Wednesday, June 15, 2005

Membangun Kembali Aceh

Sebuah peristiwa besar sejarah terjadi pada hari Minggu, 26 Desember 2004 pukul 09.00 WIB. Gelombang tsunami menghancurkan kehidupan di hampir seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Tsunami itu dipicu oleh gempa bumi akibat lempeng India yang bergerak ke utara bersubduksi (menyusup) ke kerak bumi, mendorong lempeng Burma. Gempa yang ditimbulkan berkekuatan 9,0 skala richter yang mengakibatkan gelombang air laut di Aceh setinggi 15 meter dan menewaskan lebih dari 250.000 orang meninggal .

Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang terkena dampak dari tsunami tersebut adalah Bireun, Aceh Timur, Aceh Utara, Banda Aceh, Lhokseumawe, Pidie, Sabang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Langsa, Simeuleu, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Medan . Di luar negeri, gempa yang sama juga mengakibatkan tsunami yang melanda Thailand, Malaysia, Srilanka, Maladewa, India bahkan di sebagian kecil benua afrika, yaitu Somalia yang jaraknya kurang lebih 5000 km dari pusat gempa terkena air bah laut mencapai ketinggian 1,3 m .

Bencana global tersebut tentu mendapatkan banyak kepedulian dari seluruh dunia dan Indonesia yang mendapatkan dampak paling besar menjadi pusat perhatian. Bantuan dan relawan pun berdatangan di Aceh dan Sumatra Utara dengan cepat, lebih sigap dari tindakan pemerintah untuk mengelolanya. Suara kemanusiaan universal telah memanggil manusia dari belahan bumi untuk datang di lokasi bencana, khususnya Aceh. Di satu sisi tragis lainnya, langkah pemerintah indonesia ternyata sangat lamban dalam merespon bencana ini.

Dampak Bencana di Masyarakat Aceh
Bencana tsunami meninggalkan kepedihan mendalam dalam kehidupan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat yang mengalaminya. Siapapun sepakat, bahwa ini adalah bencana kemanusiaan yang terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Karena sangat banyak dampak yang ditimbulkannya, baik yang bersifat fisik-material maupun yang psikis-sosial. Total kerugiannya pun sangat besar (atau tidak bisa dihitung) dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikannya.

Secara fisik, tsunami telah menghancurkan rumah tempat tinggal, sekolah, kantor, pasar dan bangunan-bangunan sarana lainnya. Jalan-jalan yang menjadi penghubung antar wilayah pun rusak berat. Lahan-lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat, juga musnah diterjang tsunami. Praktis, tsunami telah mengancurkan segala sesuatu yang dilaluinya sampai kurang lebih sepanjang 5 Km dari garis pantai.

Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya sebenarnya bukan hanya ada di wilayah fisik-material. Sekilas memang kita hanya melihat bahwa hancurnya bangunan-bangunan tersebut ada di segi fisiknya saja. Padahal hal itu erat kaitannya dengan segenap aspek kehidupan dalam masyarakat Aceh. Hunian warga di sebagian besar kawasan pantai yang sudah hancur itu bukan sekedar wilayah ekonomi dan politik, tapi budaya dan tradisi yang tumbuh selama bertahun-berabad dalam dinamika keseharian warga Aceh. Misalnya dalam hal rusaknya bangunan sekolah dan banyak meninggalnya guru yang mengajar di sekolah tersebut. Hal itu berarti juga hilangnya denyut pendidikan model aceh yang sebelumnya ada dan akan sulit tergantikan dengan model yang serupa.

Dalam bidang ekonomi, denyut ekonomi wilayah bencana tertatih-tatih bahkan lumpuh. Warga yang selamat kehilangan sumber penghasilannya sekaligus juga mengalami dampak dibaliknya sesuai dengan deskripsi diatas. Pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, juga sulit untuk diakses karena minimnya sarana prasarana yang ada. Secara otomatis juga, kekuasaan politik tidak sepenuhnya berlaku di Aceh. Karena korban bencana tidak punya cukup waktu untuk memikirkan dan melakukannya.

Dampak psikis-sosial juga tidak kalah hebatnya. Dampak yang paling sederhana, ikatan sosiologis masyarakat yang sebelumya banyak terbangun berdasar tempat (place) bergeser menjadi berdasarkan “nasib“ (destiny). Banyak anak terpisah dari orang dan begitu sebaliknya, keluarga terpisah dari sanaknya dan kisah-kisah lainnya di “tempat keselamatan”. Jika anak-anak diadopsi keluar Aceh atas nama kemanusiaan, maka akan banyak anak yang tercerabut dari akar budayanya. Komunitas manusia yang dulunya tinggal dalam lingkungan tetangga yang akrab dan hangat menjadi suasana yang beku dan menunggu. Suasana ini tentunya tidak baik dalam lingkungan psikologis manusia.

Apabila dihubungkan dengan sebutan Aceh sebagai serambi Mekah, banyak hal yang dikhawatirkan akan hilang di bumi rencong ini. Religiusitas yang kuat di masyarakat (terutama di kalangan tradisional) akan terkikis sedikit demi sedikit karena banyaknya manusia penganutnya yang meninggal. Disamping juga terbukanya daerah Aceh atas nama operasi kemanusiaan akan mempengaruhi pola pemikiran dan kehidupan masyarakat yang sebelumnya kuat nuansa Islamnya. Ditambah dengan terkuaknya kabar adanya aktivitas pemurtadan yang dilakukan oleh lembaga internasional.

Penanganan yang diberikan dalam bentuk pengungsian ternyata juga berpotensi menimbulkan masalah baru Karena seperti yang disebutkan diatas, jika fungsi pokoknya hanya bersifat menyelamatkan, maka akan menelurkan dampak baru lainnya. Lebih tegasnya, pembangunan barak pengungsi yang bersifat sementara ini merupakan bencana kedua setelah tsunami, karena barak akan menjauhkan masyarakat Aceh dari tanah dan gampong-nya. [bersambung]

No comments: