Namanya Pak Setu. Nama khas orang zaman dulu yang lazim disamakan dengan hari lahirnya, Sabtu (Setu dalam Bahasa Jawa). Sosoknya kalem dengan sedikit obrol, tpi penuh wibawa. Bukan hanya karena perawakannya yang subur, melainkan juga karena senyumnya yang mengembang dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Kehidupan yang dipilihnya adalah seorang penjual sate ayam. Lebih lengkapnya, penjual sate ayam kampung. Usaha yang mulai digelutinya awal tahun 1980-an dimana sat itu beliau adalah penjual sate ayam pertama di lingkungannya (dan mungkin juga dalam satu kecamatan). Konon, jalan raya pertigaan tempat saban hari pak setu mangkal saat itu belum tersentuh dengan aspal. Padahal jalan itu adalah jalan utama di sebuah kecamatan di Jawa Timur. Meskipun demikian, jangankan mobil, sepeda pun tidak banyak yang lewat. Setidaknya, jalan itu lebih ramai dibandingkan jalan-jalan lainnya kala itu. Tak ubahnya jalan protokol di masa sekarang.
Namun bukan karena tempat strategis itu orang menggemari sate ayamnya. Sate ayam yang bercita rasa tersendiri akibat cara pngelohan alami dan bumbu yang pas mungkin alasan utamanya. Sampai sekarang pun, tidak banyak langganan yang lari. Bahkan semakin banyak mungkin. Karena seperti yang dialami penulis sendiri, adalah pelanggan satenya sejak kecil, sampai sudah lupa kapan tepatnya mulai berlangganan. Dan hingga sekarang pun selalu ingin untuk merasakan sate ayam khas Pak Setu setiap kali mampir di daerah itu.
Bukan perjuangan yang ringan, bapak tiga anak ini meretas usaha. Mengingat pula, daerah asal Pak Setu yang berjarak 20-an Km dari kota tempat tambatan rezekinya. Selama itu pula, kehidupan kontrakan menjadi pilihan terbaik. Namun bukan rumah kontrakan tepatnya, karena hanya ruangan berdinding kayu dengan luas kurang lebih 15 m2. Asal cukup untuk tidur, masak dan tempat gerobak sate, harapan hidupnya. Sang istri tercinta, kadang-kadang menemani berjualan dan tidur di ruang kecil kontrakannya.
Sedangkan anak-anaknya, tinggal di rumah asalnya dengan embahnya. Hal yang biasa dalam kehidupan pedesaan. Toh sebagai seorang bapak, Pak Setu telah berhasil menuntaskan bekal pendidikan putra-putrinya. Ketiganya adalah lulusan SMU atau sekolah yang sederajat dengannya. Bahkan, kewjiban menikahkan anaknya jug telah selesai ditunaikannya. Dan saat ini, ketiganya bisa dibilang mapan untuk lingkungan tempat tinggalnya.
Pelajaran berharga yang ditunjukan oleh Pak Setu dan juga Pak Setu-Pak Setu lainnya yang mungkin lebih keras perjuangannya. Mereka bukanlah peminta belas kasihan untuk menghidupi keluarga. Mereka juga tidak melalaikan perhatian kepada anaknya, walaupun jarak dan kesibukan memisahkannya. Mereka adalah sosok rakyat biasa yang hidupnya bersahaja, sarat kejujuran dalam berkorban, di tengah derasnya ombak kehidupan.
Dan di usianya yang hampir 55 tahun sekarang, tidak ada yang membahagiakan hati Pak Setu selain melihat anak dan cucunya hidup tentram. Walaupun juga, gerobak satenya setia menemani hari-hari senjanya. Mungkin bukan semata satu atau dua ribu rupiah Pak Setu melakukannya, namun karena menjawab panggilan hidup yang senantiasa mengalun lirih di petang hari. Dan kami pun, rindu akan sate ayam kampung Pak Setu.
***
Di kota kecamatan tersebut juga terdapat stasiun kereta api. Stasiun itu kecil, sehingga hanya diijinkan melayani kereta-kereta ekonomi. Meskipun demikian, melalui stasiun ini juga dipasok bahan bakar pesawat terbang untuk sebuah lanud (lapangan udara).
Dengan hanya kereta-kereta ekonomi yang lewat di stasiun ini, penumpang yang menggunakannya pun adalah masyarakat kecil, kelas menengah ke bawah. Masyarakat biasa seperti halnya Pak Setu, sang penjual sate. Tentunya, alasan menjadikan kereta ekonomi sebagai pilihan adalah murahnya. Bukan karena kenyamanan yang susah untuk dikatakan memadai, fasilitas yang seadanya dan lama perjalanan yang tak pasti. Setidaknya, stasiun yang juga satu-satunya di kabupaten tersebut mampu menyediakan kebutuhan sarana transportasi yang murah, massal dan anti macet.
Merasakan sebuah perjalanan kereta ekonomi laiknya kita melihat kehidupan alami sebuah masyarakat. Suasana panas, berdesakan, bising dan ekstra goncangan. Ekstrimnya, seperti pasar yang berjalan di atas rel. Tak aneh memang, dengan penumpang yang sudah penuh sekalipun, penumpang stasiun berikutnya masih harus “dipaksakan” masuk. Mungkin bila duduk di atap gerbong dibolehkan seperti pemandangan KRL Jabotabek, beramai-ramailah penumpang duduk di atasnya. Hitung-hitung lebih dingin dan terbebas dari himpitan manusia.
Jumlah tiket yang jauh lebih besar dari kapasitas kereta tidak pernah diantisipasi atau dihentikan. Akibatnya di hari-hari tertentu terutama, penumpang lah yang menjadi korban dari penjualan maksimasi kapasitas tersebut. Hal yang selalu dan selalu terjadi setiap saat. Penulis tidak tahu, apakah itu sudah menjadi kebijakan tersendiri. Atau menjadi budaya seperti halnya perihal waktu perjalanan kereta yang selalu telat. Pernah kemudian timbul pertanyaan usil, mengapa tidak kemudian waktu telat tersebut dijadikan waktu kedatangan baru? Jawabannya mungkin waktunya akan semakin molor lagi nantinya.
Menjadi keprihatinan bila sistem yang (sengaja) dibiarkan di kereta ekonomi tetap dipertahankan. Lebih tragis lagi, itu sudah menjadi karakter personal penyelenggara jasa kereta api kita. Misalnya, jumlah penumpang memang dimaksimalkan untuk memberikan keuntungan pribadi. Ketika yang di atas rel berusaha menarik “uang rokok” para penumpang gelap dan kemudian membiarkannya, yang di stasiun pun akhirnya iri dan ikut-ikutan bermain.
Penulis sendiri pernah mengalami pengalaman dengan budaya itu. Gertakan tidak mendapat tempat duduk jika tidak membeli kursi diberikan oleh petugas penjual tiket di stasiun. Atau pengalaman seorang ibu yang ”dirayu” membeli harga kursi yang lebih dari dua kali lipat harganya dengan alasan demi anak yang dibawa ibu tersebut. Padahal di kereta, mekanisme tempat duduk tidak selamanya berjalan. Karena penumpang juga tunduk pada yang memberi jasa dadakan tempat duduk.
***
Kedua potret diatas hanyalah sebgaian kecil dari rangkaian peristiwa kehidupan yang dialami rakyat kecil di negeri ini. Rakyat kecil seakan ditakdirkan oleh Tuhan untuk menerima perlakuan marjinal dari sistem sekelilingnya. Upaya untuk melepaskan dari himpitan dan tekanan tidak pernah berbuah manis, seperti dalam sejarah Revolusi Perancis. Mereka tidak pernah mendengarkan semboyan fraternite, liberte dan egalite, namun mereka mampu memaknainya lebih dalam dari sekedar sebutir benih ilmu di kepala manusia.
Padahal, mereka tidak pernah lelah berjuang untuk hidupnya. Jika masyarakat kecil selalu disalahkan karena ketidakmampuan dalam mengembangkan dirinya, maka bagaimana rakyat akan berkembang jika sistem tetap memaksanya stay at place. Ungkapan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin ada benarnya di satu sisi. Namun, untuk seorang Pak Setu, hidup adalah sarana menjawab panggilan Tuhan melalui alam. Sehingga lebih atau kurang bukanlah ukuran dalam kesuksesan hidup. Kesuksesan bagi Pak Setu adalah kemampuan bertahan dalam samudera kehidupan.
Rakyat kecil dan mungkin Pak Setu juga, tidak tahu menahu bahwa kekayaan negeri ini begitu luar biasanya. Bahwa di ujung timur sana, terdapat gunung dengan kandungan emas. Bahwa di laut tempat tautan hidupnya, terkandung banyak sumber energi dunia saat ini. Bahwa di tanah yang mereka injak, terdapat nutrisi yang digunakan tumbuhan untuk hidup. Mereka hanya paham, bahwa untuk hidup butuh makan, dan untuk makan butuh perjuangan serta pengorbanan. Kita menunggu bahwa peristiwa diatas adalah bukanlah sebuah paradoksial, melainkan paradoksal. Artinya tidak terus-menerus menjadi dua hal yang bertentangan (paradoksial) dan suatu saat akan menemukan solusi (paradoksal).
Dan satu lagi, mereka hanya bisa memohon pada Yang Kuasa untuk memberikan pemimpin yang mengayomi rakyatnya laksana seorang ibu terhadap anaknya. Jika sekarang belum saatnya, mereka cukup berdo’a supaya anak-anaknya mmpu hidup lebih baik kelak. Entah sampai kapan, mereka hanya bisa berharap.
Juli 2004
Catatan Sebuih Perjalanan
No comments:
Post a Comment