya tersebut untuk keluarga sudah di cover oleh kantor. Sesui prinsip dasar pengelolaan keuangan masa depan, untuk apa kita menambah pos pengeluaran untuk hal yang sudah bukan tanggungan sendiri? Bukan jalan yang bijak jika itu digunakan untuk mencari 'tambahan pemasukan'.

Ujung-ujung nya adalah tingkat signifikansi dari tawaran produk kartu kredit, apakah benar-benar dibutuhkan plus seberapa menarik tawaran tersebut. Lain jika itu tentang 12 kali setahun cicilan 0% misalnya untuk sepeda motor Mio, maka saya cukup menanyakan dimana saya bisa mendapatkan kesempatan itu (hehe).

Untuk kartu kredit sendiri, kami menekadkannya sebagai murni alat ganti pembayaran. Artinya tidak membiarkan terjadinya tunggakan kredit, setiap bulan membayar tagihan 100%. Dengan demikian pengeluaran sudah diperhitungkan sehingga menjauhkan ketidakmampuan kredit (default). Di sisi bank tidak akan terbentuk interest, dengan kata lain sebenarnya tidak ada profit buat bank. Teman saya yang bekerja di sebuah bank penerbit kartu yang saya pegang sempat bilang, jika semua nasabah punya prinsip bayar tagihan 100%, maka bank bisa menutup kartu kredit.

Kembali ke tawaran asuransi kartu kredit, respek saya yang cukup untuk telemarketer yang dengan giat (serta tetap ramah!) menawarkan kelebihan, hingga menanyakan kenapa kita tidak tertarik. Mungkin saya tidak akan bisa sesabar itu, ditolak satu nasabah, ditolak lagi, dan lagi. Bahkan seorang deputy manager langsung menutup handphone nya karena begitu diangkat terdapat salam khas dari telemarketer kartu kredit, tanpa ada kesempatan untuk menjelaskan apapun. Bukankah itu tantangan luar biasa bagi seorang direct marketer?

Lalu, bagaimana anda merespon aksi dari seorang telemarketer?