Sunday, October 21, 2007

Menanggalkan ‘status mahasiswa’

Menarik sebuah golongan dalam masyarakat yang dinamakan Mahasiswa. Golongan ini mempunyai keunikan karakter, aktivitas hingga pola hidup. Di satu sisi secara strata pendidikan, mahasiswa termasuk dalam bagian pendidikan yang tinggi atau bagian kaum terpelajar. Namun dalan strata sosial, mahasiswa pun sebenarnya masih bisa digolongkan dalam masyarakat tak bekerja alias pengangguran.

Dalam dualisme pola pandang tersebut, kehidupan mahasiswa selalu lebih khas dibandingkan anak SMU yang lebih terkesan ‘ABG’, atau dibanding para karyawan muda yang terpaksa harus dimasukan dalam bagian ‘mapan’.

Sebagai bagian kaum terpelajar, mahasiswa sering menyebut dirinya bagian dari gerakan moral masyarakat, yang non kepentingan kecuali kepentingan rakyat. Sebagai pembela rakyat atau setidak-tidaknya mempunyai nurani kerakyatan. Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dalam kehidupan harian mahasiswa sendiri yang penuh ‘perjuangan’. Mulai dari tempat tinggal (idiom dengan anak kost), makanan ‘secukupnya’, atau setidaknya pola pikir yang ingin hemat sehemat-hematnya.

Namun dengan dualisme ini pula sebenarnya mahasiswa menjadi pembatas, perekat atau bahkan penghubung antara golongan ‘atas’ dengan ‘bawah’. Percaya atau tidak, status mahasiswa menjadikannya mudah diterima dimana dia pergi. Mulai dari Gedung DPR hingga perumahan kolong jembatan. Dengan status itu pula, yang seringkali digunakan untuk tetap mendapatkan ‘harga pelajar’ saat menggunakan sarana umum, seperti trasnportasi yang biasa terjadi di Jogjakarta.

Oleh karenanya, status mahasiswa bisa dikatakan sebagai status fleksibel. Saat dibutuhkan untuk naik dalam ‘strata atas’,maka ia pun bisa dengan leluasa melakukannya. Apalagi bila untuk merakyat bersama ‘strata bawah’, maka mahasiswa bisa seolah menjadi ‘dewa’ yang peduli akar rumput.

Status itu juga percaya atau tidak juga mempengaruhi pola pikir, pembangunan karakter bahkan hingga perilaku. Karena mahasiswa itu fleksibel, cenderung bebas,maka para mahasiswa pun cenderung ‘seenaknya sendiri’ dengan kurang melihat situasi, atau dalam bahasa halusnya ekspresif.

Dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, hal itu tentu saja sangat baik untuk menumbuh-kembangkan kreatifitas dan keberanian menembus kejumudan. Namun dalam kehidupan pasca kampus, tidak semua ‘hal ekspresif’ itu bisa tetap dipelihara karena harus lebih melihat kondisi lingkungannya.

***

Saya sendiri mengalami hampir semua masa yang digambarkan diatas dengan cukup. Karena enaknya menggunakan status mahasiswa itu, sempat membuat saya sering memakainya sekalipun gelar sarjana sudah tersematkan.

Saat berbicara dengan sopir mikrolet di Jakarta yang berasal dari Bandung, maka tanpa sengaja ‘status’ itu yang lebih dikedepankan daripada mengatakan sebenarnya saya sudah lulus (saya tidak berbohong, hanya mengatakan bahwa saya kuliahnya di Bandung). Saat dalam perjalanan pun pernah saya lebih nyaman untuk mengatakan ‘kuliahnya di Bandung’ daripada jujur mengakui bahwasanya saya seorang karyawan.

Hingga sekarang, satu tahun selesainya status mahasiswa itu, akhirnya saya harus memutuskan untuk berusaha menanggalkan ‘status’ itu. Bukannya saya tidak ingin berlama-lama dengan status yang menjadikan saya bisa lebih fleksibel, namun semata-mata karena ada beberapa hal ‘paradigma mahasiswa’ yang tidak sesuai diterapkan di lingkungan baru (baca: kerja) saya.

Gaya ‘bebas’ versi mahasiswa harus dibenturkan dengan office-netiket. Budaya ‘ekspresif’ khas mahasisawa harus berhadapan dengan sopan santun. Mulai baju yang rapi dengan kancing kerah terpasang jika ada hingga budaya makan di acara bersama. Dari sikap bicara asertif dengan orang hingga cara mengajukan pertanyaan. Ada baiknya karena harus mulai berbudaya ‘beradab’. Tapi tetap saja, selalu ingin sebagian karakter mahasiswa yang dipertahankan.

Mungkin salah satu fase adaptasi yang sederhana adalah dengan lebih jujur mengatakan status pekerjaan saat bertemu dengan orang, dalam perjalanan atau di transportasi umum. Dan mulai sekarang, semoga saya bisa melakukannya, mengatakan sejelasnya bahwa sudah bekerja, saya adalah karyawan di sebuah perusahaan swasta. Dengan begitu setidaknya saya ‘tidak berdusta’ (sekalipun sulit juga untuk dikatakan ‘jujur’).

Dan tidak lupa dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa saya sudah berpenghasilan. Bukan untuk apa-apa, hanya menyakinkan diri sendiri sehingga 'mental mahasiswa' yang selalu mengharapkan gratisan itu mulai berubah. Namun bukan berarti pula semua harus diukur dengan materi. Hanya semoga dengan kesadaran sudah berpenghasilan itu, ada lebih kesadaran untuk berbagi dan berpikir dewasa.

Lalu mengenai beberapa pola hidup harian yang masih ingin menggunakan ‘pola dan gaya mahasiswa’, saya tak perlu lelah memikirkannya. Saya menikmati hidup yang seperti ini, yang bisa ‘ke atas’ tapi juga bisa ‘ke bawah’. Saya hanya berusaha untuk wajar, tidak berlebihan. Karena bukankah hidup itu sendiri adalah naik-turun yang kita sendiri tak pernah bisa memprediksinya? Hidup bersahaja, mungkin itu kuncinya.

Note:
Karena si empunya harus ke field di daerah Sumatera Selatan, maka selama 3 minggu blog ini akan hiatus. Silahkan menikmati blog sederhana ini. Do’akan baik-baik saja, terima kasih.

Tuesday, October 16, 2007

Khadijah, True Love Story

Perempuan mulia istri Rasulullah Muhammad Saw, Khadijah, menjadi pendorong, penyokong utama di masa-masa awal dakwah Islam. Kisah Muhammad dan Khadijah sebagai sepasang suami-istri istimewa menjadi dasar terbitnya buku yang inspiratif ini, Khadijah The True Love Story of Muhammad.

Cerita tentang kisah hidup mereka dimulai dengan latar belakang kondisi masing-masing, Muhammad sebagai ‘anak angkat’ Abi Thalib pamannya sedangkan Khadijah adalah seorang janda yang mempunyai kerajaan bisnis besar. Singkat kata, Khadijah mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjalankan misi dagangnya, hingga akhirnya diputuskanlah Muhammad, orang terpercaya (Al-Amin) dimana Khadijah sudah memberi perhatian khusus kepadanya.

Misi dagang berhasil dan pembantu yang disertakan dengan Muhammad menceritakan kepada Khadijah tentang kebaikan karakter Muhammad yang semakin membuat Khadijah mantap untuk menjadikan Muhammad sebagai pendamping hidup. Maka diutuslah pembantu Khadijah untuk bertanya kepada Muhammad tentang rencana Khadijah tersebut.

Muhammad tahu diri, dibandingkan Khadijah yang terpandang sebagai perempuan saudagar, Beliau bukan apa-apa. Tidak ada terpikir dalam diri Muhammad untuk menikah dengan Khadijah karena Muhammad tidak mempunyai banyak hal untuk dijadikan sebagai mahar. Namun secara prinsip, Muhammad tidak menolak kemungkinan tersebut karena Khadijah adalah perempuan mulia yang bisa menjaga dirinya, dermawan dan teguh memegang moral agama Ibrahim.

Dan diundanglah Muhammad untuk datang ke rumahnya. Akhirnya, Khadijah sendiri yang menyatakan keinginan untuk meminang Muhammad sebagai suaminya. Muhammad menerima, maka menikahlah keduanya dalam usia Muhammad 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.

Hari-hari kehidupan Khadijah-Muhammad pun berjalan. Muhammad sebagai kepala rumah tangga sekaligus pemimpin bisnis, Khadijah sebagai istri yang mendukung suaminya. Dan lahirlah putri-putri Rasulullah (Allah mentakdirkan Muhammad tidak mempunyai putra yang berumur panjang).

Selain tentang kehiidupan keluarga Muhammad-Khadijah, buku ini lebih banyak berbicara tentang sirah (sejarah) kerasulan Muhammad mirip halnya buku sirah lainnya. Hal ini tentu tak lepas karena kehidupan keluarga selalu menyertai kisah kenabian, usai diangkatnya Muhammad sebagai Rasul di usia 40 tahun.

Sedikit tentang keislaman sahabat, perjuangan dakwah Islam, hingga masa hijrah. Sehingga pembaca pun akan diberikan penjelasan cukup tentang kisah dakwah Rasulullah Muhammad Saw sendiri. Namun tetap, pembahasan selalu dikaitkan dengan peran keluarga (Khadijah) dalam mendukung dakwah Muhammad.

Buku ini diakhiri dengan keistimewaaan-keistimewaan Khadijah, dimana Allah sampai memberikan salam khusus kepadanya yang disampaikan kepada Muhammad melalui Jibril. Kepada Aisyah (Istri yang paling disayangi Rasul sepeninggal Khadijah) Muhammad mengatakan bahwa Khadijah tiada tergantikan, sehingga sering membuat Aisyah cemburu. Khadijah, dengan kelembutan hati, kesabaran, karakter mengayomi telah menyokong, mendampingi Muhammad di masa-masa awal Islam. Tidak hanya sebagai istri dan partner, Khadijah juga memberikan kasih sayang Ibu mengingat Muhammad sudah yatim piatu sejak umur 6 tahun.

Jika kisah cinta Muhammad-Khadijah bagaikan ‘kisah ideal’, maka di bagian paling akhir juga disertakan sekelumit kisah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah bin Muhammad yang ‘lebih membumi’. Keduanya dipersatukan dan sangat dicintai Rasul. Ada kemuliaan, namun ada juga kesahajaan. Ada kesejatian, tapi juga ada kecemburuan. Dari Ali-Fathimah, Muhammad mendapatkan 2 cucu yang sangat dicintai beliau, Hasan dan Husain.

Membaca buku ini, akan banyak hal ‘manusiawi’ kehidupan yang menyertai perjuangan awal dakwah Islam. Semua yang dibahas dalam buku ini tentu sangat berbeda dengan kondisi zaman sekarang. Namun pesan kehidupannya selalu sama, karena manusia kapan dan dimanapun mempunyai akal dan perasaan. Dengan pesan inilah, Muslim zaman sekarang harus berusaha mengejawantahkannya. Dengan contoh yang paling baik, semoga juga dihasilkan keluarga yang baik di zaman ini.

Hal yang ‘cukup unik’, sampul buku ini tertulis label ‘100% untuk wanita’. Namun tentu tak ada salah jika dibaca oleh para laki-laki. Karena dalam keluarga, bukankah keduanya harus saling mendukung? Karena di balik suami yang hebat, selalu ada perempuan hebat di belakangnya. Pun sebaliknya. Selamat membaca, belajar dari kehidupan cinta Khadijah, Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

Tuesday, October 09, 2007

Jakarta mencari Keimanan

Penatnya kehidupan ibukota menjadikan Ramadhan di Jakarta sangatlah khas. Ramadhan yang dikampanyekan sebagai bulan suci, membuat Jakarta berbenah sesaat sebelum memasukinya.

Jakarta khusus mencari identitas baru untuk ramadhan. Maka pub,klub dan karaoke ditutup atau izin malamnya dibatasi, ‘wanita malam’ ditertibkan, razia miras-narkoba-judi, hingga para pejabat pun memulas diri untuk ramadhan.

Saat ramadhan pun, praktis semua kehidupan Jakarta berjalan seperti biasanya. Normal di siang hari dengan aneka kemacetan, ramainya mal,sibuknya kantor serta tetap teriknya jalanan atau bahkan banyaknya orang makan-minum di tempat umum seperti biasanya. Ramadhan di Jakarta baru kemudian terasa saat menjelang bedug berbuka, waktu tarawih atau sahur.

Bukan Jakarta namanya, jika suasana itu berada di banyak sudut Jakarta dengan berbagai macam variasi. Buka puasa bersama di kafe atau restoran tanpak jauh lebih banyak di bandingkan di masjid. Kumpulan orang-orang di tempat nongkrong atau di kemacetan jalan jauh lebih banyak daripada yang menunaikan Tarawih. Hanya sahur mungkin, yang lebih banyak orang melakukannya dengan ‘khusyu’.

Tapi akhir-akhir ini, budaya sahur on the road konon lebih parah menggejala dibanding ramadhan tahun lalu. Sekarang tidak hanya orang berlomba memberikan ta’jil gratis, namun Jakarta telah mulai menambahkannya dengan sahur gratis. Salah satunya di sepanjang jalan antara Tendean - Blok M, setiap sahur akan banyak pembagian makanan yang dilakukan mulai dari partai politik hingga klub sepeda motor.

Hingga 10 hari tarakhir ramadhan pun, Jakarta masih berkutat pada identitas yang tak kunjung ada. Sudah mulai surut bulan, beban pekerjaan seperti tak mau ditinggal untuk diganti dengan keutamaan 1000 malam, shaf-shaf Tarawih dan Subuh semakin saja tergerus, pusat-pusat belanja kekurangan ruang bernafas, dan energi hidup pun mulai mengarah pada ritual silaturahim lebaran.

Namun, ada sebagian tempat di sudut Jakarta yang tetap pada usaha mencari keimanan ramadhan. Dan ternyata tidak sedikit orang yang melakukannya. Ribuan orang berkumpul, di satu tempat untuk mengejar yang dijanjikan tentang Malam Utama. Tidak hanya berkumpul untuk satu malam, ada sangat banyak orang (bahkan keluarga!) yang berpindah tinggal di Masjid itu, Masjid At-Tien, untuk beberapa malam dalam 10 hari terakhir.

Ribuan orang, rela berbagi lantai merebahkan diri sejenak sebelum bangun di tengah malam, kemudian berdesakan untuk menyucikan diri.

Ribuan orang bangun di malam hari, terisak menyadari kesalahan, menutup wajahnya karena malu atau memohon ampunan dari-Nya.

Kemudian ribuan orang duduk bersama di taman pelataran masjid, menikmati jamuan sahur bersama keluarga atau saudara seiman, sembari menikmati temaram sabit dan bintang malam.

Dibandingkan dengan lebih dari 10 juta populasi Jakarta, jumlah 2000 mungkin tidaklah seberapa. Apa yang dilakukan sejumlah orang malam itu mungkin masih belum cukup menghapus besarnya beban dosa yang harus ditanggung bersama.

Tapi dengan orang-orang yang seperti itulah, sangat mungkin yang membantu untuk membuat Jakarta aman, berkurang laknat Allah akibat kezaliman yang merajalela, dan akhirnya Jakarta masih mampu menjadi tumpuan hidup Bangsa Indonesia.

Dalam Ramadhan Jakarta mencari identitas Islam, Jakarta mencari keimanan. Semoga setelah Ramadhan, kerasnya Jakarta menjadikan makin banyak orang mendekat diri pada Sang Pemberi Kehidupan dan berempati untuk Jakarta yang lebih akrab.


Selamat Idul Fitri 1428 H,
Taqabalallahu Minna Wa Minkum
Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian

Friday, October 05, 2007

Esia yang merajalela

Operator CDMA yang satu ini telah benar-benar manjadi icon telepon murah. Sejak kemunculannya, Esia menawarkan tarif murah sebagai ujung tombak marketingnya. Walaupun saat itu sudah ada pemain pasar yang cukup besar yaitu Flexy, namun karakter pasar indonesia yang berorientasi ‘cost-minimun’ mampu difasilitasi oleh Bakrie Telecom (BT) sebagai provider Esia.

Namun apa yang dilakukan Esia sebenarnya bukanlah murni kemampuan membaca pasar telekomunikasi mobile indonesia, tapi juga terobosan dalam mengubah image bahwa telepon yang sudah menjadi barang kebutuhan ini bukanlah sebuah barang mahal. Dalam tataran yang lebih komersial, Esia berhasil melakukan market-education yang ujungnya adalah berbondongnya masyarakat untuk menggunakan Esia.

Sebenarnya secara umum begitulah strategi CDMA dalam ‘merebut’ pasar status quo GSM. Namun, jika Flexy sebagai inisiator pasar CDMA yang menggebrak pasar, maka Esia adalah inovator yang meramaikan celah-celah jumud pasar telekomunikasi mobile kita.

Sekarang, mari kita lihat apa yang telah Esia lakukan. Pertama, jargon Rp 1000/jam yang dijaga terus untuk me-maintain market yang mulai loyal. kedua, gencar melakukan penetrasi pasar dengan beragam produk mutakhir.

Wifone, ingin dimasukan ke dalam kategori telepon rumah (fix-phone) dengan fitur ponsel. Tengah tahun 2007, BT meluncurkan kartu perdana Esia bebas bicara 3 bulan. Kemudian yang terbaru, paket 6 bulan bebas bicara kerjasama dengan produsen LG. Jangan lupa juga yang gencar sekarang, paket ponsel + Esia yang ‘hanya’ Rp 199.000,-

Rumus sukses Esia yang paling hebat adalah dalam marketing, konsisten dalam positioning-nya dalam pasar. Sekalipun Flexy yang menghajar dengan jargon “ga perlu lama bicara” atau Rp 49/menit atau bahkan operator-operator lain, Esia masih cukup mantap di mata konsumen. Tak rugi juga BT saat membajak Erick Mejer dari pemain besar Telkomsel awal 2007 lalu, yang konon sampai menghanguskan bonus tahunan karyawan BT untuk tahun 2006.

Apa yang kemudian didapatkan Esia adalah pelanggan-pelanggan baru yang menggunakan Esia atas dasar kebutuhan komunikasi murahnya, sekalipun sudah memiliki lebih dari satu nomor mobile. Artinya, Esia tidak hanya bermain dalam paradigma pasar yang ada tapi malah ‘menciptakan’ pasar tersendiri.

Dalam jangka panjang, apa yang dilakukan Esia tentu saja rentan. Bagi pandangan konservatif, loyalitas dan service yang ditawarkan operator besar (baca: Telkomsel) adalah utama, sedang murah namun terbatas jangkuan adalah hal yang lain. Namun, dalam industri yang lain pun ternyata eksistensi ‘si perusuh’ juga mengancam ‘si status quo’, yaitu antara Pos Kota dan Kompas.

Apalagi dengan sudah biasanya masyarakat ber-hp lebih dari satu (misal 1 GSM dan 1 CDMA), maka ada kemungkinan pula terjadinya pergeseran budget dari semula ada di GSM sekarang mulai beralih ke CDMA. Hal ini tentu tentu saja belum menjadi kekhawatiran besar para operator GSM karena masih sangat terbatasnya coverage CDMA. Namun untuk di kota besar saja, pola peralihan itupun sudah sangat banyak terjadi. Bahkan untuk launching Esia di Surabaya 2 bulan lalu, operator GSM raksasa pun sudah mulai berhitung berapa kemungkinan revenue-nya akan turun.

Sebagai ‘perusuh’ yang bermain di zona volatile, Esia tentu harus mempunyai strategi khusus untuk menghadapainya. Bermain terus-menuerus di level low-cost mungkin akan membantu tapi tentu tidak selamanya. Apalagi sekarang, seringkali ada gangguan mulai jaringan overload, ‘pemutusan’ pembicaraan di menit sekitar 55-60 sehingga gagalnya Rp 1000/jam, hingga harga paket di retailer yang ternyata lebih besar dari promo Rp 199.000,- dan ribuan komplain karena ternyata jaringannya ngadat (ingat guyonan tukang becak madura, murah koq ingin selamat!).

Bagi para konsumen, keberadaan CDMA secara umum sangatlah menguntungkan karena terjadinya persaingan pasar yang mengakibatkan harga menjadi semakin murah. Bagi para muda-mudi yang terjerat ‘panah asmara’, Esia tentu menjadi pilihan utama jika menginginkan pembicaraan terjadi sering dan tetap murah. Dan jika sudah alasan yang ‘emosional’ macam begini, seorang teman pun berani membayar sebuah telepon CDMA dengan harga yang lebih mahal (namun masih jauh di bawah harga pasar) dibandingkan saat beli awalnya.

Terakhir untuk para maniak Esia, sediakan handsfree karena telepon berlama-lama akan meningkatkan kemungkinan radiasi ke otak pemakainya. Maunya murah tapi masa depan justru terancam tentu bukan pilihan bijak. Semoga hal ini pun menjadi concern Bakrie Telecom (dan para operator CDMA) dalam program edukasi pasar ke depannya.