Tuesday, August 21, 2007

Bertanya Kemampuan Language

Pernahkah anda sebagai orang indonesia merasa bahwa kemampuan belajar bahasa asing sangat rendah untuk bangsa kita?

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan sebuah analist oil-gas branch singapura di hotel kawasan kuningan akhir bulan lalu, selama lebih dari 3 jam pemaparan speaker, hanya ada 2 penanya yang pertanyaannya pun lebih bersifat pertanyaan singkat-konfirmasi,bukan jenis pertanyaan analisis.

Sepertinya bukan karena tidak paham tentang materi seminar, sehingga tidak ada pertanyaan yang sifatnya analisis atau bahkan menggugat analisis lembaga tersebut. Tapi lebih karena tidak mudahnya itu diucapkan, dirangkai dalam language sehingga mengubur dalam-dalam komunikatif. Hal sejenis pun bisa ditemukan saat seorang indonesia pergi di luar negeri.

Suatu hari saat kunjungan diplomat Australia di sebuah provinsi di kalimantan perihal program bantuan, diplomat tersebut bertanya kepada Gubernur, “Why don’t you learn English, so that we can communicate well?”. Dan jawaban Sang Gubernur singkat, “Saya tidak perlu belajar bahasa inggris karena saya cinta negeri saya.”

Tentu tidak berkaitan antara kemauan belajar language dan kecintaan terhadap negeri kita. Lihat saja para bapak-bapak bangsa kita, semisal Soekarno, Hatta, atau bahkan Agus Salim yang tidak hanya lancar Belanda tapi juga Inggris, Perancis dan Arab. Tentu tidak ada yang berani berkata bahwa beliau-beliau tidak cinta terhadap bangsa ini.

Atau memang boleh dikatakan bahwa kemampuan berbahasa asing bagi bangsa indonesia sangat rendah?

Lihat saja di negara-negara persemakmuran inggris, macam Malaysia, Singapura atau India. Atau negara bekas koloni perancis, seperti Mesir. Dan hampir semua negara bekas jajahan selalu mempunyai ‘bahasa kedua’, yaitu bahasa asing yang jamak digunakan di negara tersebut.

Tapi tidak untuk Indonesia. Sebagai salah satu bangsa terjajah, seharusnya bangsa kita pandai dalam bahasa asing penjajah setidaknya, yaitu Belanda. Tapi ternyata nihil. Konon, hal itu akibat sebuah keputusan presiden orde lama untuk mulai tidak mengajarkan Bahasa Belanda di sekolah-sekolah, sebagai salah satu paket dengan nasionalisasi aset-aset Belanda.

Akibatnya sekarang yang nyata, hampir seluruh lulusan sekolah atau perguruan tinggi indonesia mengalami kegagapan dalam language. Hal ini sedikit tidak berlaku bagi kawasan perkotaan atau wilayah yang mempunyai lebih mudah akses dalam belajar language dimana tidak melalui sekolah formal melainkan kursus bahasa yang banyak menjual native speaker disana.

Tapi saya kemudian berpikir, apa memang kemampuan language bangsa kita rendah? Mungkin sebab utama, karena kultur itupun tidak ditumbuhkan dalam lingkungan kita. Kultur akan membentuk perilaku, perilaku akan mengkristal menjadi sifat (karakter, kepribadian). Jadi, karena tidak adanya kultur language maka rendahlah kemampuan bahasa.

Memang ada beberapa orang kita yang sangat bagus dalam language. Tapi secara umum, kemampuan language bangsa kita sangat rendah.

Saya sendiri merasakannya sebagai ‘seorang anak desa’, sekalipun nilai pelajaran Bahasa Inggris selalu baik, tapi tetap sangat kesulitan untuk berkomunikasi. Sekarang mungkin sedikit terlambat, walaupun selalu tidak ada kata terlambat. Namun jika belajar language itu dimulai saat kecil, tahu betapa pentingnya itu dan dorongan kuat, maka pasti akan relatif lebih mudah.

Sekarang saya cuma bisa membayangkan, bagaimana para delegasi bangsa yang harus bernegoisasi dengan negara lain atau forum internasional mempertaruhkan nama bangsa, akan sedikit-banyak mengalami kesulitan dan bisa berakibat fatal bila salah dalam interpretasi language. Atau jutaan informasi yang menggempur setiap detiknya dan terbuka luas dinikmati, namun terhalang karena keterbatasan language.

Bagaimana mengatasinya? Sebagai pemerintah, maka sebenarnya itu mudah. Buat saja kurikulum yang membuat sedemikian sehingga language makin lancar dilafalkan semua anak didik bangsa, tidak hanya oleh ‘anak-anak kota’ hasil didikan lembaga bahasa asing. Tentu kita juga butuh guru yang cakap untuk ini.

Dan untuk para (calon) ayah-ibu bisa dengan menanamkan tekad kuat saat ini, untuk mengajarkan language(s) atau mendorong dengan kesadaran sehingga putra-putra masa depan bangsa lebih siap act globally untuk membawa kemajuan bangsa.

12 comments:

Okky Madasari said...

kok aku kurang sepakat ya?! menurutku, yang harus di push bukan kemampuan language(s) nya, tapi penguasaan IPTEK nya, biar punya daya saing. Kalau itu oke, ga masalah kita ga bisa bahasa inggris. Kayak China atau Jepang, mereka cukup PD untuk ga bisa berbahasa Inggris.

ikram said...

Why don't you learn English?

Well, why don't you learn Indonesian?

Tapi ya sudahlah. Tema kemampuan berbahasa ini lagi-lagi cuma pengantar ke "tujuan" Trian yang lebih besar. Baca dong aline terakhir:

Dan untuk para (calon) ayah-ibu...

Haduuuh :P

Anonymous said...

Wahh...Trian, udah siap-siap lepas landas.....?

Persiapkan dengan matang ya, jadi ayah ibu tuh nggak mudah karena ga ada job trainingnya.....

Dika Amelia Ifani said...

jadi inget waktu saya kp di apotek kimia farma.jadi bule itu tiba2 datang dan minta suatu obat yang gak ada di indonesia.apa penyakitnya ya?katanya IBS, intestine bowel syndrome (kalo gak salah), oh mungkin maag. "Sorry Sir, we don't have this drug, but maybe you can use this, same like peppermint, we call this promaag and magasida".(asisten2 apotekernya curang, pada sembunyi:p).tanpa basa basi,"ok,i take this one".Ya deh,kayanya juga dia gak tega lihat kita yang tegang nerima pasien bule.
lucunya,tiba2 istrinya(mungkin, yang berkulit coklat asli indonesia dateng ngejemput.aduh mba,kenapa gak dari tadi..:)

Lucky said...

*senada ah ma Ikram ;p
kenapa 'language' mulu sih, ga 'bahasa'? *protes!
Hoo...iya kram, demi tujuan yg lebih besar *Kabuuuurrr,hahaha

Rachmawati said...

-why should we learn others language?-
-why don't we make them learn Indonesian?-
-how many 'languanges' of other tribes have we learned?

Kebanyakan tau bahasa, ntar jadi kebanyakan 'ngomongnya' daripada aktivitas real-nya
:P
*skeptis mode: ON*
by the way Trian, pernah denger kata sangkil dan mangkus?
:)

amircool said...

saya sepakat dengan kamu...

Unknown said...

jangankan untuk belajar bahasa asing [yang tentunya butuh dana ekstra, les harus bayar, otodidak juga harus beli buku ato CD], untuk pendidikan dasar saja masih banyak [rakyat Indonesia] yang belum mampu.

hasilnya ya kayak saya ini [sama Ndesonya kayak kamu, mungkin], hanya belajar bahasa asing dari bangku sekolahan [yang mutunya masih dipertanyakan], bisa pasif aja masih untung...

Katakecil said...

..Tapi lebih karena tidak mudahnya itu diucapkan, dirangkai dalam "language" sehingga mengubur dalam-dalam "komunikatif".

wah,yang saya petik ini juga membuat saya bingung.. Apakah language itu menggantikan kalimat atau ?
Yep, kalo english mah little-little sih I can lah..
hehe

ikram said...

Memang ada beberapa orang kita yang sangat bagus dalam language. Tapi secara umum, kemampuan language bangsa kita sangat rendah.

Antara lain terlihat dari pencampuradukan bahasa Indonesia dan Inggris. Paragraf di atas ini contoh yang sangaat bagus :P

*Protes juga, sama kaya Lucky.

Trian Hendro A. said...

okky, rachma: bahasa hanya pintu, dan ilmu serta karya nyata semoga bisa lebih banyak lahir karena lebih bisa menyerap dan menyampaikan dalam language.

lucky, ikram: penggunaan language hanya untuk menggantikan kata bahasa asing, mirip dengan orang asing yang menggunakan bahasa jika mereka maksudkan adalah bahasa indonesia.

buat semua, tulisan ini tentang bahasa bukan tentang 'masa depan diri sendiri'
*waspada-lah kepada para provokator :p

ikram said...

waspada terhadap saya dong :P