Friday, June 15, 2007

Cerita kakak dan adiknya

apa yang kamu lakukan? Sedih sekali melihatnya. Coba bayangkan kerja keras orang tua. Mikir!! Apa ga malu? Apa kamu tidak kasihan dengan mereka?..”

Hening. Dua anak manusia duduk di pagar kebun. Yang putri dan lebih besar, berseragam biru-putih, tersedu dalam mengucap kata-kata diatas. Si kecil, hanya bisa diam tak berkata-kata. Ah, anak kecil itu masih terlalu dini untuk diajak berpikir dewasa atas tindakan yang lakukannya. Masih terlalu dini untuk tahu, apa arti tangis seorang perempuan. Masih terlalu dini.

Yang berjongkok di depanya hanyalah kakak kedua, sedang kakak pertama seolah sedikit peduli dengan hidup si kecil. Bahkan saat balita pun, ibunya sering cerita batapa kakak kedua lebih sayang kepada si kecil. Makan digendong dan harus sambil menonton sapi di kebun, atau mencuci bekas kotoran di celana si kecil di sungai, adalah dua pekerjaan yang telaten dilakukan sang kakak kepada si kecil.

Lalu si kecil beranjak sadar. Namun, tidak banyak yang si kecil ingat tentang kakaknya masa itu. Selain daripada kedua kakaknya berangkat sekolah pagi hari dengan bersepeda sejauh kurang lebih 5 km. Kedua kakaknya, ingin punya sepeda sendiri-sendiri. “Biar lebih bebas”, kata mereka. Dan dari itu, kentara sudah betapa kedua kakaknya itu seperti dua putri sama namun berbeda.

Mereka bertiga, si kecil dan kedua kakaknya, adalah anak yang selalu dilibatkan dalam urusan keluarga. Tentang pendapatan orang tua, sejak umur 7 tahun si kecil pun tahu berapa gaji ayahnya. Sehingga dari kakaknya, sering si kecil berhitung pendapatan rata-rata setiap hari, dan merasa bersalah bila dalam satu hari meminta sesuatu yang melebihi pendapatan rata-rata itu.

Untuk urusan rumah, si kecil selalu melihat saban pagi hari bahwa mereka berbagi kapling kebersihan. Kakak pertama untuk rumah depan, kakak kedua untuk rumah belakang, ayah untuk halaman depan, dan ibu untuk dapur. Dan terlalu kecil, jika si bungsu harus mengangkat sapu. Kakak pertama-kedua, selisih 1.5 tahun, sedang kakak kedua dan si bungsu, selisih 7 tahun.

Dari kakak keduanya, si kecil juga dibimbing belajar saat menjelang mendekati ujian. Si kecil ingat kala itu, rangking pertama caturwulan pertama saat kelas satu di sekolah dasar berhasil didapatkannya. Tentu, terutama berkat kakak keduanya lah yang mengajari cara berhitung, mengeja, membaca dan menulis, terutama saat malam hari menjelang ujian.

Dan lambat laun, si kecil pun mulai belajar tentang apa arti perempuan jelita bagi laki-laki dewasa. Tahu apa arti perhatian, dan belajar dari kedua kakaknya arti kedekatan. Bukan, bukan dari kedua kakaknya persisnya. Karena sama tak serupa, maka si kecil lebih banyak mendapatkan dari kakak keduanya. Sedang kakak pertama, terlalu keras sikap dan pendirian. Sekalipun sering dikatakan kedua orang tuanya, kakak kedua lebih malas daripada kakak pertama, namun ternyata konsistensi kakak kedua-lah yang membuktikan ukuran kepintaran itu.

Hubungan si kecil dan kedua kakaknya mulai merenggang, setelah kedua kakaknya masuk di sekolah atas di kota. Jarak setahun tingkat kelas mereka, dan pergi pulang setiap hari dengan sepeda motor mereka lakukan bersama. 25 km, jarak kota itu dengan kampung rumah mereka. Dan karena alasan kesehatan, maka sang kakak kedua lah yang banyak membonceng kakak pertama.

Hingga suatu siang, saat si kecil kelas 4 dasar, didengarnya berita kakak keduanya kecelakaan. Oh, hari itu seharusnya kedua kakaknya berangkat sekolah bersama. Namun, sang kakak pertama tak sehat hari itu dan kakak kedua akhirnya berangkat sendiri. Dan, terjadilah siang itu sebuah bus menghantam sepeda motor dan pengendaranya. Si pengendara, langsung dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi sekarat.

Sepulang dari rumah sakit di atas kendaraan, sayup-sayup terdengar, cerita betapa sang kakak kedua menunggu ibunya untuk berucap selamat tinggal. Selamat tinggal untuk selama-lamanya. Seorang anak yang manis, sekalipun malas namun bisa membuat suasana selalu nyaman.

Dan seorang kakak berarti bagi adik bungsunya, si kecil. Setengah tak percaya, si kecil memegang wajah tertegun dengan kedua tangannya sepanjang jalan pulang, dengan bulir air hangat membasah kelopak matanya. Air mata penghayatan seorang anak kecil.

Jadi, jangan bertanya tentang air mata kepada si kecil, karena air mata adalah pelajaran perasaan yang didapatkan paling dini dan ditinggalkan paling akhir dari kakakya. Dan jangan pula bertanya tentang arti perpisahan kepadanya, karena dia pun sudah mengalami saat-saat itu di masa kecilnya.

Dan sekarang, saat si kecil beranjak dewasa menatap kehidupan, betapa seolah kehadiran kakak kedua dibutuhkan olehnya. Si kecil ingin belajar lagi, apa arti kasih sayang, perjuangan dan keikhlasan. Dan tak lupa, ingin sekali si kecil merebahkan kepala di atas pangkuan kakaknya. Seperti dulu lagi, untuk mengantar si kecil berangkat mimpi.

3 comments:

Anonymous said...

dalam bagi si kecil, walaupun sosok tokoh yang digambarkan tidak jelas, mungkin sengaja untuk memberikan kebebasan imajinasi bagi pembaca.

Air mata memang selalu menorehkan bekas yang mendalam, baik itu air mata bahagia, haru, sedih, ataupun air mata kekesalan.

Rachmawati said...

Sudah saatnya... Si kecil bermetamorfosa, jikalau ia membutuhkan figur yang mengajarkan kasih sayang, perjuangan dan keikhlasan... sudah saatnya sekarang dia lah yang menjadi figur itu, seorang 'kakak' bagi 'si kecil' lain yang ada di dunia fana ini
;)
*kalo bahasa OSPEKnya: Jangan manja! :D
Piss ah, Pak. Tulisannya mantep lah, [bukan diary online] :D

Beni Suryadi said...

cerita anak melulu, huihh...tampaknya dah siap beranak nie Bos..
hahaha
monggo duluan lah
=D