Monday, February 19, 2007

dalam diskusi ”Biru Hitam Merah Kesumba”

Sore, sabtu lalu menjelang Ashar di Salman ITB sebuah telepon masuk. Andrea Hirata, teman yang akhir-akhir ini jarang bertemu meminta bertemu di Prefere 72, sebuah kafe di Jl. Juanda Bandung. Setelah sholat, saya pun segera meluncur kesana.

Ternyata, sedang diadakan diskusi kumpulan puisi
Biru Hitam Merah Kesumba (BHMK), dengan empat penulisnya yang menyebut diri Perempuan Bukan Penyair. Saya pikir akan ketemuan saja dengan Andrea, ternyata ada sebuah acara. Tak ada salahnya ikut sebentar, mengingat sudah lama tak ikut diskusi seperti ini dan kebetulan dengan tema tentang, perempuan!

Acara diawali dengan pementasan dari teater 11 dengan mengambil kontens puisi-puisi di BHMK. Sekalipun semua pemeran laki-laki, tapi mereka memainkan kontens perasaan wanita. Agak dipaksakan, terutama saat salah satunya benar-benar bersikap (dan berpenampilan) seperti wanita.

Lalu, diskusi pun dimulai. Empat perempuan penulis,
Lulu Ratna, Oppie Andaresta, Olin Monteiro dan Vivian Idris (Vivian tidak bisa hadir karena banjir) serta dengan pembedah seorang dosen Unpar dan aktifis perempuan, Valentina Sagala.

Pembedah memulai analisisnya bahwa puisi dan karya sastra perempuan lainya adalah medium perempuan untuk menunjukan eksistensi, dalam hal ini eksistensi politik perempuan. Dalam dunia yang dominan ”laki-laki”, aktivitas penulisan perempuan adalah aktivitas politik perlawanan dari aktivitas biasanya. Hal yang kental ditunjukan dalam kata-kata dalam sebuah puisi Vivian, Hari ini... / Aku ingin membangkang.

Kumpulan puisi ini menggambarkan dunia perempuan dalam sudut yang beragam, ada puisi seorang perempuan sebagai istri bagi suaminya, ibu bagi anaknya, kekasih bagi pacarnya, teman bagi sesama gender, ataupun bagi pribadi perempuan sendiri. Namun, mereka membingkainya dalam pandangan sosok perempuan urban.

Sebagai istri. Kau paku aku sebagai permaisurimu / Di ranjang yang sesak... / Lalu kau pinta restu untuk berbagi, karna tak cukup / Nafsu kauumbar pada satu bini / atas nama lelaki halal kau miliki dua tiga / Dan empat... (Cerita Teman, Oppie)

Sebagai ibu. Mari sini sayangku, Nak / Genggam jariku lalu mimpi / Sampai pagi kita pergi / mengayuh angin menumpang awan (Anak Sayang, Vivian).

Sebagai teman. Des, ceritakan juga gubuk-gubuk tua / Tempat banyak perempuan desa / Dianiaya, dicerca, tak bersuara / Tersiksa batinnya atas nama status istri aku juga / Seorang istri... aku juga/ Seorang istri (Teruskan Menulismu, Olin). Midah temanku terdampar di negeri orang / Midah temanku cari makan sebagai pembantu / Midah temanku pahlawan devisa / Midah temanku badan kecil, bernyali besar / Midah temanku... / Masih saja ada anjing-anjing, yang menjilatimu / yang menggongong parau, yang tak punya malu, / mengerjaimu, menipumu, merampokmu, / memperkosamu, mengarang aturan sialan, / Sesampainya di tanah air (Terminal 3, Oppie)

Sebagai pribadi. Malam ini biru / Aku mencari diriku / yang hilang dalam bibirmu / dan menemukannya / di pojok-pojok gelap kota / ternyata aku masih bisa pulang (Tersesat, Lulu). Jangan kasihani aku / Aku baik-baik saja / Bernapas, bermimpi, beradaptasi / Kita jalan minggu, bulan, tahun / dengan / Kita maknai dengan cara kita / bukan karena aku perempuan, tapi karena aku / manusia... (Karena Aku Manusia, Oppie). Aku menulis / Menyita rasa dan perhatian / agar bebas lepas / dalam sebuah dunia jiwa / sebab / aku adalah sebuah puisi... (Akulah Puisi, Lulu).

Dan hal yang cukup menarik, buku ini pun menyajikan ”kronologis sejarah” aktivitas perjuangan perempuan, semisal aksi perempuan, advokasi dan lain-lainya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin saya diskusikan kemarin, bahwa penempatan perempuan dalam kajian apapun (termasuk sastra) seolah-olah menjadikan perempuan ”terlepas” sendiri dari keperempuannya dan sama bebas dari dunia laki. Mungkin akan ada jawaban, dalam dunia penuh kelaki-lakian, sentimen ”anti” wajar adanya untuk menumbuh-kembangkan eksistensi perempuan.

Dan sebagai bukti, sampai saya beranjak pergi lebih awal, pembahasan BHMK belum disinggung tentang negative side dimana bisa jadi, itu tentang mengembalikan perempuan dari rasa bebas-lepas nya.

3 comments:

agung said...

He he.. Sering bener ke bandung..
Tidak bisa lupa??

Trian Hendro A. said...

iya gung, tiap weekend malah.. :D

*mumpung masih ada kamar

krupuk said...

Trian,

trims udah datang dan menulis di blog kamu soal buku kita. Sayang saya baru sekarang menemukannya. Kita juga punya web: www.perempuanbukanpenyair.net
Apa kita bisa upload tulisan kamu di sana? hehehe...

Sekali lagi trims atas support kamu
lulu