Sudah lama kita mengenalnya. Kebenaran, menjadi kata yang merefleksikan segala sesuatu yang baik. Karena sudah lama pula kita berinteraksi dengannya, kadang kita tak ingat lagi apa yang membedakan kebenaran dengan ketidakbenaran [atau kesalahan?] sebagai lawan sejatinya. Padahal, keduanya mungkin tak ubahnya seperti hitam-putih, langit-bumi, air-api, yang cukup jelas batas pemisahnya. Lalu, buat apa kita kembali bicara tentang kebenaran?
Kita bicara tentangnya karena dia tak pernah selesai membuat manusia menjadi puas. Tak pernah selesai pula mejadikan dunia tentram setentram-tentramnya, bahkan dalam lingkungan masyarakat sekitar pun. Semakin lama kita mengenalnya, seakan semakin jauh kita ditinggalkannya. Berbagai cara dan pendekatan dilakukan sehingga kebenaran menjadi hal yang lumrah terjadi, tanpa imbuhan apapun dibelakanganya dan tanpa pula grusa-grusu dalam memutuskan.
Mengapa orang bersengketa hal-hal sepele yang menjadikannya tak pernah bersyukur? Mengapa banyak antar manusia berebut harta yang tak memuaskannya? Mengapa pula orang melepaskan diri dari jerat hukum yang terbukti meluruskannya? Mengapa rakyat seringkali salah di depan pemimpinnya? Lalu, mengapa manusia memilih jalan syaithan padahal telah nyata batas antaranya dan malaikat?
Jawabnya, karena banyak manusia menilai kebenaran dari sudut pandangnya sendiri. Atau, hal yang menjadikan kebenaran tak pernah memuaskan adalah karena kebenaran itu relatif. Kebenaran menjadi variabel dependen terhadap variabel lainnya, bisa berupa kekuasaan, harta, prestise dan nafsu. Kebenaran bukan menjadi core dari semua variabel keduniaan itu. Sehingga, kebenaran jarang menang dalam kehidupan kita.
Lalu, bagaimanakah kita melihat kebenaran yang subyektif-relatif itu?
Menurut filsafat modern (Making sense, Julian Baggini), terdapat dua aliran tentang kebenaran. Antara keduanya hampir bertolak belakang dalam melihat kebenaran. Pertama, Kebenaran realis yang menegaskan bahwa kebenaran itu ada, apakah kita mengetahui atau tidak; kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Yang kedua, kebenaran nonrealis [hanya karena berlawanan dari realis] berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana. Kebenaran tidak pernah berada “di luar sana”, dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat. Individu ataupun budaya.
Kedua kebenaran tersebut yang menyusun postulat dasar dalam menilai sesuatu, antara yang seharusnya dan yang terjadi, antara idealisme dan kenyataan, antara das solen dan das sein. Keduanya jarang [untuk tidak dikatakan tidak pernah] bertemu dalam satu titik sederhana. Barangkali karena manusia memilki sifat tak pernah puas yang jadi penyebabnya. Ini yang memunculkan pertanyaan lagi di dalam nya, apa yang menjadi batas antara kedua hal yang beseberang itu?
Dalam pandangan Mulla Shadra (1572 – 1641), seorang eksistensialis dunia islam, eksistensi bukanlah atribut suatu entitas. Keseluruhan eksistensi bukan sebagi obyek yang eksis, melainkan sebagai suatu realitas tunggal yang dibatasi oleh pelbagai kuiditas (pemutarbalikan) yang memberikan penampakan multiplisitas yang ‘eksis’ dengan pelbagai eksisten yang independen satu sama lain. Sekaligus juga, eksistensi adalah suatu realitas yang mengambil bagian dalam gradasi intensitas dan kesempurnaan.
Secara sederhana, analoginya sebagai berikut. Jika magnet memiliki dua kutub, utara dan selatan. Maka kita tidak bisa memisahkan dengan tegas antara keduanya. Sehingga hubungan antara kesatuan wujud (eksistensi) dan multipisitasnya seperti matahari dan cahaya matahari. Matahari bukanlah cahaya matahari, yang pada waktu yang sama bukanlah apa-apa tanpa matahari. Prinsip ambigusitas sistematis eksistensi (tasykik) ini dikenal dengan gradasi eksistensi.
Ini artinya, kebenaran dalam pandangan gradasi eksistensi adalah sebuah realita yang memberikan penampakan multiplisitas [bermacam-macam]. Antara kebenaran dan ketidakbenaran dalam kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan begitu saja karena adanya gradasi. Sama halnya ketika dalam suatu waktu kita susah menentukan keputusan, ini bisikan syaithan atau hati nurani [malaikat]. Semakin sedikit esensi yang dikandung, semakin tinggi pula tingkat gradasinya.
Jadi wajar memang, jika kebenaran selalu menjadi sumber kerumitan dalam kehidupan manusia. Dan itu pula yang menunjukan bahwa manusia memang makhluk pintar namun juga sekaligus dzalim. Sehingga lebih pas sepertinya, jika kita juga melihat konsep kebenaran dalam way of life, “weltanschauung”, pandangan hidup sejati kita yaitu islam. Seperti yang disampaikan Allah : “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Baqarah:216)
Sedangkan mengenai masalah batas antara kebenaran dan ketidakbenaran, barangkali ini tak akan pernah selesai dibahas manusia sekalipun kita mengenal gradasi eksistensi. Karena ketidakmampuan memisahkan tegas antara keduanya menjadikan salah satu alasan, bahwa manusia memang layak hidup di dunia yang fana’ dan tak pernah memuaskan. Dan kita harus menyakini bersama, bahwa kebenaran adalah benar (truth is true) dan bukan kebenaran tak pernah benar (truth never true). Untuk masalah hasil, manusia tak kuasa menentukannya sendiri. Wallahu’alam. [3an]
No comments:
Post a Comment