Saturday, April 20, 2013

29 Tahun

Hari ini adalah hari pertama saya setelah memasuki 29 tahun usia yang diberikan. Kemarin tidak ada yang istimewa sebagai hari lahir, kecuali keluarga terdekat yang tahu dan memberi ucapan. Salah satu mungkin karena saya set hide tanggal lahir di media sosial macam Facebook. Selain itu, mesin-mesin dari asuransi, bank, sekuritas, dealer mobil, kaskus dan telkomsel-lah yang paling rutin memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada saya.

Hari lahir adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi kondisi dan capaian seseorang. Namun demikian, saya agak 'sedikit' melanggar komitmen yang pernah dibuat 5 tahun lalu bahwa blog tidak untuk menulis terlalu personal. Mudah-mudahan tulisan 'sedikit' personal ini bisa memberikan pelajaran bagi yang lain. Saya akan banyak menulis apa yang sudah lewat, karena yang masih rencana masih menjadi cerita pribadi saya.

Mengutip Suze Orman yang show CNBC nya akhir-akhir ini saya sukai, saya akan melihat diri saya menggunakan quote-nya; people first, then money, then things. 


People
Alhamdulillah.. atas apa yang saya dapatkan. Diberikan keluarga terdekat, bunda dan safa, yang memberikan dukungan atas apa yang saya lakukan. Momen long distance relationship di 2 tahun awal keluarga diganti dengan kesibukan 2 tahun lebih masa studi dan sertifiikasi sampai bulan ini. Pun yang akan dilakukan selanjutnya untuk pengembangan diri, insyaAllah mereka akan mendukung. Begitu pula saya mendukung keduanya untuk pengembangan diri, kecuali saya gagal mendorong bunda untuk mengajar di perguruan tinggi dan melanjutkan S3 :).

Apa yang saya tergetkan sebelum usia 30 sudah mendapat S2 sudah tercapai, dan bahkan mendapat 'bonus' sertifiikasi. Dealing dengan semuanya, S2 dalam negeri dan beasiswa adalah pilihan terbaik menurut saya saat itu. Toh bukan masalah dari dalam atau luar, tapi yang utama sejauh mana pemahaman akan materi, yang didukung oleh predikat nilai dan lulusan terbaik. Apakah berhenti sampai disini? Dengan usia yang cukup, saya masih ingin sekolah di luar negeri, jika tidak dengan beasiswa maka semi self-funded bisa menjadi opsi, yang artinya pendapatan dan tabungan harus cukup.

Money
Alhamdulillah.. atas apa yang Allah titipkan pada saya. Rezeki yang cukup, tidak banyak dan tidak pula sedikit. Banyak orang melihat semua tentang keuangan baik-baik saja, tapi sebenarnya tidak begitu amat, apalagi sejak akhir tahun lalu saya memutuskan untuk mulai ikut dalam usaha riil sehingga proporsi kas dan setara kas saya turun drastis hanya sekitar 5% total aset. Rumah, kendaraan dan aset (serta utang) cukup melihat usia saat ini (saya berpikiran untuk membandingkan porsi jenis aset antara saya 25 dan 30 tahun). 

Bagaimana dengan uang masa tua? Suze dalam setiap show-nya selalu menekankan untuk menyiapkan masa tua sebaik-baiknya. Yang pasti usaha riil yang baru dirintis adalah salah satunya, bukan hanya masa tua tapi juga mengurangi kebergantungan hanya pada pekerjaan (dan pastinya bermanfaat bagi lingkungan daerah). Dan saya sekarang tidak pernah mengotak-atik investasi pensiun yang ada dalam bentuk dana pensiun, jamsostek, dan reksadana, jadi dianggap 'uang hilang'. Lagi-lagi dengan usia yang masih produktif, apakah cukup terima dengan kondisi pendapatan dan keuangan saat ini? Saya jawab tidak, yang membuktikan manusia memang selalu merasa kurang.  

Things
Jujur saya tidak terlalu obsesif dengan barang-barang, sehingga barang-barang di rumah pun biasa-biasa saja. Walaupun mobil saya juga bukan Avanza yang sejuta umat, tapi saya selalu melihat barang dalam tiga prioritas parameter: kondisi keuangan, fungsi, dan value for money. Jika sebuah barang lolos 2 paramater awal, maka harus dilihat apakah dengan harga tersebut sesuai dengan 'kualitas' yang diberikan. Hasilnya, saya belum punya tablet dan hape saya belum ganti sejak lebih 2 tahun lalu. Dan setelah lolos tiga paramater, mungkin saya harus menambah rumah setelah rumah pertama tahun 2008, karena konon jika bisa setiap anak diberikan persiapan 1 rumah.

Bagaimana dengan pekerjaan? Saya cukup puas dengan pekerjaan yang saya lakukan, dengan pengembangan dan kesempatan yang diberikan sampai beberapa kali berpartisipasi dalam event di dalam dan luar negeri. Memang selalu ada negative sides, dari sisi perusahaan atau benefit yang didapat melihat apa yang saya punya, tapi saya yakin ini adalah proses. Intinya adalah, never fall in love with your company, love your profession. Tapi ada juga yang menyeletuk seperti kata Justin Bieber, "Never say never.."

Di akhir catatan ini, izinkalah saya mengutip sebuah do'a yang dipanjatkan para pemuda Kahfi ketika berlindung di dalam gua, kemudian ditidurkan oleh Allah Swt selama 309 tahun qomariyah. "Robbana atina min ladunka rohmatan, wa hayyi' lana min amrina rosyada.."


Menurut guru ngaji saya semasa kuliah yang lulusan sastra arab, rosyada itu kematangan atau kedewasaaan. Google translate mengartikannya rasional. Semoga dengan usia bertambah, semakin bertambah pula kedewasaan, amin.  Mohon maaf atas kesalahan, dan terima kasih atas semua do'a dan dukungannya.

Thursday, April 18, 2013

Certified Cost Engineer (CCE)

Sudah bagian dari rencana ketika dipindahkan ke Jakarta sejak awal 2011 untuk mengambil salah satu sertifikasi bidang Project Management (PM). Setelah dinyatakan lulus dalam sidang MM, maka selanjutnya adalah melaksanakan rencana tersebut. Salah satu yang terkenal adalah PMP (Project Management Professional), namun dengan dalih ingin yang lebih spesifik dari bidang PM, maka saya mengambil CCE yang masih berhubungan dengan pekerjaan, minat dan pendidikan S2.

Untuk mengambil sertifikasi CCE dan sertifikasi PM yang lain, sangat disarankan untuk mengambil kelas persiapan yang banyak diadakan oleh penyelenggara training. Pilihan sudah dijatuhkan sejak 2011 lalu pada PT Mitratata dengan instruktur Dr. Paul D. Giammalvo.
 
Persiapan sertifikasi ini dimulai selama kelas 5 hari full dari pagi sampai jam 8 malam karena harus mengerjakan project charter untuk digunakan secara kelompok selama distance learning. Tahap berikutnya distance learning selama 6 bulan dengan target melaksanakan tugas-tugas sesuai project charter dengan laporan setiap minggu.
 
Selama distance learning ini, biasanya beberapa dari anggota awal tidak bisa mengikuti irama tugas sehingga dipecat dari kelompok. Jika dipecat dari kelompok, maka otomatis tidak bisa mengikuti sesi kelas 3 hari sebagai wrap-up sebelum melaksanakan ujian sertifikasi masing-masing. Walaupun dipecat selama distance learning, yang bersangkutan masih bisa mengikuti sendiri ujian tanpa bimbingan lanjut dari Dr Paul. Namun, anggota yang dipecat ini masih bisa mengikuti kelompok batch selanjutnya dan diberi kesempatan sampai 1 kali pengulangan.
 
Saya pribadi merasa tidak ada perbedaan pola hidup karena sudah terbiasa dengan pola studi selama pasca sarjana, hanya melanjutkan dan malah lebih santai karena tidak harus pulang sampai rumah jam 11 malam. Tugas-tugas dikerjakan setelah Jam 9 malam atau di akhir pekan. Tidak jarang juga beberapa tugas disambi dikerjakan di kantor.
 
Lalu, apa yang menarik dari CCE ini? Mengutip dari web AACE, syarat seseorang lulus CCE adalah;
 
1. Industry Experience; At least 8 full years of professional experience, of which up to 4 years may be substituted by a college/university degree.
 
2. Submit Applications and Fee; There are three steps in making a complete application for the CCC/CCE exam: Apply & Make Payment, Submit Supporting Documentation and Submit Technical Paper & Affidavit.

3. Pass the exam; To become a CCC/CCE, an overall passing score of 70% must be achieved in the multiple choice exam AND a 70% score for the technical paper, as determined by the Certification Board.

4. Designation; In accordance with our accreditation by The Council of Scientific and Engineering Boards (CESB), a CCC or CCE designation is awarded based upon a candidate’s education/experience. The most common designation is CCC, but guidelines state a CCE designation is awarded to those with a baccalaureate, or master, engineering degree, by an EAC/ABET accredited university. A candidate cannot select a designation; it is awarded based upon the CESB guidelines.
 
Cukup lumayan bukan? Yang pasti ada paper sebagai salah satu syarat kelulusan, dimana tidak banyak orang ternyata menyukai menulis paper, apalagi yang terkait dengan technical dan project management. Sebagai perbandingan, PMP tidak mensyaratkan paper sebagai kelulusan.
 
Dan pengalaman penulisan paper ini yang membuat banyak orang tidak jadi mengambil CCE/CCC, dan akhirnya mengambil sertifikasi yang lain dari AACE, misal EVP (Earned Value Professional), PSP (Planning & Scheduling Professional),atau CEP (Certified Estimating Professional).
 
Selama proses belajar sertifikasi CCE, saya membaca artikel yang menarik yang ditulis oleh Dr Paul tentang perbandingan sertifikasi profesional bidang PM, yang sudah update dari edisi sebelumnya. Berikut ini adalah gambar grafik antara Level of Effort dan sertifikasi.
 
 
Dari grafik diatas, ternyata sertifikasi dari AACE masih sedikit lebih tinggi dari PMP, tentu dalam hal level of effort sesuai dengan ketentuan 10,000 hours Malcolm Gladwell. Hal ini bukan berarti yang PMP tidak bisa mengerjalan soal CCE atau yang CCE sudah pasti bisa PMP, namun usaha yang dibutuhkan untuk lulus dari ujian CCE lebih tinggi dari PMP.
 
**

Alhamdulillah, saya sudah lulus ujian CCE tanggal 10 April 2013 minggu lalu dengan No. 4129, artinya sejak 1956 per 10 April 2013 lalu saya adalah CCE yang ke 4129 di seluruh dunia. Jika menggunakan hak credential, maka semua gelar akademis dan profesional ada di belakang nama saya dan semuanya harus ditulis karena tidak ada kesinambungan. Trian Hendro Asmoro, ST, MM, CCE. Dan sekarang saatnya mencari hal lain untuk mempertahankan pola hidup yang sudah berjalan lebih 2 tahun. Dan saya tidak ingin terjebak pada comfort zone seperti yang dinasehatkan oleh Mr Anies Baswedan, InsyaAllah... :)

Friday, April 05, 2013

Zakat Usaha dan Keadilan Islam

Dalam pembahasan perhitungan zakat, yang sering dibahas adalah zakat pertanian, zakat kekayaan dan zakat profesi. Zakat dari usaha dibahas dalam konteks menghitung zakatnya, yakni dengan cara sebagai berikut:
 
1. Nisab dengan nilai emas 85 gram (Rp 42.5 juta pada harga emas Rp 500 ribu/gram).
2. Harta usaha yang wajib dizakati adalah;
a) Hasil usaha setelah dikurangi dengan kewajiban, seperti hutang dan pajak.
b) Modal dagang yang berupa kekayaan cair atau bergerak. Sedangkan bangunan, timbangan, kendaraan dan perabot toko tak bergerak yang tidak diperjual-belikan dan tidak bergerak tidak termasuk yang dizakati.
3. Besaran zakat usaha atau perdagangan 2.5%.
4. Haul yang digunakan sama, yakni telah mencapai 1 tahun.
 
Zakat usaha ini menurut saya juga mempunyai potensi yang besar karena banyaknya usaha formal dan informal di Indonesia (catatan: total potensi zakat Indonesia di tahun 2011 menurut hasil penelitian team Prof. Didin Hafidhudin adalah Rp 200 Triliun).  Terlepas dari potensi tersebut, ada sisi menarik dan hikmah dari zakat usaha ini jika dilihat dalam konteks bagaimana Islam berlaku adil dalam hal zakat.

Pertama, harta yang harus dizakati dalam zakat usaha adalah hasil usaha dan modal dagang, bukan keseluruhan modal usaha. Jika usaha yang dijalani adalah usaha produk, maka sisa produk yang belum terjual (inventory rata-rata dalam 1 tahun) dan laba bersih yang menjadi obyek zakat. Jika berupa usaha jasa atau perdagangan, maka laba bersih adalah obyek zakat.

Kedua, zakat usaha lebih kecil dibandingkan zakat maal yang harta berupa tabungan, surat berharga, dan bahkan emas, dinar atau dirham (sumber: Baznas, MES). Terkait poin pertama diatas, maka secara sederhana kita bisa melihat bahwa misalnya dengan modal usaha 100 juta untuk usaha jasa, di akhir 1 tahun usia zakat usaha sebesar 2.5% hanya akan diterapkan kepada laba bersih Rp 20 juta (ROE 20%), tapi karena belum masuk Nisab nilai 85 gram emas, maka bebas zakat usaha. Sedangkan untuk tabungan, surat berharga dan emas dengan nilai 100 juta dan ROI sama 20% (total Rp 120 juta), sehingga pendapatan bersihnya dikurangi Rp 3 juta (2.5%) menjadi Rp 17 juta. Sangat jauh berbeda bukan?

Ketiga, seorang muslim didorong untuk melakukan investasi pada usaha riil, bukan untuk menumpuk-numpuk kekayaan sehingga tidak berputar. Dari poin pertama dan ilustrasi poin kedua diatas, jelas sekali bahwa Islam secara tidak langsung sangat mendorong kaum muslim untuk melakukan usaha di sektor riil, sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi dan berpotensi membuka lapangan kerja lebih luas.
 
Dari ketiga hikmah diatas, kita bisa melihat bagaimana keadilan Islam dalam memperlakukan seorang yang banyak menimbun harta dan seorang pengusaha. Bagi yang banyak harta tapi hanya disimpan atau diinvestasikan secara finansial saja dimana risikonya secara umum lebih kecil (take and go), maka dikenakan zakat yang lebih banyak. Sedangkan zakat usaha dari usaha yang lebih berisiko, membutuhkan lebih kerja dan pikiran serta berkontribusi nyata untuk masyarakat, zakatnya lebih sedikit.

Bentuk keadilan yang berikutnya adalah ketika usaha tersebut membesar kemudian menjadi perusahaan, sampai akhirnya IPO dan listed di bursa saham. Maka, si pemilik yang tadinya hanya kena zakat usaha atas modal usaha + laba bersih, setelah menjadi saham maka zakat yang dikenakan menjadi zakat saham, yakni 2.5% atas semua nilai saham yang dimiliki. Ketika pemilik tersebut terdiri atas beberapa orang yang menyetorkan modal (kepemilikan) untuk mendirikan sebuah usaha, maka selama masih perusahaan tertutup, zakat usaha hanya atas modal usaha + laba bersih. Hal tersebut memberikan ruang keadilan bagi pengusaha kecil-menengah, dan mengenakan zakat yang lebih besar bagi pengusaha besar yang berhasil meng-IPO-kan perusahaan. Sungguh adil bukan?

Dengan ketiga hikmah dan dua potret keadilan Islam diatas, menurut saya bukan berarti semua harta yang dimilki harus dialokasikan semua dalam bentuk usaha. Pengelolaan keuangan yang dibarengi dengan penggunaan instrumen investasi keuangan dibutuhkan untuk kita bisa memahami bagaimana dunia berjalan dan memanfaatkan sebaik-baiknya, bukan sebesar-besarnya. Hal yang mirip ketika kita dihadapkan pilihan antara tetap menggunakan Bank Konvensional atau hijrah seluruhnya ke Bank Syariah.
 
Dan saya pernah mengajukan kritik kepada salah satu "guru online" investasi saya dalam review buku praktis investasi finansial yang ditulisnya, bahwa seseorang yang paham dengan dunia ekonomi (finansial), seharusnya justru menjadikan dunia usaha (public investment) sebagai tujuan utama (ultimate goal) dari sebuah investasi finansial, bukan hanya bersifat private investment. Tampaknya sebagian yang dilakukan oleh private equity pun sejalan dengan prinsip tersebut.
 
Di tahun 2013 ini saya insyaAllah sedang memulai usaha riil dengan modal sebagian besar investasi finansial saya (dan utang hehe). Bagaimana dengan anda?

Source pic: Ekonomi Syariat