Saya tidak tahu, kenapa pilkadal kemudian muncul dalam pembicaraan media akhir-akhir ini. Lebih jauh lagi, mengapa pilkada ada, tidak menjadi keahlian saya untuk menjawabnya. Kalau misalnya itu untuk makhluk yang bernama demokrasi, maka negara kita benar-benar memenuhi ”tuntutan demokrasi” yang jadi wacana global. Sekarang, siapa yang berani menantang ”konsep indah” demokrasi? Setelah sosialisme, bertekuk tak berdaya dibuatnya.
Lalu ada yang mengatakan, bahwa pilkadal adalah proses pendewasaan bangsa kita. Mungkin maksudnya, tanggung jawab kepemimpinan bukan lagi monopoli Jakarta. Masyarakat di daerah juga mulai merasakan hirup pikuk pestanya.
Media massa mungkin dipaksa untuk meghadirkan liputan-liputan dari pelosok-pelosok yang sebelumnya belum terjamah. Dan kemudian, usaha penerbitan pers di daerah menjadi berkembang. Karena koran daerah sangat tepat memenuhi kebutuhan suasana, serba-serbi, dan bahkan gosip pilkadal daerahnya. Atau kalau ingin dibuat berlebihan, pilkadal juga mengotonomikan anggaran pesta demokrasi yang sebelumnya lebih berpusat di daerah-daerah urban.
Pernah dalam kuliah Perancangan Organisasi, dosen saya mengomentari tentang pilkadal. Menurutnya, pilkadal hanya proses pertumbuhan organisasi bangsa kita menuju tahapan di depannya. Memang dalam ilmu organisasi, kita mengenal pertumbuhan organisasi, mulai saat pertama organisasi tumbuh yang kemudian mengakibatkan krisis kepemimpinan (seperti saat pertama Indonesia berdiri), kemuadian organisasi menjadi berkembang dengan krisis-krisis yang menghantuinya.
Konon, profesor organisasi satu-satunya di Indonesia ini menambahkan jika pilkadal akan menghadirkan raja-raja kecil di daerah yang berkuasa seperti raja besar di masa lampau. Artinya rakyat tidak akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan era sebelumnya, hanya berbeda penguasa. Bisa jadi, karena skupnya kecil dan tidak dilihat oleh mata semua rakyat Indonesia, kekuasaannya bisa melebihi. Tapi ya..tidak usah su’udzon dulu. Ini hanya masalah pertumbuhan bangsa kita, imbuhnya.
Saya kemudian bertanya, sampai kapan raja-raja kecil akan berkuasa? Jawabnya, jika era raja besar membutuhkan 30-an tahun, maka raja kecil ini un akan membutuhkn waktu serupa. Wah..lama juga ya, pikir saya. Jika mahasiswa berusia rata-rata 22 tahun, berarti di usia 50-an tahun orang-orang muda ini baru merasakan Indonesia wajah baru. Terakhir katanya yang selalu saya ingat sebagai motivasi, “tunggulah nanti Indonesia akan menjadi negara yang disegani oleh dunia saat itu”. Indah rasanya kala itu terjadi.
Ngomong-ngomong soal raja kecil dan usia kita nantinya diatas, saya dan teman asrama kemarin berseloroh. Mungkin kita yang di asrama PPSDMS ini akan menjadi bupati, gubernur di daerahnya masing-masing nantinya. Bramasto di Kediri, Goris di Garut, Yogi di Bangkinang dan lain-lainnya. Terinspirasi oleh iklan pasangan Sofyan-Irkham di stasiun TV yang marak akhir-akhir ini, ada yang melagukan nada yang sama dengan mengganti pasangannya menjadi Bustan-Trian (keduanya dari Jawa Timur). Namanya asrama, mungkin bercandanya pun kudu berbau kepemimpinan.
Tapi benar-benar kami kagum atas upaya yang dilakukan oleh Sofyan-Irkham yang mencalonkan diri menjadi bupati Kutai Kartanegara. Kutai memang kabupaten terkaya di Indonesia, disukung dengan SDA yang melimpah ruah. Konon, dia menjanjikan pembangunan setiap desa senilai 30 miliar setiap tahunnya. SD sampai SMA juga dibebaskan dari biaya apapun. Pokoknya, dia menjadikan dirinya tokoh pembaharu dan pembawa kemajuan.
Jika semua kepala daerah yang terpilih melakukan seperti itu, raja-raja kecil yang ditakutkan tidak akan terjadi. Waktu yang 30-an tahun tadi mungkin bisa kita tawar. Profesor saya pun mungkin masih berkesempatan melihat Indonesia yang maju dan disegani. Dan kita yang muda, tidak perlu berbasah ria dengan birokrat pemerintahan kerena menjadi gubernur, bupati seperti yang guyonan kami.
Semudah itukah akan terwujud? Bukankah dari iklan itu, kita malah bengong ga karuan dibuatnya. Kok bisa-bisanya ngorbanin diri untuk nongol di salah satu stasiun tv setiap rentang pukul 6 sampai 7 malam sebanyak rata-rata 5 kali itu? Bukankah ”hanya” calon bupati? Sebuah kutai lagi, bukan lingkup negara.
Sekarang mari kita berhitung singkat. Kalau setiap hari 5 kali tampil, dan menurut AC Nielsen jam 6-7 adalah jam tayang nomor dua setelah jam 7-8 malam (premier). Maka harga sebuah iklan berdurasi 30 menit cukup mahal, yakni 15 juta (5 juta di bawah jam premier). Meskipun itu bisa jadiu tidak sama untuk setiap stasiun tv, mari itu kita anggap sebagai asumsi (stasiun tv yang menayangkan bisa jadi lebih mahal, karena tayangan berita yang ekslusifnya) Jadi, setiap hari (jika rata-rata 5 kali) harus merogoh 75 juta. Taruhlah kampanye dalam 10 hari, maka 750 juta akan melayang. Belum lagi biaya produksi dan pastinya pajak bagi negara.
Itu memang hanya terjadi di Kutai barangkali. Tapi minimal setiap pilkadal di daerah-daerah yang tidak sekaya Kutai, akan menggunakan sarana iklan di media massa sebagai metode yang efektif. Maka ujung-ujungnya, duit yang berbicara. Siapa yang punya lebih, akan menampilkan dirinya sebaik mungkin. Pertanyaan lagi, dari mana dan itu? Kutai memang kaya, tapi bukankah kabupaten yang kaya? Bukan orang per orangnya. Itupun ternyata masih banyak jalan-jalan pelosok yang belum di aspal, atau kampung-kampung hulu sungai yang hanya terakses oleh perahu tradisional.
Jadilah pilkadal ajang ”biasa” yang tidak pernah membaik. Panwaslu kesulitan menjerat, laporan keuangan tidak transparan sumbernya, janji yang susah ditagih kembali. Lalu apalagi? Bangsa ini pun akan menjadi seperti biasanya. Saya tidak tahu, apakah busung lapar di NTB sekarang akan tertangani dengan adanya pilkadal? Sekarang dengan liputan gencar media nasional pun, pemerintah daerahnya bisa menyebut bahwa itu hanya kekurangan gizi, bukan busung lapar. Barangkali masyarakatnya pun tidak disebut miskin, melainkan prasejahtera.
Lalu apalagi? Pemberantasan korupsi yang sekarang sedang di top down oleh SBY mungkin terganjal karena ”Gue kan dipilh rakyat gue, buat apa pusat campur tangan?”. Nah...kalau sudah seperti itu, rakyat tetap seperti biasa lagi. Sikap nrimo, mangan ora mangan sing penting kumpul. Dan penguasa pun menjadi penikmat mayoritas kekayaan.
Jadinya, orang-orang muda idealis akan biasa pula tetap di bawah kungkungan cita-citanya. Itung-itung latihan militansi-lah, mas mau langsung enak. Kalau tidak kaya gini, mungkin tidak akan ada obyek lawan yang akan diserang oleh perjuangan penuh heroik. Lha wong sekarang aja, sudah tidak sejelas seperti Soeharto dulu. Mumpung masih berpeluang menimbulkan gejolak, hayo kita berjuang bareng-bareng.
Dan kemudian, segala landasan yang melatarbelakangi pilkadal seperti embuh pagi saja, yang nantinya hilang diterpa sinar matahari. Cita-cita menjadikan kita negara demokratis se-dunia mungkin akan kita dapatkan. Toh, mereka sejak 1999 sudah memberikan itu pada kita. Kita memang sekedar bangga menyandang, bukan melaksankannya.
Entahlah, saya sendiri juga menganggapnya enteng tentang pilkadal ini. Tapi guyonan bahwa anak-anak asrama ini akan menjadi kepala daerah di daerahnya masing-masing menjadi masuk akal juga. Karena huru-hara tidak bertepi, ya peluang itu sangat terbuka. Mungkin minimal menjadi wakil rakyat dari daerahnya. Ini hanya obrolan santai kami.
Dan sekarang kita tidak perlu ikut bingung-bingung memikirkan pilkadal. Kaya hiburan API (Akademi Pelawak Indonesia) yang sedang marak. Karena mungkin kita akan memikirkannya lebih matang di masa depan.Jadi, ya biasa saja lah...
No comments:
Post a Comment