Monday, November 23, 2009

Sebuah Pojok Soekarno Hatta

Pagi ini, antrian check in sangat ramai di counter petugas check in terminal 2F. Tampak jelas Soekarno Hatta (Soetta) sudah tidak mampu menampung jumlah penumpang sekarang dan di masa mendatang.
Namun sebenarnya, ada sebuah pojok yang mencoba mengurangi beban di counter yang sayang nya tidak dimanfaatkan dengan baik oleh penumpang, yakni fasilitas Kiosk (self Check in). Penumpang terbiasa melakukan check in ke counter, atau mungkin sudah tahu namun "tak mau mencoba". Perlu ada sosialisasi lebih giat lagi, kalau perlu seorang petugas yang bertugas mendampingi penumpang untuk self check in di sisi 4 Kiosk tersebut.
Lokasi Kiosk tersebut di antara terminal 2F dan 2E. Setelah check in, lebih dekat langsung lewat jalan yang menuju area executive lounge. Jika masuk ke lounge Sunda Kelapa, maka mungkin ini salah satu toilet laki-laki dengan view terbaik di Soetta. Anda perlu mencobanya.. :)

Thursday, October 29, 2009

Menelaah Cost Recovery Indonesia

Dalam penjelasan Production Sharing Contract (PSC), Cost Recovery menjadi pilihan pada sistem PSC. Cost Recovery (CR) secara singkat adalah biaya investasi dan operasi produksi migas yang dikeluarkan Contractor dan dibayar GOI/Pemerintah Indonesia dalam mekanisma bagi hasil produksi, dimana lebih jelas tergambar pada skema bagi hasil PSC.

Dalam skema bagi hasil, sangat terlihat bahwa besarnya jatah (entitlement) GOI sangat dipengaruhi oleh CR. Semakin besar CR, maka equity to be split menjadi lebih rendah sehingga GOI mendapat jatah yang lebih rendah pula bahkan bisa saja nol barrel. Hal tersebut yang menjadi alasan kuat adanya FTP (First Trance Petroleum, yakni bagian lifting yang disisihkan sejumlah 20% untuk dibagi dahulu antara GOI dan Contractor) sehingga setidaknya GOI tetap mendapatkan jatah barrel minyak. Oleh karenanya, menjadi kepentingan GOI untuk menjaga sehingga CR seminimal mungkin yang monitor dan kontrolnya dijalankan oleh BP Migas.

Pada dasarnya semua biaya yang terkait operasi migas masuk dalam cost recovery. Namun terkait membengkaknya CR dari tahun ke tahun, maka BP Migas lebih selektif dalam pengontrolan CR. Beberapa data besaran Cost Recovery yakni tahun-CR; 2006-USD 8.12 Milyar, 2007-USD 8.71 Milyar, 2008 -USD 9.05 Milyar, dan 2009-USD 11.7 Milyar. Padahal di sisi yang lain, produksii minyak cenderung menurun yang menyebabnkan cost/barrel naik. Secara otomatis, jatah barrel GOI pun juga turun (walaupun penerimaan migas belum tentu turun karena fluktuasi harga).

Hal yang patut bersama dipahami bahwa CR terkait dengan biaya produksi, dan lapangan tua yang produksi nya menurun membutuhakan biaya perawatan yang semakin besar dibandingkan lapangan baru. Ibarat mesin, semakin tua usia mesin maka maintenance cost nya akan membengkak. Walaupun demikian, GOI (dan DPR) melihat bahwa anomali tersebut tidak bisa mutlak diterima.

Akibatnya, muncul Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang jenis-jenis biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang bersi 17 negative list, diantaranya insentif jangka panjang karyawan, konsultan hukum yang tidak terkait operasi, expatriate tanpa persetujuan, kegiatan comdev dan PR serta bunga atas pinjaman.

Dalam kejadian misalnya equity to be split sama dengan zero karena besarnya CR sehingga hanya cukup untukl FTP, maka terdapat prioritas pembebanan cost recovery yang hanya bisa dilakukan pada tahun berjalan secara berurutan yaitu:


1. Unrecovered Other Costs; yang mencakup biaya Exploration dan jika CR masih mencukupi dimasukan juga Operating Expenses-OPEX periode tahun sebelumnya yang belum di cost recovery.
2. Current Year Non Capital Costs; yakni OPEX pada tahun berjalan.
3. Prior Years depreciation for Capital Costs; yakni depresisasi asset (Capital Expenditure-CAPEX) tahun sebelumnya yang belum di cost recovery.
4. Current Year depreciation for Capital Costs; yakni depresiasi asset (CAPEX) pada tahun berjalan.

Cost Recovery KKKS 2010Sejak tahun 2009, CR masuk item dalam APBN. Dari sisi pemerintah, masuknya CR dalam APBN menjadikan CR terlihat (sekalipun belum sepenuhnya terkontrol) sehingga bisa membandingkan dengan jelas besaran lifting dan CR. Dari sisi Contractor, 17 negative list menjadi “hambatan tambahan” dalam upaya meningkatkan produksi migas (namun jika dilihat jeli, 17 list tersebut adalah aktivitas yang tidak terkait langsung produksi migas).

Terlepas dari hal tersebut, masuknya CR dalam APBN sejatinya menyalahi konsep awal PSC yakni bagi hasil produksi. Item yang seharusnya masuk dalam APBN hanya entitlement GOI. Bagi hasil produksi artinya produksi (setelah dikurangi biaya) yang dibagi, urusan kontrol biaya dijalankan pemerintah melalui BP Migas. Pertanyaannya, jika BP Migas tidak optiimal mengapa ada pengawas hulu migas? Lalu, mengapa PSC dan bukan skema royalty seperti halnya Pertambangan sehingga tidak repot dilakukan controlling dan monitoring?

Untuk tahun 2010 berdasar kecenderungan kenaikan CR tahun ke tahun, maka pemerintah dan DPR memutuskan batas atas CR yang masuk dalam APBN 2010 sebesar USD 12.01 Milyar. Nilai tersebut dibagi dengan semua Contractor PSC yang beroperasi di Indonesia sesuai persentasi produksi BOE (Barrel Oil Equivalent). Jika CR lebih besar dari batas atas, maka CR dilakukan berdasar urutan prioritas CR diatas.

Berdasar data produksi migas sampai tengah tahun 2010 (sumber: Majalah Petrominer), 10 besar KKKS produksi migas Indonesia sebagai berikut (BOD: Barrel Oil per Day, MMSCFD: Million Cubic Feet Per Day) ;
Dengan asumsi persentase produksi 10 besar KKKS diatas tidak banyak berubah terhadap total lifting 2010 yang estimasi 2,466 juta BOE (Oil 960 ribu Barrel, gas 1.505 juta BOE data akhir Juli 2009), maka estimasi batas maksimal batas atas CR pada 10 KKKS adalah:
Olahan estimasi batas atas CR diatas seperti pisau bermata dua bagi KKKS. Di satu sisi menjadi panduan KKKS untuk mengkontrol CR nya sesuai dengan batas atas (daripada harus di carry over 2011), namun di sisi lain untuk project yang terkait produksi langsung dimana biaya nya besar akan dipertimbangkan dilaksanakan karena akan melebihi batas atas CR KKKS. Satu-satunya jalan jika terjadi demikian, BP Migas memberikan insentif misalnya Interest Holiday (insentif bunga pinjaman) atau bentuk lainnya.

Cost Recovery tersebut akan “bertemu” dengan target lifting 2010 yang jelas lebih berat karena dibebankan 965 ribu barrel oil (naik 5 ribu barrel dari 2009) pada lapangan yang sebagian besar mature dengan kecenderungan decline. Yang pada akhirnya layaknya prinsip ekonomi lah yang berjalan, untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin dengan upaya seminimal mungkin. Sebuah tantangan untuk dunia migas Indonesia.

Sunday, September 13, 2009

Susahnya Taksi di Palembang

Susahnya mencari taksi di Palembang, maksudnya tentu taksi standar dengan argometer sebagai pedoman ongkos taksi. Hampir 99% taksi di Palembang ber-argo kuda, artinya semua tidak ada standar alias borongan. Ada standar, tapi standar menurut para supir taksi Palembang. Jarak tidak selalu menjadi patokan, tapi tujuan yang lebih menjadi acuan.

Contohnya adalah taksi dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB). Taksi dari SMB ke dalam kota Palembang, maka tarif sekarang 60 ribu. Sedangkan agak pinggir kota (seperti Pusri) bisa 75ribu, Plaju bisa jadi 100 ribu. Ada juga taksi yang membuka agen di dalam gedung SMB dengan tulisan terpampang Taksi Argo (maksudnya menggunaka argo, bukan borongan), namun saya pribadi sangsi mengingat hampir pasti semua taksi Palembang adalah borongan (argo namun tetap diminta "negoisasi"dengan sopirnya).

Tentu sangat berbeda jauh dengan Taksi di Jakarta (maaf, bukan melebihkan hanya sebagai perbandingan). Rasanya tidak ada satu perusahaan taksi di Jakarta yang menganut borongan. Kalaupun ada, itu pelayanan taksi khusus carteran, bukan yang umum di jalan. Jika keluar SMB yang akan dikerumuni oleh para sopir taksi serta ojek, berbeda saat keluar Soekarno-Hatta kita tinggal memilih taksi argo mana yang akan digunakan (ada tawaran namun batas wajar).

Menggunakan taksi dari hotel biasanya standar pelayanan yang sangat di utamakan, bahkan hotel bintang melayani antar-jemput bandara/stasiun untuk para tamu nya (free charge). Sedangkan di Palembang, pelayanan jemput hotel rata-rata saat dari SMB dan sulit untuk antar dari hotel ke SMB. Dari Novotel misalnya, pihak pengelola hotel seperti sudah mem-formal-kan taksi borongan (mobil) untuk tujuan bandara atau point lain sebesar 75 ribu.

Pemesanan taksi pun tidak menjamin mendapatkan taksi argo, bahkan secara terang-terangan call center taksi tersebut menyatakan bahwa tarif tergantung negoisasi dengan sopirnya. Bertemu dengan taksi di jalan pun sudah pasti akan terkena tarif borongan. Tentu saja untuk sebagian orang, lebih baik dengan argo yang transparan daripada borongan. Sekalipun menurut sebagian orang taksi argo bakal menjebak bagi orang yang belum tahu rute (diajak muter-muter), namun pada dasarnya transparansi itu lebih utama. Apalagi didukung dengan kepercayaan yang sebenarnya sangat mutlak dalam industri jasa seperti taksi ini.

Kondisi di Palembang tersebut mungkin sama persis dengan yang di Bandung 3 tahun lalu, dimana semua taksi adalah borongan. Sampai akhirnya muncul Blue Bird yang awalnya ditentang, namun akhirnya beroperasi dengan baik hingga hari ini (dibatasi jumlahnya). Taksi Putra juga sudah 2 tahun lalu. Bahkan taksi lokal Bandung Gemah Ripah sudah hampir selalu argo, lokal yang lain pun satu persatu ikut nyusul juga. Sedangkan yang tetap non-argo, sudah pasti lambat laun akan ditinggalkan karena tidak transparan dan moda yang relatif kurang nyaman dibandingkan taksi argo nya. Hotel sebagai bagian dari pariwisata kota pun ikut berdampak positif dengan pelayanan taksi yang lebih baik di Bandung.

Kembali ke Palembang, tampaknya memang dibutuhkan pionir perusahaan taksi argo seperti halnya Bandung. Saya kurang paham dengan sosial budaya, namun sedikit tahu jika karakter masyarakat Palembang relatif lebih keras dibandingkan Bandung. Artinya jika di Bandung ada pertentangan taksi argo, tidak dipungkiri di Palembang akan terjadi juga.

Namun semuanya bisa ditengahi oleh pemerintah, didukung oleh sektor pariwisata kota. Sangat disayangkan jika Visit Musi Palembang yang terpampang dimana-mana tidak bisa di dukung dengan pelayanan ramah bagi para pendatang di Palembang, dimulai dari Bandara SMB sebagai salah satu gerbang utama Palembang.

Pemerintah kota Palembang hendaknya belajar pada kota Manado, yang meski termasuk kota kecil dan jauh dari pusat pulau jawa, pelayanan taksinya cukup memuaskan. Untuk membenahi masalah pelayanan taksi ini dalam rangka mendukung Visit Musi Palembang memang butuh waktu dan akan timbul gesekan sosial khususnya di kalangan sopir taksi Palembang saat ini. Namun jika tidak dimulainya sebuah perbaikan, rasanya tekad Visit Musi Palembang hanya menjadi jargon semata dan semakin berat, apalagi visi menjadi pusat ekonomi Sumatera Bagian Selatan.

Friday, September 04, 2009

Memahami PSC (Production Sharing Contract)

PSC adalah skema pengelolaan sumber daya minyak dan gas (migas) dengan berpedoman kepada bagi hasil produksi, antara pemilik sumber daya dan investor. PSC dimulai tahun 1960-an terinspirasi dengan model pengelolaan bagi hasil di pertanian yang sudah turun temurun di Indonesia. Konon PSC tersebut juga menginspirasi negara-negara lain yang kemudian hari berkembang masing-masing.

Beberapa latar belakang PSC yaitu:
1. Kegiatan migas membutuhkan dana yang besar (teknologi dan sumber daya) sehingga dibutuhkan investor selain pemerintah (Pertamina). Ambil contoh untuk drilling 1 well onshore rata-rata membutuhkan 5 juta USD, sedangkan offshore 50 juta USD (hanya drilling!).
2. Ciri khas dari kegiatan migas adalah kegiatan eksplorasi yang belum tentu mendapat hasil temuan migas. Kegiatan analisa bawah tanah (sub-surface) yang tidak bisa dipastikan 100% akurasi nya.
3. Lapangan eksploitasi menurun produksinya, biaya operasi semakin meningkat. Hal ini seperti halnya kendaraan dimana semakin tua maka semakin rumit maintenance dan meningkat biayanya.
4. Banyak potensi migas di daerah Indonesia belum dilakukan eksplorasi dan eksploitasi (terutama di laut). Sehingga perlu untuk didorong investasi di migas untuk eksplorasi dan eksploitasi nya dengan skema kerjasama yang menarik (PSC).
5. Migas menyumbang kurang lebih 40% pendapatan Negara. Sehingga perlu dibuat skema kerjasama yang tetap menjaga pendapatan pemerintah sebagai pemilik migas.

Istilah-istilah dasar yang harus dipahami dalam PSC adalah:
- GOI (Government of Indonesia) ialah Pemerintah yang menjalankan amanat pengelolaan SDA yang secara operasional teknis dilakukan oleh BP Migas dalam bidang produksi hulu untuk minyak dan produksi hulu-hilir untuk gas(hilir minyak ditangani oleh BPH Migas).
Sedangkan Contractor ialah perusahaan migas yang melakukan kegiatan migas di Indonesia. Dikenal juga dengan KPS (Kontraktor Production Sharing), atau sekarang KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).

- Lifting Oil ialah Produksi Oil dalam Barel Oil Per Day/BOPD (1 Bbl=159 L). Sedangkan gas dalam satuan MMSCFD (million million standard cubic feet per day)

- Split ialah bagi hasil antara GOI dan Con yakni 85% : 15% (Oil). Sedangkan untuk gas umumnya 65% : 35%.

- FTP (First Tranche Petroleum) ialah bagian lifting yang disisihkan sejumlah tertentu (20%) untuk dibagi antara GOI dan Contractor.

- Cost Recovery , ialah biaya investasi dan operasi produksi migas yang dikeluarkan Contractor dan dibayar GOI dalam mekanisma bagi hasil produksi (diperjelas dengan skema di bawah).

- DMO (Domestic Market Obligation) ialah kewajiban kontraktor menjual minyak di Indonesia (25% dari jatah/entitlement Contractor), dengan harga DMO fee 15% harga ekspor atau 25% harga ekspor untuk kawasan timur Indonesia. DMO fee tersebut berlaku setelah produksi lebih dari 60 bulan, jika kurang 60 bulan maka 100% harga pasar. Sedangkan untuk gas DMO sesuai dengan harga pasar.

Sebagai konsekuensi dari PSC, karena modal 100% dari investor dan lahan tetap menjadi milih negara, maka jika investor menemukan migas dalam ekspolarasinya maka seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi akan diganti oleh negara yang dikenal dengan cost recovery. Sebaliknya jika investor gagal menemukan migas, maka biaya menjadi tanggungan investor. Dalam detil kontrak PSC, batas investor melakukan eksplorasi adalah 10 tahun (3 tahun pertama, 3 tahun kedua, 4 tahun tambahan) yang diawasi oleh pemerintah. Selambatnya sampai batas 10 tahun tersebut tidak ada prospek migas, maka kontraktor harus mengembalikan wilayah kerja ke pemerintah.

Dan setelah dilakukan produksi (eksploitasi) migas, maka skema PSC untuk produksi oil adalah sebagai berikut (angka sebagai contoh):
Dengan skema diatas, dengan asumsi produksi 1000 BOPD dan Cost Recovery (CR) 30%,, maka total entitlement GOI 548 Bbl (55%) dan Con 452 Bbl (45%). Jika di awal disebutkan sharing GOI : Con = 85% : 15%, maka dalam skema diatas terlihat bahwa angka tersebut sangat jauh berbeda. Pun jika jeli mengamati, ternyata angka 15% adalah angka yang diterima bersih kontraktor karena dalam perhitungan split diatas sudah di-gross up tax 44% sehingga sharing contractor menjadi 26.7857% (bukan 15%!). Dan jika lebih jeli lagi, terlihat bahwa CR tidak terkena tax (sekalipun ada wacana CR akan dikenakan tax karena dianggap revenue contractor, opini penulis CR bukan revenue karena CR adalah pembayaran terhadap biaya investasi yang sudah dikeluarkan di muka).

Skema PSC diatas masih ada tambahan beberapa insentif khusus untuk merangsang ikliim investasi (yang artinya entitlement GOI berkurang), misalnya investment credit (credit yang diberikan GOI kepada Con yang tidak mempunyai dana dalam pembangunan fasilitas produksi, dimana terkena Tax 44%) dan interest holiday (bunga pinjaman untuk pembangunan fasilitas produksi yang dibebankan ke CR).

Dengan sedikit gambaran skema diatas, kita harus melihat secara fair bahwa PSC dibutuhkan di Indonesia untuk menjaga produksi migas dalam pemenuhan domestik dan ekspor. Resiko kegagalan, biaya besar dan keekonomian investasi bagaimanapun adalah hal yang harus ditanggung dan dipertimbangan investor. Sebuah trade-off yang dengan PSC diharapkan terciptaa win-win solution.

Namun dengan penjelasan skema diatas, menurut anda apakah PSC terbaik diterapkan di Indonesia?

-to be continued, about cost recovery-

Thursday, June 18, 2009

Signifikansi, Produk Kartu Kredit

Dalam minggu ini, saya di telepon oleh dua kali telemarketing sebuah kartu kredit yang saya pegang.

Yang pertama menawarkan sistem asuransi rawat inap dengan menunjukan copy-an tagihan rumah sakit maka akan mendapatkan cash 1 juta per hari inap (saya lupa pagu nya, yang jelas cukup 'wah'). Premi nya 'hanya' 180-an ribu per bulan, dimana jika dalam 10 tahun tidak ada klaim maka 100% akumulasi premi kembali, meski dengan prinsip time value of money menjadi biasa saja. Bagaimana jika setelah 2 tahun, klaim 5 hari karena rawat inap lalu kemudian memutuskan kontrak misalnya karena alasan ekonomi. Konon kata sang telemerketer, hal tersebut sangat mungkin. Bagaimana, menggiurkan bukan?

Dengan marketing tersebut, saya hampir saja terbujuk untuk mengatakan 'iya' untuk autodebet dari kartu kredit. Namun saya membatalkan karena dengan kata 'iya' tersebut, maka otomatis masuk dalam program karena semua percakapan direkam, yang akan menjadi dasar hukum bla...bla..dan seterusnya. Saya menjadi sangsi (baca: sedikit 'gimana' gitu, teringat tentang dasar hukum transaksi elektronik), dan akhirnya membatalkan. Dalam hati sebenarnya saya tidak tega (apalagi oleh usaha keras marketer), namun rasio masih bicara.

Penawaran yang kedua adalah hari ini, dengan judul yang sama. Bedanya, asuransi ini meng-cover khusus kecelakaan dan klaim rawat inap 150 rb (300rb suami-istri) hingga 60 hari, jika rawat jalan batasan maksimal 1,5 juta/tahun per orang. Namun, tidak ada batasan waktu sehingag tidak ada 100% premi kembali. Catatan buruknya, proses klaim meski fotokopi namun tetap membutuhkan tanda tangan asli pihak rumah sakit.

Untuk yang kedua ini, langsung saya tolak dengan mengatakan bandingan tawaran pertama dengan keunggulan-keunggulan yang lebih fleksibel dan menarik, terakhir skak mat untuk mengatakan tidak karena tidak cukup signifikan. Si telemarketer langsung diam dan mengucapkan terima kasih.

Tentang program asuransi lain sejenis pernah ditawarkan pula dengan skema yang lain. Jika itu asuransi kesehatan, rawat inap dll, maka dalam otak bawah sadar saya akan menolaknya karena 100% biaya tersebut untuk keluarga sudah di cover oleh kantor. Sesui prinsip dasar pengelolaan keuangan masa depan, untuk apa kita menambah pos pengeluaran untuk hal yang sudah bukan tanggungan sendiri? Bukan jalan yang bijak jika itu digunakan untuk mencari 'tambahan pemasukan'.

Ujung-ujung nya adalah tingkat signifikansi dari tawaran produk kartu kredit, apakah benar-benar dibutuhkan plus seberapa menarik tawaran tersebut. Lain jika itu tentang 12 kali setahun cicilan 0% misalnya untuk sepeda motor Mio, maka saya cukup menanyakan dimana saya bisa mendapatkan kesempatan itu (hehe).

Untuk kartu kredit sendiri, kami menekadkannya sebagai murni alat ganti pembayaran. Artinya tidak membiarkan terjadinya tunggakan kredit, setiap bulan membayar tagihan 100%. Dengan demikian pengeluaran sudah diperhitungkan sehingga menjauhkan ketidakmampuan kredit (default). Di sisi bank tidak akan terbentuk interest, dengan kata lain sebenarnya tidak ada profit buat bank. Teman saya yang bekerja di sebuah bank penerbit kartu yang saya pegang sempat bilang, jika semua nasabah punya prinsip bayar tagihan 100%, maka bank bisa menutup kartu kredit.

Kembali ke tawaran asuransi kartu kredit, respek saya yang cukup untuk telemarketer yang dengan giat (serta tetap ramah!) menawarkan kelebihan, hingga menanyakan kenapa kita tidak tertarik. Mungkin saya tidak akan bisa sesabar itu, ditolak satu nasabah, ditolak lagi, dan lagi. Bahkan seorang deputy manager langsung menutup handphone nya karena begitu diangkat terdapat salam khas dari telemarketer kartu kredit, tanpa ada kesempatan untuk menjelaskan apapun. Bukankah itu tantangan luar biasa bagi seorang direct marketer?

Lalu, bagaimana anda merespon aksi dari seorang telemarketer?

Saturday, May 23, 2009

Risk Probability: Kecelakaan Pesawat

Minggu ini Magetan, daerah kelahiran saya menjadi ramai diberitakan media. Magetan tidak banyak dikenal orang, padahal lokasi Lanud Iswahyudi sebagai pusat pangkalan udara nasional sejatinya secara geografis di Magetan (bukan Madiun). Dengan kejadian kecelakaan pesawat hercules pada 20 Mei 2009 tersebut, nama Magetan menjadi ikut terkenal (walaupun dengan cara yang kurang baik). Namun bagaimanapun, kecelakaan pesawat itu sendiri adalah duka mendalam bagi bangsa Indonesia.

Tempat kejadian kecelakaan, saya persisnya belum pernah lagi ke daerah tersebut. Kecamatan Karas sendiri adalah kecamatan yang baru dibentuk yang merupakan pecahan Kecamatan Karangrejo, tetangga kecamatan saya. Saya membayangkan sebagai salah satu warga di sekitar bandara Lanud Iswahyudi, tentu warga sekitar kejadian tidak pernah menduga bahwa sebuah pesawat akan menimpa rumah, atau lingkungan mereka. Sekalipun setiap hari, dengung pesawat selalu hadir, serasa dekat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Kecelakaan pesawat selalu menjadi kecelakaan yang tragis, menelan duka cita dalam, banyak korban. Kecelakaan jatuhnya pesawat menimpa rumah pernah juga terjadi di Medan pada 2005 yang mengakibatkan rombongan Gubernur Sumut meninggal. Kecelakaan Hercules menimpa perumahan penduduk di Magetan ini merupakan pukulan berat bagi TNI AU.

Dari tabel diatas, bahwa peluang kecelakaan pesawat terbang cukup tinggi diantara kejadian-kejadian 'jarang' lainnya. 2 chances per milion (2 kejadian setiap satu juta) penerbangan pesawat berpeluang terjadi kecelakaan. Tentu formula tabel diatas berdasarkan peluang kejadian statistik dengan menggunakan data historis (sampai sekarang saya belum menemukan source tabel aslinya).

Terlepas bahwa takdir selalu berada mengelilingi kita, kecelakaan pesawat yang terjadi semakin menyadarkan bahwa resiko pesawat terbang lebih besar dibanding kan moda transportasi lainnya. Buat Saya yang setiap bulan selalu menggunakan pesawat untuk selalu 'eling' dan tawakal. Disamping pastinya berusaha untuk memilih maskapai terpercaya. Meski iming-iming harga miring tak bisa di pungkiri. Sebuah harapan supaya otorita penerbangan (dan TNI AU) bertindak tegas dalam hal keselamatan penerbangan.

Semoga tidak ada lagi kecelakaan pesawat dramatis seperti ini lagi di esok hari.

Thursday, April 23, 2009

Kartini dari Rumah

Setiap tahun tanggal 21 April pasti banyak orang teringat dengan Kartini, sosok pejuang yang dikenalkan sebagai pejuang emansipasi perempuan indonesia (sekalipun beberapa buku tentang kartini menjelaskan kaca mata lain). Saat dimana slogan emansipasi didengungkan di tengah keseharian banyak perempuan yang sudah aktif berada di tempat kerja dan kondisi hampir semua perempuan mempunyai kesempatan pendidikan setara.

Artinya cita-cita Kartini untuk mewujudkan pendidikan atau lebih umumnya peran perempuan menurut saya sudah terwujud. Jika sebagian aktivis perempuan masih mengatakan emansipasi belum terwujud atau hak perempuan masih terbelenggu, kondisi tersebut hanya kondisi khusus (di tempat tertentu) yang bisa diselesaikan tanpa membuat generalisasi masalah.

Bahwasannya dalam ranah wacana ‘belenggu’ terhadap perempuan sudah sirna, namun dalam praktek keseharian sekat-sekat pembatas budaya antara laki-laki dan perempuan masih nyata adanya. Pembatas tersebut tidak muncul dalam pendidikan, melainkan berpeluang makin menjadi dalam institusi rumah tangga, tempat dimana wacana Kartini tentang perempuan terdidik dan berperan sosial mendapat tantangan.

Tugas perempuan dalam rumah seperti ‘sudah ditentukan’, pekerjaan domestik mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak sampai mengurus anak. Jika semua tugas domestik harus dibebankan pada perempuan, niscaya perempuan tidak akan mempunyai waktu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dalam bentuk pastisipasi dalam masyarakat.

Padahal perempuan yang sudah berpendidikan (bahkan sampai tinggi) adalah ‘produk investasi’ yang seharusnya kompetensi diaktualisasikan di masyarakat sehingga lebih bermanfaat, disamping sebagai pendidik pertama bagi generasi masa depan. Sehingga peran-peran perempuan (istri) di rumah dan masyarakat pun harus seimbang, sebanding dengan peran suami di tempat kerja dan rumah.

Sekalipun wacana keseimbangan peran domestik dan publik terkesan mudah dan bisa diterapkan siapa saja, dalam prakteknya ternyata tidak semudah yang dituliskan. Misalnya dalam hal tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah tunggal dimana istri tidak/belum bekerja, secara praktis (emosi, psikologi atau ego) suami akan menyandarkan urusan domestik sepenuhnya pada istri. Lalu jika keduanya bekerja pun, urusan domestik belum tentu lepas dari tanggung jawab perempuan. Ditambah lagi menyangkut anak, mulai dari masa kehamilan hingga tahun-tahun pertama lahir.

Para pengamat bisa saja dengan mudah mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari komunikasi yang harus di bangun, tapi faktanya tidak sesederhana itu. Seperti yang disampaikan diatas, bahwa sudah seperti semacam ‘turunan’ jika perempuan adalah domestik, sekalipun dia bekerja atau beraktivitas di luar rumah. Fakta ini sulit dihindari, apalagi didukung budaya timur dan norma agama yang tidak mewajibkan perempuan untuk mencari nafkah. Bahkan seorang laki-laki feminis pun, secara nurani masih akan menginginkan istri nya lebih banyak waktu di rumah mengurus keluarga daripada full aktivitas di luar.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh perempuan? Pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan pilihan atas hidupnya. Pilihan yang dimulai dari kebebasan memilih jodohnya (dalam konteks usaha), yang diwujudkan dalam kesepahaman antara (calon) suami istri. Pilihan ketika sudah berumah tangga dimana sekalipun sudah disepakati pra-nikah tentang aktivitas istri, namun kondisi perempuan sendiri masih akan berbenturan dengan ‘ kodrat’ perempuan sebagai ‘ insan domestik’ (yang sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘ dominasi laki-laki).

Hal lain yang bisa dilakukan tentunya dari pihak laki-laki, sebagai partner perempuan selama lebih dari setengah kehidupan dunia. Jujur tidak mudah bagi laki-laki secara sepenuhnya ikhlas melepas istri nya beraktivitas di luar, kerja full time, apalagi dalam kondisi hamil atau anak-anak di masa pertumbuhan awal. Orang modern bisa saja mencari pembantu untuk merawat anaknya, tapi hati seorang orang tua tetap tidak bisa berbohong jika disuruh memilih antara pembantu atau sendiri.

Jadi laki-laki lah yang justru menjadi kunci dari keseimbangan peran domestik dan publik bagi perempuan. Mulai tingkat kesadaran hingga dalam praktek keseharian yang menjadikan perempuan sebagai partner. Pembagian tugas domestik dengan skala prioritas, hingga transparansi dalam pengelolaan pendapatan bersama serta perencanaan masa depan.

Memang tidak mudah bagi laki-laki untuk konsisten menjaga keseimbangan peran tersebut. Sebuah bagian konsekuensi bagi laki-laki saat mengambil amanah seorang perempuan bukan hanya dari orang tua nya, melainkan dari bangsa yang sudah memberinya pendidikan untuk diamalkan.

Sebuah tantangan bagi laki-laki.

Wednesday, April 08, 2009

Tidak Memilih

Saya tidak memilih esok hari, Pemilu 9 April 2009. Pemilu pertama saya tahun 2004, mencoblos di kota tempat kuliah 5 tahun lalu. Sekalipun pendatang, kami satu kontrakan dulu rajin untuk mengurus ke pak RT dan karena sudah sedikit tahu maka pencoblosan tidak lah menjadi soal buat kami para pendatang, kami mendapat kartu pemilih.

Sedangkan pemilu kali ini, dari awal saya termasuk pesimis untuk bisa memilih. Karena secara Kartu Tanda Penduduk masih warga Magetan, sedangkan domisili di Depok. Katakanlah untuk memilih satu hari, pasti merupakan ‘pengorbanan besar’ jika harus pulang kampung. Atau mengurus surat pindah Tempat Pemungutan Suara, tetap saja harus pulang. Padahal rasanya waktu begitu cepat saat kembali pulang dari bekerja, dan kemudian kembali berangkat lagi di Palembang.

Plus awal bulan Maret lalu sudah mengurus KTP Depok, yang artinya saya ’berjudi’ tidak mendapatkan hak memilih dimanapun (KTP in process). Padahal ketika sudah masuk DPT daerah asal (Magetan), bisa saja saya mengurus formulir pindah TPS. Karena katanya DPT itu sudah dicetak bulan oktober 2008. Tapi ternyata, banyak juga warga yang tidak mengecek nama Oktober lalu baru mendapatkan dirinya tidak punya hak pilih esok hari.

Alasan tidak memilih diatas pada dasarnya karena sudah sejak akhir tahun lalu diketahui bahwa jadwal pemilu akan bertepatan di tengah jadwal on schedule di lapangan. Sungguh sebuah pilihan. Bagaimana pun ada desa terdekat untuk tempat memilih dan kondisi operasional normal kantor lapangan diliburkan, tetap saja ‘tidak nyaman’ untuk memilih di lapangan seperti ini. Pun juga buat semua pekerja yang tidak pulang ke Palembang buat Pemilu.

Jadi akhirnya saya tidak memilih. Jujur ada penyesalan dalam hati, karena tidak bisa memilih partai yang menjadi pilihan saya. Hanya bisa berdo’a semoga teman, rekan, keluarga dan masyarakat memberikan suara nya dengan baik.

Hasil quick count boleh diumumkan pada hari besok juga, maka saya sangat berharap partai pilihan akan menjadi partai yang mendulang banyak suara. Untuk Indonesia yang lebih baik, Amin.

Tuesday, March 17, 2009

Ritme hidup yang baru

Manusia senantiasa menghadapi fase-fase kehidupannya. Setelah melaksanakan “prosesi” yang agung, maka ritme kehidupan antara sebelum dan sesudahnya pun mulai berubah. Dalam hal menjadi seorang suami, maka terdapat tantangan sekaligus jawaban atas kehidupan baru yang dijalani tersebut.

Setelah melalui rangkaian acara dalam keluarga, maka mulailah keluarga muda ini menjalani kehidupan yang nyata. Hal yang paling depan dihadapi adalah kenyataan untuk tidak bisa bertemu setiap hari karena kewajiban pekerjaan saya sekaligus kewajiban pendidikan sang istri yang harus dituntaskan.

Dalam 26 hari, rata-rata kesempatan bertemu kami sebanyak 12 hari. Sebanyak 12 hari itu masih merupakan kesempatan karena baru akan menjadi realisasi pertemuan jika diwujudkan, pilihannya antara rumah Depok atau tempat tinggal istri di bandung. Dan setelah berhitung dengan kewajiban kantor saya di Jakarta ditambah kewajiban penelitian istri di Bandung, maka praktis selama 7-8 hari saja kami bertemu.

Tentu hal tersebut adalah tantangan yang kami hadapi. Mungkin buat kami , saat jauh benar-benar terasa. Dan sebaliknya, saat bersama pun benar-benar terasa (anda yang berkesempatan bertemu istri/suami tiap hari harus banyak bersyukur :). Namun saya berpikir, tantangan yang dihadapi tiap keluarga baru pasti ada dan berbeda-beda tiap pasangan.

Oleh karenanya setiap sebelum saya pulang on duty dari ranah sumatera, pasti kami sudah mengatur jadwal selama saya off duty. Jadwal kapan saja bertemu, kapan tinggal di rumah depok, kapan belanja isi rumah, kapan ke bandung, kapan jalan-jalan, dengan mempertimbangkan saya harus masuk kantor Jakarta 3 hari dan kelangsungan penelitian istri di Bandung.

Umumnya orang akan melihat hal itu adalah sebuah “usaha ekstra”. Ritme seperti tersebut sudah pasti dibicarakan dengan sejelasnya tentang konsekuensi tersebut sebelum pernikahan. Sehingga sesudahnya, perjalanan ritme tersebut bisa dinikmati.

Mungkin ritme hidup diatas yang bisa menjelaskan mengapa saya (dan istri) menurun aktivitas menulis belakangan ini. Boleh dikatakan kami benar-benar dalam masa adaptasi terhadap ritme hidup yang baru tersebut. Dalam 7-8 hari bertemu, pasti kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk merajut tali keluarga. Sehingga saat ini mungkin lebih mudah menulis saat kami berdua saling jauh, terlepas kewajiban masing-masing terhadap tanggung jawab pekerjaan dan penelitian yang menyibukan

Seperti biasa orang yang stag dalam menulis, maka ide tulisan selalu bermunculan di kepala. Saat kami menonton berdua, saat kami jalan-jalan ke pantai, saat kami membaca, atau saat kami diskusi panjang lebar, atau bahkan saat kami sendiri dalam kamar terpisah pulau. Namun memang menuliskannya masih merupakan tantangan kami berdua. Padahal kami ingin sekali berbagi mengenai hal-hal bermanfaat kepada teman semua.

Sangat berbeda dengan seorang penulis kenalan kami. Beliau bekerja terpisah dengan keluarganya, dan normalnya hanya tiga hari dalam dua minggu sekali pulang. Namun saya melihatnya, justru karena jauh itu maka aliran menulisnya mengalir. Buktinya, sudah banyak cerpen dan novel terbit torehan tangannya. Belum tentu ketika bersama keluarga hasil tulisannya selancar ketika sendiri. Orang bilang, jiwa dalam keadaan sendiri membuat seseorang menjadi lebih memaknai sesuatu.

Dan mungkin sindrom menulis sendiri itu juga yang mulai membayangi kami. Tapi saya (kami) bukan seperti penulis tersebut, yang memang sudah terbukti karyanya (atau mungkin suatu hari nanti, amin). Kami hanya ingin berbagi kepada teman-teman semua.

Akhirnya setelah lama tidak menorehkan pikiran dalam tulisan, coretan ringan ini mudah-mudahan menjadi pengantar untuk kembali menulis, terutama untuk blog kami berdua. Sekalipun ingin hal-hal yang berkualitas, namun rasanya hal-hal ringan pun bisa menjadi pengisi coretan yang bermanfaat.

Saya ingin menulis, kami ingin menulis.

Tuesday, January 20, 2009

Antara Emosional dan Rasional

Konon otak kiri manusia dominant rasional, sedang otak kanan nya dominansi emosional. Konon juga, perempuan lebih banyak menggunakan sisi emosional dibanding rasional. Sedangkan laki-laki sebaliknya, lebih banyak menggunakan sisi rasional dibandingkan emosional. Walaupun tidak selamanya benar, namun secara umum hal itu benar adanya.

Mengambil sebuah keputusan dengan menyeimbangkan alasan rasional dan emosional tentu sebuah tantangan. Tidak hanya di lingkungan keluarga, namun juga di lingkungan pekerjaan yang biasanya sangat dominan wilayah rasional.

Bagi orang jawa (dan mungkin cina), segala sesuatu terkait dengan hari, harus lolos kualifikasi ’hari baik’. Perhitungan jawa yang sangat teliti akan melihat dan menganalisa apakah termasuk hari baik atau tidak. Hal ini menurut saya lebih ke arah ’emosional’, dimana disebabkan oleh kultural.

Momen-momen penting dalam tahapan hidup orang jawa tidak lepas dari perhitungan tersebut. Misalnya pindah rumah, menikah atau bahkan berpergian jauh. Karena keluarga saya adalah jawa yang masih sedikit banyak ’menghitung’, maka saya pun dikondisikan dalam koridor ’hari baik’ tersebut.

Saat saya memutuskan untuk mulai menempati rumah depok tengah november lalu, ibu ’menyarankan’ untuk menempatinya pada saat hari pasaran lahir saya dengan syukuran sebagai penghuni rumah baru. Padahal hari pasaran itu jatuh pada desember awal. Alasan saya untuk segera menempati rumah jelas, bahwa karena rumah sudah hak milik, buat apa mengeluarkan lagi uang untuk kos bulanan dengan hanya ditinggali 4 hari sebulan?

Alasan rasional itu saya sampaikan ke ibu saya dengan mengatakan bahwa syukuran kecil mengundang tetangga tetap dilakukan sebagai permisi ke tetangga baru. Namun tetap, bukannya redam malah ibu meminta untuk niat ’numpang tidur’ di rumah baru tersebut sampai hari pasaran itu tiba. Daripada berlama-lama, saya iya kan saja hal tersebut.

Konon, pindah rumah yang hakiki menurut orang jawa itu adalah saat memasukan tempat tidur dan perangkatnya ke rumah baru. Dan benar, ibu saya sampai meminta pada hari pasaran untuk membeli tikar, bantal dan guling untuk dimasukan ke rumah. Plus di kampung, ibu menggelar syukuran kecil dengan ’niat’ membatalkan syukuran awal saya bersama tetangga sekitar sebulan sebelumnya.

Tapi itu masih juga belum selesai. Awal tahun ini setelah pulang, saya masih diminta membawa sepaket beras dan gula putih. Awalnya masing-masing satu kilo, namun akhirnya berhasil ’nego’setengahnya. Katanya, syarat orang berumah-rumah itu ada bahan makanan yang disimbolkan oleh beras dan gula.

Anda mungkin tersenyum membaca cerita saya ini, tapi ini lah yang dihadapi seorang anak ’rasional’ dan ibu ’emosional’. Dimana seringkali kami benturan karena tarikan rasional-emosional tersebut. Namun setelah mulai muncul seseorang baru dalam kehidupan saya akhir-akhir ini, benturan tersebut sedikit sedikit bisa di damaikan.

Seperti pesan ibu lewat sms kepada beliau setelah ibu membawakan beras dan gula beberapa waktu lalu, ”Hendro ibu bawai beras dan gula setengah kg cuma sarat berasnya dimasak, gula semua jangan sampai kebuang. Itu pokok dari orang tua biar sempulur rejeki pangannya” *

Jadi, memang sudah ada orang yang tampaknya menjadi penengah ’hubungan’ antara saya dan ibu.. :)

* sempulur = lancar

Monday, January 19, 2009

[Approved] Kartu Kredit Mandiri

Hari selasa 13 Januari lalu datang surat dari Bank Mandiri ke kantor, terpampang jelas bahwa itu tentang kartu kredit (CC, Credit Card) Sedikit heran karena aplikasi kartu kredit saya sudah disapproved dua bulan yang lalu. Lalu mengapa kartu Gold ini datang?

Saya mencoba klarifikasi dengan seorang teman di Bank Mandiri, tapi jawabannya belum memuaskan yaitu kelambanan kurir (2 bulan? sudah dispproved, kenapa akhirnya approved juga?). Kemudian, saya mempunyai hipotesa sendiri tentang kronologi aplikasi ini.

Hipotesa pertama. Setelah Customer Service (CS) Mandiri melalui email mengatakan bahwa aplikasi saya disapproved, saya membuat post di blog dan beberapa menuai komen yang ‘sedikit menyesalkan’ keputusan Bank Mandiri.

Saya sendiri tak ambil pusing karena toh aplikasi saya disapproved. Tapi jujur, saya menyumpah dalam hati jika tak akan mengajukan aplikasi CC ke Mandiri sekalipun masa suspension berakhir setelah 6 bulan tanggal pengajuan. Kepada teman Mandiri itu saya menyampaikan kekesalan dan ’sumpah’ saya tersebut (maaf kawan..hehe). Pun kepada CS Mandiri salah satu KCP di Pancoran (dengan sopan, tanpa ‘sumpah-sumpahan’). Kemudian, sedemikian rupa sehingga pihak Mandiri akhirnya meloloskan aplikasi saya.

Hipotesa kedua. Sebenarnya kurang ada komunikasi antara bagian CS dan CC Mandiri. Ini terbukti dulu dengan proses yang lama dari saat saya mengajukan hingga keluar keputusan disapproved (3 bulan!). Dan ini juga terbukti antara keputusan CC dimana aplikasi saya lolos, namun CS memberitahukan aplikasi saya disapproved.

Hipotesa ketiga. Mandiri memang disapproved aplikasi CC saya, namun dengan beberapa kondisi terakhir perekonomian maka beberapa aplikasi CC yaang sempat suspensi dibuka dan dianalisis lagi. Dimana akhirnya aplikasi saya lolos.

Itulah beberapa hipotesa saya tentang Gold Mandiri yang datang ini. Apapun alasan sebenarnya dari Mandiri, saya menghargainya. Pun saya menjatuhkan pilihan aplikasi CC ke Mandiri bukan tanpa sebab. Dan karena CC Mandiri ini masuk dalam plan teknik keuangan saya, maka saya pun mengaktifkannya. Terima kasih kepada rekan Mandiri yang membantu saya.

Monday, January 12, 2009

Langkah Baru

Alhamdulillah, saya sedang menuju sebuah langkah baru yang besar dalam kehidupan. Langkah baru tersebut ditandai juga dengan pembuatan weblog baru, sebagai perpaduan dua insan blogger.

Saya berharap rekan-rekan akan sudi mengunjungi weblog kami, http://triandika.net

Weblog tersebut tidak akan serta merta menghapus jejak blog 3an ini (dan blog kisah). Akan ada saatnya kami menulis di blog bersama, dan ada kalanya kami menulis di blog sendiri.

Demikian sebuah langkah baru dimulai, terima kasih banyak atas partisipasi dan apresiasi nya selama ini. Do'akan pernikahan kami dan seterusnya berjalan dengan baik, amin.