Tuesday, May 10, 2005

Reality Show dan Nilai Kebenaran

Hampir semua channel stasiun televisi Indonesia selama dua tahunan ini marak dengan sebuah format acara baru yang menarik. Acara tersebut adalah acara yang mendasarkan idenya pada kenyataan yang terjadi. Namun, kenyataan yang diambil adalah kenyataan praktis sesuai tujuan dari acara tersebut. Atau dalam istilah media, format acara tersebut dinamakan reality show. Rangkaian acaranya secara garis besar, seorang yang diminta melakukan sesuatu dan di-shoot. Setelah selesai, orang tersebut baru mengetahui apa yang dilakukan atas dirinya (kesadaran di akhir). Contoh-contoh jenis acara reality show, acara yang menunjukan fenomena kegaiban (dunia lain, uka-uka), percintaan dan anak muda (katakan cinta, H2C), memberikan pertolongan secara tiba-tiba (bongkar rumah, tolong) atau hanya untuk kesenangan atau iseng (bule gila, spontan).

Dari sudut pandang televisi sebagai media komunikasi massa, fenomena tersebut menjadi perhatian serius bagi kalangan pemerhati efek social-kultural komunikasi massa. Dalam bahasa yang sederhana, komunikasi adalah berhubungan antara minimal dua pihak. Sedangkan komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media besarta pesan yang dihasilkan, pembaca/pendengar/penonton yang akan diraihnya, dan efeknya terhadap mereka (Nurudin, 2003). Dan dalam tulisan ini, kita akan bersama melihat reality show dari kerangka teori komunikasi massa.

Perkembangan komunikasi manusia diawali ketika manusia hidup. Saat itu, komunikasi dilakukan dengan isyarat atau tanda-tanda. Dalam istilah para sastrawan (seperti Paulo Coelho, Seno Ajidarma), tanda atau symbol ini sering disebut sebagai “bahasa buana”, karena sifatnya yang universal (lintas batas). Bahasa yang tidak perlu diucapkan karena manusia sudah saling bisa memhamainya. Dari symbol ini, komuniaksi berkembang ketika manusia menemukan bahasa dalam artian yang kita sampai sekarang. Inilah dinamakan dengan era komunikasi lisan. Perkembangan berikutnya, manusia mengenal tulisan. Hal yang menjadikan masa komunikasi dalam kekemasan adalah ketika masyarakat Cina mengenal kertas. Kemudian berkembang ke tingkatan komunikasi berikutnya, saat ditemukan mesin cetak olah Guttenberg di masa revolusi industri. Dan ini disebut sebagai zaman cetak.

Sekarang tahapan komunikasi sudah masuk dalam zaman yang lebih diatasnya lagi, yakni zaman komunikasi massa. Zaman ini ditandai dengan banyaknya media komunikasi yang memborbardir kehidupan masyarakat dan individu sampai dalam urusan privasi. Sasarannya dari kehidupan bangun tidur hingga berangkat tidur kembali, dari anak sampai orang tua, dari kehidupan sumur-dapur-kasur sampai kehidupan meeting kelas tinggi. Kemampuann ini juga dibarengi dengan semakin cepatnya informasi dari seluruh dunia diketahui oleh manusia di belahan dunia lainnya.

Dengan kenyataan tersebut, fungsi komunikasi yang awalnya murni sebagai penghubung antara pengirim pesan dan penerimanya menjadi melebar. Komunikasi selain berfungsi sebagai sarana informasi, hiburan dan persuasi, meluas juga fungsinya menjadi transmisi budaya, mendorong kohesi social, pengawasan (kejadian di lingkungan), korelasi (antar bagian masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya) dan pewarisan sosial. Transmisi budaya maksudnya menjadi sarana bergesernya nilai, norma budaya masyarakat. Hal inilah (dan pendorong kohesi social) yang sebenarnya menjadi fungsi terbesar yang dirasakan dewasa ini. Sedangkan pewarisan budaya maksudnya media sebagai pendisik yang mewariskan informasi, ilmu pengetahuan, nilai, norma ke generasi berikutnya.

Kembali dalam kaitan dengan reality show, televisi sebagai bentuk komunikasi massa juga secara otomatis melkukan fungsi seperti diatas. Sebuah reality show (sesuai karakteristik sekarang) akan menjadi sarana transmisi budaya, misalnya dari yang malu saat berdandan seronok dulunya, menjadi tidak malu karena factor uang dan ketenaran. Bergeser pula makna kehidupan pribadi seseorang menjad wilayah pubilk. Ini pula yang dikemukakan oleh Taylor (1856-1915), dimana manusia adalah makhluk rasional yang mau melakukan apa saja demi imbalan yang pantas. Transmisi dalam reality show lebih besar mendorong dalam budaya yang permisif, pubicitas, materialis, budaya iseng/jahil daripada fungsi menghibur atau fungsi lainnya.

Sedangkan, dalam teori komunikasi massa terdapat sedikitnya dua aliran besar yang berbeda dalam melakukan pendekatan. Madzab pertama, menyatakan dengan toeri peluru (Hypodermic needle theory) dimana audiences (penerima pesan) tidak bisa menghindari peluru yang ditembakan secara tepat sasaran oleh pengelola media. Disini seolah-olah pengelola media lebih pintar dari audiences, sehingga ketika audiences ditembak tidak mampu menghindarinya. Teori ini berkembang terutama saat krisis damai di dunia karena perang (kurang dari tahun 1960-an), dan opini media mampu membangun opini public keseluruhan. Dari teori ini, juga terdapat beberapa turunannya. Salah satunya yaitu cultivation theory, dimana televisi dianggap media yang memilki dampak terluas. Kritik terhadap jenis teori ini adalah, kesamaan yang terjadi antara yamng ditembakan media (televisi misalnya) mungkin adalah sebuah kebetulan karena banyak factor yang mempengaruhinya, dan salah satunya adalah media. Konstruksi realitas social, lebih banyak ditentukan oleh manusia sendiri yang memilki keputusan.

Madzab berikutnya berbicara bahwa audiences sekarang bersifat selektif dalam menerima informasi yang diterimanya, antara menerima atau mempertimbangkan bahkan menolaknya.penonton juga memutuskan melalui media mana ia akan menjalin komunikasinya. Hal ini karena tidak semua orang sama dalam pemanfaatan media. Misalnya, Mtv hanya disukai oleh anak muda. Sedangkan Koran. Digunakan oleh orang yang ingin membaca berita dalam bentuk tulisan.

Diantara dua liran besar diatas, manakah yang akan dipakai dalam melihat reality show? Menurut penulis pribadi, dalam beberapa hal keduanya bisa dipakai sekaligus. Reality show telah menunjukan kepada kita segala yang sebelumnya kita tidak terlalu mau tahu, yaitu perasaan orang (secara nyata) jika diberikan sesuatu. Kesadaran akhir ini bagi audiences akan mempengaruhi persepsi tentang situasi orang dalam keadaan tersebut. Dari persepsi ini, mereka akan melakukan dua hal seperti dalam teori diatas, menelan mentah-mentah atau bersikap selektif.

Tapi setidaknya, audiences tidak bisa lari atau menghindar dari peluru jika ia menonton reality show. Saat kemuadian ia melakukannya, maka aka terjadi benturan antara apa yang benar, apa yang kita anggap benar dan apa yang sedang bekerja. Berbicara kebenaran menurut Julian Baggini seperti halnya relativisme Albert Einstein. Segala sesuatu yang kita anggap benar -padahal itu tidak sesuai dengan yang bekerja-, belum tentu itu benar secara absolut. Sedangkan kebenaran itu sendiri terdapat dua pendangan, antara kebenaran realis dan nonrealis.

Kebenaran realis menegaskan bahwa kebenaran itu ada, apakah kita mengetahui atau tidak; kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Kebenaran nonrealis berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana. Kebenaran tidak pernah berada “di luar sana”, dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat. Individu ataupun budaya.

Sehingga dalam menilai reality show, harus teliti melihat sesuai dengan filosofis kebenaran diatas. Jika survey lembaga AC Nielsen (lembaga survey terkemuka tentang program stasiun televise) menyebutkan bahwa masyarakat menyukai reality show, maka kemauan publik belum tentu mencerminkan kebenaran itu sendiri. Harus ada sebuah “survey” yang secara inferensi bisa mengidentifikasikan efek dari program-program tersebut. Dan paradigma ini yang jarang dipakai oleh pengelola stasiun televise dalam menyusun program acara. Padahal, sebuah program acara akan ambil bagian dari transmisi budaya. Dan kalau boleh menuduh, pengelola stasiun televisi lah yang bertanggung jawab terhadap kondisi budaya bangsa saat ini, baik budaya baik maupun budaya buruk.

Disini, penulis setuju dengan pandangan yang menyatakan bahwa televisi adalah “lingkungan simbolik”. Televisi tidak hanya merefleksikan kejadian sehari-hari di sekitar kita, tapi dunia itu sendiri. Sehingga benar yang dikemukakan Garin Nugroho, bahwa televisi telah menjadi dunia multikanal dalam hidup manusia Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton televisi dengan motivasi dan perencanaan.

Terakhir, penulis teringat dengan ungkapan Marshall McLuhan, “ kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan tersebut membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”. Manusia sendiri lah yang sebenarnya berhak memutuskan tentang peradabannya, bukan pengetahuan, teknologi atau manusia zaman lampau. Itulah yang lebih memuliakan manusia dari makhluk lainnya di muka bumi ini. Semoga…

No comments: