Rumah mungil itu ada di tepian. Berwarna ceria, bahkan cerahnya pun bisa menerangi kegelapan orang yang melihatnya. Itu bukan rumah yang besar, namun senantiasa asri dengan taman kecil dan sebuah dudukan beratap diantaranya. Dan lihatlah, sebuah pintu selalu menampakan sapa ramah kepada pengunjungnya. Hanya dengan melihatnya, semua orang telah dibuat kesan olehnya.
Rumah mimpi, demikian orang biasa menyebutnya. Begitulah pemiliknya memberinya nama. Konon, karena mimpi lah rumah itu dibangun. Mimpi sejak pertama kali membayangkan sebuah rumah, yang akan berada diantara langit dan gunung. Gunung adalah puncak dunianya, sedangkan langit tujuan abadinya. Gunung selalu menghadirkan kesejukan, penuh khidmat dalam keteguhan tekadnya, dan langit adalah tempat bagi semuanya bernaung, siapapun dia.
Dan di rumah mimpi, semua orang bebas untuk bermimpi. Bahkan ketika masuk pun, sesegera semuanya diajak untuk bermimpi. Bermimpi tentang hidupnya, tentang tujuannya dan tentang cintanya. Mimpi yang mengurai kesedihan pun tak dicegah. Semua bebas bermimpi, pun untuk memulai menuju mimpi itu. Bukankah semua bermula dari mimpi?
Tapi, tak semua orang suka bermimpi. Bahkan mereka cemas, semakin bermimpi semakin takut mereka untuk bangun. Karena tak berani melihat kenyataan, mereka pun membenci mimpi. Hanya anak-anaklah yang masih bermimpi. Ya...anak-anaklah yang senantiasa membangun mimpi-mimpi panjangnya.
Maka, rumah mimpi adalah rumah dengan banyak ragam mimpi anak-anak di dalamnya. Bisakah membayangkan, bagaimana mereka mengukir pahatan mimpi mereka? Diawali dengan mencermati banyak dongeng dan bingkai cendekia, lalu mulailah menggores tinta mimpi, membangunkan tempat mimpinya, membuatnya langit-langit hingga mewarnainya dengan indah. Indah sekali mimpi mereka, indah sekali. Dan bila sesekali mereka menumpahkan noda di atas kanvasnya, tetap saja itu sebuah lukisan mimpi yang indah.
Maka di rumah mimpi mereka mewujudkan imaji sehebat-hebatnya. Bersama bidadari, mereka seperti peri-peri kecil yang berterbangan mengitari permata mahligai sang nakhoda. Membawakan satangkup cinta, dalam cendawan penuh asa dan segenggam noktah maaf untuk terus disemaikannya. Begitu indah itu semua di rumah mimpi.
Dan bagi diriku, rumah mimpi serasa telah menghentikan waktu.
Rumah mimpi, demikian orang biasa menyebutnya. Begitulah pemiliknya memberinya nama. Konon, karena mimpi lah rumah itu dibangun. Mimpi sejak pertama kali membayangkan sebuah rumah, yang akan berada diantara langit dan gunung. Gunung adalah puncak dunianya, sedangkan langit tujuan abadinya. Gunung selalu menghadirkan kesejukan, penuh khidmat dalam keteguhan tekadnya, dan langit adalah tempat bagi semuanya bernaung, siapapun dia.
Dan di rumah mimpi, semua orang bebas untuk bermimpi. Bahkan ketika masuk pun, sesegera semuanya diajak untuk bermimpi. Bermimpi tentang hidupnya, tentang tujuannya dan tentang cintanya. Mimpi yang mengurai kesedihan pun tak dicegah. Semua bebas bermimpi, pun untuk memulai menuju mimpi itu. Bukankah semua bermula dari mimpi?
Tapi, tak semua orang suka bermimpi. Bahkan mereka cemas, semakin bermimpi semakin takut mereka untuk bangun. Karena tak berani melihat kenyataan, mereka pun membenci mimpi. Hanya anak-anaklah yang masih bermimpi. Ya...anak-anaklah yang senantiasa membangun mimpi-mimpi panjangnya.
Maka, rumah mimpi adalah rumah dengan banyak ragam mimpi anak-anak di dalamnya. Bisakah membayangkan, bagaimana mereka mengukir pahatan mimpi mereka? Diawali dengan mencermati banyak dongeng dan bingkai cendekia, lalu mulailah menggores tinta mimpi, membangunkan tempat mimpinya, membuatnya langit-langit hingga mewarnainya dengan indah. Indah sekali mimpi mereka, indah sekali. Dan bila sesekali mereka menumpahkan noda di atas kanvasnya, tetap saja itu sebuah lukisan mimpi yang indah.
Maka di rumah mimpi mereka mewujudkan imaji sehebat-hebatnya. Bersama bidadari, mereka seperti peri-peri kecil yang berterbangan mengitari permata mahligai sang nakhoda. Membawakan satangkup cinta, dalam cendawan penuh asa dan segenggam noktah maaf untuk terus disemaikannya. Begitu indah itu semua di rumah mimpi.
Dan bagi diriku, rumah mimpi serasa telah menghentikan waktu.
4 comments:
mau membuat rumah seperti itu dijakarta dan sekitarnya? emang benar-benar mimpi
seperti dalam novel Sang Pemimpi, tampaknya setiap orang harus mempunyai mimpi untuk membuatnya tetap semangat mencapai keinginannya
mir, yang saya yakini, rumah mimpi bisa diciptakan dimanapun kita berada.
dan benar mas galuh, manusia harus punya mimpi untuk menuju cita-citanya.
*tks for visiting
karena dengan mimpi, manusia mulai melangkah
tanpa mimpi, bisakah ia tetap hidup?
*mo ngikutin jejak mas ikal ya??
Post a Comment