Sunday, June 05, 2005

Industrilisasi Dalam Konteks Budaya Indonesia

Sejarah hidup manusia tidak terlepas dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia mempunyai metode untuk memenuhinya sesuai dengan zamannya. Mulai zaman prasejarah, kita mengenal kehidupan manusia purba masa berburu dan mengambil makanan, atau dikenal food gathering. Kemudian, masa berternak dan bercocok tanam atau food producing.

Dalam kehidupan modern, Alvin Tofler membagi peradaban manusia menjadi tiga masa. Pertama, masa agraris (pertanian). Masa ini berlangsung mulai 8000 SM sampai abad ke-18 M. Kedua, adalah revolusi industri. Masa ini tepatnya meletus saat pecah revolusi industri di Inggris awal abad 18 M. Perubahan signifikan yang terjadi adalah pergeseran fungsi tenaga manusia oleh tenega mesin. Sehingga merubah kehidupan sosial masyarakat sampai menimbulkan pergolakan sosial, terutama pertentangan kelas sosial. Dan yang ketiga adalah masa informasi. Masa ini ditandai dengan penggunaan teknologi informasi yang luas dalam membantu semua kehidupan manusia.

Hal yang menarik adalah perubahan dari masa ke masa tidak seluruhnya mengganti karakter masa sebelumnya dan mengubah pola hidup masyarakatnya. Misalnya, dikenalnya industrilisasi di Indonesia tidak seluruhnya mampu menggantikan kehidupan agraris. Padahal industri menjawab kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dalam jumlah banyak dan berkualitas.

Di satu sisi, terjadi fakta bahwa industri adalah keadaan yang tak terbantahkan adanya. Terbukti dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Manfaat industri juga dirasakan di semua segi kehidupan manusia. Meskipun peran itu belum secara merata dirasakan sepenuhnya oleh semua masyarakat kita di seluruh pelosok tanah air.

Disamping maslahat yang besar bagi manusia, kehidupan industri (yang banyak terdapat di Pulau Jawa) juga membawa pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadi transformasi sistem dan nilai masyarakat digantikan dengan nilai-nilai masyarakat industri. Walaupun karakter masyarakat industri tidak semuanya buruk, yang terjadi adalah masyarakat kita hanya melihat secara pragmatis terhadap budaya itu. Fenomena sosiologis akibat industrilisasi inilah yang menarik, dalam konteks budaya kita terutama budaya Jawa.

Perkembangan Budaya Indonesia
Kehidupan Bangsa Indonesia pada awalnya berbasiskan pada pertanian (agraris). Kehidupan agraris ini memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya. Kehidupan ini berbasiskan di desa-desa. Di Indonesia, desa-desa bukan hanya ikatan ruang tapi juga yang lebih utama komunitas ikatan sosial-emosional. Hal ini menimbulkan tugas moril seseorang untuk menjaga keselarasan dengan menjalankan kewajiban sosial yang menyangkut hubungan sosial, misalnya tolong menolong, gotong royong dan musyawarah.

Desa menjadi unit yang relatif swa-sembada, karena masyarakat kita belum memiliki aneka ragam kebutuhan. Dan harta benda bukan merupakan tumpuan yang menentukan bagi kesejahteran dan kebahagiaan. Kuatnya kekuasaan raja saat itu mereduksi keinginan rakyat untuk memiliki sesuatu yang lebih. Keadaan yang membentuk karakter masyarakat kita, yaitu nrimo dan sabar. Seperti dalam petuah Ki Hajar Dewantara, Luwih becik mikul dhawet rengeng-rengeng, tinimbang numpak mobil mrebesmili utawa nangis nggriyeng (lebih baik hidup sebagai tukang cendhol, namun bahagia, daripada kaya tapi menderita).

Dalam kehidupan sosial, orang (Jawa) sulit lepas dari ikatan sosoiologis dengan masyarakatnya. Sebuah ungkapan mangan ora mangan, asal kumpul bisa mewakili karakter tersebut. Dengan sikap nrimo dan lebih mementingkan keselarasan itulah, jiwa feodalisme tumbuh di masyarakat karena keadaan yang tidak bisa mereka kuasai dan pengaruh dari agama (Hindu). Namun, kurang bisa menghargai waktu, alon alon asal kelakon (pelan-pelan asal sampai). Orang Jawa mengganggap bahwa waktu tidak mengubah apa-apa, karena yang mengubah adalah bentuknya. Dan bentuk itu akan turun jika “waktunya tepat”.

Sedangkan peran agama memberikan pengaruh kuat dalam membentuk karakter masyarakat. Walaupun banyak yang menjalankan ibadah agama, tidak sedikit pula yang masih tetap mempercayai kekuatan lain (takhayul), karena kuatnya animisme dan dinamisme. Agama sering hanya sebagai simbol dengan pelibatannya di acara-acara seremonial yang banyak macamnya di masyarakat. Perpaduan sikap “minimalis” dan agama dalam budaya Jawa memunculkan sikap eling (ingat kepada Tuhan) dan waspada (pikir-pikir) dalam segala tindakan.

Dalam pandangan teori hirarki kebutuhan Maslow, secara umum masyarakat saat itu hanya sampai pada tiga kebutuhan yang pertama. Yaitu kebutuhan fisiologik (kebutuhan dasar yang berhubungan sama fisik seperti tempat, pakaian dan makanan), kebutuhan rasa aman (harapan memenuhi standar hidup yang dianggap wajar) dan kebutuhan sosial (kebutuhan untuk dicintai dan mencintai). Sedangkan kebutuhan harga diri (kebutuhan status dan penghargaan) dan kebutuhan aktualisasi (mewujudkan diri) belum kuat dalam masyarakat kita. [bersambung]

No comments: