Kebutuhan Early Warning System
Selain pembangunan fisik di daratan, juga harus dipikirkan mengenai sistem pencegahan sedini mungkin peluang tsunami. Sistem tersebut dikenal dengan Early Warning System. Sistem yang menggunakan sensor DART (The Deep-ocean Assesment and Reporting of Tsunamis) atau tsunamimeter itu sudah beroperasi di samudra pasific sepanjang pantai barat Amerika Serikat dan dikenal dengan Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang dikendalikan dari Alaska tsunami Warning Centre di Palmer, Alaska. Prsinsipnya, sistem menggunakan teknologi yang mampu mengirimkan data informasi parameter di laut secara real time via jaringan satelit GOES (Geostationery Operational Environmental Satellite).
Berdasar blue print Aceh, akan dibangun pula sistem tersebut. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar peluang tsunami, dan sudah seharusnya beberapa kawasan Indonesia menggunakannya. Menurut The National Geographic, Padang adalah daerah yang rawan bencana tsunami karena kepadatan penduduknya 141.328 orang per kilometer persegi. Kepadatan ini bahkan terpadat di seluruh dunia untuk kawasan pesisir yang rawan tsunami . Sistem serupa sudah direncanakan dibangun di hampir seluruh kawasan yang berbatasan dengan samudra pasifik, mulai Australia, Filipina, Jepang, dan hampir seluruh wilayah pantai Benua Amerika.
Selain memasang sistem ini, dibutuhkan peran masyarakat dalam aplikasinya. Pemerintahan lokal, seperti desa atau kelurahan pesisir pantai, harus memiliki rencana darurat tsunami, tempat yang aman dan pengaturannya. Berarti dibutuhkan pendidikan kepada masyarakat pesisir tentang gejala tsunami. Peran masyarakat dalam menjaga dan merawat sistem peringatan dini juga penting. Contohnya, membersihkan pantai dari gunung pasir sehingga meningkatkan pemandangan laut dan menjaga keberadaan sensor yang terapung di laut.
Dalam jangka panjang, konsep greenbelt dan Early Warning System seharusnya menjadi kebijakan yang bisa diterapkan di seluruh kawasan pantai kritis Indonesia, dimana belum memenuhi konsep pencegahan dampak tsunami. Tentu yang menjadi kendala adalah dana. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga keselamatan peradaban manusia. Sebagai gambaran, biaya instalasi membutuhkan $20 juta, annual maintenance $ 3 juta, mitigasi (kombinasi riset dan pendidikan masyarakat) $ 4,5 juta setahun) . Alasan kendala biaya tersebut, bukan menjadikan kita mundur dari rencana penggunaan sistem peringatan dini itu. Disinilah pemerintah mendorong peran ilmuwan lokal dari Indonesia untuk merancang ulang (atau membuat sendiri) sistem sejenis sehingga sesuai dengan kondisi Indonseia, baik geografis dan ketersediaan dana. Potensi bangsa juga secara otomatis akan teroptimalkan dengan adanya penelitian di bidang ini.
2. Pembangunan yang bersifat non fisik dan menyeluruh
Banda, Meulaboh, Calang, dan kawasan pantai barat NAD yang tersapu tsunami itu kini penuh relawan dari berbagai bangsa di dunia yang berinteraksi dalam sebuah pergumulan budaya Aceh, dimana berbasis kesadaran keagamaan unik yang lahir dari pengalaman hidup sejak kolonialisme. Aceh bagai miniatur dan laboratorium dunia tentang interaksi tradisi kecil menghadapi tradisi besar yang hegemonik. Hampir seluruh seni budaya, petutur, tradisi, dan praktek keagamaan warga Aceh melukiskan protes budaya seperti terlukis jelas dalam petutur bagi penyambutan tamu kehormatan.
Di sisi yang lain, hal ini menjadi kekhawatiran masyarakat Aceh dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Aceh bukan hanya milik orang Aceh, dia telah menjadi bagian dari bangsa ini. Sebutan yang disandangnya pun tidak sembarangan, Serambi Mekah. Jika kita ingin melihat islam dalam budaya masyarakatnya, maka lihatlah Aceh. Apalagi tiadanya catatan aset budaya, khususnya yang nirwujud yang langsung dapat diakses dan langsung dapat digunakan sebagai data awal penanganan budaya di Aceh. Malangnya, aspek ini dianggap tidak terlalu penting dalam tahap awal bencana. Hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis korban yang umumnya menjadi perhatian utama.
Semua penjelasan diatas memberikan kesimpulan, bahwa pembangunan fisik dan teknis pun harus disertai dengan semangat nilai-nilai budaya Aceh sehingga segala sesuatu yang dibangun tidak lepas dari akar kehidupan masyarakat. Jangan sampai kesalahan masa lalu dimana pembangunan masyarakat hanya fokus pada materi, kurang disertai nilai budaya yang perlu juga dibangun. Kenyataan ini sangat mengharukan apalagi bila mengingat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang justru sangat memerlukan penerapan paradigma pembangunan masyarakat ini.
Berbeda dengan paradigma teknis yang menuju pada keputusan yang rasional, paradigma pembangunan masyarakat berupaya untuk menghasilkan keputusan yang terbuka/transparan yang melibatkan sebanyak mungkin peran masyarakatnya. Dalam kaitan ini, lebih terbuka juga seharusnya penanganan aset budaya yang ada di suatu wilayah yang selama ini belum berjalan dengan baik. Menurut sosiolog UI, Dr Pudentia, dalam kasus ini penting bagi pemerintah untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan “good governance” dalam memungkinkan masyarakat membangun dirinya sendiri . Wilayah publik harus diberi tempat yang pantas agar masyarakat sebanyak dan sesering mungkin dapat terlibat dalam arus pembangunan daerah dan komunitasnya.
Melalui proses tersebut bisa dibuka ruang dialog tentang masa depan Aceh antara pemerintah pusat dan berbagai kelompok warga Aceh, termasuk yang selama ini dicap atau mencap diri sebagai GAM. Mengambil penjelasan Abdul M. Mulkhan, merdeka dalam kosa kata GAM tidak selalu berarti pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti bisa dibaca dari usulan self government. Kosa kata itu bisa berarti tuntutan kesediaan pemerintah pusat dan orang luar menempatkan diri sebagai pendengar bagaimana orang Aceh merumuskan citra diri, budaya dan kesadaran keagamaan dalam tatanan NAD . Rekonstruksi Aceh harus memasukan agenda rekonsiliasi, sehingga menghasilkan Aceh yang “baru”, penuh nilai kedamaian dan ketentraman.
Dengan demikian, rekonstruksi Aceh, termasuk pengelolaan pengungsi, yang tidak melibatkan masyarakat Aceh justru akan berujung menjadi bencana kedua yang lebih berdampak panjang bagi masyarakat Aceh sendiri. Penyusunan konsep blue print bukan semata-mata bergerak top down, sehingga banyak ulama Aceh sendiri yang tidak setuju dengannya. Orang Aceh, seperti daerah lain di negeri ini, adalah pemilik paling sah diri mereka sendiri. Mereka paling berhak menjawab pertanyaan bagaimana membangun NAD berbasis sumber daya alam dan budaya yang dimiliki.
Praktisnya, akan lebih baik mendukung orang Aceh membangun sendiri rumahnya di atas tapak rumahnya sebelum tsunami. Untuk mendukung pendekatan seperti ini, pemerintah cukup menyediakan bantuan bahan bangunan, alat-alat pertukangan, dan upah yang dibayarkan secara bertahap. Pendekatan ini diharpakan mampu memangkas mata rantai korupsi, menyebabkan prakarsa masyarakat bangkit, masalah pertanahan terselesaikan, atau setidaknya mencegah komplikasi yang berlarut-larut dan menumpuk. Pemukiman yang dibangun dengan cara seperti ini juga akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tiap-tiap lokasi. Ia juga menyumbang pada proses membangun modal sosial, karena korban tsunami Aceh mau tidak mau akan harus berorganisasi, dan bekerja sama.
Pemerintah, sebaiknya tidak terburu-buru dalam merencanakan dan merancang kembali kawasan yang dilanda bencana. Membangun suatu kota tidak cukup hanya dengan memori-memori yang ada (concious memories), tetapi juga yang sudah dilupakan (unconcious memories). Sesuatu yang sudah dilupakan itu adalah tsunami. Maka, untuk mengembalikannya bisa dengan kembali mengumpulkan berbagai kearifan lokal, termasuk cerita rakyat, ungkapan keseharian dan berbagai metafor yang masih ada di masyarakat. Proses rekonstruksi yang dihasilkannya pun, akan menjadi wajah Aceh dan Indonesia. [bersambung]
No comments:
Post a Comment