Sunday, June 05, 2005

Industrilisasi Dalam Konteks Budaya Indonesia [2]

Pengaruh Industri Dalam Kehidupan

Industri modern masuk Indonesia pada masa penjajahan dimana masyarakat kita dalam kekuasaan yang kuat. Sebelumnya, industri yang berkembang adalah kerajinan tangan yang dilakukan di rumah-rumah. Masuknya industri modern diterima oleh masyarakat, bukan hanya karena kekuasaan yang berpengaruh, melainkan juga sikap bangsa kita yang terbuka menerima perubahan.

Desa sebagai basis masyarakat mendapat pengaruh dari industrilisasi ini. Dilihat dari ruangnya, pengalihfungsian lahan-lahan pertanian menjadi areal industri menimbulkan beberapa hal tersendiri. Berkurangnya lahan pertanian di Pulau Jawa mengakibatkan banyak orang kehilangan kesempatan hidup mapan dengan bekerja di sektor agraris. Dengan kemampuan terbatas menyerap tenaga kerja, industri malah menimbulkan pengangguran meskipun jumlahnya meningkat.

Sayangnya, dengan karakter bangsa kita (orang Jawa) yang nrimo dan menjaga keselarasan, keadaan diatas tidak diselesaikan dengan cepat. Ketidakpuasan terhadap industri hanya diwujudkan dengan kekesalan pribadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia adalah feodalisme dan munafik (hipokrit). Semuanya didasarkan pada menjaga hubungan yang selaras semata.

Perkembangan industri sepertinya hanya didasarkan pada logika Marx, yaitu dengan mengubah pondasi ekonomi, superstruktur masyarakat akan berubah dengan cepat. Pandangan ini benar dalam hal peningkatan pendapatan secara nasional. Karena ternyata pendapatan itu banyak dipengaruhi oleh orang-orang industri level atas, bukan di level bawah. Sekaligus, menimbulkan pengangguran dan efek-efek lain yang bersumber darinya, seperti meningkatnya kriminalitas.

Budaya istimewa akibat industrilisasi adalah materialisme, segala sesuatu dinilai dengan kebendaan. Budaya ini harus berbenturan dengan budaya Bangsa Indonesia yang sarat memegang norma-norma sosial. Hubungan intrapersonal masyarakat semakin renggang atau diartikan dengan cara lain, yaitu tolong menolong dalam “menyelesaikan” urusan yang dihadapinya (benih korupsi dan kolusi) . Hal ini searah dengan pandangan Ralph Pieris, bahwa industrialisme menyebabkan manusia tidak lagi merupakan makhluk manusiawi, seorang warga dengan warga lainnya; ia harus difungsionalisasikan secara total dan mutlak, diasingkan dari dirinya sendiri, diubah sifatnya sedemikian rupa sehingga jiwa dan pribadi tidak dapat didefiniskan lagi.

Perubahan orientasi hidup masyarakat dari yang mengutamakan keselarasan menjadi materialisme menyebabkan tumbuhnya konsumerisme. Sikap hidup ini bukan monopoli orang perkotaan. Bahkan di desa-desa, orang cenderung menggunakan uang hasil pertaniannya untuk membeli barang konsumtif yang mampu meningkatkan status sosialnya, seperti televisi, lemari es dan sepeda motor.

Namun di sisi lain, industrilisasi memberikan perubahan pola pikir di masyarakat kita. Masyarakat mulai memperhatikan pendidikan, manfaat menabung, demokratis dalam keluarga dan memberikan lebih banyak kesempatan bagi wanita dalam aktivitas. Perubahan juga terjadi dalam memandang urusan agama, misalnya banyaknya orang Islam yang berusaha sekuat tenaga menunaikan haji sekalipun sekali seumur hidup. Walaupun tekad ini kurang kuat di masyarakat perkotaan, karena derasnya arus modernisasi sehingga lebih mementingkan kebendaan daripada rohaninya.

Dalam hubungan yang lebih luas, industrilisasi mempengaruhi sosial-politik masyarakat. Misalnya pembangunan PT Krakatau Steel (KS) di Cilegon. Cilegon yang semula hanya daerah kecil (setingkat beberapa desa), kemudian berubah menjadi kotamadya seperti sekarang ini. Artinya, KS ikut membentuk masyarakat Cilegon dan langsung atau tidak, ikut mempengaruhi kehidupan sosial-politik masyarakatnya hingga sekarang

Jika dilihat bahwa budaya industri yang berkembang di Indonesia bukan budaya masyarakat industri secara keseluruhan. Budaya modernisasi ditiru sedangkan intisarinya hilang. Seharusnya budaya seperti bekerja keras, kompetisi, jujur apa adanya dan menghargai waktu diterapkan dalam kehidupan masayarakat. Namun ternyata, menurut Niels Murder, masyarakat kita lebih mementingkan bentuk daripada isinya.

Industrilisasi di Indonesia memberikan karakteristik karena harus berhadapan dengan budaya bangsa yang kuat. Di sisi lain, bangsa Indonesia masih senang mencari intisari masyarakatnya sendiri dan menjadi suatu kebenaran pribadi yang dipegang kuat. Sehingga, apa yang benar di luar Indonesia tidak perlu berlaku disini. Pandangan ini yang seharusnya dijaga dalam menghadapi situasi masa depan. Sehingga tercipta keadaan yang saling mempengaruhi antara industri dengan intisari budaya Bangsa Indonesia.


*tulisan ini digunakan dalam Lomba Essay Budaya ITB 2005

1 comment:

Anonymous said...

sejak kapan:

bangsa kita (orang Jawa) yang nrimo dan menjaga keselarasan, keadaan diatas tidak diselesaikan dengan cepat. Ketidakpuasan terhadap industri hanya diwujudkan dengan kekesalan pribadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia adalah feodalisme dan munafik (hipokrit).

bangsa kita = jawa

:-)

but i agree, this country is dominated by javaneese culture, wether we like it or not.