Monday, May 30, 2005

Melihat (kembali) Peran Kampus

Semua di dunia pasti berubah
Hanya perubahan sendiri yang tidak berubah


Perubahan sudah menjadi hukum alam di dunia ini. Sejak kecil sampai sekarang, kita sudah melalui banyak mengalami dan melihat perubahan-perubahan yang tampak maupun tak tampak. Bangsa inipun terbukti telah melakukan banyak transformasi struktural dan kultural seiiring zaman berlalu.

Tidak selamanya perubahan terjadi secara perlahan dan dalam waktu lama. Perubahan revolusioner pernah terjadi di muka bumi ini. Walaupun perubahan yng seperti itu lebih dekat kepada pertumpahan darah dan air mata. Setidaknya, melakukan perubahan besar dalam waktu cepat membutuhkan lebih banyak keberanian dan pengorbanan. Merubah kebiasaan adalah salah satunya.

Kebiasan dibentuk oleh tindakan yang berulang. Tindakan sendiri ditentukan oleh kemauan untuk melakukannya. Sebelumnya, pada tahap keyakinan seseorang meletakkan kerangka kemauannya. Sedangkan kebiasaan kontinu akan membangun karakter yang menghati dalam diri seseorang. Proses ini masih harus dibingkai dengan baik/tidak baik tindakan yang dilakukannya.

Dan masyarakat kita tampaknya belum memahami alur pemahaman seperti diatas. Seringkali permasalahan kecil dan singkat diremehkan, sehingga menjadikannya suatu karakter bersama di kemudian harinya. Euforia perubahan bangsa bukannya di jadikan momentum melakukan transformasi, tapi sebagai dalih kemerdekaan dalam bertingkah laku menurut persepsinya.

Fenomena tersebut ternyata terjadi hampir di seluruh kehidupan masyarakat, termasuk lingkungaan akademis (kampus). Banyak hal-hal baik saat pra-mahasiswa hilang hanya beberapa bulan setelah menyandang status mahasiswa. Perubahan menuju sesuatu hal yang pragmatis terjadi dalam tempo relatif cepat. Nilai-nilai universal seperti kemanusiaan dan kebangsaan harus tertatih-tatih menghadapi benturan budaya baru yang tidak semuanya baik. Lebih fatalnya, perubahan itu tidak hanya terjadi dalam tingkatan tindakan semata. Tapi jauh lebih dalam, masuk ke bagian visi hidupnya.
Sungguh ironis menyaksikan kampus yang (seharusnya) menjadi lumbung nilai-nilai universal, harus menyelenggarakan pendidikan yang tidak “memanusiakan manusia” itu sendiri. Manusia kampus dituntut untuk mengedepankan intelektualitas dalam setiap tindakan ilmiahnya, tapi ternyata melupakan sudut pandang sosial yang menjadi ruang tempat menerapkan ilmunya kelak.

Penguasan ilmu pengetahun dan teknologi (Iptek) menjadi parameter kesuksesan kampus. Sumber daya disalurkan sepenuhnya untuk menuju kampus masa depan sarat sains dan teknologi. Motivasi untuk meneliti dan mengembangkan iptek menjadi misi pendidikan yang dicanangkannya. Dampaknya adalah lingkungan kampus yang berorientasi pada kemampuan menguasai iptek setinggi-tingginya.

Perubahan paradigma yang dianut kampus-kampus tidak terlepas dengan tren dunia mutakhir. Gempuran globalisasi menuntut kampus untuk berbenah. Tuntutan industrialisasi sebagai salah satu syarat globalisasi ikut mempengaruhi arah pendidikan kita. Kurikulum dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar terhadap lulusan kampus. Jangan heran, bila kampus “sedikit” bergeser fungsinya menjadi pencetak sekrup-sekrup industri global karena parameter kemajuan suatu negara banyak dilihat dari perkembangan industrinya.

Fenomena “sekrup-sekrup globalisasi” ini mungkin bisa dilihat dengan survey Koran Kampus ITB yang diterbitkan februari 2003 terhadap 156 mahasiswa ITB bahwa 45% responden ingin bekerja di perusahan swasta, 18% menjadi wiraswasta, 13% menjadi dosen dan peneliti, 11% sekolah lagi, 4% aktif di LSM, 4% bekerja di pemerintahan dan 5% tidak tahu. Dari responden yang ingin bekerja pada perusahaan swsata, 73% ingin di perusahaan luar negeri dan hanya 27% yang menginginkan perusahaan domestik. Gejala apakah ini?

Sementara itu realita penguasan iptek di masyarakat kontras dengan kehidupan kampus. Masyarakat hanya dibiasakan untuk menjadi konsumen produk iptek, bukan sebagai penyumbang pengembangan iptek. Wajar bila kesan yang ditimbulkan bahwa teknologi itu adalah sesuatu yang sulit, meskipun akhir-akhir ini masyarakat kita familiar dengan produk-produk iptek.

Perkembangan teknologi kerakyatan (dalam hal ini direpresentasikan teknologi tepat guna) masih kalah jauh dengan perkembangan teknologi tinggi seperti IT dan nuklir. Selain kurang kondusifnya kebijakan terhadap industri berbasis teknologi kerakyatan, patut kita pertanyakan selama ini peran “inkubator iptek” yang menyebar di negeri ini. Institusi (baca :pergurusann tinggi) yang menyandang tiga tugas mulia sekaligus dalam perjalanannya yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bukan suatu kesalahan bila masyarakat begitu berharap peran besar perguruan tinggi dalam mengembangkan teknologi sebagai penggerak usahanya.

Akhirnya, kesan yang ditimbulkan oleh teknologi kerakyatan adalah teknologi yang underdevelopment. Padahal, konon sentra industri / usaha kecil menengah (UKM) sebagai pemakai TTG tidak rentan dengan badai krisis multidimensi. Dan kemampuan menyerap tenaga kerja menjadi ujung tombak mengurangi permasalahan pengangguran indonesia. Keberadaanya yang meluas sampai pelosok negeri menjadi kelebihan sentra ini bila digunakan sebagai salah satu penopang perkembangan ekonomi nasional kita.
Dengan melihat kemampuan UKM diatas, perguruan tinggi yang banyak terdapat juga di kota-kota indonesia diharapkan perannya. Mungkin tidak semata karena pemerataan pendidikan saja, perguruan tinggi secara geoekonomi mendukung perannya dalam pengabdian masyarakat. Tidak serta merta salah, bila perguruan tinggi berorientasi pada kemampuan penguasan iptek setinggi-tingginya, dengan berperan besar dalam mengembangkan industrialisasi dengan dalih mengembangkan perekonomian. Namun kita harus cukup punya rasa “tahu diri” terhadap realita di masyarakat.

Masyarakat tidak akan meminta perguruan tinggi untuk membina dan mendampinginya secara terus menerus. Tidak juga meminta balas budi atas peran serta masyarakat langsung-tidak langsung dalam sejarah pendidikan. Toh, bila kemudian perguruan tinggi menganggap sebelah mata harapan mulia ini, masyarakat tidak akan berkeinginan untuk menuntutnya.

Seperti apa yang bisa dilakukan perguruan tinggi? Atau mencoba melihat dari sisi lain, bentuk peran perguruan tinggi yang diharapkan masyarakat. Yang harus dijadikan acuan awal adalah, perguruan diri harus memposisikan diri sebagai pendamping bukan pembimbing yang mengarahkan gerak UKM.

Menyampaikan teknologi harus mempertimbangkan sisi UKM. Penyampaian yang tidak melihat konteksnya akan menenggelamkan teknologi itu sendiri. Karena manusia belajar dari berbagai sisi kehidupan dengan metode yang khas. Ada yang dengan memakai landasan pengalaman dan tidak mau menerima hal-hal baru, namun ada juga yang open minded. Proses identifikasi permasalahan UKM harus juga memperhatikan konteks. Pemaksaan penerapan teknologi atas nama kemajuan malah bisa menurunkan efektifitas dan efisisensi usahanya. Contohnya penerapan Sistem Informasi Manajemen (SIM) kurang tepat bila digunakan di usaha menengah pengemasan susu murni. Mungkin dengan menerapkan prinsip-prinsip kaizen akan lebih sesuai.

Hal yang demikian inilah yang kurang dipahamai oleh kita dalam membantu UKM. Dengan keinginan membangkitkan semangat “Aufklarung” revolusi industri, kita gegabah memaksakan penerapan teknologi disana-sini dengan berlagak sebagai pembimbing (pahlawan) UKM. Jangan berharap, kita akan bertahan lama dalam usaha pengabdian masyarakat. Alih-alih yang ditanamkan adalah phobia terhadap semua bentuk bantuan teknologi yang diberikan kepada mereka ke depannya.

Dengan memahami konteks identifikasi itulah, baru kemudian kita bisa menggunakan metode kolaborasi iptek dan budaya masyarakat untuk membantu mengembangkan usahanya. Dengan kuantitas inkubator iptek (baca: universitas) yang menyebar di seluruh wilayah indonesia akan lebih mudah mengkombinasikan iptek dengan karakteristik lokal setempat. Disamping percepatan ekonomi makro yang dicapai, nuansa penelitian dan peran sosial (social role) kampus akan tereksploitasi.

Namun tampaknya, cita-cita diatas masih belum terbangun untuk direalisasikan atau sekedar wacana belaka. Karena paradigma kalangan kampus belum menunjukkan tanda-tanda mengarah kesana. Dan akhirnya, seperti di awal tulisan disampaikan bahwa merubah suatu kebiasaan itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Tidak cukup dengan suatu usaha temporal, tapi usaha yang berkesinmbungan. Apalagi kebiasaan itu menggunakan alasan demi “keberlangsungan hidup” sebagai perisainya. Dan lebih dari itu bila sudah merupakan kultur yang dibangun dalam sistem pendidikan kita, tunggulah saatnya ibu pertiwi meratap sedih karena sempat melahirkan putra-putri terbaik bangsa yang hanya akan menjadi sekrup-sekrup globalisasi masa depan.
Bapak Amerika Serikat, Abraham Lincoln pernah berujar, “Banyak hal yang mungkin datang kepada mereka yang menunggu, tetapi itu hanya hal-hal yang disisakan oleh mereka yang bekerja keras.”

Jika negara lain bisa maju dan mengejar ketertinggalan dengan berbasiskan teknologi kerakyatan, maka dengan keyakinan dan kemauan bersama, kita bisa memulai untuk mewujudkannya. Bukan untuk kita, tapi untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater...

2 comments:

Anonymous said...

BAGUS!!!!....

Anonymous said...

peradaban ( maaf, bukan negara, saya kurang suka dengan istilah "negara", politis!), butuh pemuda mandiri, gitu loh....