Tuesday, October 18, 2005

Mudik; Sebuah Fenomena

Mas, Kapan pulang? udah beli tiketnya?
Antri nggak... Masih ada? Berapa sih sekarang, katanya naik ya?
Jangan lupa oleh-olehnya!
........

Pertanyaan dan ungkapan-ungkapan diatas diantara yang sering kita dengar akhir-akhir ini, bahkan sudah sejak awal-awal ramadhan lalu. Kita secara bersam pun menyebutnya dengan kata : MUDIK, atau pulang kampung. Sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar manusia kota-kota besar di negeri ini menuju kampung atau desa tempat asal liku-liku nasibnya berawal. Tidak kecuali juga sosok mahasiswa ITB, dimana sangat banyak (mungkin lebih dari 2/3) yang melakukan aktivitas mudik tersebut.

Lalu, apa yang menarik dari mudik? Bukankah itu sebuah kegiatan tahunan, semesteran yang biasa kita lakukan? Mudik juga pada dasarnya adalah pulang kampung, ketemu dengan orang tua atau handai taulan, sebuah aktivitas yang sepertinya sederhana. Tapi, apakah itu saja?

Sebagai gambaran awal, mudik ternyata menjadi pelengkap tahunan roda kehidupan pertiwi ini, sama halnya dengan APBN yang musti ditetapkan setiap tahunnya atau kalau di kampus, rangkaian pemilu Ketua Himpunan dan Presiden KM. Menjadi pelengkap karena hampir sepanjang hidup kita masing-masing, fenomena mudik selalu terjadi setiap tahunnya. Seolah-olah, negeri ini tidak akan berjalan tanpa mudik yang menyertainya, sama dengan analogi APBN tadi.

Justru karena rutinitas yang terjadi, mudik kemudian menjadi hal yang benar-benar rutin, miskin makna dan nilai di dalamnya. Tapi bagi sebagian kita, misalnya mahasiswa 2005, yang baru pertama mengalami rangkaian kegiatan mudik, ada rasa yang membuncah tentang segala gambaran orang tuanya, daerah asalnya, teman-temannya, dan suasana pastinya. Sesuatu yang menjadikan mudik menjadi hajatan wajib dalam perjalanan hidup, tak peduli berdesakan, antri berlama-lama, harga tiket naik tajam atau segala rintangan lainnya.

Tapi, mudik ternyata tidak hanya menjanjikan suasana daerah yang diinginkan. Seringkali terjadi sebaliknya, daerah sedikit terwarnai dengan budaya kota yang dengan paksa kita lakukan. Ambil contoh, dalam berpenampilan, bertutur dan bersikap kita yang mungkin dianggap aneh bagi masyarakat. Lalu kedua orang tua kita akhirnya mafhum, bahwa anaknya memang telah menjadi bagian dari budaya kota rantaunya sekarang.

Bukan menjadi kesalahan mutlak memang, jika kita “membawa” budaya-budaya kota ke daerah. Pertama, karena memang budaya itu telah terinternalisasi menjadi kesadaran terdalam Freudian, “self unconscious”, yang secara tidak sadar terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Kedua, itu memang sebuah kesadaran sesadar-sadarnya sehingga bisa dikategorikan menjadi kebutuhan Maslow, “self esteem”, sebagai pengejawantahan dari status yang disandang.

Tapi yang lebih penting adalah pemaknaan terhadap mudik itu sendiri, apakah sekedar rutinitas dan self-self semata? Khususnya dalam momen mudik lebaran seperti saat ini.

Dengan mudik, manusia diajarkan untuk kembali ke asal nya dilahirkan, atau tempat buku nasib dunianya mulai diperlihatkan. Manusia memang senantiasa merindukan suasana masa lalunya, meski tidak senyaman sekarang, tapi masa yang memberikan arti kehidupan sehingga ia bisa seperti sekarang. Ingat pepatah, “kacang lupa akan kulitnya”, mudik menjawab premis itu dengan jawaban pasti, kembali ke kampung halaman.

Kemudian tidak bisa tidak, bahwa mudik identik dengan perjumpaan diri pada orang tua. Saat-saat idul fitri akan menjadi sebuah upacara penghapusan kesalahan anak kepada orang tuanya. Orang tua yang melahirkan, membesarkan dan sekarang berharap pada kita memberikan maaf atas segala perilaku yang kita niatkan, ucapkan dan lakukan. Dengan kerendahan hati, mereka berpesan untuk menjadi anak berbakti bagi keluarga, agama, masyarakat dan bangsanya. Walaupun kalimat pengharapan itu sering tidak dilisankan.

Kemudian beranjak pada bentuk ceremonial maaf lainnya, bahkan sampai akhirnya kita mungkin sudah tidak ingat lagi arti dari sebuah jabat tangan pemberian maaf. Namun semuanya akan sepakat, bahwa saat itu kita akan memberikan maaf seluas-luasnya pada manusia yang pernah melakukan kesalahan pada kita, meski tanpa harus bertemu dan berjabat tanga denganya.

Itu artinya, kita semua pada dasarnya menginginkan kondisi fitri, kembali pada titik nol, terlahir kembali di tempat muasal dengan kondisi bersih dosa, sebersih kemampuan kita mendekatkan diri pada-Nya dan memafkan kesalahan hamba lain. Meninggalkan keburukan di masa-masa lalu dan menatap masa depan. Lalu berjalan lagi untuk memulai babak baru kehidupan, sehingga kehidupan yang lebih baik tergapai.

Sebegitu dalamnya maknanya, sehingga salah bila kita menjadikan mudik sebuah kegiatan ritual periodik manusia rantau kepada asalnya. Sehingga kita tidak terjebak dalam paradigma Ptolemyan, “menyelamatkan fenomena”, dan akhirnya meninggalkan keadaan kembali seperti semula.

Padahal, mudik bisa memberikan banyak ajaran kepada kita, tentang hakikat penciptaan, keluhuran budaya, kebesaran jiwa, kesadaran berbenah dan keberanian menghadapi hidup selanjutnya. Semoga kita mampu mendapatkan mudik penuh makna kali ini.

No comments: