Setiap tahun tanggal 21 April pasti banyak orang teringat dengan Kartini, sosok pejuang yang dikenalkan sebagai pejuang emansipasi perempuan indonesia (sekalipun beberapa buku tentang kartini menjelaskan kaca mata lain). Saat dimana slogan emansipasi didengungkan di tengah keseharian banyak perempuan yang sudah aktif berada di tempat kerja dan kondisi hampir semua perempuan mempunyai kesempatan pendidikan setara.
Artinya cita-cita Kartini untuk mewujudkan pendidikan atau lebih umumnya peran perempuan menurut saya sudah terwujud. Jika sebagian aktivis perempuan masih mengatakan emansipasi belum terwujud atau hak perempuan masih terbelenggu, kondisi tersebut hanya kondisi khusus (di tempat tertentu) yang bisa diselesaikan tanpa membuat generalisasi masalah.
Bahwasannya dalam ranah wacana ‘belenggu’ terhadap perempuan sudah sirna, namun dalam praktek keseharian sekat-sekat pembatas budaya antara laki-laki dan perempuan masih nyata adanya. Pembatas tersebut tidak muncul dalam pendidikan, melainkan berpeluang makin menjadi dalam institusi rumah tangga, tempat dimana wacana Kartini tentang perempuan terdidik dan berperan sosial mendapat tantangan.
Tugas perempuan dalam rumah seperti ‘sudah ditentukan’, pekerjaan domestik mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak sampai mengurus anak. Jika semua tugas domestik harus dibebankan pada perempuan, niscaya perempuan tidak akan mempunyai waktu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dalam bentuk pastisipasi dalam masyarakat.
Padahal perempuan yang sudah berpendidikan (bahkan sampai tinggi) adalah ‘produk investasi’ yang seharusnya kompetensi diaktualisasikan di masyarakat sehingga lebih bermanfaat, disamping sebagai pendidik pertama bagi generasi masa depan. Sehingga peran-peran perempuan (istri) di rumah dan masyarakat pun harus seimbang, sebanding dengan peran suami di tempat kerja dan rumah.
Sekalipun wacana keseimbangan peran domestik dan publik terkesan mudah dan bisa diterapkan siapa saja, dalam prakteknya ternyata tidak semudah yang dituliskan. Misalnya dalam hal tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah tunggal dimana istri tidak/belum bekerja, secara praktis (emosi, psikologi atau ego) suami akan menyandarkan urusan domestik sepenuhnya pada istri. Lalu jika keduanya bekerja pun, urusan domestik belum tentu lepas dari tanggung jawab perempuan. Ditambah lagi menyangkut anak, mulai dari masa kehamilan hingga tahun-tahun pertama lahir.
Para pengamat bisa saja dengan mudah mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari komunikasi yang harus di bangun, tapi faktanya tidak sesederhana itu. Seperti yang disampaikan diatas, bahwa sudah seperti semacam ‘turunan’ jika perempuan adalah domestik, sekalipun dia bekerja atau beraktivitas di luar rumah. Fakta ini sulit dihindari, apalagi didukung budaya timur dan norma agama yang tidak mewajibkan perempuan untuk mencari nafkah. Bahkan seorang laki-laki feminis pun, secara nurani masih akan menginginkan istri nya lebih banyak waktu di rumah mengurus keluarga daripada full aktivitas di luar.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh perempuan? Pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan pilihan atas hidupnya. Pilihan yang dimulai dari kebebasan memilih jodohnya (dalam konteks usaha), yang diwujudkan dalam kesepahaman antara (calon) suami istri. Pilihan ketika sudah berumah tangga dimana sekalipun sudah disepakati pra-nikah tentang aktivitas istri, namun kondisi perempuan sendiri masih akan berbenturan dengan ‘ kodrat’ perempuan sebagai ‘ insan domestik’ (yang sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘ dominasi laki-laki).
Hal lain yang bisa dilakukan tentunya dari pihak laki-laki, sebagai partner perempuan selama lebih dari setengah kehidupan dunia. Jujur tidak mudah bagi laki-laki secara sepenuhnya ikhlas melepas istri nya beraktivitas di luar, kerja full time, apalagi dalam kondisi hamil atau anak-anak di masa pertumbuhan awal. Orang modern bisa saja mencari pembantu untuk merawat anaknya, tapi hati seorang orang tua tetap tidak bisa berbohong jika disuruh memilih antara pembantu atau sendiri.
Jadi laki-laki lah yang justru menjadi kunci dari keseimbangan peran domestik dan publik bagi perempuan. Mulai tingkat kesadaran hingga dalam praktek keseharian yang menjadikan perempuan sebagai partner. Pembagian tugas domestik dengan skala prioritas, hingga transparansi dalam pengelolaan pendapatan bersama serta perencanaan masa depan.
Memang tidak mudah bagi laki-laki untuk konsisten menjaga keseimbangan peran tersebut. Sebuah bagian konsekuensi bagi laki-laki saat mengambil amanah seorang perempuan bukan hanya dari orang tua nya, melainkan dari bangsa yang sudah memberinya pendidikan untuk diamalkan.
Sebuah tantangan bagi laki-laki.
Artinya cita-cita Kartini untuk mewujudkan pendidikan atau lebih umumnya peran perempuan menurut saya sudah terwujud. Jika sebagian aktivis perempuan masih mengatakan emansipasi belum terwujud atau hak perempuan masih terbelenggu, kondisi tersebut hanya kondisi khusus (di tempat tertentu) yang bisa diselesaikan tanpa membuat generalisasi masalah.
Bahwasannya dalam ranah wacana ‘belenggu’ terhadap perempuan sudah sirna, namun dalam praktek keseharian sekat-sekat pembatas budaya antara laki-laki dan perempuan masih nyata adanya. Pembatas tersebut tidak muncul dalam pendidikan, melainkan berpeluang makin menjadi dalam institusi rumah tangga, tempat dimana wacana Kartini tentang perempuan terdidik dan berperan sosial mendapat tantangan.
Tugas perempuan dalam rumah seperti ‘sudah ditentukan’, pekerjaan domestik mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak sampai mengurus anak. Jika semua tugas domestik harus dibebankan pada perempuan, niscaya perempuan tidak akan mempunyai waktu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dalam bentuk pastisipasi dalam masyarakat.
Padahal perempuan yang sudah berpendidikan (bahkan sampai tinggi) adalah ‘produk investasi’ yang seharusnya kompetensi diaktualisasikan di masyarakat sehingga lebih bermanfaat, disamping sebagai pendidik pertama bagi generasi masa depan. Sehingga peran-peran perempuan (istri) di rumah dan masyarakat pun harus seimbang, sebanding dengan peran suami di tempat kerja dan rumah.
Sekalipun wacana keseimbangan peran domestik dan publik terkesan mudah dan bisa diterapkan siapa saja, dalam prakteknya ternyata tidak semudah yang dituliskan. Misalnya dalam hal tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah tunggal dimana istri tidak/belum bekerja, secara praktis (emosi, psikologi atau ego) suami akan menyandarkan urusan domestik sepenuhnya pada istri. Lalu jika keduanya bekerja pun, urusan domestik belum tentu lepas dari tanggung jawab perempuan. Ditambah lagi menyangkut anak, mulai dari masa kehamilan hingga tahun-tahun pertama lahir.
Para pengamat bisa saja dengan mudah mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari komunikasi yang harus di bangun, tapi faktanya tidak sesederhana itu. Seperti yang disampaikan diatas, bahwa sudah seperti semacam ‘turunan’ jika perempuan adalah domestik, sekalipun dia bekerja atau beraktivitas di luar rumah. Fakta ini sulit dihindari, apalagi didukung budaya timur dan norma agama yang tidak mewajibkan perempuan untuk mencari nafkah. Bahkan seorang laki-laki feminis pun, secara nurani masih akan menginginkan istri nya lebih banyak waktu di rumah mengurus keluarga daripada full aktivitas di luar.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh perempuan? Pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan pilihan atas hidupnya. Pilihan yang dimulai dari kebebasan memilih jodohnya (dalam konteks usaha), yang diwujudkan dalam kesepahaman antara (calon) suami istri. Pilihan ketika sudah berumah tangga dimana sekalipun sudah disepakati pra-nikah tentang aktivitas istri, namun kondisi perempuan sendiri masih akan berbenturan dengan ‘ kodrat’ perempuan sebagai ‘ insan domestik’ (yang sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘ dominasi laki-laki).
Hal lain yang bisa dilakukan tentunya dari pihak laki-laki, sebagai partner perempuan selama lebih dari setengah kehidupan dunia. Jujur tidak mudah bagi laki-laki secara sepenuhnya ikhlas melepas istri nya beraktivitas di luar, kerja full time, apalagi dalam kondisi hamil atau anak-anak di masa pertumbuhan awal. Orang modern bisa saja mencari pembantu untuk merawat anaknya, tapi hati seorang orang tua tetap tidak bisa berbohong jika disuruh memilih antara pembantu atau sendiri.
Jadi laki-laki lah yang justru menjadi kunci dari keseimbangan peran domestik dan publik bagi perempuan. Mulai tingkat kesadaran hingga dalam praktek keseharian yang menjadikan perempuan sebagai partner. Pembagian tugas domestik dengan skala prioritas, hingga transparansi dalam pengelolaan pendapatan bersama serta perencanaan masa depan.
Memang tidak mudah bagi laki-laki untuk konsisten menjaga keseimbangan peran tersebut. Sebuah bagian konsekuensi bagi laki-laki saat mengambil amanah seorang perempuan bukan hanya dari orang tua nya, melainkan dari bangsa yang sudah memberinya pendidikan untuk diamalkan.
Sebuah tantangan bagi laki-laki.