Tuesday, January 17, 2006

risalah kekerasan

(1)
"saya kan udah besar, masa di dikte terus", brak.

suara putra kesayangan disusul pintu yang ditutup paksa.

pedih, sakit, sayang, kasihan bercampur menjadi satu. sudah lama hubungan ini tak berujung. anak itu memang sudah lebih berumur, daripada dulu, ketika ia mengajarkannya berjalan. atau dulu, ketika dengan manja minta dibelikan es di depan rumah. atau yang pasti, saat yang sangat diingatnya karena menjadi awal perubahan itu, "bu, saya ingin kuliah keluar kota", pinta sang anak.

seingatnya sejak itu, putranya menjadi manusia baru, jauh dari apa yang diajarkannya saat dulu, untuk berbicara sopan, menghormati orang lain, rendah hati dan segala kebaikan sebagai manusia beradab. sekarang, sudah jengah dihadapkan pada kemunafikan orang-orang pasar yang dijumpai tiap hari, menunggu 4 atau 6 bulan sekali untuk bertemu putranya, dan setiap ditanya hanya untuk selalu dijawab bercampur dengusan.

sakit? tidak juga. hati seorang ibu tak akan semudah itu. sedih? sudah pasti, tapi sang ibu bingung harus kepada siapa ia bertanya.yang ia tahu, anaknya sedang belajar di perguruan bergengsi di negeri ini. dan setiap minggu arisan, tak henti-hentinya pak RT berujar,

"anak ibu akan menjadi orang besar, do'akan selalu bu!".

dan sang ibu tersenyum paksa.

tapi sebentar, sang ibu tak sedang menyalahkan anaknya, sekolahnya, atau kota tempat tinggalnya sekarang. menyalahkan sekolah, sudah pasti disekolah itu banyak orang-orang terpintar di negeri ini. banyak orang-orang bijaksana disana, guru yang benar-benar malakukan tugas dengan mulia, bersahaja seperti dirinya. banyak profesor, kata kepala smu anaknya.

menyalahkan kehidupan kotanya, tak tahu pula bagaimana nanti harus menyalahkan kota. wong untuk meminta tanggung jawab terbakarnya kios nya tempo hari, sulitnya minta ampun. apalagi harus menyalahkan kota besar, bingung harus kemana.

menyalahkan sang anak? berarti pula ia menyalahkan dirinya sendiri. karena seperti yang dikatakan kyai kampung,

"anak-anak kita mencerminkan perilaku kita, jangan hanya menyalahkan anak bila mereka berbuat tidak baik"

sekarang, haruskah sang ibu menyalahkan diri sendiri?

(2)
yang kuingat darinya, bahwa pada suatu malam ia pernah berujar,

"an, tunggu aku, aku akan kembali 3 tahun lagi. aku akan membawa mu untuk pindah ke rumah yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya, rumah di bawah langit dan di atas daun"

kata-kata yang manis. tapi kini, sudah 3 tahun berlalu sejak pertemuan itu. aku tak tahu dimana ia sekarang. kabar tak pernah kudapatkan. tidak juga sebenarnya, karena dua bulan yang lalu, pernah tukang pos mengantarkan sebuah paket. pengirimnya atas namamu. tapi kosong, tanpa asal kota paket ini dikirim.

aku buka, sebuah kamera. kenapa kau kirimkan kamera mu ke aku?yang aku tahu, kamera ini adalah hidupmu. kau pernah berkata,

"an, kamera ini adalah ruh ku. aku tak tahu hidupku tanpa kamera ini"

kau bercita-cita menjadi fotografer sejati, dan dengannya akan membangun rumah impian itu.yang kuingat juga, dengan kamera ini pula kaujepret diriku dalam berbagai pose, bahkan orang tua ku pun tak pernah tahu aku melakukanya hanya untuk mu.demi idealisme seni fotografi. ah, aku sendiri tak terlalu peduli.

tak ada pesan lagi, kucari-cari dan tetap nihil. tetap sebuah kamera yang tak menjawab keraguan ku.

tiga tahun berlalu, kenapa pula aku harus mengingatnya. ia telah mengirimkan hidupnya untuk ku, sebelum tenggat waktu. dia bukan tipe orang yang mudah menyerah, tapi kenapa ia kirim kamera nya untukku?

sebuah pegangan membuyarkan lamunannya, disusul kalimat yang meluncur dari seorang pria.

"dian, sudah dua bulan kita jalan. tak inginkah kau untuk lebih menegaskan hubungan kita malam ini?"

ternyata, kita lebih akrab dengan kekerasan,
daripada kita mengenal diri sendiri

2 comments:

adiwiarta said...

sebagai kyai kampung, saya setuju bahwa kekerasan adalah media belajar manusia. dari kekerasan agama seperti menemukan kebenarannya. dari kekerasan manusia menyadari kelemahannya. dari kekerasan juga, civil society/masyarakat madani jadi terpikirkan oleh manusia...hehe ;p
jadi, terimakasih akan adanya kekerasan, yeah!

Trian Hendro A. said...

wah mas andi aliran anti kemapanan ya..kalo di makasar (contoh) sering terjadi kekerasan melulu, mungkin akan cepat menuju civil society (menurut mas andi), begitu?