Monday, July 30, 2007

Gender, antara rasional dan emosional

Akhir-akhir ini saya sempat dihantui sebuah 'pertanyaan klasik' dari fenomena yang sudah jamak, bahwa laki-laki cenderung lebih rasional dan perempuan lebih emosional. Pertanyaannya, apakah sekarang itu masih berlaku?

Namun, sebaiknya kita memberi batasan yang lebih jelas tentang rasional-emosional antara perempuan atau laki-laki. Tentu ini bukan diskusi yang harus berhenti karena jawaban, "semua kan bergantung pada orangnya" atau "ada kasus khusus, jangan digeneralisasi". Kalau seperti itu, kita tidak akan mengatakan kepada anak kecil bahwa langit itu biru, karena toh tiap menjelang hujan berubah mendung. Atau tidak mengatakan bahwa hutan itu hijau, karena yang kebakaran berubah menjadi merah dan hitam. Jadi, mari melihat dari kacamata umum dalam konteks zaman.

Terdapat tiga buah cerita (dan banyak lagi yang berkeliaran di sekitar kita) yang seolah mempertanyakan aksioma kuat bahwa laki-laki cenderung lebih rasional dan perempuan lebih emosional.

Pertama, ada ungkapan yang saya temukan dari artikel sebuah blog, bahwa laki-laki rela mengeluarkan uang 1.200,- demi membeli barang seharga 1.000,- yang diperlukannya, sedang perempuan rela mengeluarkan uang 800,- untuk membeli barang seharga 1.000,- yang tidak diperlukannya.

Disini saya kurang paham, siapa yang lebih rasional atau emosional, antara laki-laki atau perempuan dalam ungkapan diatas. Sebagai laki-laki, saya hanya bisa membenarkan ungkapan konsep 'berkorban lebih' laki-laki terhadap hal yang diinginkannya diatas. Bagaimana dengan perempuan?

Kedua, beberapa hari lalu 'diskusi ringan' di kantor tentang seorang dosen senior yang berpendidikan sangat tinggi (konon profesor) mempunyai seorang istri yang juga berstatus sosial 'terhormat', melakukan 'perbuatan terlarang' dengan pembantu rumah tangganya. Sampai disini, mungkin sebagian menganggap bahwa sang dosen tidak rasional (alias emosional), karena tidak menggunakan rasionya untuk menimbang-nimbang 'status perempuan', toh bagaimanapun dia adalah seorang maha guru yang mulia.

Tapi kemudian, ketika diadili dalam sidang alasan yang dikemukakan sang dosen 'sungguh polos' bahwa siapapun perempuannya itu, secara 'fisiknya' akan sama saja. Bukankah ini alasan paling rasional?

Ketiga, ini juga saya dapatkan dari sebuah blog tentang cerita kepahlawanan dan laki-laki. Dari beberapa cerita yang disampaikan, bahwa jiwa kepahlawanan seorang laki-laki akan timbul menghadapi sosok perempuan yang lemah atau membutuhkan 'sosok pahlawan' dalam hidupnya. Salah satu kisahnya, ada seorang perempuan penderita kanker otak yang seperti 'tak punya harapan hidup' dan masih ada 'sang pahlawan' yang mau menikahinya sekalipun belum pernah saling bertatap muka dengan perempuan itu (terlepas bahwa semua manusia ada jodoh dari Yang Maha Kuasa). Seperti tidak masuk akal?

Saya sendiri punya pengalaman, seorang perempuan keluarga dekat yang menderita epilepsi sejak SD-nya akhirnya disunting oleh jejaka sarjana yang tampan (dan mungkin bisa mendapatkan perempuan lain yang 'lebih baik'). Dan lagi-lagi sebagai laki-laki, saya bisa membenarkan keputusan laki-laki sebagai sosok pahlawan itu. Benar-benar emosional.

Jadi sekarang, masih percaya laki-laki cenderung lebih rasional dan perempuan lebih emosional? Jangan tanya saya, karena saya pun tidak tahu pasti jawabnya.


*Maaf kepada teman-teman perempuan 'yang peduli',
karena saya tidak punya thread laki-laki maka saya memasukannya ke label Perempuan, padahal mungkin banyak dari sudut laki-lakinya.

Friday, July 27, 2007

Ndhuk dan Le

Ndhuk, adalah panggilan untuk seorang perempuan yang lebih muda di jawa. Lengkapnya gendhuk, dengan ’u ’dilafalkan benar-benar bulat ’o’ (dan kenapa tidak ditulis ndhok? Karena itu bisa artinya telur). Ndhuk biasa diserukan oleh ayah atau ibu kepada anak gadisnya, dari kakek-nenek kepada cucu perempuannya, atau secara umum biasa juga digunakan orang tua kepada perempuan yang jauh lebih muda daripadanya.

Begitu pula le, adalah panggilan untuk seorang laki-laki muda yang biasa juga diserukan oleh orang tua tanpa ada pertalian darah diantara keduanya. Lengkapnya tole, dengan ’e’ dilafalkan biasa seperti lele.

Biasanya, ada tambahan kata di belakang ndhuk dan le tersebut. Untuk ndhuk, ditambahkan cah ayu (bocah yang cantik, baik), dan untuk le dilekatkan cah bagus (bocah yang ganteng, baik). Variasi lain juga mungkin, yaitu bila disisipkan ngger (sulit diartikan, sebuah ungkapan penegasan. ’e’ dilafalkan seperti pada goreng) diantara le dan cah bagus, misalnya dalam pertanyaan: ”piye kabarmu, le ngger cah bagus?”

Dalam pergaulan, Ndhuk dan le merupakan panggilan akrab yang menunjukan kedekatan antara yang memanggil dan yang dipanggil. Simbol kasih sayang. Ibaratnya, jika ada seorang ayah sedang memanggil anaknya untuk berhenti bermain dan mengajaknya pergi bersama, maka seolah-olah sang ayah memanggil kemudian membelai kepala si anak setelah anak itu datang kepadanya.

Ndhuk dan le juga sekaligus merupakan bentuk budaya. Sebuah produk budaya kehidupan masyarakat ’kampung’. Karena adalah produk budaya, maka ndhuk dan le menjadi semacam identitas budaya bagi masyarakat tersebut. Oleh karenanya, sekalipun sebagian masyarakat ’kampung’ tersebut sudah beranjak ke kota besar, banyak sebagian yang tetap menggunakan seruan ndhuk dan le, terutama bagi anak-anaknya.

Menarik memang, jika di satu sisi ada hal yang lembut, dekat dan intim misal panggilan tersebut (dan bermacam panggilan lainnya), maka di sisi lain pun sebenernya ada bagian yang kasar, dan keras contohnya adalah pisuhan (umpatan). Sebuah produk budaya masyarakat yang dibangun atas dasar denyut nadi kehidupan keseharian seperti dua keping mata uang, kasar dan juga lembut secara bergantian.

Sehingga, saya sengaja memanggil beberapa adik angkatan di kampus yang dekat (dan jawa!) dengan seruan ndhuk dan le tersebut. Tidak cuma adik angkatan sebenarnya, karena beberapa teman yang dekat pun sering saya panggil dengan seruan itu terutama jika saya memposisikan diri sebagai ’penanya’. Menggunakan seruan itu sesekali, tentu akan semakin menambah kedekatan pertemanan yang sudah ada.

Dan kepada seseorang, saya ingin tanyakan (lagi), ”jadi kapan ndhuk cah ayu, kamu akan lulus?”


*maaf kepada ikram, tidak jadi menulis tentang Pilkada DKI. Terlalu berat, yang ringan-ringan saja. Aura weekend plus akhir bulan, hehe.

Monday, July 23, 2007

Dua Kutub Teknik Industri

Teknik Industri (TI) pertama di buka di Indonesia tahun 1971 di ITB. Sejarah TI ITB tidak bisa dilepaskan dari sub-jurusan teknik produksi, teknik mesin. Sehingga, manajemen produksi adalah cikal bakal TI di indonesia dan juga konon di MIT.

Lalu, jika dulu berasal dari Teknik Mesin (MS) dan sekarang di Teknik Mesin masih terdapat pula sub-jur teknik produksi, maka dimana posisi TI saat ini?

TI sendiri banyak berkembang justru dengan ‘melepaskan’ diri dari MS. Secara pengertian, Industrial Engineering is concerned with the design, improvement and installation of integrated systems of people, material, information, equipment and energy. It draws upon specialized knowledge and skills in the mathematical, physical and social sciences together with principles and methods of engineering analysis and design to specify, predict and evaluate the results to be obtained from such systems (sumber: IIE).

Sebagai pendidikan TI tertua di Indonesia, Teknik Industri ITB sekarang terbagi dalam tiga Kelompok Keahlian (KK): Sistem Manufaktur, Manajemen Industri, Sistem Industri dan Tekno-Ekonomi.

Sistem Manufaktur (SM), adalah kelompok keahlian yang ‘menjaga’ asal muasal TI sebagai teknik produksi-nya mesin. Maka, SM berkutat dengan design dan menajemen sistem shopfloor semisal MRP (Manufacture Resource Planning), proses dan sistem manufaktur. Yang membedakan SM dengan Tekprod MS adalah bahwa sudut pandang TI dalam manufaktur sesuai dengan definisi TI, an integral system.

Manajemen Industri (MI), bidang kelompok keahlian yang berada lebih pada level manajemen, bukan ‘shopfloor seperti halnya SM. Bidangnya sangat beragam mulai manajemen yang ‘berbau’ engineering semisal finance atau project management hingga manajemen yang juga dipelajari oleh Jurusan Manajemen (Sosial) semisal SDM, marketing atau organisasi.

Sistem Industri dan Tekno-Ekonomi (SITE), bisa diibaratkan sebuah bidang keahlian diantara shopfloor dan manajemen. Bidang ini identik mathematical-approach, misalnya statistik, operational research (macam teori transportasi, supply chain dll) serta yang terbaru financial enginering. Karena termasuk sangat kuat di bagian matematis, maka banyak mahasiswa yang memilih SITE adalah orang ‘pintar’ (saya lebih suka menyebutnya ‘orang akademis’).

Selain tiga KK diatas, ada juga dulu sebenarnya ‘dua KK’ lainnya (yang dulu berdasarkan Lab), yaitu Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi (PSKE) dan Sistem Informasi dan Keputusan (SIK). Dengan kebijakan 3 KK, maka PSKE masuk ke MI dan SIK masuk ke SITE.

Jika anda jeli, maka ‘dua KK’ diatas sebenarnya memang berbeda dibanding tiga lainnya. Masing-masing KK sebenarnya customized. Maka perubahan menjadi tiga KK bukan hanya karena dekat-tidaknya sebuah bidang dengan bidang lain tapi juga ‘kedekatan personal’ dan ‘ego ilmu’ lah yang akhirnya bicara. Dan bila sudah masuk ke ‘urusan dalam’, kurang etis bila dibicarakan disini.

***

Setelah proses pendidikan di kampus, maka di ‘dunia riil’ seorang industrial engineer secara umum akan dihadapkan pada dua kutub TI yang harus dipilih, hard atau soft TI. Dari pembahasan diatas, hard lebih ke arah engineering yang dalam hal ini menufaktur, design atau shopfloor. Misalnya, bekerja sebagai PPC (Planning and Production Control) atau quality staff di perusahaan manufaktur, atau pekerjaan yang dikesankan ‘keras’ yaitu di pabrik.

Sedangkan soft mengarahkan pada manajemen yang belantara-nya ‘relatif’ sangat luas dan dikesankan ‘lunak’. Mulai dari officer di bank atau policy management di konsultan.

Pun sebenarnya, pembagian itu kurang fair mengingat ada beberapa bagian TI yang tidak bisa dipisahkan menjadi dua kutub begitu saja. Bagaimana dengan seorang project engineer di perusahaan minyak misalnya, yang harus ke lapangan (‘keras’) tapi kerjaanya ‘lunak’. Namun, sekali lagi pembagian itu lebih ke arah generalisasi yang memudahkan saja, antara shopfloor dan manajemen. Dan project engineer tadi, tetap dimasukan ke ranah manajemen.

Dua kutub manufaktur-manajemen ini jugalah yang konon membidani lahirnya Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB. Katanya, jika dulu TI tidak memberikan ‘restu’, maka SBM urung ada. Entah benar tidak, yang jelas SBM sekarang memang banyak digawangi dosen-dosen ‘ex-TI’, khususnya bidang manajemen.

Tentu saja, ini lagi-lagi ada hubungannya dengan ‘kecenderungan kebijakan’ TI ITB pasca 2000 untuk lebih ke manufaktur. Tapi tenang, sekalipun sejak tingkat I hingga IV mahasiswa TI lebih ke arah pendekatan manufaktur, tapi di tingkat IV (dan Tugas Akhir pastinya) banyak sekali daftar mata kuliah pilihan TI bidang manajemen yang leluasa dipilih.

***

Jika kemudian ada sebuah selentingan (atau pembunuhan karakter karena rasa iri?) yang menyebutkan bahwa TI itu tidak jelas, mempelajari semua ilmu ‘dasar’ engineering (mesin, elektro, informatika, material) dan manajemen juga, maka sebenarnya ada juga ilmu-ilmu ‘khas’ TI semisal ergonomi, operational research, rekayasa kualitas atau project management. Dan itulah salah satu ‘kelebihan’ TI yang justru tidak dimiliki oleh bidang non-TI yang langsung spesifik.

Pun bila dikaitkan ‘fakta’ dunia kerja bahwa lulusan S1 itu lebih membentuk paradigma daripada keahlian dan ilmu kuliah yang digunakan di dunia kerja ‘tidak seluruhnya’, maka TI bisa menjadi ‘peletak paradigma’ yang kesempatan selanjutnya masih terbuka. Seorang sarjana TI sesuai minatnya, bisa saja memilih menekuni bidang IT, manafaktur, manajemen atau entrepreneur, dan karena konsep TI yang integral, maka seorang industrial engineer lebih mempunyai nilai lebih karena mempunyai ‘cakupan lebih luas’. Sebagai contoh katanya, sebuah employer akan lebih memilih TI untuk posisi manajemen daripada yang ‘asli’ dari bidang manajemen sendiri.

Maka, seorang TI ibarat gelas yang baru terisi setengah air dan masih terbuka. Kemudian, kesempatan terbuka untuk mengisi setengah-nya lagi dengan bidang yang diminati. Seorang guru besar TI, mengibaratkannya TI adalah ketan yang bisa diubah lebih lanjut menjadi beragam macam jenis makanan.

Salah satu kelemahan TI pastinya, karena ‘pengetahuan kulit’ yang tidak spesifik ke bidang tertentu. Ini harus diakui, juga karena konsep integral itu sendiri. Bila ini tak bisa diimbangi oleh semangat belajar lagi (terus menerus) yang kuat dan keberanian memilih bidang yang mau ditekuni, maka kebingungan mulai menjemput saat di tahun-tahun akhir kuliah.

Bidang TI juga bukan merupakan keilmuan dengan spesifikasi keahlian, semisal elektro, sipil atau bahkan kedokteran. TI seolah 'mengkombinasikan' engineering dengan management. Jadi, pertimbangan masuk TI untuk mendapatkan 'skill khusus' engineering seperti halnya teknik-teknik lainnya jelas salah.

'Kelemahan' lain yang akhir-akhir ini muncul terutama di TI ITB adalah kebijakan mahasiswa baru pada angka lebih dari 200 di tahun ajaran 2006/2007, lebih dari dua kali lipat dibanding 'galur murni' terakhir SPMB 2002. Saya tidak tahu atas dasar apa ‘pengambil kebijakan’ memutuskan tersebut. Apakah ini karena prinsip semata ekonomi, misal melihat demand tinggi karena profil alumni TI mempunyai nilai tambah tinggi dari sudut pandang investasi pendidikan? Atau mungkin karena (lagi-lagi) tentang ‘ego’ akibat ‘jurusan lain’ yang semakin eksis?

***

Satu lagi yang seharusnya dipunyai oleh seorang TI, yaitu leadership (dan semua softskills yang menyertainya). Semua sarjana-profesional memang membutuhkannya, tapi dengan ‘konsep integral’-nya maka seorang TI yang katanya identik dengan manajer jelas-jelas lebih sangat membutuhkan leadership untuk bisa menjadi the real integrator.

Akhirnya, sekalipun saya bukan alumni ‘senior’ setidaknya saya ingin berbagi buat adik-adik TI yang masih di kampus, manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memperkuat sub-bidang TI yang diminati dan asah softskills untuk lebih mempertajamnya. Bukan IP sangat tinggi yang menjadi kunci sukses di dunia pasca kampus, tapi benar-benar konsep integral (dengan softskills) dan continous learning yang menjadi kekuatan TI.

Serta buat teman-teman seperjuangan yang baru saja wisuda*, angka pengangguran terbuka 2007 sebesar 10,55 juta mudah-mudahan tidak bertambah di akhir tahun. Semoga menjadi profil almuni ITB yang baik. Dan Indonesia, membutuhkan orang-orang yang bisa berpikir integral dan sistemik, sangat dekat dengan apa yang kita geluti selama ini: Teknik Industri.

*Wisuda ITB 21 Juli 2007

Friday, July 20, 2007

3 puisi favorit

/1/
AKU
Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


/2/

Kerendahan Hati
Taufik Ismail

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya....
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu....
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri


/3/
AKU INGIN
Sapardi Djoko Darmono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


*Musikalisasi puisi Aku Ingin, silahkan coba disini.
---
Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni. Tapi, mana ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini, adalah puisi. -Kartini-

Katakan dengan puisi..

Tuesday, July 17, 2007

Belajar mengelola keuangan

Salah satu gejala yang biasanya terjadi di kalangan anak muda yang sudah berpenghasilan adalah meningkatnya kebutuhan hidup, alias bertambahnya pengeluaran. padahal, sebelum berpenghasilan sendiri (dari kiriman ortu), dia biasanya bisa hidup dengan 'seadanya', namun ketika sudah bisa 'mandiri', pola hidupnya pun sedikit demi sedikit berubah.

Ada bebarapa hal yang bisa dijadikan langkah-langkah untuk mengelola keuangan, terutama bagi kalangan yang masih 'panjang hidupnya' dan di sisi lain adanya mental 'kecukupan mendadak' setelah berpenghasilan sendiri.

Pertama, 50 persen pendapatan. maksudnya, belanjakan maksimal 50% dari pendapatan/penghasilan (take home pay). konsep ini melatih untuk selalu hidup di bawah kemampuan maksimal-nya. karena tidak selalu roda kehidupan berada di atas, ada kalanya di bawah dan kondisinya terjepit. jika kita bisa berpenghasilan 1 bulan, maka dengan 50% pendapatan, itu cukup untuk hidup 2 bulan. jika 3 (bulan atau tahun), maka 6 (bulan/tahun). itulah contoh praktisnya.

Dari konsep diatas, maka minimal 50% penghasilan akan menjadi tabungan (saving). minimal, jadi bisa saja lebih besar nominal yang harus disimpan daripada yang dibelanjakan. dengan tabungan atau simpanan ini, maka memicu adanya tindakan berikutnya.

Kedua, investasi, dan investasi. Landasan paling mendasar investasi (di sektor riil) adalah nilai uang yang terus menurun sejalan dengan waktu (time value of money). sekalipun besar tabungan, nilai tukar riil jumah yang besar tersebut akan berkurang seiring waktu berjalan. katakanlah besar bunga (interest) atau bagi hasil (profit sharing) dari lembaga keuangan maksimal 6% per tahun, sedangkan inflasi tahunan rata-rata 8%, maka nilai uang yang disimpan tersebut secara nilai tukar akan turun 2%.

Selain pertimbangan time value, ada pertimbangan lain yaitu ikut menggerakan sektor riil dan sosial. Sektor riil merupakan lapangan usaha yang bergerak di tengah masyarakat. sektor riil tidak berkaitan tepat langsung dengan makro ekonomi yang diwakili oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, GDP (Gross Domestic Product), neraca pembayaran dll, atau dengan perangkat-perangkatnya semisal bursa saham. Bisa saja terjadi, GDP sebuah negara tinggi dengan IHSG yang fanstastis namun sektor riil-nya tidak bergairah. hal itu mungkin disebabkan investasi baru (riil) tidak terjadi dan hanya 'permainan' jual/beli saham (atau alat tukar keuangan lainnya) semata.

Alasan sosial investasi, karena biasanya teman atau kerabat dekat yang merintis usaha baru membutuhkan modal usaha atau investasi, dimana lembaga keuangan formal kemungkinan besar akan menilai tingkat kelayakan atau kepercayaan (reliability) yang rendah terhadap usaha-usaha yang baru dirintis tersebut. Tentu, bukan berarti investor non-lembaga keuangan tidak berhitung resiko. Alangkah sayang, jika pengorbanan yang dilakukan dengan konsep 50% tadi diakhiri dengan investasi tiada hasil bahkan hilang pula pokoknya.

Sepertinya, masalah investasi akan dibahas lebih detil dalam tulisan yang lain nantinya, karena ada beberapa hal yang harus sama-sama diperhatikan dalam berinvestasi, yaitu profitability (keuntungan), durability (ketahanan), dan yang paling penting keberkahan.

Jadi, yang lebih penting saat ini bagaimana menjalankan konsep 50% sehingga mampu menyisihkan uang sebanyak-banyaknya (investasi dalam nominal 'kecil', tentu sangat jarang), dan kemudian berpikir untuk investasi. pertanyaan-nya kemudian, berapa jumlah minimal penghasilan sehingga konsep 50% bisa berjalan?

Pertanyaan tersebut memberikan jawaban yang subyektif karena 'standar' setiap orang berbeda. seorang buruh pabrik di jakarta mungkin akan berpenghasilan sekitar 1 juta (sesuai UMP) dan dengan beberapa tambahan hingga taruhlah 2 juta sampai ke rumah (take home pay). ada lebih banyak yang di bawah angka tersebut, tapi tidak sedikit pula yang diatasnya. menurut saya, angka 2 tersebutlah (ada teman yang menyebut 1,5) yang bisa dijadikan batas bawah biaya hidup di kota besar (baca: Jakarta).

Kemudian, konsep 50% bergerak dari batas bawah tersebut. Misalnya, jika berpenghasilan 2,5 juta, maka 500 ribu setidaknya bisa disimpan. dan jika 10 juta, maka belanja maksimal harus 5 juta. sekali lagi, semua terserah pada personal karena 'standar hidup' masing-masing berbeda, antara seseorang single atau married, yang sudah menikah antara dua-duanya bekerja atau salah satu, dan antara tinggal jakarta atau jogjakarta. Angka 2 tentu menjadi besar buat mantan mahasiswa rantau yang pernah bisa hidup dengan 500 ribu/bulan (diluar biaya kuliah+kontrakan), atau menjadi tak berarti karena 2 juta itu juga sudah habis buat BBM mobil (apalagi tol, parkir dll).

Namun, disitulah sebenarnya kita harus mengukur diri, dimana sebenarnya kita berada. Esensinya adalah, paradigma dan kepandaian kita dalam mengelola keuangan dan sebisa mungkin menyisihkan sebagian penghasilan. Dan jangan sampai, seperti pepatah, Besar Pasak Daripada Tiang. Penghasilan besar, memang membuka peluang bisa menyimpang lebih besar. Itu benar, tapi tidak selamanya menjamin. Yang lebih pasti, besar penghasilan akan mendorong manusia untuk lebih banyak pengeluaran.

Akhirnya, bukan besar kecilnya penghasilan, namun seberapa besar yang bisa disimpan. Dan sebaiknya, memberikan 'buah tangan' kepada ibu, sekalipun beliau masih mampu, karena akan membahagiakan beliau dengan kondisi anaknya. Serta jangan lupa, kewajiban zakat dan atau infaq yang harus ditunaikan.

Selamat belajar mengelola keuangan!

Thursday, July 12, 2007

Blogless??

Beberapa hari lalu, dalam googling saya menemukan fenomena yang membuat sedikit sedih. Begini ceritanya.

Sebuah blog yang berisi lowongan pekerjaan (loker) menawarkan loker dari sebuah BUMN, dan seperti biasa di bagian akhir setelah perkenalan perusahaan dan requirements, ditampilkan alamat email perusahaan tersebut untuk memasukan lamaran pekerjaan. Sangat jelas alamat mailnya, bahkan di bold.

Yang membuat saya heran, ternyata para pengunjung yang saya tebak sebagian besar adalah job-seeker menuliskan surat lamaran dengan perkenalan diri, pengalaman kerja dan lainnya dalam komen di blog tersebut. Saya tidak habis pikir, itu kan blog?? Kalau mau melamar ya ke email yang tertera disitu. Atau kalau sedikit advanced, googling untuk menemuka profil perusahaan lebih jelas. Sebegitunya kah 'gaptek' dengan dunia weblog masa kini?

Ini sebagai salah satu contoh 'lamaran yang salah' itu:

Hal : Lamaran Pekerjan.

Kepada Yth,
Manager HRD
PT. xyz
Di
Tempat.

Dengan Hormat,

Saya berminat melamar pekerjaan di Perusahaan yang anda pimpin dengan segenap kemampuan dan tanggung jawab yang saya miliki untuk memberikan kontribusi yang terbaik pada Perusahaan. Saya lulusan Teknik Mesin di Universitas *** tahun 2007. Saya mempunyai motifasi yang tinggi dalam bekerja, dapat berkomunikasi dengan baik, dapat mengoperasikan computer (MS. Office) dan memiliki interpersonal yang baik. Sebelumnya saya Pernah Kerja Praktek Lapangan di Migas Cepu. Semoga pengalaman Kerja Praktek saya bisa menjadi pertimbangan untuk Bapak/Ibu agar menerima saya.

Demikian harapan saya. Semoga Bapak/Ibu berkenan memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti seleksi selanjutnya hingga diterima di perusahaan Anda. Atas Perhatian Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya

Heru B. P
(08522505****)

Tentu jika kita melihat disana, lebih menyedihkan lagi. Karena yang melamar itu mengaku (kerena kita tidak bisa menjamin itu asli atau tidak) berasal dari universitas-universitas ternama (baca: negeri) di negara kita. Saya tak perlu menyebutnya, silahkan anda menengok sendiri. Mereka kan sarjana, di kampus pun pasti saya yakin ada fasilitas internet (hare gene!). Kalau itu masalah familiarisasi, that's another story. duh, temanku.., temanku...!!

Hal itu tentu saja semakin meneguhkan fakta bahwa pengguna internet di Indonesia rendah. Ok, mungkin penetrasi tinggi karena pasar atau jumlah penduduk yang masih terbuka, tapi sampai ke tahap 'melek internet' masih belum tinggi, bahkan di tahap lulusan sarjana sekalipun.

Kembali ke blog loker tersebut, seorang kawan mengatakan bahwa kita juga harus memahami psikologis job-seeker, dimana suatu waktu bisa saja dalam posisi 'kalap'. Jika sudah dalam kondisi itu, maka 'segala cara' bisa ditempuh. Mengirimkan mail ke perusahaan iya, meninggalkan jejak di komen blog juga iya.

Tapi, setidaknya anak 'kampus ganesha' tidak ada yang 'nyasar' disitu. Sangat-sangat kebangetan, kalau di kampus internet sudah barang keseharian dan murah, lalu blogosphere dan liku-likunya masih juga tidak dimengerti.

Dan sayangnya,
salah satu institut ternama lainnya yang konon 'langganan robot' ada yang 'nyasar' di loker itu. Kasihan sekali saudara..!! -no offense-

Monday, July 09, 2007

Togamas dan The Corner

Jika harus memilih, manakah yang ingin anda lakukan untuk membeli buku? Membeli buku di sebuah toko buku besar terkenal yang pastinya lengkap, membeli buku online yang sudah mulai banyak terutama di kota-kota besar, atau membeli buku di took buku yang tidak besar tapi menyajikan suasana book-shopping khas.

Untuk alasan emosional yang sangat, saya pribadi memilih untuk melakukan pilihan terakhir, pergi ke toko buku yang mampu menyajikan suasana khas: hangat, rapi, segar dan bersahaja. Maka hati saya pun kemudian jatuh ke Togamas, sebuah jaringan toko buku modern yang cukup lengkap, ‘tidak besar’ dan berdiskon, serta masih bisa menyajikan suasana tersebut.

Pilihan-nya sebenarnya tidak hanya sebuah Togamas jika kita bicara tentang masalah nyaman, atau kekhasan. Karena toko-toko buku komunitas yang mulai tumbuh saat ini pun menyajikan suasana khas tersebut, misalnya di Bandung ada Ultimus atau Tobucil yang terkenal. Dan jika tentang ikatan emosi komunitas buku, toko-toko buku alternatif seperti ini tak perlu dipertanyakan melalui kegiatan diskusi buku dan lain-lainya yang sangat beragam.

Tapi tentang kelengkapan, kenyamanan dan suasana ‘khas’ dimana setiap orang punya warna sendiri tentu bukan sebuah kesalahan penilaian. Dan Togamas, mau tidak mau saat ini memenuhi warna selera saya dalam menikmati buku. Dimulai saat singgah di Jogja pasca SMU, lalu saya menikmati masa-masa pembukaan awal Togamas Bandung. Kemudian saat ini, karena di Jakarta belum ada Togamas, maka setiap kesempatan ke Bandung rasa-rasanya tak akan terlewat untuk mampir ke Togamas.

Lalu, suatu saat saya menemukan blog ini menjadi salah satu dalam blogroll di weblog Togamas. Wow, tentu hal yang menggembirakan mengetahui hal tersebut. Padahal blog ini isinya ‘gado-gado’. Rasanya seperti menginginkan sesuatu, dan kemudian berhasil mendapatkannya. Benar-benar menyenangkan!

Berbicara tentang toko buku dengan nuansa-nya, maka sebenarnya di dalam alam bawah kesadaran saya tertancap sebuah deskripsi toko buku menarik mirip seperti dalam film terkenal masa lalu, You've Got Mail. Film tahun 1998 yang dibintangi Tom Hanks dan Meg Ryan ini bercerita tentang intrik bisnis (toko buku) dan pribadi dengan media perantara internet.

Kathleen Kelly (Meg Ryan), mempunyai toko buku kecil turun-temurun keluarga yang bernama Shop Around The Corner. Di toko buku yang terletak di sebuah kawasan pojok jalan ini, tidak hanya aktivitas memajang buku dan membeli buku biasa, namun ada kegiatan yang berhubungan dengan buku, misalnya yang tergambar di film itu adalah mendongeng bagi anak-anak. Sebuah toko buku yang bersahaja.

Lalu kemudian Joe Fox (Tom Hanks), seorang anak jutawan yang mempunyai jaringan toko buku besar Fox Book, membangun toko buku baru di kawasan tersebut. Lalu bisa ditebak, toko-toko buku kecil di kawasan itu seperti halnya The Corner pun mulai surut pengunjung.

Dan melalui sebuah internet, mereka secara ‘tak sengaja’ berkenalan di internet lewat dunia chatting dan email hingga tumbuh benih kasih diantara mereka. Kelly pun berbagi cerita tentang toko bukunya, dan toko buku baru besar yang mulai mengancam eksistensi The Corner. Namun mereka tak saling tau wajah, walau akhirnya Joe mengetahui lebih dulu daripada Kelly lewat janji dinner yang ‘dikhianati’ Joe.

Joe sendiri pernah mengunjungi The Corner dan rasa-rasanya mengadopsi ‘sebuah toko buku yang hidup’ untuk toko bukunya yang besar itu. Sedang Kelly hanya menumpahkan kekesalan, tanpa pernah sekalipun mengunjungi Fox Books. Hingga suatu hari dia berani mengunjungi dan menyaksikan bahwa Fox mampu menghadirkan sebuah nuansa toko buku yang lebih hidup daripada The Corner. Fox menyediakan sarana nyaman untuk anak-anak atau pengunjung untuk membaca buku sepuasnya di toko buku. Dan akhirnya, mereka berdua pun ‘bertemu’ di dunia nyata sesungguhnya.

Dan sejak menonton film itu hingga sekarang, masih lekat keinginan untuk mempunyai atau aktif dalam kegiatan buku seperti dalam film itu. Hingga nantinya mungkin bisa memiliki sebuah toko buku sendiri, sekalipun pasti sulit. Dan Togamas, sedikit banyak mampu mengobati rasa itu sekarang. Tapi suatu hari nanti, keinginan itu bisa saja diawali di rumah masa depan, dengan sebuah taman bacaan untuk anak-anak di sekitar rumah.

Jadi jika anda penikmat buku dan pencandu internet, You’ve Got Mail rasa-rasanya menjadi sebuah film yang ‘pantas’ ditonton. Jangan anda bayangkan adegan ‘risih’, karena hampir semua film Tom Hanks tergolong ‘aman’.

Internet dan (toko) buku, memang sebuah pasangan yang sangat menarik. Mungkin seperti secangkir teh hangat dan pisang goreng, sembari duduk menikmati senja sebuah kota. Hmmm... nikmat!!

Tuesday, July 03, 2007

Edensor, titik balik Andrea?

Edensor, buku ketiga tetralogi Laskar Pelangi ini dimauli di bagian-bagian awal dengan review kehidupan Ikal di Belitong, bekerja di Bogor hingga kemudian mendapatkan pengumuman beasiswa dari Uni Eropa. Kemudian, perjalanan marangkai mozaik kehidupan di Eropa pun dimulai.

Merasakan pengalaman menyedihkan saat malam pertama di Eropa yang dingin menjadi awal yang mengesankan. Suasana kuliah science economi dengan karakter teman dari ragam bangsa berbeda menjadi bumbu menarik. Dan yang paling inspiratif, petualangan dahsyat berkeliling Eropa dan sedikit menyusur Afrika yang dilakukan Ikal dan Arai -yang menjadi taruhan bersama, adalah bagian terbesar dari kisah Edensor ini.

Seperti halnya Laskar Pelangi (LP) dan Sang Pemimpi (SP), banyaknya sajian metafor ilmiah memberi warna tersendiri novel Andrea ini. Andrea adalah seorang ekonom, tapi ketertarikannya pada fenomena-fenomena fisika, biologi dam astronomi tersaji kembali dalam Edensor, sekalipun tidak sebanyak SP apalagi LP. Tapi Edensor lebih dilengkapi beberapa gambar menarik misal impossible triangle-nya Oscar Reutersvärd. Dan pastinya, kelucuan serta warna cinta anak muda pun menjadi penyedap manis dalam novel ini.

Namun, jika LP punya Bu Mus, SP ada Pak Balia, maka Edensor praktis tak menambah daftar orang yang benar-benar sangat menginspirasi Ikal. Mungkin juga karena Edensor adalah ’rangkaian mozaik’ yang akhirnya mulai membentuk montase. Sorbonne, Andrea Galliano, Afrika dan beberapa lagi adalah montase yang tersusun dari mozaik masa lalu Ikal. Edensor sendiri, nama sebuah desa di pinggiran Sheffield yang terdeskripsi pada buku hadiah A Ling saat meninggalkan Ikal, akhirnya terwujud nyata dalam akhir novel ini.

***

Saya sebenarnya sangat tidak mempunyai ketertarikan besar untuk menulis tentang Edensor ini seperti halnya ketertarikan saya saat me-review LP dan SP. Satu, karena saya tidak merasakan euforia Edensor, sedang SP saya sangat merasakannya karena mendapatkan langsung SP dari Andrea di sebuah kafe di Bandung sebelum buku beredar. Kedua, saya sudah banyak mendapatkan review Edensor di beberapa blog, misal di koordinator IMB, tukang review tanzil, perca atau seorang kawan. Ketiga, beberapa pendapat menyebutkan Edensor tak lebih bermuatan dan lebih tipis daripada dua pendahulunya.

Tapi, rasa-rasanya menjadi ’kewajiban’ untuk mereview singkat (sangat singkat dibanding LP atau SP), sehingga tetralogi bisa terjalin disini. Selain itu, sebuah ’polemik’ tentang Edensor di sebuah milis sastra menjadikan saya semakin ’gatal’ jika tak ikut menulis tentangnya.

Polemik dibuka dengan artikel Jakob Sumarjo di kompas, dan sebagai narasumber diskusi Edensor offline di Bandung. Opini itu ’melawan arus’, ditengah banyak sastrawan yang memuji novel-novel tetralogi LP.

Ada dua alasan utama, mengapa Jakob Sumarjo ’mengkritisi’-nya. Pertama, alur waktu. Pembaca yang jeli akan menemukan kebingungan tentang alur waktu, SD-SMP-SMU yang dialami anak sekolahan ataupun gurunya. Yang paling terlihat, saat seorang anak cerdas SD yang mengenal banyak sekali pengetahuan diluar kemampuannya pada zamannya itu.

Kedua, logika cerita. Jika diamati lebih teliti, maka ada logika yang 'janggal' dalam novel ini. Saya menemukan dua yang nyata, yaitu saat Arai dan Ikal tiba di Bogor kemudian duduk di depan KFC, mereka tak tahu arti dalam indonesia Kentucky Fried Chicken, padahal Arai disebutkan sangat jago bahasa inggris (Sang Pemimpi). Lalu di Edensor seperti yang ditemukan juga
Hermawan Aksan, Ikal dan Arai dari Finlandia masuk ke Rusia timur untuk memulai petualangan yang akan berakhir di Rusia barat. Padahal Rusia yang berbatasan dengan Eropa tentu adalah Rusia barat.

Dari keduanya saya mengumpulkanya dalam alasan yang paling parah. Yaitu subyek Andrea-sebagai Ikal yang menggambarkan kondisi masa lampau (Ikal kecil-muda) dengan masa sekarang, apa yang ada dalam Ikal sekarang. Tentu itu hal yang sangat-sangat tidak wajar, dan penuh ilusi.

Seorang teman yang sedang membaca Edendor, ketika saya tunjukan beberapa kejanggalan diatas berontak dan mengatakan bahwa saya telah mengurangi sense­-nya dalam menikmati Edensor. Saya sepakat bahwa sebuah sastra dibuat untuk dinikmati. Dan tetralogi LP adalah sebuah fiksi realis, bersandar pada realita yang dibumbui sana-sini. Jadi bagaimanapun, unsur kewajaran sebenarnya juga sangat penting dalam sebuah fiksi realis.

Kritikan yang paling ’konstruktif’ ada di bagian akhir tulisan Jakob Sumardjo tersebut. Beliau sangat keberatan atas berbagai sanjungan dan pujian yang diberikan kepada Andrea dengan fenomena novel-novelnya. Terutama, beliau sangat keheranan ketika pujian berlebih itu datang dari sesama satrawan ’besar’ tanpa sedikitpun menunjukan titik lemah dari buku-buku tersebut.

Luar biasa, sebuah opini yang sangat bagus telah disampaikan Jakob Sumarjo. Saya pikir, opini tersebut seakan menjadi antitesis yang konstruktif bagi insan sastra, pembaca dan pastinya Andrea Hirata. Opini tersebut mewikili semangat anti kemapanan, untuk memberikan hasil yang lebih baik di masa depan. Ibaratnya, menggempur kembali bangunan yang sudah terlanjur tinggi namun keropos, untuk kembali mendirikan bangunan sastra yang tidak hanya tinggi tapi kokoh berisi.

Kemudian akhirnya saya mengambil kesimpulan, bahwa sebaiknya kita memang harus memilah jauh antara cerita dan logika jika kita hanya ingin benar-benar menikmati sastra, terbuai dengan alur cerita dan kata-kata indahnya. Tapi bukan kesalahan jika kita bisa, untuk selalu kritis terhadap apapun yang terbaca.

***

Andrea Hirata sendiri, orang yang (dulu) saya kenal cukup dekat, sejak kehebohan LP cs telah menjadi selebritas baru. Sebutan pamoritas, sudah mulai disematkan beberapa orang ke Andrea dan bukunya. Terlepas dari profesionalitas, sejam seorang Andrea berbicara kini sudah bertarif n juta rupiah dengan diatur suatu manajemen modern. Padahal dulu, saya mengajaknya duduk lesehan di sebuah labtek kampus untuk diskusi LP yang pastinya free of fee.

Waktunya pun mungkin lebih sibuk, weekend di diskusi sana-sini. Padahal dulu sering hampir setiap waktu saya (atau dia) sms, kami pun tak berapa lama bisa bertemu. Di cafe, koridor masjid kampus, kantin, jalanan, masuk kantornya di telkom atau bahkan di rumah kontrakan mungil saya.

Yang ditakutkan oleh pekerja seni tentang popularitas adalah cobaan ’kreativitas’, kualitas-lah yang akhirnya menjadi korban. Beberapa opini mumcul bahwa Edensor banyak dinilai ’kurang greget’ dibandingkan Sang Pemimpi, dan makin jauh lagi daripada Laskar Pelangi. Buku, bagaimanapun tetap mempertimbangkan hukum pasar, keberterimaan buku di pasar. Apalagi hanya sekedar ’mendompleng’ succes story edisi-edisi sebelumnya untuk mendongkrak penjualan.

Tapi saya pribadi masih yakin, sosok Andrea tetaplah hangat dan ramah sekalipun saya jarang lagi bertemu dengannya. Selalu punya perhatian spesial kepada setiap teman-temannya sehingga temannya bisa merasakan pada waktu tertentu, seolah-olah Andrea hanya perhatian padanya.

Hingga suatu petang hari saya terakhir bertemu dengannya, di sebuah toko buku komunitas dengan dikelilingi persiapan milad sebuah parpol di luar kami sekitar satu setengah bulan lalu, saya masih menemukan kehangatan disana. Kalimat yang saya ingat darinya: jangan melepaskan nuri di tangan sebelum rajawali di angkasa diraih.

Dan hari ini saya berharap, Andrea tetaplah seorang teman yang baik dan inspiratif. Semoga.