Tuesday, June 21, 2005

Ini Kisahku....

Akhirnya kuberanikan diri menuliskan kisah ini. Aku tahu, bahwa ini adalah cerita seperti halnya kisah drama lain yang sejanis. Tapi bagiku, cerita ini telah merubah hidupku. Dan pastinya, menjadikannya bermakna bagiku.

Beberapa minggu yang lalu, dalam perjalanan liburanku ke Bogor aku bertemu dengan teman lamaku secar kebetulan. Awalnya biasa saja, kami saling kaget dan melepaskan segala kenangan-kenangan yang masih tersisa. Saat itu, bus yang membawa kami berangkat dari Jogja sudah hampir isya. Dia pastinya berangkat dari Solo, kota eyangnya mungkin dua jam sebelumnya. Dan ia akan kembali lagi ke Cimanggis, tempat orang tuanya tinggal sekarang.

Kemudian, perlahan matanya mulai sayu dan menandaka makna mendalam. Sudah lama aku tak melihat dirinya separti itu. Dan saat itu, aku juga tahu kalau itu artinya ia sedang memikirkan hal yang berat dalam hidupnya.

Diapun tahu, jika aku adalah orang yang dulu pernah menyeka air matanya saat ia tidak diterima di PTN favorit di kota kami. Sedangkan aku, yang akhirnya diterima di kampus biru Gajahmada. Sedangkan ia, setahuku di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dengan perlahan mengatur nafasnya, ia kemudian memulai ceritanya.
***

“Tolong belikan mobil”, kata ibunya saat disuruh pulang sekitar tiga bulan yang lalu. Ia memang memutuskan kost di Jakarta, daripada pulang balik ke Cimanggis. Sesampainya di rumah, masalah besar baginya itu datang.
“Keluargaku retak”, suaranya serak.

Ayah yang selama ini dia banggakan telah menjalin hubungan dengan wanita lainnya. Dan pastinya, ibunya tidak kuat dan mulai marah kepada ayahnya. Dan mobil yang diminta, supaya ibunya bisa leluasa pergi tanpa mengandalakan mobil yang selalu dibawa ayahnya kerja.

Bagi dirinya, kabar itu adalah puncak dari cerita keluarganya. Keluarganya, setahuku, memang bahagia awalnya. Terlahir dalam keluarga kecil, dua bersaudara. Ayahnya seorang karyawan Bank swasta di ibukota yang bergaji lumayan tinggi, dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang tidak bisa diangap orang rumahan biasa. Karena juga mengelola aset-aset keluarga, seperti perkebunan di Ciawi.

Seorang kakaknya, oh...betapa kutahu ia sangat menyayanginya. Hanya lulusan SMU dan sekarang sudah memiliki dua putra, satu kelas tiga SD dan yang kecil -kulihat ia tersenyum bahagia saat menyebut si kecil, baru berumur satu tahun. Kakaknya perempuan dipersunting oleh seorang sarjana yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swata di Kota Hujan.

Dia sendiri tak tahu, kapan ihwal keluarganya berasal. Saat pulang itulah, ia baru sadar bahwa masalah yang timbul tenggelam itu naik tak tertahankan.

Mungkin sejak beberapa tahun lalu, saat Bapaknya mulai menjabat supervisor seluruh cabang di Jakarta yang artinya harus muter-muter kota sepanjang harinya. Sepertinya, mulailah hubungan dengan wanita itu terjalin. Wanita PNS yang tinggal di sekitar Senen, yang ia sendiri tidak terlalu jelas saiap wanita itu. semua awal muasalnya memang tidak terunut, dan itu bukanlah masalah bagiku. Karena aku menulis inipun sekedar penyejuk atas kegundahanku sendiri atas kisahnya.

Dia melanjutkan, saat kedua orang tuanya berangkat haji, ibunya pernah bilang bahwa keberangkatan itu dalam rangka memutus hubungan dengan wanita tersebut. Dia diam saja, karena tak terlalu paham dengan masalah. Mau berangkat haji saja, sudah merupakan kebahagian baginya. Mengingat ayahnya yang setahu dia, kental kejawennya. Dia menyebutnya islam sinkretis yang memang bercampur dengan budaya Jawa.

Ternyata, saat haji malah menjadi momentum untuk memulai keretakan keluarganya. Menurut ibunya, setelah haji ayahnya bersikap sangat baik padanya. Tapi ternyata, baiknya berujung pada sangat dekatnya hubungan ayahnya dengan wanita itu.
Bagaimana menerjemahkan, aku baru paham setelah dia menambahkan, bahwa kedekatan yang dia maksudkan adalah adanya hubungan pernikahan yang tidak sepengetahuan ibunya. Ya..kita mengenalnya dengan nikah sirri. Itu yang ditegaskan ibunya saat tiga bulan yang lalu. Dan episode sandiwara terbesar dalam kehidupan keluarganya bermula.

Selidik punya selidik olehnya, sang ayah memang melakukannya. Dan itu di bawah penghulu yang notabene dikenal ibunya sebagai seorang kyai. Dia masih ingat, pengakuan ini meluncur sendiri dari ayahnya saat kepulangannya seminggu kemudian. Terakhir dari obrolan malam itu, ayahnya menawarinya mendatangi kyai tersebut dan berdiskusi tentang nikah sirri.

Dia lupa, apakah minggu itu atau minggu berikutnya dia diajak ayahnya bertemu dengan kyai tersebut. Dengan pengetahuan yang telah disiapkan dan pengalaman sebagai seorang aktivis islam di kampus, dia menyerang habis-habisan kyai itu. oiya...dia mengatakan bahwa dia masih memakai akal sehatnya, adab dan skill komunikasi pastinya.
“Kenapa bapak mau menikahkannya?”, tanyanya.
“Saya Cuma ingin membantu ayah saudara untuk menghindari zina, masayarakat melihatnya sudah berhaji”, jawabnya dengan percaya diri.
“Dasar bapak kurang kuat, kenapa mesti ijtihad?”
“Saya udah biasa”

Dan mulailah teman ku menyampaikan pendapatnya
“Ijtihad bapak tidak melihat dua sisi, kehidupan keluarga kami khususnya karakter ibu saya, serta kemungkinan dampak yang ditimbulkannya. Atas dasar cerita sepihak ayah saya tidak obyektif dalam melihat masalah ini. Padahal, ini bukanlah masalah sembarangan”, dia mulai mengendalikan situasi.
“Muhammad tidak pernah memberikan contoh, malah kalau nikah beliau meminta mengundang tetangganya walaupun sederhana. Artinya, tidak tutup menutupi disitu. Secara umum, nikah sirri memang sah, tapi kurang membawa kebaikan”, tambahnya. Dan secara jelas, temanku tepat menyampaikan alasannya.

Setahunya, akhir dari diskusi itu sebatas bahwa kyai itu minta maaf jika ijtihadnya membawa keburukan bagi keluarganya. Beliau juga mau memutus kembali ikatanya, walaupun memang ayahnya juga yang harus menghadirkan semua perangkatnya termasuk pihak wanita.

Dia lega awalnya, tapi ternyata ayahnya dengan pertimbangannya tidak cepat mekukan pemutusan itu. Tapi temanku tetap mendesaknya untuk memutus karena itu permintaan ibunya. Kemudian dia mengajukan dua alternatif, ayahnya meutus didepan ibunya atau memutuskan dengan disertai tanda tangan dia atas kertas. Dan keduanya ditolak, dengan alasan tidak mungkin membawa ibunya dan nikah sirri awalnya tidak pakai surat, kenapa harus pakai surat untuk memutusnya?

Dan ibunya makin tidak terkendalikan. Marahnya ketika bertemu ayahnya adalah hal yang biasa di rumah. Tetangga pun mengetahuinya, bahkan kata-kata ibunya yang aneh-aneh dan kasar. Tapi ayahnya memang orang yang defensif, dia hanya diam. Dan selama berapa minggu, kemarahan dan kata-kata kasar yang mewarnai kehidupan keluarganya.
Karena memang sebenarnya, temanku mengakui bahwa kejadian yang serupa pernah terjadi sekitar 15 tahun yang lalu. Tapi itu tidak seberapa dibanding sekarang. Nikah sirri, itu yang inti menjadi sumber sakitnya. Dan itu sudah cukup lama, hampir dua tahun ditambah kecenderungannya yang mungkin sebelum akad nikahnya. Betapa pengkhianatan terjadi disini. Dan itu yang menyakitkan, sampai tak terobati kata ibunya.

Akhirnya keputusan ibunya sudah bulat untuk mengajukan cerai. Kenapa bisa seperti itu, dia sendiri heran. Karena temanku tika lagi pulang sesering sebelumnya sampai ia mengajukan alternatif kepada ayahnya. Mungkin, ibunya tidak kuat untuk menahannya. Dia sendiri menilai, peran dia hanya sebagai perantara. Sedang intinya, di kedua orang tuanya. Secara naluri pun, di sudah capek dan bosan memikirkan mereka. Pasangan yang harusnya sadar bahwa semua anaknya sangat mencintainya. Matanya berkaca saat mengatakan itu. Aku memegang bahunya dan menenangkannya.
***

“Pokoknya cerai, sudah hilang kepercayaanku”, tuntut ibunya.
“Itu bukan penyelesaian”, ayahnya menjawab singkat.
“Daripada sakit hati lalu kemudian mati, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri. Biar puas dengan selirnya dan saya tidak dosa karena sudah melepas ikatan kita”, tentang ibunya.
Dan ketika saatnya tiba, temanku angkat bicara didampingi kakaknya.
“Jujur, kami, saya dan kakak, sebenarnya tidak bisa menyelesaikan masalah ini. karena yang paling bisa adalah ayah dan ibu sendiri. Kami hanya menjadi perantara dan berharap ayah ibu juga ikut memikirkan perasaan kami.”

Dia kemudian mengela napas dan diam sejenak. Kemudian dilanjutkan dia bercerita padaku.
“Tapi, izinkan saya untuk merunut dan menyampaikan masalah yang dihadapi. Pertama, istri memang berhak mengajukan tuntutan cerai yang dinamakan khuluq. Itupun, terjadi cerai jika suami memberikan atau karena alasan yang sangat kuat misalnya, tidak diberi nafkah selama enam bulan maka pengadilan bisa yang memutusnya. Kedua, masalah ini akan berujung pada dua hal”

Dia diam lagi dan kami hanya mendengar bunyi mesin bus yang menderu.
“Pertama, bersatu kembali yang ini sangat kami harapkan. Tapi ini memang bukan hal yang sederhana, butuh pengorbanan dan keihlasan yang besar. kedua, perceraian yang akan dengan cepat menyelesaikan masalah. Walaupun kita sebenarnya tidak tahu, apa yang terjadi setelahnya pada keluarga kita”
“Saya inginya, ayah dan ibu bersatu bagaimanapun caranya. Ayah bisa meutuskan hubungan dan ibu mengikhlaskannya”, sahut kakaknya.
Temanku menambahkan, “Secara runut kita bisa melihat bahwa kalau sekarang bersatu, saya sadar bahwa landasan yang digunakan kurang kuat. Hanya berdasar atas saya yang masih kuliah dan ayah yang masih harus bekerja di kantor.”

Memang, alasan itu yang temanku simpulkan manjadi utama dalam ketahanan masalah. Alasan dia yang masih kuliah dan jika cerai, kantor ayahnya akan berpikir tentang prestasi dan segala jabatan ke depannya.
“Ketika saya seleai dan ayah sudah pensiun, dan dengan kondisi ibu yang makin berkurang, sangat besar kemungkinan untuk bermasalah kembali. Karenanya, dibutuhkan komitmen ulang dan keikhlasan untuk mempertahankan atas dasar kebaikan sampai akhir hdup, bukan statusnya”
“Jadi tolong, ayah jangan jadikan saya sebagai alasan bertahan. Karena saya setidaknya sudah menyiapkan secara batin menghadapi perpisahan ini. saya Cuma khawatir,jika ujungnya, rumah tangga juga berantakan”
“Kami ingin ayah ibu tetap bersatu. Tapi jika memang tidak bisa, kami insyaallah siap menerima apapun yang terjadi. Yang jelas, kami tidak mau ini berlarut-larut sehingga kami pun tidak tahu harus melakukan apa. Terakhir saya sampaikan, kami, anak-anak kalian sangat sayang pada ayah ibu.”
Disitu, temanku menangis tersedu dan aku pun segera mendekapnya. Sebuah hal yang dulu pun biasa kami lakukan saat sekolah. Aku mengelus-elus punggungya dan secara tak sadar, mataku juga mataku mulai berair.
***

Dan aku tak kuasa menuliskan lagi. Sunguh tiada sopan bagiku, jika aku sibuk mengingat apa yang diceritakannya selanjutnya, sedang temanku tenggelam dalam perasaan.

Kemudian aku berpikir pada diri sendiri, betapa sulit menebak hati manusia. Bahkan ketika rumah tangga yang sudah berlangsung selama 25 tahun, tak ada yang bisa menjaminnya. Singkatnya, Sang Maha Pencipta yang tahu atas perasaan dan nasib hambanya.

Ceritanya benar-benar menyentuh sampai batas rasaku, mungkin karena sahabatku juga yang mengalaminya. Aku tahu, itu adalah kisah sedih temanku. Tapi aku juga gamang, bahwa itu juga bisa terjadi padaku. Bukan kepada orang tuaku dan bukan perceraian di hidupku mungkin. Tapi lebih dalam lagi, perasaan yang menlandasi itu semua bagi kehidupan keluarga.

Aku sendiri bukanlah orng yang mudah ditebak, itu juga kata teman-temanku sejak sekolah menengah. Hari ini sikapnya A dan besok bisa jadi sikapnya B. Walaupun aku selalu punya dasar semuanya. Bahwa perubahan itu karena alasan atau fakta yang kulihat, walaupun mereka seringkali tidak kuberitahu akhirnya. Aku sendiri menilai, konsisten dalam menerapkan prinsip yang aku pegang. Sehingga, orang juga melihat bahwa keras menjadi karakterku. Bagaimana tidak keras, jika itu untuk mempertahankan prinsip dan pendapatku?

Toh aku juga bukanlah orang yang seperti batu sekeras-kerasnya. Dalam diriku, aku sangat menghargai perasaaan manusia. Aku senang dalam setiap perjalan yang aku alami, aku berpikr tentang semua yang aku lihat dan rasakan saat itu, terutama jika terjadi ketika malam. Banyak hal pula yang karena merenung dan berpikirku, aku mendapatkan banyak hikmah kehidupan yang mempengaruhi jiwaku. Dan seringkali pula, aku membayangkan ada orang yang mau berbagi saat mengalami kejadian seperti itu.
Aku juga suka sastra dan kisah-kisah kehidupan manusia lainnya. Tapi memang, tidak semua orang tahu itu. Mereka banyak tahu bahwa aku sangat koleris dan seakan tidak berperasaan. Dan benar juga mereka, kehidupan luarku banyak dalam hal yang membutuhkan ketegasan dan disiplin. Sekali lagi, mungkin inilah yang unik bagiku. Karakter keras yang tidak mudah ditebak berpadu dalam kebermaknaan menjalani kehidupan.

Urusan prestiseku dan embel-embelnya mungkin hal yang biasa bagi temanku. Atau itu juga menjadi jalan hidupku? Lalu, bagaimana dengan wanita? Ini yang aku pikirkan kerena mendengar kisah sahabatku.

Kesimpulanku, komunikasi dalam rumah tangga sangat penting. Bagaimana dengan sifatku? Mungkin nantinya, pasanganku akan menjadi teman bicara dan tumpahan yang selama ini hanya kutuang dalam tulisan. Semudah itu, aku sendiri tak tahu. Yang kutahu, orang-orang hanya melihatku dari luar yang itu adalah koleris. Dan tidak semua manusia pula senang dengan cerita-cerita yang melankolis.

Disini aku ada di persimpangan, antara menjaga perasaan pendamping nantinya. Atau melanjutkan kisah hidup yang bagiku sangat menarik. Maksudnya, aku bukanlah murni orang rumah dan aku sangat menghargai pertemanan. Tak lupa, jalan-jalan sendiri malam hari dalam keberartianku. Urusan kerja, aku sangat menggemari dan jika itu cocok, kadang berlebihan sehingga partnerku akan merasa terjepit. Kalau ditanya mengapa, komitmen itu yang jadi kuncinya barangkali.

Dengan kisah sahabatku pula, merubah segala kenisbian dalam menilai wanita. Mereka mungkin indah, dan keindahan pula yang aku sukai dalam hidup. Sehingga, jangan mudah memberikan hati pada seseorang. Satu sisi, mereka belum tentu menjamin kelangsungan apalagi dengan karakter unikku. Sisi yang lainnya, jangan menyakiti perasaan wanita dengan memberi kesempatan. Tapi mereka sebenarnya tidak tahu lebih dalam tentang diriku. Kesenangan sesaat tidak bisa menggantikan duka hidupnya.

Saling memahami dan niat mungkin menjadi kuncinya kelak. Tapi, bagaimana bisa paham jika kita hanya tahu seketika? Sehingga komunikasi sendiri, aku berpendapat sangat penting dalam mengawali pintu kelurga juga. Bukan mengawali lebih tepatnya, tapi proses menuju kesananya. Karena itu melandasi hal yang menentukan hidup kita sepanjang hayat. Jodoh memang hak Allah, tapi keterlibatan manusia dalam menentukan bukan hal yang salah bagiku.

Sahabatku telah tidur nyenyak di sampingku. Senang rasanya dia bisa menumpahkan kesedihanya dan akhirnya bisa tidur tenang. Sedang aku, biarlah aku lanjutkan renungan ini.

Lalu, apakah berarti aku harus memilih diantara teman atau sahabatku? Orang yang mungkin paham dengan diriku dan aku pun paham dengannya. Satu hal yang pasti dari masa laluku, biarlah mereka menjadi bintang di langitnya masing-masing. Dan sekarang, memang tidak banyak orang yang tahu aku dibanding teman kisah hidupku di awal dewasa. Jadi, haruskah kupetik salah satunya di taman hidupku saat ini?

Aku tak tahu jawabnya, dan aku pun tak tahu apa nantinya. Mudah-mudahan kegamangan ini bukan alasan kenapa aku tak sesegera mengambil keputusan besar itu. Menentukannya mungkin mudah bagi banyak orang, dan berbondonglah manusia melakukannya. Tapi bagiku, itu sama sulitnya karena akan berpengaruh dalam hidupku selanjutnya.

Sekarang, aku tak tahu itu jam berapa dan bus ada dimana. Suara-suara kendaraan besar yang berpapasan dengan bus sering terdengar. Berarti, kami tidak sedang berada di kota. Kulihat di kaca jendela, pandangan hitam yang sepertinya menandakan persawahan. Semuanya menjadi saksi bisu yang menunjukan bahwa kami merangkai kembali persahabatan. Tapi aku kembali merindukan, ada orang yang mau berbagi kisahku saat ini. [6/05]

5 comments:

Anonymous said...

Trian, iki tulisane sapa? Dudu tulisanmu kan? Nek dudu tulisanmu, kok gak ana komentare sama sekali? Nek tulisanmu, ketoke kok rada gak nyambung karo awakmu? (i'm sorry if another people can't understand my language ;)

Anonymous said...

Dadi kapan nikah ndro? karo sopo?
he..he..he..

tapi tenang aja ndro.. ak mungkin juga meh (adoh ding..) setipe karo kowe. Keras, cuek, ra perhatian, ra romantis dll. Jadinya pun was-was juga dengan kehidupan nantinya..

Tapi kalo masalah itu (rumah tangga -red), mungkin komunikasi jadi solusi.. tapi nek menurutku itu gabungan komunikasi, pengertian, kesabaran dan keikhlasan. huh.. rodo abot ngomonge (soale kowe mesti ngguya-ngguyu moco iki, trus ngomong "Alah gun.. tura-turu ae..")..

Dan ak selalu percaya, bahwa waktu yang akan menyelesaikan semuanya.. baik sukses atau gagal. Kedewasaan kita akan bertambah seiring waktu, beban karena sudah punya anak, punya keluarga, punya tetangga, dan punya-punya yang lain akan melunakkanmu dan membuatmu bergerak mengikuti pola-pola standar.

-igun

Trian Hendro A. said...

buat aan..
i memang tulisan ku koq...emang kenapa? rada berat dan romantis? ;)

tapi emang kudu wis mikir masa depan tuh.... (yo tho an, wia gede kan?)

buat igun...

he....3x tura turu ae...tapi kongkret! kuwi sing tak sensngi gun
kongkret maksude kalo diminta bantuan... OK?

sepakat komunikasi jadi solusi, mekanya golek sing iso ngerti kita..opo malah kita yang hsrusnya ngerti "mereka"....(cie...igun:)

empati gun....(embuh gak ngerti apa arti pasnya).intinya, perhatian sih kayaknya...


ok..tks

Anonymous said...

sebagai seorang sahabat,,,saya bisa merasakan cerita sahabatmu akh.......

cara membuat website said...

salam kenal

cara membuat website