Friday, October 05, 2007

Esia yang merajalela

Operator CDMA yang satu ini telah benar-benar manjadi icon telepon murah. Sejak kemunculannya, Esia menawarkan tarif murah sebagai ujung tombak marketingnya. Walaupun saat itu sudah ada pemain pasar yang cukup besar yaitu Flexy, namun karakter pasar indonesia yang berorientasi ‘cost-minimun’ mampu difasilitasi oleh Bakrie Telecom (BT) sebagai provider Esia.

Namun apa yang dilakukan Esia sebenarnya bukanlah murni kemampuan membaca pasar telekomunikasi mobile indonesia, tapi juga terobosan dalam mengubah image bahwa telepon yang sudah menjadi barang kebutuhan ini bukanlah sebuah barang mahal. Dalam tataran yang lebih komersial, Esia berhasil melakukan market-education yang ujungnya adalah berbondongnya masyarakat untuk menggunakan Esia.

Sebenarnya secara umum begitulah strategi CDMA dalam ‘merebut’ pasar status quo GSM. Namun, jika Flexy sebagai inisiator pasar CDMA yang menggebrak pasar, maka Esia adalah inovator yang meramaikan celah-celah jumud pasar telekomunikasi mobile kita.

Sekarang, mari kita lihat apa yang telah Esia lakukan. Pertama, jargon Rp 1000/jam yang dijaga terus untuk me-maintain market yang mulai loyal. kedua, gencar melakukan penetrasi pasar dengan beragam produk mutakhir.

Wifone, ingin dimasukan ke dalam kategori telepon rumah (fix-phone) dengan fitur ponsel. Tengah tahun 2007, BT meluncurkan kartu perdana Esia bebas bicara 3 bulan. Kemudian yang terbaru, paket 6 bulan bebas bicara kerjasama dengan produsen LG. Jangan lupa juga yang gencar sekarang, paket ponsel + Esia yang ‘hanya’ Rp 199.000,-

Rumus sukses Esia yang paling hebat adalah dalam marketing, konsisten dalam positioning-nya dalam pasar. Sekalipun Flexy yang menghajar dengan jargon “ga perlu lama bicara” atau Rp 49/menit atau bahkan operator-operator lain, Esia masih cukup mantap di mata konsumen. Tak rugi juga BT saat membajak Erick Mejer dari pemain besar Telkomsel awal 2007 lalu, yang konon sampai menghanguskan bonus tahunan karyawan BT untuk tahun 2006.

Apa yang kemudian didapatkan Esia adalah pelanggan-pelanggan baru yang menggunakan Esia atas dasar kebutuhan komunikasi murahnya, sekalipun sudah memiliki lebih dari satu nomor mobile. Artinya, Esia tidak hanya bermain dalam paradigma pasar yang ada tapi malah ‘menciptakan’ pasar tersendiri.

Dalam jangka panjang, apa yang dilakukan Esia tentu saja rentan. Bagi pandangan konservatif, loyalitas dan service yang ditawarkan operator besar (baca: Telkomsel) adalah utama, sedang murah namun terbatas jangkuan adalah hal yang lain. Namun, dalam industri yang lain pun ternyata eksistensi ‘si perusuh’ juga mengancam ‘si status quo’, yaitu antara Pos Kota dan Kompas.

Apalagi dengan sudah biasanya masyarakat ber-hp lebih dari satu (misal 1 GSM dan 1 CDMA), maka ada kemungkinan pula terjadinya pergeseran budget dari semula ada di GSM sekarang mulai beralih ke CDMA. Hal ini tentu tentu saja belum menjadi kekhawatiran besar para operator GSM karena masih sangat terbatasnya coverage CDMA. Namun untuk di kota besar saja, pola peralihan itupun sudah sangat banyak terjadi. Bahkan untuk launching Esia di Surabaya 2 bulan lalu, operator GSM raksasa pun sudah mulai berhitung berapa kemungkinan revenue-nya akan turun.

Sebagai ‘perusuh’ yang bermain di zona volatile, Esia tentu harus mempunyai strategi khusus untuk menghadapainya. Bermain terus-menuerus di level low-cost mungkin akan membantu tapi tentu tidak selamanya. Apalagi sekarang, seringkali ada gangguan mulai jaringan overload, ‘pemutusan’ pembicaraan di menit sekitar 55-60 sehingga gagalnya Rp 1000/jam, hingga harga paket di retailer yang ternyata lebih besar dari promo Rp 199.000,- dan ribuan komplain karena ternyata jaringannya ngadat (ingat guyonan tukang becak madura, murah koq ingin selamat!).

Bagi para konsumen, keberadaan CDMA secara umum sangatlah menguntungkan karena terjadinya persaingan pasar yang mengakibatkan harga menjadi semakin murah. Bagi para muda-mudi yang terjerat ‘panah asmara’, Esia tentu menjadi pilihan utama jika menginginkan pembicaraan terjadi sering dan tetap murah. Dan jika sudah alasan yang ‘emosional’ macam begini, seorang teman pun berani membayar sebuah telepon CDMA dengan harga yang lebih mahal (namun masih jauh di bawah harga pasar) dibandingkan saat beli awalnya.

Terakhir untuk para maniak Esia, sediakan handsfree karena telepon berlama-lama akan meningkatkan kemungkinan radiasi ke otak pemakainya. Maunya murah tapi masa depan justru terancam tentu bukan pilihan bijak. Semoga hal ini pun menjadi concern Bakrie Telecom (dan para operator CDMA) dalam program edukasi pasar ke depannya.

9 comments:

Dika Amelia Ifani said...

Hm, untuk yang gak punya telepon rumah (macam saya) memang cdma sangat membantu. Tapi esia kayanya akan lebih bermanfaat untuk percakapan antar kota (antara ibu dengan anak yang terpisah ruang dan waktu misalnya..halah).dan tetap berlaku, penting mendesak atau penting tidak mendesak..dst.

*komentator pertama akhirnya :)

Anonymous said...

Kayaknya perlu dibaca anakku, dia pake Esia agar murah, bisa tilpon berjam-jam.

Saya tetap setia pake Telkomsel, karena udah sejak awal, dan udah dikenal khalayak pertemanan....emang mahal sih, tapi ngirit asal ga teleponnya dari luar pulau.

ikram said...

Awas, sebentar lagi ada orang Bakrie Telecom yang nelfon deh nih :D

Anonymous said...

beuh... terang2an banget promosinya yan,
low cost strategy memang kena banget kalo di Indonesia,
makanya sekarang hampir semua operator baik GSM maupun CDMA pakai strategi itu, dengan peryaratan2 tertentu*, yg malah membohongi publik dan bukan mengedukasi

Iman Brotoseno said...

he he saya pernah buat film iklan esia, terus sama klien dikasih nomor gratis plus handsetnya, ternyata murah kalau bicara dengan sesama esia juga, lalu masih banyak blank spot nya..ya gimana

Unknown said...

murah kok pengen selamat;
saya cari yang aman aja meski mahal!

Trian Hendro A. said...

#dika: jadi harusnya dika punya esia atuh.. :p
anyway, selamat berhasil menjadi komentator pertama hehe

#bu enny: iya bu, saya aja sekarang mau migrasi kartu juga mikir-mikir karena udah dikenal luas itu (padahal saya masih 'belum apa2' hehe). esia hanya untuk di jakarta dan karena murahnya itu bu.

#Ikram: iya nih kram, tapi ga papa buat masukan juga. asal jangan langsung ditawari masuk BT aja sekarang :)

#Jaya: kalau di Korsel (juga Taiwan?) bahkan ponsel memang berbasis CDMA kan mas? makanya telpon juga sudah sangat murah disana.

#Mas Iman: ya itu mas, mau murah ada kekurangannya. tapi buat di jakarta, esia sangat handal dan murah (teuteup..!! hehe)

#Mbak Isnu: iya mbak, saya pake kombinasi juga koq. intinya, jangan alergi dengan perkembangan teknologi yang bisa membuat hidup lebih efisien :)

Buat Bakrie Telecom
: kenapa tiba-tiba memotong 9000 untuk aktivasi nada dering ya? kan saya kan registrasi?? 9000 esia itu mahal, kembalikan uang saya!!! :D

Anonymous said...

CDMA bisa murah bukan karena CDMAnya. Tapi karena strategi pemasarannya memang begitu. Sebenarnya kalau dilihat dari teknologi, keduanya nyaris setara, walaupun CDMA generasi terakhir jelas menggungguli GSM. (ya iya lah, kan diadopsi jadi standar 3G)

Kalau dahulu telkomsel pakenya teknologi CDMA, pasti kejadiannya sekarang sebaliknya. GSM yang murah, CDMA yang mahal.

Agak aneh sebenarnya lho, CDMA membutuhkan BTS jauh lebih banyak dari pada GSM, tapi bisa ngasih tarif jauh di bawah GSM. Entah gimana itung2an bisnisnya.

Ulya Raniarti said...

tiba2 liat postingan ini, jd pengin comment..

Sebenarnya saya pelanggan setia indosat..tp sekarang 'terpaksa' pindah operator..

sayang juga dua nomor cantik ku terdahulu udah gak ke maintain lg.

sekarang sedang memikirkan punya nomer lain lagi,tp esia g recommended ya kayaknya? he2x..