Pertama, saat menginginkan sesuatu hal maka dengan berpikir tentang hal itu dan kebahagian yang didapatkan bila mendapatkannya, maka seseorang mempunyai harapan untuk mendapatkan sesuatu tersebut.
Kedua, saat menginginkan sesuatu hal maka dengan berpikir tentang kejadian buruk yang akan menimpa bila hal itu tidak didapatkannya, maka seseorang mempunyai ketakutan sehingga berusahan mendapatkan sesuatu tersebut.
Dilihat dari hasil (result), dua hal itu sama bukan? Dan memang pada dasarnya saat menginginkan sesuatu, kita bisa berharap kebahagian karenanya atau karena takut kehilangan darinya. Misalnya, saat mengingnkan memasuki perguruan tinggi atau perusahaan yang diidamkan, maka harapan yang dibangun adalah kesempatan yang lebih besar dan kebanggan keluarga, sedang ketakutannya bisa tidak menghambat milestone hidup berikutnya serta dicitrakan tidak mampu.
Tentang harapan, Imam Al-Ghazali memberikan tiga tipe harapan yang dibangun oleh manusia yang diceritakan dalam kisah seorang petani:
1. Seorang petani yang menanam padi pada masam tanam. Kemudian berharap bahwa pada masa panen tanaman itu akan memberikan hasil baiknya. Namun petani itu tidak mau merawat dan memelihara tanaman untuk mendapatkan hasil baik tersebut. Maka petani ini termasuk golongan pengkhayal.
2. Seorang petani yang menanam padi bukan pada masa tanam (bukan penghujan), dan dia berharap bahwa hujan yang sangat tidak pasti itu akan turun sehingga hasil tanamnya baik. Maka ketidakpastian yang didapat petani tersebut. Dan petani ini termasuk dalam golongan penjudi.
3. Seorang petani yang menanam padi di musim tanam, lalu merawat tanamannya itu dan kemudian berharap bahwa hasil tanamnya akan baik.
Dari ketiga golongan petani diatas, harapan yang sesungguhnya adalah milik petani ketiga. Harapan yang telah disertai dengan pemikiran dan usaha yang maksimal. Bukan khayalan atau perjudian.
Sedangkan ketakutan, ada pandangan dari Anthony Robbins yang melakukan penelitian terhadap harapan (hope) dan ketakutan (fearness) sebagai daya yang mendorong manusia dalam melakukan sesuatu, ternyata faktor karena ketakutan itulah yang lebih tinggi tingkat pencapaiannya (achievement).
Misalnya, pada sebuah malam seorang harus mencari uang untuk dapat membayar sekolah besok. Maka membayangkan kebahagiaan dan masa depan yang akan dicapai anaknya dengan sekolah itu adalah pendorong utama pencarian uang dalam semalam itu. Pada kasus yang sama, pendorong utama mencari uang adalah karena ketakutan jika anaknya tidak bisa bersekolah maka hilanglah masa depannya.
Ternyata diantara dua tipe pendorong tersebut, manusia lebih efektif bila terdorong oleh tipe kedua yaitu karena ketakutan. Dengan membayangkan ketakutan-ketakutan, hal-hal negatif yang akan didapatkan bila tidak mencapai sesuatu keinginan itu, maka semangat mencapainya akan lebih besar. Praktisnya, dengan mendaftar ketakutan yaitu kemungkinan-kemungkinan buruk apa saja yang mungkin terjadi bila kesempatan yang tidak datang setiap saat itu lepas.
Bila dikaitkan dengan budaya, apa yang dikatakan Robbins mungkin terlihat sangat Barat. Karena budaya Timur cenderung mengajarkan bahwa berpikir positif atau membayangkan hal-hal positif itu lebih baik daripada berpikir yang negatif, atau kemungkinan buruk.
Tapi sebenarnya dalam risalah Islam sendiri, berpikir kemungkinan negatif inipun telah dilakukan Rasul Muhammad saat menghadapi perang besar pertama dengan kaum Quraisy, yaitu Perang Badar. Dengan jumlah yang hanya 313 menghadapi 1000 maka saat itu Muhammad berdo’a kepada Allah SWT, kurang lebih menyatakan bahwa jika kaum kafir berhasil mengalahkan mereka sampai tiada tersisa, maka tidak akan ada lagi umat manusia di dunia ini yang akan menyembah Allah. Dan atas izin-NYA, perang itu dimenangkan kaum muslim.
Jadi sebenarnya, antara harapan dan ketakutan seperti sepasang sayap yang sama-sama digunakan untuk meraih sesuatu. Keduanya bisa digunakan, dan tidak perlu anti untuk memanfaatkan keduanya. Bisa jadi dengan memakai dua sayap utuh, terbang itu pun akan semakin tinggi dan tinggi.
Mari kita mencobanya.