Monday, November 23, 2009
Sebuah Pojok Soekarno Hatta
Thursday, October 29, 2009
Menelaah Cost Recovery Indonesia
Dalam skema bagi hasil, sangat terlihat bahwa besarnya jatah (entitlement) GOI sangat dipengaruhi oleh CR. Semakin besar CR, maka equity to be split menjadi lebih rendah sehingga GOI mendapat jatah yang lebih rendah pula bahkan bisa saja nol barrel. Hal tersebut yang menjadi alasan kuat adanya FTP (First Trance Petroleum, yakni bagian lifting yang disisihkan sejumlah 20% untuk dibagi dahulu antara GOI dan Contractor) sehingga setidaknya GOI tetap mendapatkan jatah barrel minyak. Oleh karenanya, menjadi kepentingan GOI untuk menjaga sehingga CR seminimal mungkin yang monitor dan kontrolnya dijalankan oleh BP Migas.
Pada dasarnya semua biaya yang terkait operasi migas masuk dalam cost recovery. Namun terkait membengkaknya CR dari tahun ke tahun, maka BP Migas lebih selektif dalam pengontrolan CR. Beberapa data besaran Cost Recovery yakni tahun-CR; 2006-USD 8.12 Milyar, 2007-USD 8.71 Milyar, 2008 -USD 9.05 Milyar, dan 2009-USD 11.7 Milyar. Padahal di sisi yang lain, produksii minyak cenderung menurun yang menyebabnkan cost/barrel naik. Secara otomatis, jatah barrel GOI pun juga turun (walaupun penerimaan migas belum tentu turun karena fluktuasi harga).
Hal yang patut bersama dipahami bahwa CR terkait dengan biaya produksi, dan lapangan tua yang produksi nya menurun membutuhakan biaya perawatan yang semakin besar dibandingkan lapangan baru. Ibarat mesin, semakin tua usia mesin maka maintenance cost nya akan membengkak. Walaupun demikian, GOI (dan DPR) melihat bahwa anomali tersebut tidak bisa mutlak diterima.
Akibatnya, muncul Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang jenis-jenis biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang bersi 17 negative list, diantaranya insentif jangka panjang karyawan, konsultan hukum yang tidak terkait operasi, expatriate tanpa persetujuan, kegiatan comdev dan PR serta bunga atas pinjaman.
Dalam kejadian misalnya equity to be split sama dengan zero karena besarnya CR sehingga hanya cukup untukl FTP, maka terdapat prioritas pembebanan cost recovery yang hanya bisa dilakukan pada tahun berjalan secara berurutan yaitu:
1. Unrecovered Other Costs; yang mencakup biaya Exploration dan jika CR masih mencukupi dimasukan juga Operating Expenses-OPEX periode tahun sebelumnya yang belum di cost recovery.
2. Current Year Non Capital Costs; yakni OPEX pada tahun berjalan.
3. Prior Years depreciation for Capital Costs; yakni depresisasi asset (Capital Expenditure-CAPEX) tahun sebelumnya yang belum di cost recovery.
4. Current Year depreciation for Capital Costs; yakni depresiasi asset (CAPEX) pada tahun berjalan.
Cost Recovery KKKS 2010Sejak tahun 2009, CR masuk item dalam APBN. Dari sisi pemerintah, masuknya CR dalam APBN menjadikan CR terlihat (sekalipun belum sepenuhnya terkontrol) sehingga bisa membandingkan dengan jelas besaran lifting dan CR. Dari sisi Contractor, 17 negative list menjadi “hambatan tambahan” dalam upaya meningkatkan produksi migas (namun jika dilihat jeli, 17 list tersebut adalah aktivitas yang tidak terkait langsung produksi migas).
Terlepas dari hal tersebut, masuknya CR dalam APBN sejatinya menyalahi konsep awal PSC yakni bagi hasil produksi. Item yang seharusnya masuk dalam APBN hanya entitlement GOI. Bagi hasil produksi artinya produksi (setelah dikurangi biaya) yang dibagi, urusan kontrol biaya dijalankan pemerintah melalui BP Migas. Pertanyaannya, jika BP Migas tidak optiimal mengapa ada pengawas hulu migas? Lalu, mengapa PSC dan bukan skema royalty seperti halnya Pertambangan sehingga tidak repot dilakukan controlling dan monitoring?
Untuk tahun 2010 berdasar kecenderungan kenaikan CR tahun ke tahun, maka pemerintah dan DPR memutuskan batas atas CR yang masuk dalam APBN 2010 sebesar USD 12.01 Milyar. Nilai tersebut dibagi dengan semua Contractor PSC yang beroperasi di Indonesia sesuai persentasi produksi BOE (Barrel Oil Equivalent). Jika CR lebih besar dari batas atas, maka CR dilakukan berdasar urutan prioritas CR diatas.
Berdasar data produksi migas sampai tengah tahun 2010 (sumber: Majalah Petrominer), 10 besar KKKS produksi migas Indonesia sebagai berikut (BOD: Barrel Oil per Day, MMSCFD: Million Cubic Feet Per Day) ;
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIONEeLbOUnFHEeYApkjCzuucIZrfl8AvIN1Y3VJXe_-F7feWTzFDEqCCKvlTxIIryz1LhQ-WYYD2zmo8HriBRy5NI3Y7f9K88ySFsrtT1r7Pbt4ws9ilp5lrbsfLD5ABd2YTw-w/s400/Prod+oil.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDXy0ogYg8xFK9SOJEwizQLy1DbH8JiC_iWLnBBnyZKqHlhKMvgzgbbYqeYAOCzkZeLZsgpLNGY8L-kkY1Y72BbQWci26GRWUDh6TGCVRqcrwRtDDpKICz7du2bmkc70DF0d5Xvw/s400/CR.jpg)
Cost Recovery tersebut akan “bertemu” dengan target lifting 2010 yang jelas lebih berat karena dibebankan 965 ribu barrel oil (naik 5 ribu barrel dari 2009) pada lapangan yang sebagian besar mature dengan kecenderungan decline. Yang pada akhirnya layaknya prinsip ekonomi lah yang berjalan, untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin dengan upaya seminimal mungkin. Sebuah tantangan untuk dunia migas Indonesia.
Sunday, September 13, 2009
Susahnya Taksi di Palembang
Contohnya adalah taksi dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB). Taksi dari SMB ke dalam kota Palembang, maka tarif sekarang 60 ribu. Sedangkan agak pinggir kota (seperti Pusri) bisa 75ribu, Plaju bisa jadi 100 ribu. Ada juga taksi yang membuka agen di dalam gedung SMB dengan tulisan terpampang Taksi Argo (maksudnya menggunaka argo, bukan borongan), namun saya pribadi sangsi mengingat hampir pasti semua taksi Palembang adalah borongan (argo namun tetap diminta "negoisasi"dengan sopirnya).
Tentu sangat berbeda jauh dengan Taksi di Jakarta (maaf, bukan melebihkan hanya sebagai perbandingan). Rasanya tidak ada satu perusahaan taksi di Jakarta yang menganut borongan. Kalaupun ada, itu pelayanan taksi khusus carteran, bukan yang umum di jalan. Jika keluar SMB yang akan dikerumuni oleh para sopir taksi serta ojek, berbeda saat keluar Soekarno-Hatta kita tinggal memilih taksi argo mana yang akan digunakan (ada tawaran namun batas wajar).
Menggunakan taksi dari hotel biasanya standar pelayanan yang sangat di utamakan, bahkan hotel bintang melayani antar-jemput bandara/stasiun untuk para tamu nya (free charge). Sedangkan di Palembang, pelayanan jemput hotel rata-rata saat dari SMB dan sulit untuk antar dari hotel ke SMB. Dari Novotel misalnya, pihak pengelola hotel seperti sudah mem-formal-kan taksi borongan (mobil) untuk tujuan bandara atau point lain sebesar 75 ribu.
Pemesanan taksi pun tidak menjamin mendapatkan taksi argo, bahkan secara terang-terangan call center taksi tersebut menyatakan bahwa tarif tergantung negoisasi dengan sopirnya. Bertemu dengan taksi di jalan pun sudah pasti akan terkena tarif borongan. Tentu saja untuk sebagian orang, lebih baik dengan argo yang transparan daripada borongan. Sekalipun menurut sebagian orang taksi argo bakal menjebak bagi orang yang belum tahu rute (diajak muter-muter), namun pada dasarnya transparansi itu lebih utama. Apalagi didukung dengan kepercayaan yang sebenarnya sangat mutlak dalam industri jasa seperti taksi ini.
Kondisi di Palembang tersebut mungkin sama persis dengan yang di Bandung 3 tahun lalu, dimana semua taksi adalah borongan. Sampai akhirnya muncul Blue Bird yang awalnya ditentang, namun akhirnya beroperasi dengan baik hingga hari ini (dibatasi jumlahnya). Taksi Putra juga sudah 2 tahun lalu. Bahkan taksi lokal Bandung Gemah Ripah sudah hampir selalu argo, lokal yang lain pun satu persatu ikut nyusul juga. Sedangkan yang tetap non-argo, sudah pasti lambat laun akan ditinggalkan karena tidak transparan dan moda yang relatif kurang nyaman dibandingkan taksi argo nya. Hotel sebagai bagian dari pariwisata kota pun ikut berdampak positif dengan pelayanan taksi yang lebih baik di Bandung.
Kembali ke Palembang, tampaknya memang dibutuhkan pionir perusahaan taksi argo seperti halnya Bandung. Saya kurang paham dengan sosial budaya, namun sedikit tahu jika karakter masyarakat Palembang relatif lebih keras dibandingkan Bandung. Artinya jika di Bandung ada pertentangan taksi argo, tidak dipungkiri di Palembang akan terjadi juga.
Namun semuanya bisa ditengahi oleh pemerintah, didukung oleh sektor pariwisata kota. Sangat disayangkan jika Visit Musi Palembang yang terpampang dimana-mana tidak bisa di dukung dengan pelayanan ramah bagi para pendatang di Palembang, dimulai dari Bandara SMB sebagai salah satu gerbang utama Palembang.
Pemerintah kota Palembang hendaknya belajar pada kota Manado, yang meski termasuk kota kecil dan jauh dari pusat pulau jawa, pelayanan taksinya cukup memuaskan. Untuk membenahi masalah pelayanan taksi ini dalam rangka mendukung Visit Musi Palembang memang butuh waktu dan akan timbul gesekan sosial khususnya di kalangan sopir taksi Palembang saat ini. Namun jika tidak dimulainya sebuah perbaikan, rasanya tekad Visit Musi Palembang hanya menjadi jargon semata dan semakin berat, apalagi visi menjadi pusat ekonomi Sumatera Bagian Selatan.
Friday, September 04, 2009
Memahami PSC (Production Sharing Contract)
- Split ialah bagi hasil antara GOI dan Con yakni 85% : 15% (Oil). Sedangkan untuk gas umumnya 65% : 35%.
- FTP (First Tranche Petroleum) ialah bagian lifting yang disisihkan sejumlah tertentu (20%) untuk dibagi antara GOI dan Contractor.
- Cost Recovery , ialah biaya investasi dan operasi produksi migas yang dikeluarkan Contractor dan dibayar GOI dalam mekanisma bagi hasil produksi (diperjelas dengan skema di bawah).
- DMO (Domestic Market Obligation) ialah kewajiban kontraktor menjual minyak di Indonesia (25% dari jatah/entitlement Contractor), dengan harga DMO fee 15% harga ekspor atau 25% harga ekspor untuk kawasan timur Indonesia. DMO fee tersebut berlaku setelah produksi lebih dari 60 bulan, jika kurang 60 bulan maka 100% harga pasar. Sedangkan untuk gas DMO sesuai dengan harga pasar.
Sebagai konsekuensi dari PSC, karena modal 100% dari investor dan lahan tetap menjadi milih negara, maka jika investor menemukan migas dalam ekspolarasinya maka seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi akan diganti oleh negara yang dikenal dengan cost recovery. Sebaliknya jika investor gagal menemukan migas, maka biaya menjadi tanggungan investor. Dalam detil kontrak PSC, batas investor melakukan eksplorasi adalah 10 tahun (3 tahun pertama, 3 tahun kedua, 4 tahun tambahan) yang diawasi oleh pemerintah. Selambatnya sampai batas 10 tahun tersebut tidak ada prospek migas, maka kontraktor harus mengembalikan wilayah kerja ke pemerintah.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAErQo-2N4nt4bYwLw0SDSW9gHw683Qz81qd2DPmsHtdW7ewkmxBzI8u4T2_Usin2HNKXjknirQLirEIXglDAV6pTCw0Zdf-PbAiZ957lIjbsrFWY3g1sGUFkQwIDXpNJrXtdOVQ/s400/PSC.jpg)
Thursday, June 18, 2009
Signifikansi, Produk Kartu Kredit
Yang pertama menawarkan sistem asuransi rawat inap dengan menunjukan copy-an tagihan rumah sakit maka akan mendapatkan cash 1 juta per hari inap (saya lupa pagu nya, yang jelas cukup 'wah'). Premi nya 'hanya' 180-an ribu per bulan, dimana jika dalam 10 tahun tidak ada klaim maka 100% akumulasi premi kembali, meski dengan prinsip time value of money menjadi biasa saja. Bagaimana jika setelah 2 tahun, klaim 5 hari karena rawat inap lalu kemudian memutuskan kontrak misalnya karena alasan ekonomi. Konon kata sang telemerketer, hal tersebut sangat mungkin. Bagaimana, menggiurkan bukan?
Dengan marketing tersebut, saya hampir saja terbujuk untuk mengatakan 'iya' untuk autodebet dari kartu kredit. Namun saya membatalkan karena dengan kata 'iya' tersebut, maka otomatis masuk dalam program karena semua percakapan direkam, yang akan menjadi dasar hukum bla...bla..dan seterusnya. Saya menjadi sangsi (baca: sedikit 'gimana' gitu, teringat tentang dasar hukum transaksi elektronik), dan akhirnya membatalkan. Dalam hati sebenarnya saya tidak tega (apalagi oleh usaha keras marketer), namun rasio masih bicara.
Penawaran yang kedua adalah hari ini, dengan judul yang sama. Bedanya, asuransi ini meng-cover khusus kecelakaan dan klaim rawat inap 150 rb (300rb suami-istri) hingga 60 hari, jika rawat jalan batasan maksimal 1,5 juta/tahun per orang. Namun, tidak ada batasan waktu sehingag tidak ada 100% premi kembali. Catatan buruknya, proses klaim meski fotokopi namun tetap membutuhkan tanda tangan asli pihak rumah sakit.
Untuk yang kedua ini, langsung saya tolak dengan mengatakan bandingan tawaran pertama dengan keunggulan-keunggulan yang lebih fleksibel dan menarik, terakhir skak mat untuk mengatakan tidak karena tidak cukup signifikan. Si telemarketer langsung diam dan mengucapkan terima kasih.
Tentang program asuransi lain sejenis pernah ditawarkan pula dengan skema yang lain. Jika itu asuransi kesehatan, rawat inap dll, maka dalam otak bawah sadar saya akan menolaknya karena 100% biaya tersebut untuk keluarga sudah di cover oleh kantor. Sesui prinsip dasar pengelolaan keuangan masa depan, untuk apa kita menambah pos pengeluaran untuk hal yang sudah bukan tanggungan sendiri? Bukan jalan yang bijak jika itu digunakan untuk mencari 'tambahan pemasukan'.
Ujung-ujung nya adalah tingkat signifikansi dari tawaran produk kartu kredit, apakah benar-benar dibutuhkan plus seberapa menarik tawaran tersebut. Lain jika itu tentang 12 kali setahun cicilan 0% misalnya untuk sepeda motor Mio, maka saya cukup menanyakan dimana saya bisa mendapatkan kesempatan itu (hehe).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhC5NH-hkUK5NJ0FRtnFMUtclxlahqkRuPL_HfZOeDbOQ38rEwvEzGE0NaIoq9z56hyHXr4KgLDj-3jJ1vhY-qsw53s5NGZQtnIZ3VfQUYuuLoFylCWpdIt8ZW-34P7SophyphenhyphenQ1Rg/s200/credit_0.jpg)
Kembali ke tawaran asuransi kartu kredit, respek saya yang cukup untuk telemarketer yang dengan giat (serta tetap ramah!) menawarkan kelebihan, hingga menanyakan kenapa kita tidak tertarik. Mungkin saya tidak akan bisa sesabar itu, ditolak satu nasabah, ditolak lagi, dan lagi. Bahkan seorang deputy manager langsung menutup handphone nya karena begitu diangkat terdapat salam khas dari telemarketer kartu kredit, tanpa ada kesempatan untuk menjelaskan apapun. Bukankah itu tantangan luar biasa bagi seorang direct marketer?
Lalu, bagaimana anda merespon aksi dari seorang telemarketer?
Saturday, May 23, 2009
Risk Probability: Kecelakaan Pesawat
Tempat kejadian kecelakaan, saya persisnya belum pernah lagi ke daerah tersebut. Kecamatan Karas sendiri adalah kecamatan yang baru dibentuk yang merupakan pecahan Kecamatan Karangrejo, tetangga kecamatan saya. Saya membayangkan sebagai salah satu warga di sekitar bandara Lanud Iswahyudi, tentu warga sekitar kejadian tidak pernah menduga bahwa sebuah pesawat akan menimpa rumah, atau lingkungan mereka. Sekalipun setiap hari, dengung pesawat selalu hadir, serasa dekat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kecelakaan pesawat selalu menjadi kecelakaan yang tragis, menelan duka cita dalam, banyak korban. Kecelakaan jatuhnya pesawat menimpa rumah pernah juga terjadi di Medan pada 2005 yang mengakibatkan rombongan Gubernur Sumut meninggal. Kecelakaan Hercules menimpa perumahan penduduk di Magetan ini merupakan pukulan berat bagi TNI AU.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw4R5n6orga9Nz8hspUQDyIhXYQYUCLjJpageuEsTtOA7KzbUY9zBevUARkIHzhyphenhyphenhp-CVjTQDoSrsIRS3bRbt6Vf2bEi9IzWJP0env3VBEUOUFdC-qf6VqzjhX2OxQ0IinXUihNg/s320/risk.jpg)
Terlepas bahwa takdir selalu berada mengelilingi kita, kecelakaan pesawat yang terjadi semakin menyadarkan bahwa resiko pesawat terbang lebih besar dibanding kan moda transportasi lainnya. Buat Saya yang setiap bulan selalu menggunakan pesawat untuk selalu 'eling' dan tawakal. Disamping pastinya berusaha untuk memilih maskapai terpercaya. Meski iming-iming harga miring tak bisa di pungkiri. Sebuah harapan supaya otorita penerbangan (dan TNI AU) bertindak tegas dalam hal keselamatan penerbangan.
Semoga tidak ada lagi kecelakaan pesawat dramatis seperti ini lagi di esok hari.
Thursday, April 23, 2009
Kartini dari Rumah
Artinya cita-cita Kartini untuk mewujudkan pendidikan atau lebih umumnya peran perempuan menurut saya sudah terwujud. Jika sebagian aktivis perempuan masih mengatakan emansipasi belum terwujud atau hak perempuan masih terbelenggu, kondisi tersebut hanya kondisi khusus (di tempat tertentu) yang bisa diselesaikan tanpa membuat generalisasi masalah.
Bahwasannya dalam ranah wacana ‘belenggu’ terhadap perempuan sudah sirna, namun dalam praktek keseharian sekat-sekat pembatas budaya antara laki-laki dan perempuan masih nyata adanya. Pembatas tersebut tidak muncul dalam pendidikan, melainkan berpeluang makin menjadi dalam institusi rumah tangga, tempat dimana wacana Kartini tentang perempuan terdidik dan berperan sosial mendapat tantangan.
Tugas perempuan dalam rumah seperti ‘sudah ditentukan’, pekerjaan domestik mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak sampai mengurus anak. Jika semua tugas domestik harus dibebankan pada perempuan, niscaya perempuan tidak akan mempunyai waktu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dalam bentuk pastisipasi dalam masyarakat.
Padahal perempuan yang sudah berpendidikan (bahkan sampai tinggi) adalah ‘produk investasi’ yang seharusnya kompetensi diaktualisasikan di masyarakat sehingga lebih bermanfaat, disamping sebagai pendidik pertama bagi generasi masa depan. Sehingga peran-peran perempuan (istri) di rumah dan masyarakat pun harus seimbang, sebanding dengan peran suami di tempat kerja dan rumah.
Sekalipun wacana keseimbangan peran domestik dan publik terkesan mudah dan bisa diterapkan siapa saja, dalam prakteknya ternyata tidak semudah yang dituliskan. Misalnya dalam hal tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah tunggal dimana istri tidak/belum bekerja, secara praktis (emosi, psikologi atau ego) suami akan menyandarkan urusan domestik sepenuhnya pada istri. Lalu jika keduanya bekerja pun, urusan domestik belum tentu lepas dari tanggung jawab perempuan. Ditambah lagi menyangkut anak, mulai dari masa kehamilan hingga tahun-tahun pertama lahir.
Para pengamat bisa saja dengan mudah mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari komunikasi yang harus di bangun, tapi faktanya tidak sesederhana itu. Seperti yang disampaikan diatas, bahwa sudah seperti semacam ‘turunan’ jika perempuan adalah domestik, sekalipun dia bekerja atau beraktivitas di luar rumah. Fakta ini sulit dihindari, apalagi didukung budaya timur dan norma agama yang tidak mewajibkan perempuan untuk mencari nafkah. Bahkan seorang laki-laki feminis pun, secara nurani masih akan menginginkan istri nya lebih banyak waktu di rumah mengurus keluarga daripada full aktivitas di luar.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh perempuan? Pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan pilihan atas hidupnya. Pilihan yang dimulai dari kebebasan memilih jodohnya (dalam konteks usaha), yang diwujudkan dalam kesepahaman antara (calon) suami istri. Pilihan ketika sudah berumah tangga dimana sekalipun sudah disepakati pra-nikah tentang aktivitas istri, namun kondisi perempuan sendiri masih akan berbenturan dengan ‘ kodrat’ perempuan sebagai ‘ insan domestik’ (yang sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘ dominasi laki-laki).
Hal lain yang bisa dilakukan tentunya dari pihak laki-laki, sebagai partner perempuan selama lebih dari setengah kehidupan dunia. Jujur tidak mudah bagi laki-laki secara sepenuhnya ikhlas melepas istri nya beraktivitas di luar, kerja full time, apalagi dalam kondisi hamil atau anak-anak di masa pertumbuhan awal. Orang modern bisa saja mencari pembantu untuk merawat anaknya, tapi hati seorang orang tua tetap tidak bisa berbohong jika disuruh memilih antara pembantu atau sendiri.
Jadi laki-laki lah yang justru menjadi kunci dari keseimbangan peran domestik dan publik bagi perempuan. Mulai tingkat kesadaran hingga dalam praktek keseharian yang menjadikan perempuan sebagai partner. Pembagian tugas domestik dengan skala prioritas, hingga transparansi dalam pengelolaan pendapatan bersama serta perencanaan masa depan.
Memang tidak mudah bagi laki-laki untuk konsisten menjaga keseimbangan peran tersebut. Sebuah bagian konsekuensi bagi laki-laki saat mengambil amanah seorang perempuan bukan hanya dari orang tua nya, melainkan dari bangsa yang sudah memberinya pendidikan untuk diamalkan.
Sebuah tantangan bagi laki-laki.
Wednesday, April 08, 2009
Tidak Memilih
Sedangkan pemilu kali ini, dari awal saya termasuk pesimis untuk bisa memilih. Karena secara Kartu Tanda Penduduk masih warga Magetan, sedangkan domisili di Depok. Katakanlah untuk memilih satu hari, pasti merupakan ‘pengorbanan besar’ jika harus pulang kampung. Atau mengurus surat pindah Tempat Pemungutan Suara, tetap saja harus pulang. Padahal rasanya waktu begitu cepat saat kembali pulang dari bekerja, dan kemudian kembali berangkat lagi di Palembang.
Plus awal bulan Maret lalu sudah mengurus KTP Depok, yang artinya saya ’berjudi’ tidak mendapatkan hak memilih dimanapun (KTP in process). Padahal ketika sudah masuk DPT daerah asal (Magetan), bisa saja saya mengurus formulir pindah TPS. Karena katanya DPT itu sudah dicetak bulan oktober 2008. Tapi ternyata, banyak juga warga yang tidak mengecek nama Oktober lalu baru mendapatkan dirinya tidak punya hak pilih esok hari.
Jadi akhirnya saya tidak memilih. Jujur ada penyesalan dalam hati, karena tidak bisa memilih partai yang menjadi pilihan saya. Hanya bisa berdo’a semoga teman, rekan, keluarga dan masyarakat memberikan suara nya dengan baik.
Tuesday, March 17, 2009
Ritme hidup yang baru
Tuesday, January 20, 2009
Antara Emosional dan Rasional
Konon otak kiri manusia dominant rasional, sedang otak kanan nya dominansi emosional. Konon juga, perempuan lebih banyak menggunakan sisi emosional dibanding rasional. Sedangkan laki-laki sebaliknya, lebih banyak menggunakan sisi rasional dibandingkan emosional. Walaupun tidak selamanya benar, namun secara umum hal itu benar adanya.
Mengambil sebuah keputusan dengan menyeimbangkan alasan rasional dan emosional tentu sebuah tantangan. Tidak hanya di lingkungan keluarga, namun juga di lingkungan pekerjaan yang biasanya sangat dominan wilayah rasional.
Bagi orang jawa (dan mungkin cina), segala sesuatu terkait dengan hari, harus lolos kualifikasi ’hari baik’. Perhitungan jawa yang sangat teliti akan melihat dan menganalisa apakah termasuk hari baik atau tidak. Hal ini menurut saya lebih ke arah ’emosional’, dimana disebabkan oleh kultural.
Momen-momen penting dalam tahapan hidup orang jawa tidak lepas dari perhitungan tersebut. Misalnya pindah rumah, menikah atau bahkan berpergian jauh. Karena keluarga saya adalah jawa yang masih sedikit banyak ’menghitung’, maka saya pun dikondisikan dalam koridor ’hari baik’ tersebut.
Saat saya memutuskan untuk mulai menempati rumah depok tengah november lalu, ibu ’menyarankan’ untuk menempatinya pada saat hari pasaran lahir saya dengan syukuran sebagai penghuni rumah baru. Padahal hari pasaran itu jatuh pada desember awal. Alasan saya untuk segera menempati rumah jelas, bahwa karena rumah sudah hak milik, buat apa mengeluarkan lagi uang untuk kos bulanan dengan hanya ditinggali 4 hari sebulan?
Alasan rasional itu saya sampaikan ke ibu saya dengan mengatakan bahwa syukuran kecil mengundang tetangga tetap dilakukan sebagai permisi ke tetangga baru. Namun tetap, bukannya redam malah ibu meminta untuk niat ’numpang tidur’ di rumah baru tersebut sampai hari pasaran itu tiba. Daripada berlama-lama, saya iya kan saja hal tersebut.
Konon, pindah rumah yang hakiki menurut orang jawa itu adalah saat memasukan tempat tidur dan perangkatnya ke rumah baru. Dan benar, ibu saya sampai meminta pada hari pasaran untuk membeli tikar, bantal dan guling untuk dimasukan ke rumah. Plus di kampung, ibu menggelar syukuran kecil dengan ’niat’ membatalkan syukuran awal saya bersama tetangga sekitar sebulan sebelumnya.
Tapi itu masih juga belum selesai. Awal tahun ini setelah pulang, saya masih diminta membawa sepaket beras dan gula putih. Awalnya masing-masing satu kilo, namun akhirnya berhasil ’nego’setengahnya. Katanya, syarat orang berumah-rumah itu ada bahan makanan yang disimbolkan oleh beras dan gula.
Anda mungkin tersenyum membaca cerita saya ini, tapi ini lah yang dihadapi seorang anak ’rasional’ dan ibu ’emosional’. Dimana seringkali kami benturan karena tarikan rasional-emosional tersebut. Namun setelah mulai muncul seseorang baru dalam kehidupan saya akhir-akhir ini, benturan tersebut sedikit sedikit bisa di damaikan.
Seperti pesan ibu lewat sms kepada beliau setelah ibu membawakan beras dan gula beberapa waktu lalu, ”Hendro ibu bawai beras dan gula setengah kg cuma sarat berasnya dimasak, gula semua jangan sampai kebuang. Itu pokok dari orang tua biar sempulur rejeki pangannya” *
Jadi, memang sudah ada orang yang tampaknya menjadi penengah ’hubungan’ antara saya dan ibu.. :)
Monday, January 19, 2009
[Approved] Kartu Kredit Mandiri
Saya mencoba klarifikasi dengan seorang teman di Bank Mandiri, tapi jawabannya belum memuaskan yaitu kelambanan kurir (2 bulan? sudah dispproved, kenapa akhirnya approved juga?). Kemudian, saya mempunyai hipotesa sendiri tentang kronologi aplikasi ini.
Hipotesa pertama. Setelah Customer Service (CS) Mandiri melalui email mengatakan bahwa aplikasi saya disapproved, saya membuat post di blog dan beberapa menuai komen yang ‘sedikit menyesalkan’ keputusan Bank Mandiri.
Saya sendiri tak ambil pusing karena toh aplikasi saya disapproved. Tapi jujur, saya menyumpah dalam hati jika tak akan mengajukan aplikasi CC ke Mandiri sekalipun masa suspension berakhir setelah 6 bulan tanggal pengajuan. Kepada teman Mandiri itu saya menyampaikan kekesalan dan ’sumpah’ saya tersebut (maaf kawan..hehe). Pun kepada CS Mandiri salah satu KCP di Pancoran (dengan sopan, tanpa ‘sumpah-sumpahan’). Kemudian, sedemikian rupa sehingga pihak Mandiri akhirnya meloloskan aplikasi saya.
Hipotesa kedua. Sebenarnya kurang ada komunikasi antara bagian CS dan CC Mandiri. Ini terbukti dulu dengan proses yang lama dari saat saya mengajukan hingga keluar keputusan disapproved (3 bulan!). Dan ini juga terbukti antara keputusan CC dimana aplikasi saya lolos, namun CS memberitahukan aplikasi saya disapproved.
Hipotesa ketiga. Mandiri memang disapproved aplikasi CC saya, namun dengan beberapa kondisi terakhir perekonomian maka beberapa aplikasi CC yaang sempat suspensi dibuka dan dianalisis lagi. Dimana akhirnya aplikasi saya lolos.
Itulah beberapa hipotesa saya tentang Gold Mandiri yang datang ini. Apapun alasan sebenarnya dari Mandiri, saya menghargainya. Pun saya menjatuhkan pilihan aplikasi CC ke Mandiri bukan tanpa sebab. Dan karena CC Mandiri ini masuk dalam plan teknik keuangan saya, maka saya pun mengaktifkannya. Terima kasih kepada rekan Mandiri yang membantu saya.
Monday, January 12, 2009
Langkah Baru
Alhamdulillah, saya sedang menuju sebuah langkah baru yang besar dalam kehidupan. Langkah baru tersebut ditandai juga dengan pembuatan weblog baru, sebagai perpaduan dua insan blogger.
Saya berharap rekan-rekan akan sudi mengunjungi weblog kami, http://triandika.net
Weblog tersebut tidak akan serta merta menghapus jejak blog 3an ini (dan blog kisah). Akan ada saatnya kami menulis di blog bersama, dan ada kalanya kami menulis di blog sendiri.
Demikian sebuah langkah baru dimulai, terima kasih banyak atas partisipasi dan apresiasi nya selama ini. Do'akan pernikahan kami dan seterusnya berjalan dengan baik, amin.