Sunday, July 27, 2008

Pelabuhan Ratu Bay

Weekend kemarin bersama seorang teman, saya melakukan perjalanan ke Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Teman saya memang berniat hunting fotografi, saya hanya karena belum pernah kesana dan ingin juga menikmati pantai. Rencana kami, one day trip!

Berangkat jam 7 KRL menuju Bogor. Kami memilih KRL karena cepat (1 jam dari Tebet), murah (Rp 2,500) dan nyaman (Sabtu, tidak padat). Dari stasiun Bogor, kami langsung meluncur ke terminal Baranangsiang, dan memilih rute bus Bogor-Pelabuhan Ratu (Bus MGI, seukuran Kopaja). Dengan tarif 25 ribu (AC), kami mulai berangkat ke Pelabuhan Ratu sekitar pukul 8.30

Sebuah perjalanan yang panjang. Kalau tidak salah, saya tidur bangun sampai tiga kali dan akhirnya tiba di Pelabuhan Ratu sekitar pukul 12 (3,5 jam). Di terminalnya, begitu bus masuk langsung berdatangan para tukang ojek di sekeliling bus. Benar-benar membingungkan jika baru pertama datang kesana.

Yang kami lakukan sederhana, janjian di warung makan yang kami tunjuk lalu kami berpencar. Sementara solutif, kami terlepas dari kepungan. Tapi ternyata selama kami makan (dan bahkan saat sholat di masjid), masih ada saja tukang ojek yang ‘setia’. Tentu yang seperti ini justru membuat kami tidak nyaman dan meninggalkannya. Oiya satu lagi, di warung makan itu kami ‘sepakat’ menemukan pelayan yang ‘khas sunda’ :p.

Berdasarkan info dari sopir angkot (yang efeknya kami harus membayar ongkos ‘mahal’), maka kami menuju Pantai Karanghawu, 14 km dari kota kecamatan Pelabuhan Ratu. Karanghawu, asal kata Karang berbentuk Hawu (tungku), pada dasarnya pantainya terbagi dua, yang berkarang dan yang berpasir. Masih bersih, tidak terlalu ramai. Sayang, kami tidak menemukan fasilitas hotel atau tempat makan ‘representative’ yang banyak kami temukan di area Pantai Citepus, sekitar 4-8 km dari kecamatan.

Diantara yang hotel eksotis adalah Samudera Beach Hotel (SBH). Hotel ini satu diantara tiga hotel yang dibangun Soekarno, yakni Hotel Indonesia, Sanur dan Pelabuhan Ratu sendiri. Percaya tidak percaya, banyak ‘cerita’ yang mengiringi di hotel-hotel tersebut. Dan di Pelabuhan Ratu sendiri, hotel ini tampak dari luar kurang terawat. Padahal eksotisme bangunan lampau masih terpancar dari hotel ini (dalam hati, ingin suatu hari menginap di hotel ini).

Berikut adalah beberapa snapshot yang diambil teman saya (his courtesy).


Ini adalah view dari Karanghawu, karang yang tegak melawan ombak.









Pasir yang terhampar, menggugah keinginan untuk merasanya.









Dan inilah kami, dua orang di balik ide perjalanan ini.









Saya mulai menuliskan sesuatu di pasir, untuk sebuah nama.







Sebelum pulang, kami menemukan view yang bagus dari bukit kecil. Sebuah sawah dengan background pantai. Subhanallah, sungguh indah indonesia kita.






Kami lalu pulang jam 4 sampai terminal Pelabuhan Ratu. Harapan kami, menuju Bogor dengan bus AC. Sayangnya, bus AC sudah tidak ada setelah kami menunggu hingga jam 5. Sudah sejam terbuang, maka kami memutuskan bus AC Pelabuhan Ratu-Sukabumi. Sebenarnya bisa menggunakan yang menuju Bogor tapi non-AC. Pikir kami ideal, di Sukabumi pasti banyak bus ke Jakarta (AC). Dan karena si teman tampaknya ingin tahu Sukabumi, kotanya Vagetoz (hehe).


Jam 8 sampai di Sukabumi, terminal sudah sepi. Jangankan bus Jakarta AC, bus menuju Jakarta sudah tidak ada (yang masih banyak justru Bandung, sempat terpikir ke Bandung aja). Jadilah harapan tinggal harapan). Tapi kami bertekad, lebih baik bisa makan tidak bisa pulang daripada bisa pulang tapi tidak bisa makan. Maka, kami makan dulu. Selesai makan, kami akhirnya memutuskan naik colt L300 menuju Ciawi untuk harapan 24 jam bus menuju Jakarta.


Sempat kami di ’handover’ ke Colt yang lebih penuh penumpang di Cibadak, daerah dimana jalan percabangan ke Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Setelah peristiwa itu, saya tidak bisa tidur. Khawatir ada ’handover’ lagi atau malah-malah kena ’akal’ orang. Tiba di Ciawi sekitar jam 10.30, sebuah malam yang ramai.


Tapi perjalanan tidak berhenti disini. Masih harus memilih antara Bus Kampung Rambutan, Merak (ancaman turun di Slipi atau di tengah tol Pancoran), atau mobil ’omprengan’ Cawang. Sampai detik terakhir, Cawang lah yang kami pilih karena alasan lebih dekat ke tujuan. Tiba di Cawang lalau meluncur langsung dengan Taksi pilihan menuju Pancoran sampai jam 11.30.


Menurut teman, kami baru saja seperti melakukan Black Hawk Down, rencana penyerangan 15 menit namun akhirnya jadi seharian. Kami menikmatinya, seperti benar-benar tidak direncanakan, menantang. Dan berpikir bahwa dalam hidup, sekali-kali kita perlu melakukan yang seperti itu. Kuncinya, kita harus menemukan teman perjalanan yang tepat.


Wednesday, July 23, 2008

Keuangan masa depan

Setelah belajar tentang bagaimana mengelola keuangan dan mulai investasi, sekarang waktunya untuk belajar memprediksikan sumber-sumber pengeluaran masa depan yang seringkali dilupakan, padahal semakin dini dipersiapkan semakin baik.

Menurut saya, beberapa kebutuhan penting keuangan masa depan yang harus di susun rencana nya sebagai berikut.

Dana pensiun
Banyak orang berpikir dana pensiun hanya cocok dipikirkan oleh orang yang berusia diatas 40 tahun. Atau pensiun cukup di cover oleh asuransi pensiun yang difasilitasi perusahaan sekarang. Padahal dana pensiun seharusnya dipersiapkan secepatnya seseorang cukup mapan dalam suatu pekerjaan, karena makin cepat dipersiapkan bebannya menjadi makin ringan.

Jikalau dana pensiun hanya mengandalkan asuransi pensiun, maka harus dipastikan bahwa dana tersebut cukup meng-cover kebutuhan hidup pensiun per bulan kita di masa datang. Inilah yang penting dalam merencanakan pensiun, berapa biaya standar biaya hidup masa depan yang kita inginkan? Biaya hidup masa depan didapatkan dengan menormalisasikan biaya hidup sekarang dengan asumsi inflasi.

Dana pendidikan
Jika pensiun secepatnya dipersiapkan ketika seseorang cukup mapan dengan penghasilannya, maka dana pendidikan dipersiapkan secepatnya setelah menikah, sekalipun subyek dana pendidikan tersebut (anak) belum ada. Prinsipnya sama, semakin dini dipersiapkan maka beban masa kini juga akan semakin ringan.

Jumlah dana pendidikan harus direncanakan untuk berapa subyek, dan menghitung kebutuhannya di masa depan. Dengan menormalisasikan biaya tiap jenjang pendidikan sekarang menggunakan asumsi inflasi, maka kebutuhan di masa depan bisa diprediksikan. Dan perusahaan asuransi pendidikan akan senang hati membantu menyiapkan dana pendidikan tersebut, dengan catatan nama subyek dikosongkan dahulu karena belum lahir.

Dana asuransi
Maksud dari dana asuransi ini adalah asuransi untuk menjamin ’properti’ kita, seperti rumah, mobil dan kesehatan. Konon katanya, tingkat kesejahteraan sebuah negara salah satunya bisa dilihat dari seberapa sadar masayarakat negara tersebut aktif untuk ber-asuransi. Artinya untuk Indonesia, tampaknya memang belum mencapai tingkat kesadaran pentingnya asuransi.

Untuk rumah dan mobil (menurut orang yang berpengalaman), kita harus mempelajari dengan detil premi dan ketentuan klaim yang bermacam-macam. Kuncinya mari ditanyakan ke dalam hati kita, apa kebutuhan kita? Jangan sampai jauh under apalagi overestimated sehingga pemborosan. Inilah yang sulit, karena seringkali dengan iminng-iming akhirnya kita memilih ’berlebihan’ yang tidak melebihi kebutuhan kita.

Begitu pula dengan asuransi kesehatan. Jika kesehatan sudah ikut ter-cover melalui kantor, maka mubazir jika masih membuat asuransi kesehatan lagi dengan alasan preventive. Sekali lagi, apa betul itu kebutuhan kita? Menurut saya, asuransi yang berkaitan dengan tubuh kita jika asuransi kesehatan pokok sudah ada adalah asuransi kecelakaan yang menyebabkan cacat permanen atau meninggal. Hal ini semacam ’biaya bertahan hidup’ kepada keluarga karena kondisi yang tidak dinginkan tersebut.

Setelah mencoba menentukan sumber-sumber kebutuhan masa depan, maka sekarang bagaimana untuk mencapai tujuan masa depan tersebut.

Sebagain besar dari kita mungkin akan menjawab dengan membeli asuransi pendidikan dan pensiun, sebagai cara untuk mencapai tujuan itu. Namun jangan lupa, bahwa investasi sebenarnya salah satu sarana mencapai tujuan itu. Dan jika sudah menggunakan instrumen investasi, maka kita harus jeli melihat resiko dan jangka waktunya (tidak hanya ’janji’ return atau margin).

Satu lagi yang saya percaya, untuk tidak akan mencampuradukan antara asuransi dan investasi. Karena saat ini semakin banyak perusahaan asuransi yang membuat kombinasi, dengan iming-iming asuransi sekaligus investasi. Karena tujuan keduanya berbeda (resiko, waktu, return), fee nya kemungkinan lebih besar daripada asuransi atau investasi saja, dan pada akhirnya tidak akan bisa optimal. Asuransi adalah asuransi, investasi adalah investasi.

Saatnya mempersiapkan dan mengkondisikan keuangan untuk masa depan. Dan jangan lupa, masa depan akhir manusia nantinya adalah akhirat. Jadi keberkahan pun harus melekat dalam persiapan ini. Wallahu’alam..

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)... [Q.S Al Hasyr 59: 18]

Thursday, July 17, 2008

Pernikahan yang Akrab

Dalam menghadiri pernikahan seorang teman di Bandung minggu lalu, seorang kawan mengingatkan saya tentang sebuah tulisan Zaim Ukhrowi tentang pernikahan. Saya kebetulan menyimpan sebagian artikelnya dari Republika, dan ingin membaginya disini. Setidaknya selain menjadi khasanah renungan kita (terutama yang belum menikah, atau yang sedang menyusun resepsi seperti Aan), juga mudah-mudahan semakin banyak lagi model resepsi yang dijabarkan berikut.

***
Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Pesta pernikahan itu biasa saja. Bukan di gedung besar. Bukan pula penuh pernak-pernik yang membuatnya megah. Sebaliknya, perhelatan itu justru dilakukan di rumah. Cukuplah tenda terpasang di halaman serta jalan buntu di depannya. Sebuah tenda biasa, dan bukan tenda paling megah, Makanan ditempatkan di meja sederhana bertaplak putih di garasi rumah itu.

Jumlah undangannya tidak banyak. Hanya kerabat dekat dan sahabat kedua mempelai yang hadir. Pembawa acara serta pembaca doa kerabat sendiri. Musik dimainkan oleh teman-teman pengantin. Tidak ada beragam upacara adat yang rumit yang mengiringi pernikahan itu. Pakaian serta tata rias pengantin juga biasa saja. Cuma sedikit lebih formal dibanding pada hari biasanya, namun cukup anggun untuk dipandang sebagai gambaran pernikahan.

Sekali lagi, tak tampak hal luar biasa dari acara perbnikahan itu. Tetapi, saya merasa sangat nyaman berada di sana. Ada suasana yang jarang saya peroleh dari menghadiri kebanyakan pesta pernikahan pada acara tersebut. Saya merasa, suasana pernikahan itu sangat akrab. Pembawa acara dengan sangat ringan menyapa, bahkan berseloroh, pada tamu-tamunya. Hal itu wajar karena memang ia mengenalnya persis.

Antarkawan juga bisa saling dorong untuk menyanyi, atau memainkan musik. Para tamu juga saling sapa, hingga berbincang akrab. Pengantin juga tak harus terus-menerus berdiri tegak di tempatnya dengan terus-menerus memasang senyum anggun, menunggu diberi ucapan selamat. Sesekali, mereka seperti 'menjemput bola', berjalan (kadang bersama, kadang sendiri-sendiri) mendatangi tamu, bertukar kata secara ringan.

Suasana pernikahan demikian sungguh berbeda dengan pesta pernikahan yang kini lazim. Tapi, suasana itu justru mampu mengingatkan: apa makna pesta pernikahan? Kita acap merancang pesta pernikahan seagung dan semegah mungkin. Alasan kita, itu hari yang benar-benar istimewa. Lalu, kita merancang segalanya agar sempurna. Mulai dari bentuk undangan, atribut kenang-kenangan, seragam pakaian, tempat pelaminan, makanan, hiburan, dan sejuta pernak-pernik lainya.

Begitu banyak yang harus diurus, dan begitu banyak yang ingin mengurus agar benar-benar sempurna. Hasilnya, seringkali pesta pernikahan justru menjadi ajang ketegangan keluarga. Alih-alih melahirkan suasana yang hangat, pesta pernikahan banyak yang kemudian menjadi sekadar formalitas. Pesta pernikahan kita acap bergeser fungsi dari acara bersyukur dan memohon doa menjadi ajang pamer gengsi dan atribut diri. Banyak tamu hadir dengan perasaan terpaksa. Tak enak tidak datang karena sudah diundang. Jika demikian, doa restu apa yang dapat kita harapkan?

Kesederhanaan dalam pernikahan hari itu menyeret saya pada pertanyaan yang dalam. Apa ya sulitnya berpikir dan bersikap sederhana seperti itu? Jangan-jangan kerumitan kita dalam menggelar pesta perkawinan adalah refleksi dari kerumitan cara berpikir dan bersikap secara menyeluruh. Kita lebih mementingkan atribut ketimbang makna. Kita memenangkan formalitas dibanding otentitas dan spontanitas. Kita mengedepankan gengsi ketimbang esensi. Pantas jika bangsa kita masih jauh dari efektif.

.... - by: Zaim Uchrowi

***

Sebuah pernikahan yang bersahaja. Bagaimana menurut anda?

Saturday, July 12, 2008

Tidak Menulis, Tidak Personal

Sungguh tidak menyenangkan saat tidak ada kesempatan untuk menulis update blog, sibuk pekerjaan atau memang tidak disempatkan. Karena dari awal blog dibuat diikrarkan bahwa blog ini tidak boleh terlalu personal, maka update pun tidak boleh sembarangan.

Maaf, bukannya saya tidak menghargai beberapa blog yang cenderung sangan personal, yang menceritakan tentang keseharian (mirip diary online), dan hal-hal kehidupan personal yang jauh dari unsur opini membangun apalagi mencerahkan.

Apa itu saya tidak menyukai tulisan personal? Tentu saja tidak generalisasi seperti itu. Yang jelas, ada beberapa tulisan personal yang mencerahkan dan layak menjadi konsumsi misal catatan perjalanan, pengalaman menggunakan sebuah produk, atau bercita rasa seni. Tapi kalau tentang murni curahan hati, cerita ngapain aja hari ini, atau tulisan yang tidak jelas juntrungannya, duh..capee deeh.

Kalau berbicara tentang harga menghargai, maka saya akan tetap menghargai blogger tipe personal tersebut. Penghargaan tetap, tapi like or dislike berbeda tentu saja boleh bukan? Toh beberapa teman blogger saya (banyak) pun sering bertipe demikian daripada membuat tulisan pencerahan. Sesekali bisa saja membuat selingan, tapi kalau hampir semuanya personal, duh...

Entahlah, mungkin lebih mudah untuk menulis hal-hal ringan seperti itu dan yang lebih mengherankan lagi akan banyak pula orang yang komen atas tulisan tersebut. Yang lebih menyebalkan lagi, banyaknya komen di tulisan personal yang dibuat oleh para blogger lajang (laki atau perempuan). Disengaja atau tidak, maka blog akhirnya menjadi sarana jual pesona dan perhatian.

Jadi sekarang, saya pun mengalami stack menulis. Ada banyak ide, tapi karena kesibukan maka ide itu masih saja menggumpal di kepala. Lebih parah kalau terus menerus seperti ini, saya bisa tergoda menulis personal dalam kondisi stack seperti ini.

Maka daripada saya terperosot jauh, cukup tulisan ini yang menjadi selingan. Sekaligus ajakan untuk maklumat bersama;

Mari kurangi tulisan personal yang tidak mencerahkan!

Terima kasih.