Akhirnya kuberanikan diri menuliskan kisah ini. Aku tahu, bahwa ini adalah cerita seperti halnya kisah drama lain yang sejanis. Tapi bagiku, cerita ini telah merubah hidupku. Dan pastinya, menjadikannya bermakna bagiku.
Beberapa minggu yang lalu, dalam perjalanan liburanku ke Bogor aku bertemu dengan teman lamaku secar kebetulan. Awalnya biasa saja, kami saling kaget dan melepaskan segala kenangan-kenangan yang masih tersisa. Saat itu, bus yang membawa kami berangkat dari Jogja sudah hampir isya. Dia pastinya berangkat dari Solo, kota eyangnya mungkin dua jam sebelumnya. Dan ia akan kembali lagi ke Cimanggis, tempat orang tuanya tinggal sekarang.
Kemudian, perlahan matanya mulai sayu dan menandaka makna mendalam. Sudah lama aku tak melihat dirinya separti itu. Dan saat itu, aku juga tahu kalau itu artinya ia sedang memikirkan hal yang berat dalam hidupnya.
Diapun tahu, jika aku adalah orang yang dulu pernah menyeka air matanya saat ia tidak diterima di PTN favorit di kota kami. Sedangkan aku, yang akhirnya diterima di kampus biru Gajahmada. Sedangkan ia, setahuku di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dengan perlahan mengatur nafasnya, ia kemudian memulai ceritanya.
***
“Tolong belikan mobil”, kata ibunya saat disuruh pulang sekitar tiga bulan yang lalu. Ia memang memutuskan kost di Jakarta, daripada pulang balik ke Cimanggis. Sesampainya di rumah, masalah besar baginya itu datang.
“Keluargaku retak”, suaranya serak.
Ayah yang selama ini dia banggakan telah menjalin hubungan dengan wanita lainnya. Dan pastinya, ibunya tidak kuat dan mulai marah kepada ayahnya. Dan mobil yang diminta, supaya ibunya bisa leluasa pergi tanpa mengandalakan mobil yang selalu dibawa ayahnya kerja.
Bagi dirinya, kabar itu adalah puncak dari cerita keluarganya. Keluarganya, setahuku, memang bahagia awalnya. Terlahir dalam keluarga kecil, dua bersaudara. Ayahnya seorang karyawan Bank swasta di ibukota yang bergaji lumayan tinggi, dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang tidak bisa diangap orang rumahan biasa. Karena juga mengelola aset-aset keluarga, seperti perkebunan di Ciawi.
Seorang kakaknya, oh...betapa kutahu ia sangat menyayanginya. Hanya lulusan SMU dan sekarang sudah memiliki dua putra, satu kelas tiga SD dan yang kecil -kulihat ia tersenyum bahagia saat menyebut si kecil, baru berumur satu tahun. Kakaknya perempuan dipersunting oleh seorang sarjana yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swata di Kota Hujan.
Dia sendiri tak tahu, kapan ihwal keluarganya berasal. Saat pulang itulah, ia baru sadar bahwa masalah yang timbul tenggelam itu naik tak tertahankan.
Mungkin sejak beberapa tahun lalu, saat Bapaknya mulai menjabat supervisor seluruh cabang di Jakarta yang artinya harus muter-muter kota sepanjang harinya. Sepertinya, mulailah hubungan dengan wanita itu terjalin. Wanita PNS yang tinggal di sekitar Senen, yang ia sendiri tidak terlalu jelas saiap wanita itu. semua awal muasalnya memang tidak terunut, dan itu bukanlah masalah bagiku. Karena aku menulis inipun sekedar penyejuk atas kegundahanku sendiri atas kisahnya.
Dia melanjutkan, saat kedua orang tuanya berangkat haji, ibunya pernah bilang bahwa keberangkatan itu dalam rangka memutus hubungan dengan wanita tersebut. Dia diam saja, karena tak terlalu paham dengan masalah. Mau berangkat haji saja, sudah merupakan kebahagian baginya. Mengingat ayahnya yang setahu dia, kental kejawennya. Dia menyebutnya islam sinkretis yang memang bercampur dengan budaya Jawa.
Ternyata, saat haji malah menjadi momentum untuk memulai keretakan keluarganya. Menurut ibunya, setelah haji ayahnya bersikap sangat baik padanya. Tapi ternyata, baiknya berujung pada sangat dekatnya hubungan ayahnya dengan wanita itu.
Bagaimana menerjemahkan, aku baru paham setelah dia menambahkan, bahwa kedekatan yang dia maksudkan adalah adanya hubungan pernikahan yang tidak sepengetahuan ibunya. Ya..kita mengenalnya dengan nikah sirri. Itu yang ditegaskan ibunya saat tiga bulan yang lalu. Dan episode sandiwara terbesar dalam kehidupan keluarganya bermula.
Selidik punya selidik olehnya, sang ayah memang melakukannya. Dan itu di bawah penghulu yang notabene dikenal ibunya sebagai seorang kyai. Dia masih ingat, pengakuan ini meluncur sendiri dari ayahnya saat kepulangannya seminggu kemudian. Terakhir dari obrolan malam itu, ayahnya menawarinya mendatangi kyai tersebut dan berdiskusi tentang nikah sirri.
Dia lupa, apakah minggu itu atau minggu berikutnya dia diajak ayahnya bertemu dengan kyai tersebut. Dengan pengetahuan yang telah disiapkan dan pengalaman sebagai seorang aktivis islam di kampus, dia menyerang habis-habisan kyai itu. oiya...dia mengatakan bahwa dia masih memakai akal sehatnya, adab dan skill komunikasi pastinya.
“Kenapa bapak mau menikahkannya?”, tanyanya.
“Saya Cuma ingin membantu ayah saudara untuk menghindari zina, masayarakat melihatnya sudah berhaji”, jawabnya dengan percaya diri.
“Dasar bapak kurang kuat, kenapa mesti ijtihad?”
“Saya udah biasa”
Dan mulailah teman ku menyampaikan pendapatnya
“Ijtihad bapak tidak melihat dua sisi, kehidupan keluarga kami khususnya karakter ibu saya, serta kemungkinan dampak yang ditimbulkannya. Atas dasar cerita sepihak ayah saya tidak obyektif dalam melihat masalah ini. Padahal, ini bukanlah masalah sembarangan”, dia mulai mengendalikan situasi.
“Muhammad tidak pernah memberikan contoh, malah kalau nikah beliau meminta mengundang tetangganya walaupun sederhana. Artinya, tidak tutup menutupi disitu. Secara umum, nikah sirri memang sah, tapi kurang membawa kebaikan”, tambahnya. Dan secara jelas, temanku tepat menyampaikan alasannya.
Setahunya, akhir dari diskusi itu sebatas bahwa kyai itu minta maaf jika ijtihadnya membawa keburukan bagi keluarganya. Beliau juga mau memutus kembali ikatanya, walaupun memang ayahnya juga yang harus menghadirkan semua perangkatnya termasuk pihak wanita.
Dia lega awalnya, tapi ternyata ayahnya dengan pertimbangannya tidak cepat mekukan pemutusan itu. Tapi temanku tetap mendesaknya untuk memutus karena itu permintaan ibunya. Kemudian dia mengajukan dua alternatif, ayahnya meutus didepan ibunya atau memutuskan dengan disertai tanda tangan dia atas kertas. Dan keduanya ditolak, dengan alasan tidak mungkin membawa ibunya dan nikah sirri awalnya tidak pakai surat, kenapa harus pakai surat untuk memutusnya?
Dan ibunya makin tidak terkendalikan. Marahnya ketika bertemu ayahnya adalah hal yang biasa di rumah. Tetangga pun mengetahuinya, bahkan kata-kata ibunya yang aneh-aneh dan kasar. Tapi ayahnya memang orang yang defensif, dia hanya diam. Dan selama berapa minggu, kemarahan dan kata-kata kasar yang mewarnai kehidupan keluarganya.
Karena memang sebenarnya, temanku mengakui bahwa kejadian yang serupa pernah terjadi sekitar 15 tahun yang lalu. Tapi itu tidak seberapa dibanding sekarang. Nikah sirri, itu yang inti menjadi sumber sakitnya. Dan itu sudah cukup lama, hampir dua tahun ditambah kecenderungannya yang mungkin sebelum akad nikahnya. Betapa pengkhianatan terjadi disini. Dan itu yang menyakitkan, sampai tak terobati kata ibunya.
Akhirnya keputusan ibunya sudah bulat untuk mengajukan cerai. Kenapa bisa seperti itu, dia sendiri heran. Karena temanku tika lagi pulang sesering sebelumnya sampai ia mengajukan alternatif kepada ayahnya. Mungkin, ibunya tidak kuat untuk menahannya. Dia sendiri menilai, peran dia hanya sebagai perantara. Sedang intinya, di kedua orang tuanya. Secara naluri pun, di sudah capek dan bosan memikirkan mereka. Pasangan yang harusnya sadar bahwa semua anaknya sangat mencintainya. Matanya berkaca saat mengatakan itu. Aku memegang bahunya dan menenangkannya.
***
“Pokoknya cerai, sudah hilang kepercayaanku”, tuntut ibunya.
“Itu bukan penyelesaian”, ayahnya menjawab singkat.
“Daripada sakit hati lalu kemudian mati, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri. Biar puas dengan selirnya dan saya tidak dosa karena sudah melepas ikatan kita”, tentang ibunya.
Dan ketika saatnya tiba, temanku angkat bicara didampingi kakaknya.
“Jujur, kami, saya dan kakak, sebenarnya tidak bisa menyelesaikan masalah ini. karena yang paling bisa adalah ayah dan ibu sendiri. Kami hanya menjadi perantara dan berharap ayah ibu juga ikut memikirkan perasaan kami.”
Dia kemudian mengela napas dan diam sejenak. Kemudian dilanjutkan dia bercerita padaku.
“Tapi, izinkan saya untuk merunut dan menyampaikan masalah yang dihadapi. Pertama, istri memang berhak mengajukan tuntutan cerai yang dinamakan khuluq. Itupun, terjadi cerai jika suami memberikan atau karena alasan yang sangat kuat misalnya, tidak diberi nafkah selama enam bulan maka pengadilan bisa yang memutusnya. Kedua, masalah ini akan berujung pada dua hal”
Dia diam lagi dan kami hanya mendengar bunyi mesin bus yang menderu.
“Pertama, bersatu kembali yang ini sangat kami harapkan. Tapi ini memang bukan hal yang sederhana, butuh pengorbanan dan keihlasan yang besar. kedua, perceraian yang akan dengan cepat menyelesaikan masalah. Walaupun kita sebenarnya tidak tahu, apa yang terjadi setelahnya pada keluarga kita”
“Saya inginya, ayah dan ibu bersatu bagaimanapun caranya. Ayah bisa meutuskan hubungan dan ibu mengikhlaskannya”, sahut kakaknya.
Temanku menambahkan, “Secara runut kita bisa melihat bahwa kalau sekarang bersatu, saya sadar bahwa landasan yang digunakan kurang kuat. Hanya berdasar atas saya yang masih kuliah dan ayah yang masih harus bekerja di kantor.”
Memang, alasan itu yang temanku simpulkan manjadi utama dalam ketahanan masalah. Alasan dia yang masih kuliah dan jika cerai, kantor ayahnya akan berpikir tentang prestasi dan segala jabatan ke depannya.
“Ketika saya seleai dan ayah sudah pensiun, dan dengan kondisi ibu yang makin berkurang, sangat besar kemungkinan untuk bermasalah kembali. Karenanya, dibutuhkan komitmen ulang dan keikhlasan untuk mempertahankan atas dasar kebaikan sampai akhir hdup, bukan statusnya”
“Jadi tolong, ayah jangan jadikan saya sebagai alasan bertahan. Karena saya setidaknya sudah menyiapkan secara batin menghadapi perpisahan ini. saya Cuma khawatir,jika ujungnya, rumah tangga juga berantakan”
“Kami ingin ayah ibu tetap bersatu. Tapi jika memang tidak bisa, kami insyaallah siap menerima apapun yang terjadi. Yang jelas, kami tidak mau ini berlarut-larut sehingga kami pun tidak tahu harus melakukan apa. Terakhir saya sampaikan, kami, anak-anak kalian sangat sayang pada ayah ibu.”
Disitu, temanku menangis tersedu dan aku pun segera mendekapnya. Sebuah hal yang dulu pun biasa kami lakukan saat sekolah. Aku mengelus-elus punggungya dan secara tak sadar, mataku juga mataku mulai berair.
***
Dan aku tak kuasa menuliskan lagi. Sunguh tiada sopan bagiku, jika aku sibuk mengingat apa yang diceritakannya selanjutnya, sedang temanku tenggelam dalam perasaan.
Kemudian aku berpikir pada diri sendiri, betapa sulit menebak hati manusia. Bahkan ketika rumah tangga yang sudah berlangsung selama 25 tahun, tak ada yang bisa menjaminnya. Singkatnya, Sang Maha Pencipta yang tahu atas perasaan dan nasib hambanya.
Ceritanya benar-benar menyentuh sampai batas rasaku, mungkin karena sahabatku juga yang mengalaminya. Aku tahu, itu adalah kisah sedih temanku. Tapi aku juga gamang, bahwa itu juga bisa terjadi padaku. Bukan kepada orang tuaku dan bukan perceraian di hidupku mungkin. Tapi lebih dalam lagi, perasaan yang menlandasi itu semua bagi kehidupan keluarga.
Aku sendiri bukanlah orng yang mudah ditebak, itu juga kata teman-temanku sejak sekolah menengah. Hari ini sikapnya A dan besok bisa jadi sikapnya B. Walaupun aku selalu punya dasar semuanya. Bahwa perubahan itu karena alasan atau fakta yang kulihat, walaupun mereka seringkali tidak kuberitahu akhirnya. Aku sendiri menilai, konsisten dalam menerapkan prinsip yang aku pegang. Sehingga, orang juga melihat bahwa keras menjadi karakterku. Bagaimana tidak keras, jika itu untuk mempertahankan prinsip dan pendapatku?
Toh aku juga bukanlah orang yang seperti batu sekeras-kerasnya. Dalam diriku, aku sangat menghargai perasaaan manusia. Aku senang dalam setiap perjalan yang aku alami, aku berpikr tentang semua yang aku lihat dan rasakan saat itu, terutama jika terjadi ketika malam. Banyak hal pula yang karena merenung dan berpikirku, aku mendapatkan banyak hikmah kehidupan yang mempengaruhi jiwaku. Dan seringkali pula, aku membayangkan ada orang yang mau berbagi saat mengalami kejadian seperti itu.
Aku juga suka sastra dan kisah-kisah kehidupan manusia lainnya. Tapi memang, tidak semua orang tahu itu. Mereka banyak tahu bahwa aku sangat koleris dan seakan tidak berperasaan. Dan benar juga mereka, kehidupan luarku banyak dalam hal yang membutuhkan ketegasan dan disiplin. Sekali lagi, mungkin inilah yang unik bagiku. Karakter keras yang tidak mudah ditebak berpadu dalam kebermaknaan menjalani kehidupan.
Urusan prestiseku dan embel-embelnya mungkin hal yang biasa bagi temanku. Atau itu juga menjadi jalan hidupku? Lalu, bagaimana dengan wanita? Ini yang aku pikirkan kerena mendengar kisah sahabatku.
Kesimpulanku, komunikasi dalam rumah tangga sangat penting. Bagaimana dengan sifatku? Mungkin nantinya, pasanganku akan menjadi teman bicara dan tumpahan yang selama ini hanya kutuang dalam tulisan. Semudah itu, aku sendiri tak tahu. Yang kutahu, orang-orang hanya melihatku dari luar yang itu adalah koleris. Dan tidak semua manusia pula senang dengan cerita-cerita yang melankolis.
Disini aku ada di persimpangan, antara menjaga perasaan pendamping nantinya. Atau melanjutkan kisah hidup yang bagiku sangat menarik. Maksudnya, aku bukanlah murni orang rumah dan aku sangat menghargai pertemanan. Tak lupa, jalan-jalan sendiri malam hari dalam keberartianku. Urusan kerja, aku sangat menggemari dan jika itu cocok, kadang berlebihan sehingga partnerku akan merasa terjepit. Kalau ditanya mengapa, komitmen itu yang jadi kuncinya barangkali.
Dengan kisah sahabatku pula, merubah segala kenisbian dalam menilai wanita. Mereka mungkin indah, dan keindahan pula yang aku sukai dalam hidup. Sehingga, jangan mudah memberikan hati pada seseorang. Satu sisi, mereka belum tentu menjamin kelangsungan apalagi dengan karakter unikku. Sisi yang lainnya, jangan menyakiti perasaan wanita dengan memberi kesempatan. Tapi mereka sebenarnya tidak tahu lebih dalam tentang diriku. Kesenangan sesaat tidak bisa menggantikan duka hidupnya.
Saling memahami dan niat mungkin menjadi kuncinya kelak. Tapi, bagaimana bisa paham jika kita hanya tahu seketika? Sehingga komunikasi sendiri, aku berpendapat sangat penting dalam mengawali pintu kelurga juga. Bukan mengawali lebih tepatnya, tapi proses menuju kesananya. Karena itu melandasi hal yang menentukan hidup kita sepanjang hayat. Jodoh memang hak Allah, tapi keterlibatan manusia dalam menentukan bukan hal yang salah bagiku.
Sahabatku telah tidur nyenyak di sampingku. Senang rasanya dia bisa menumpahkan kesedihanya dan akhirnya bisa tidur tenang. Sedang aku, biarlah aku lanjutkan renungan ini.
Lalu, apakah berarti aku harus memilih diantara teman atau sahabatku? Orang yang mungkin paham dengan diriku dan aku pun paham dengannya. Satu hal yang pasti dari masa laluku, biarlah mereka menjadi bintang di langitnya masing-masing. Dan sekarang, memang tidak banyak orang yang tahu aku dibanding teman kisah hidupku di awal dewasa. Jadi, haruskah kupetik salah satunya di taman hidupku saat ini?
Aku tak tahu jawabnya, dan aku pun tak tahu apa nantinya. Mudah-mudahan kegamangan ini bukan alasan kenapa aku tak sesegera mengambil keputusan besar itu. Menentukannya mungkin mudah bagi banyak orang, dan berbondonglah manusia melakukannya. Tapi bagiku, itu sama sulitnya karena akan berpengaruh dalam hidupku selanjutnya.
Sekarang, aku tak tahu itu jam berapa dan bus ada dimana. Suara-suara kendaraan besar yang berpapasan dengan bus sering terdengar. Berarti, kami tidak sedang berada di kota. Kulihat di kaca jendela, pandangan hitam yang sepertinya menandakan persawahan. Semuanya menjadi saksi bisu yang menunjukan bahwa kami merangkai kembali persahabatan. Tapi aku kembali merindukan, ada orang yang mau berbagi kisahku saat ini. [6/05]
Tuesday, June 21, 2005
Saturday, June 18, 2005
tentang kasus himafi menurut ku
saya tadi malam ikutan forum di selasar IF yang dibuat atas inisiasi Himafi
(Himpunan Mahasiswa Fisika) kepada teman2 himpunan dan Kabinet KM ITB.
masalah yang akan menjadi agenda adalah tentang sanksi skorsing yang akan
dijatuhkan pihak rektorat kepada dua rekan Himafi. masalahnya adalah tentang
kekerasan dalam proses penerimaan anggota baru yang dikenal dengan OS.
taruhlah mekanisme sidang yang menurut kita adil tidak dilakukan dan itu
mempengaruhi keputusan.tapi menurut saya, kita harus memisahkan dari dua
sisi. menkaisme sidang dan kasusnya itu sendiri.
semua yang hadir (ada HMGM, HME, HMP, IMG, IMAG, HMIF, HMM, HMS dan KM)
sepakat bahwa mekanisme memang salah dan akan diperbaiki bersama. itu bisa
dilakukan dengan kita berparadigma ke depan. jika kita berpikir kembali pada
kasus himafi, maka kasusnya sendiri yang akan kita hadapi.
saya tidak akan menilai kasusnya seperti apa. yang jelas pertama, persepsi
yang diterima oleh 2004 terhadap kegiatan itu, tidak bisa dipaksakan oleh
kita sebagai orang yang mengetahui "di balik" apa yang kita diberikan. tidak
bisa dikatakan bahwa persepsi mereka salah, orang itu adalah urusan otak
mereka. jadi, mereka (2004) berhak memiliki persepsi, dan itu tidak bisa
dipaksakan. jika dipaksakan, kemana larinya slogan "manusia dewasa" yang kita
usung?
kedua, bahwa belajar adalah kebutuhan bagia manusia dan mungkin lebih khusus
lagi kewajiban yang harus dilakukan sebagai insan akademis. disinilah, kita
pembelajaran yang kita lakukan bersama terhadap kasus2 serupa yang pernah
menimpa kawan2 HMD lain (pun Himafi) belum kita lakukan dengan baik.dan
sekali lagi, kemana perginya konsep "manusia pembelajar" yang juga kita
junjung dalam kaderisasi itu sendiri?
Ok, mungkin kita adalah mahasiswa dengan segala dinamika yang ada. kita pun
telah dewasa yang juga tidak gampang dipaksa oleh aturan2 mengikat. hematnya,
kedua hal diatas yang kita sering lalaikan juga.
jadi, sepakat bahwa mekanisme yang akan diperbaiki. bagaimana dengan kasus
jika mekanisme "yang benar" diulangi? jika berpikir taktis, selamatkan dua
teman kita, itu saja cukup. tidak perlu nanya gimana caranya.. karena itu
tinggal urusan setia kawan kita. dan mengenai mekanisme, kita bersudut
pandangnya ke depan.
terakhir, kita bisa menjadi manusia pembelajar yang bebas
salam
(Himpunan Mahasiswa Fisika) kepada teman2 himpunan dan Kabinet KM ITB.
masalah yang akan menjadi agenda adalah tentang sanksi skorsing yang akan
dijatuhkan pihak rektorat kepada dua rekan Himafi. masalahnya adalah tentang
kekerasan dalam proses penerimaan anggota baru yang dikenal dengan OS.
taruhlah mekanisme sidang yang menurut kita adil tidak dilakukan dan itu
mempengaruhi keputusan.tapi menurut saya, kita harus memisahkan dari dua
sisi. menkaisme sidang dan kasusnya itu sendiri.
semua yang hadir (ada HMGM, HME, HMP, IMG, IMAG, HMIF, HMM, HMS dan KM)
sepakat bahwa mekanisme memang salah dan akan diperbaiki bersama. itu bisa
dilakukan dengan kita berparadigma ke depan. jika kita berpikir kembali pada
kasus himafi, maka kasusnya sendiri yang akan kita hadapi.
saya tidak akan menilai kasusnya seperti apa. yang jelas pertama, persepsi
yang diterima oleh 2004 terhadap kegiatan itu, tidak bisa dipaksakan oleh
kita sebagai orang yang mengetahui "di balik" apa yang kita diberikan. tidak
bisa dikatakan bahwa persepsi mereka salah, orang itu adalah urusan otak
mereka. jadi, mereka (2004) berhak memiliki persepsi, dan itu tidak bisa
dipaksakan. jika dipaksakan, kemana larinya slogan "manusia dewasa" yang kita
usung?
kedua, bahwa belajar adalah kebutuhan bagia manusia dan mungkin lebih khusus
lagi kewajiban yang harus dilakukan sebagai insan akademis. disinilah, kita
pembelajaran yang kita lakukan bersama terhadap kasus2 serupa yang pernah
menimpa kawan2 HMD lain (pun Himafi) belum kita lakukan dengan baik.dan
sekali lagi, kemana perginya konsep "manusia pembelajar" yang juga kita
junjung dalam kaderisasi itu sendiri?
Ok, mungkin kita adalah mahasiswa dengan segala dinamika yang ada. kita pun
telah dewasa yang juga tidak gampang dipaksa oleh aturan2 mengikat. hematnya,
kedua hal diatas yang kita sering lalaikan juga.
jadi, sepakat bahwa mekanisme yang akan diperbaiki. bagaimana dengan kasus
jika mekanisme "yang benar" diulangi? jika berpikir taktis, selamatkan dua
teman kita, itu saja cukup. tidak perlu nanya gimana caranya.. karena itu
tinggal urusan setia kawan kita. dan mengenai mekanisme, kita bersudut
pandangnya ke depan.
terakhir, kita bisa menjadi manusia pembelajar yang bebas
salam
Potret Sebuah Paradoks
Namanya Pak Setu. Nama khas orang zaman dulu yang lazim disamakan dengan hari lahirnya, Sabtu (Setu dalam Bahasa Jawa). Sosoknya kalem dengan sedikit obrol, tpi penuh wibawa. Bukan hanya karena perawakannya yang subur, melainkan juga karena senyumnya yang mengembang dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Kehidupan yang dipilihnya adalah seorang penjual sate ayam. Lebih lengkapnya, penjual sate ayam kampung. Usaha yang mulai digelutinya awal tahun 1980-an dimana sat itu beliau adalah penjual sate ayam pertama di lingkungannya (dan mungkin juga dalam satu kecamatan). Konon, jalan raya pertigaan tempat saban hari pak setu mangkal saat itu belum tersentuh dengan aspal. Padahal jalan itu adalah jalan utama di sebuah kecamatan di Jawa Timur. Meskipun demikian, jangankan mobil, sepeda pun tidak banyak yang lewat. Setidaknya, jalan itu lebih ramai dibandingkan jalan-jalan lainnya kala itu. Tak ubahnya jalan protokol di masa sekarang.
Namun bukan karena tempat strategis itu orang menggemari sate ayamnya. Sate ayam yang bercita rasa tersendiri akibat cara pngelohan alami dan bumbu yang pas mungkin alasan utamanya. Sampai sekarang pun, tidak banyak langganan yang lari. Bahkan semakin banyak mungkin. Karena seperti yang dialami penulis sendiri, adalah pelanggan satenya sejak kecil, sampai sudah lupa kapan tepatnya mulai berlangganan. Dan hingga sekarang pun selalu ingin untuk merasakan sate ayam khas Pak Setu setiap kali mampir di daerah itu.
Bukan perjuangan yang ringan, bapak tiga anak ini meretas usaha. Mengingat pula, daerah asal Pak Setu yang berjarak 20-an Km dari kota tempat tambatan rezekinya. Selama itu pula, kehidupan kontrakan menjadi pilihan terbaik. Namun bukan rumah kontrakan tepatnya, karena hanya ruangan berdinding kayu dengan luas kurang lebih 15 m2. Asal cukup untuk tidur, masak dan tempat gerobak sate, harapan hidupnya. Sang istri tercinta, kadang-kadang menemani berjualan dan tidur di ruang kecil kontrakannya.
Sedangkan anak-anaknya, tinggal di rumah asalnya dengan embahnya. Hal yang biasa dalam kehidupan pedesaan. Toh sebagai seorang bapak, Pak Setu telah berhasil menuntaskan bekal pendidikan putra-putrinya. Ketiganya adalah lulusan SMU atau sekolah yang sederajat dengannya. Bahkan, kewjiban menikahkan anaknya jug telah selesai ditunaikannya. Dan saat ini, ketiganya bisa dibilang mapan untuk lingkungan tempat tinggalnya.
Pelajaran berharga yang ditunjukan oleh Pak Setu dan juga Pak Setu-Pak Setu lainnya yang mungkin lebih keras perjuangannya. Mereka bukanlah peminta belas kasihan untuk menghidupi keluarga. Mereka juga tidak melalaikan perhatian kepada anaknya, walaupun jarak dan kesibukan memisahkannya. Mereka adalah sosok rakyat biasa yang hidupnya bersahaja, sarat kejujuran dalam berkorban, di tengah derasnya ombak kehidupan.
Dan di usianya yang hampir 55 tahun sekarang, tidak ada yang membahagiakan hati Pak Setu selain melihat anak dan cucunya hidup tentram. Walaupun juga, gerobak satenya setia menemani hari-hari senjanya. Mungkin bukan semata satu atau dua ribu rupiah Pak Setu melakukannya, namun karena menjawab panggilan hidup yang senantiasa mengalun lirih di petang hari. Dan kami pun, rindu akan sate ayam kampung Pak Setu.
***
Di kota kecamatan tersebut juga terdapat stasiun kereta api. Stasiun itu kecil, sehingga hanya diijinkan melayani kereta-kereta ekonomi. Meskipun demikian, melalui stasiun ini juga dipasok bahan bakar pesawat terbang untuk sebuah lanud (lapangan udara).
Dengan hanya kereta-kereta ekonomi yang lewat di stasiun ini, penumpang yang menggunakannya pun adalah masyarakat kecil, kelas menengah ke bawah. Masyarakat biasa seperti halnya Pak Setu, sang penjual sate. Tentunya, alasan menjadikan kereta ekonomi sebagai pilihan adalah murahnya. Bukan karena kenyamanan yang susah untuk dikatakan memadai, fasilitas yang seadanya dan lama perjalanan yang tak pasti. Setidaknya, stasiun yang juga satu-satunya di kabupaten tersebut mampu menyediakan kebutuhan sarana transportasi yang murah, massal dan anti macet.
Merasakan sebuah perjalanan kereta ekonomi laiknya kita melihat kehidupan alami sebuah masyarakat. Suasana panas, berdesakan, bising dan ekstra goncangan. Ekstrimnya, seperti pasar yang berjalan di atas rel. Tak aneh memang, dengan penumpang yang sudah penuh sekalipun, penumpang stasiun berikutnya masih harus “dipaksakan” masuk. Mungkin bila duduk di atap gerbong dibolehkan seperti pemandangan KRL Jabotabek, beramai-ramailah penumpang duduk di atasnya. Hitung-hitung lebih dingin dan terbebas dari himpitan manusia.
Jumlah tiket yang jauh lebih besar dari kapasitas kereta tidak pernah diantisipasi atau dihentikan. Akibatnya di hari-hari tertentu terutama, penumpang lah yang menjadi korban dari penjualan maksimasi kapasitas tersebut. Hal yang selalu dan selalu terjadi setiap saat. Penulis tidak tahu, apakah itu sudah menjadi kebijakan tersendiri. Atau menjadi budaya seperti halnya perihal waktu perjalanan kereta yang selalu telat. Pernah kemudian timbul pertanyaan usil, mengapa tidak kemudian waktu telat tersebut dijadikan waktu kedatangan baru? Jawabannya mungkin waktunya akan semakin molor lagi nantinya.
Menjadi keprihatinan bila sistem yang (sengaja) dibiarkan di kereta ekonomi tetap dipertahankan. Lebih tragis lagi, itu sudah menjadi karakter personal penyelenggara jasa kereta api kita. Misalnya, jumlah penumpang memang dimaksimalkan untuk memberikan keuntungan pribadi. Ketika yang di atas rel berusaha menarik “uang rokok” para penumpang gelap dan kemudian membiarkannya, yang di stasiun pun akhirnya iri dan ikut-ikutan bermain.
Penulis sendiri pernah mengalami pengalaman dengan budaya itu. Gertakan tidak mendapat tempat duduk jika tidak membeli kursi diberikan oleh petugas penjual tiket di stasiun. Atau pengalaman seorang ibu yang ”dirayu” membeli harga kursi yang lebih dari dua kali lipat harganya dengan alasan demi anak yang dibawa ibu tersebut. Padahal di kereta, mekanisme tempat duduk tidak selamanya berjalan. Karena penumpang juga tunduk pada yang memberi jasa dadakan tempat duduk.
***
Kedua potret diatas hanyalah sebgaian kecil dari rangkaian peristiwa kehidupan yang dialami rakyat kecil di negeri ini. Rakyat kecil seakan ditakdirkan oleh Tuhan untuk menerima perlakuan marjinal dari sistem sekelilingnya. Upaya untuk melepaskan dari himpitan dan tekanan tidak pernah berbuah manis, seperti dalam sejarah Revolusi Perancis. Mereka tidak pernah mendengarkan semboyan fraternite, liberte dan egalite, namun mereka mampu memaknainya lebih dalam dari sekedar sebutir benih ilmu di kepala manusia.
Padahal, mereka tidak pernah lelah berjuang untuk hidupnya. Jika masyarakat kecil selalu disalahkan karena ketidakmampuan dalam mengembangkan dirinya, maka bagaimana rakyat akan berkembang jika sistem tetap memaksanya stay at place. Ungkapan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin ada benarnya di satu sisi. Namun, untuk seorang Pak Setu, hidup adalah sarana menjawab panggilan Tuhan melalui alam. Sehingga lebih atau kurang bukanlah ukuran dalam kesuksesan hidup. Kesuksesan bagi Pak Setu adalah kemampuan bertahan dalam samudera kehidupan.
Rakyat kecil dan mungkin Pak Setu juga, tidak tahu menahu bahwa kekayaan negeri ini begitu luar biasanya. Bahwa di ujung timur sana, terdapat gunung dengan kandungan emas. Bahwa di laut tempat tautan hidupnya, terkandung banyak sumber energi dunia saat ini. Bahwa di tanah yang mereka injak, terdapat nutrisi yang digunakan tumbuhan untuk hidup. Mereka hanya paham, bahwa untuk hidup butuh makan, dan untuk makan butuh perjuangan serta pengorbanan. Kita menunggu bahwa peristiwa diatas adalah bukanlah sebuah paradoksial, melainkan paradoksal. Artinya tidak terus-menerus menjadi dua hal yang bertentangan (paradoksial) dan suatu saat akan menemukan solusi (paradoksal).
Dan satu lagi, mereka hanya bisa memohon pada Yang Kuasa untuk memberikan pemimpin yang mengayomi rakyatnya laksana seorang ibu terhadap anaknya. Jika sekarang belum saatnya, mereka cukup berdo’a supaya anak-anaknya mmpu hidup lebih baik kelak. Entah sampai kapan, mereka hanya bisa berharap.
Juli 2004
Catatan Sebuih Perjalanan
Kehidupan yang dipilihnya adalah seorang penjual sate ayam. Lebih lengkapnya, penjual sate ayam kampung. Usaha yang mulai digelutinya awal tahun 1980-an dimana sat itu beliau adalah penjual sate ayam pertama di lingkungannya (dan mungkin juga dalam satu kecamatan). Konon, jalan raya pertigaan tempat saban hari pak setu mangkal saat itu belum tersentuh dengan aspal. Padahal jalan itu adalah jalan utama di sebuah kecamatan di Jawa Timur. Meskipun demikian, jangankan mobil, sepeda pun tidak banyak yang lewat. Setidaknya, jalan itu lebih ramai dibandingkan jalan-jalan lainnya kala itu. Tak ubahnya jalan protokol di masa sekarang.
Namun bukan karena tempat strategis itu orang menggemari sate ayamnya. Sate ayam yang bercita rasa tersendiri akibat cara pngelohan alami dan bumbu yang pas mungkin alasan utamanya. Sampai sekarang pun, tidak banyak langganan yang lari. Bahkan semakin banyak mungkin. Karena seperti yang dialami penulis sendiri, adalah pelanggan satenya sejak kecil, sampai sudah lupa kapan tepatnya mulai berlangganan. Dan hingga sekarang pun selalu ingin untuk merasakan sate ayam khas Pak Setu setiap kali mampir di daerah itu.
Bukan perjuangan yang ringan, bapak tiga anak ini meretas usaha. Mengingat pula, daerah asal Pak Setu yang berjarak 20-an Km dari kota tempat tambatan rezekinya. Selama itu pula, kehidupan kontrakan menjadi pilihan terbaik. Namun bukan rumah kontrakan tepatnya, karena hanya ruangan berdinding kayu dengan luas kurang lebih 15 m2. Asal cukup untuk tidur, masak dan tempat gerobak sate, harapan hidupnya. Sang istri tercinta, kadang-kadang menemani berjualan dan tidur di ruang kecil kontrakannya.
Sedangkan anak-anaknya, tinggal di rumah asalnya dengan embahnya. Hal yang biasa dalam kehidupan pedesaan. Toh sebagai seorang bapak, Pak Setu telah berhasil menuntaskan bekal pendidikan putra-putrinya. Ketiganya adalah lulusan SMU atau sekolah yang sederajat dengannya. Bahkan, kewjiban menikahkan anaknya jug telah selesai ditunaikannya. Dan saat ini, ketiganya bisa dibilang mapan untuk lingkungan tempat tinggalnya.
Pelajaran berharga yang ditunjukan oleh Pak Setu dan juga Pak Setu-Pak Setu lainnya yang mungkin lebih keras perjuangannya. Mereka bukanlah peminta belas kasihan untuk menghidupi keluarga. Mereka juga tidak melalaikan perhatian kepada anaknya, walaupun jarak dan kesibukan memisahkannya. Mereka adalah sosok rakyat biasa yang hidupnya bersahaja, sarat kejujuran dalam berkorban, di tengah derasnya ombak kehidupan.
Dan di usianya yang hampir 55 tahun sekarang, tidak ada yang membahagiakan hati Pak Setu selain melihat anak dan cucunya hidup tentram. Walaupun juga, gerobak satenya setia menemani hari-hari senjanya. Mungkin bukan semata satu atau dua ribu rupiah Pak Setu melakukannya, namun karena menjawab panggilan hidup yang senantiasa mengalun lirih di petang hari. Dan kami pun, rindu akan sate ayam kampung Pak Setu.
***
Di kota kecamatan tersebut juga terdapat stasiun kereta api. Stasiun itu kecil, sehingga hanya diijinkan melayani kereta-kereta ekonomi. Meskipun demikian, melalui stasiun ini juga dipasok bahan bakar pesawat terbang untuk sebuah lanud (lapangan udara).
Dengan hanya kereta-kereta ekonomi yang lewat di stasiun ini, penumpang yang menggunakannya pun adalah masyarakat kecil, kelas menengah ke bawah. Masyarakat biasa seperti halnya Pak Setu, sang penjual sate. Tentunya, alasan menjadikan kereta ekonomi sebagai pilihan adalah murahnya. Bukan karena kenyamanan yang susah untuk dikatakan memadai, fasilitas yang seadanya dan lama perjalanan yang tak pasti. Setidaknya, stasiun yang juga satu-satunya di kabupaten tersebut mampu menyediakan kebutuhan sarana transportasi yang murah, massal dan anti macet.
Merasakan sebuah perjalanan kereta ekonomi laiknya kita melihat kehidupan alami sebuah masyarakat. Suasana panas, berdesakan, bising dan ekstra goncangan. Ekstrimnya, seperti pasar yang berjalan di atas rel. Tak aneh memang, dengan penumpang yang sudah penuh sekalipun, penumpang stasiun berikutnya masih harus “dipaksakan” masuk. Mungkin bila duduk di atap gerbong dibolehkan seperti pemandangan KRL Jabotabek, beramai-ramailah penumpang duduk di atasnya. Hitung-hitung lebih dingin dan terbebas dari himpitan manusia.
Jumlah tiket yang jauh lebih besar dari kapasitas kereta tidak pernah diantisipasi atau dihentikan. Akibatnya di hari-hari tertentu terutama, penumpang lah yang menjadi korban dari penjualan maksimasi kapasitas tersebut. Hal yang selalu dan selalu terjadi setiap saat. Penulis tidak tahu, apakah itu sudah menjadi kebijakan tersendiri. Atau menjadi budaya seperti halnya perihal waktu perjalanan kereta yang selalu telat. Pernah kemudian timbul pertanyaan usil, mengapa tidak kemudian waktu telat tersebut dijadikan waktu kedatangan baru? Jawabannya mungkin waktunya akan semakin molor lagi nantinya.
Menjadi keprihatinan bila sistem yang (sengaja) dibiarkan di kereta ekonomi tetap dipertahankan. Lebih tragis lagi, itu sudah menjadi karakter personal penyelenggara jasa kereta api kita. Misalnya, jumlah penumpang memang dimaksimalkan untuk memberikan keuntungan pribadi. Ketika yang di atas rel berusaha menarik “uang rokok” para penumpang gelap dan kemudian membiarkannya, yang di stasiun pun akhirnya iri dan ikut-ikutan bermain.
Penulis sendiri pernah mengalami pengalaman dengan budaya itu. Gertakan tidak mendapat tempat duduk jika tidak membeli kursi diberikan oleh petugas penjual tiket di stasiun. Atau pengalaman seorang ibu yang ”dirayu” membeli harga kursi yang lebih dari dua kali lipat harganya dengan alasan demi anak yang dibawa ibu tersebut. Padahal di kereta, mekanisme tempat duduk tidak selamanya berjalan. Karena penumpang juga tunduk pada yang memberi jasa dadakan tempat duduk.
***
Kedua potret diatas hanyalah sebgaian kecil dari rangkaian peristiwa kehidupan yang dialami rakyat kecil di negeri ini. Rakyat kecil seakan ditakdirkan oleh Tuhan untuk menerima perlakuan marjinal dari sistem sekelilingnya. Upaya untuk melepaskan dari himpitan dan tekanan tidak pernah berbuah manis, seperti dalam sejarah Revolusi Perancis. Mereka tidak pernah mendengarkan semboyan fraternite, liberte dan egalite, namun mereka mampu memaknainya lebih dalam dari sekedar sebutir benih ilmu di kepala manusia.
Padahal, mereka tidak pernah lelah berjuang untuk hidupnya. Jika masyarakat kecil selalu disalahkan karena ketidakmampuan dalam mengembangkan dirinya, maka bagaimana rakyat akan berkembang jika sistem tetap memaksanya stay at place. Ungkapan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin ada benarnya di satu sisi. Namun, untuk seorang Pak Setu, hidup adalah sarana menjawab panggilan Tuhan melalui alam. Sehingga lebih atau kurang bukanlah ukuran dalam kesuksesan hidup. Kesuksesan bagi Pak Setu adalah kemampuan bertahan dalam samudera kehidupan.
Rakyat kecil dan mungkin Pak Setu juga, tidak tahu menahu bahwa kekayaan negeri ini begitu luar biasanya. Bahwa di ujung timur sana, terdapat gunung dengan kandungan emas. Bahwa di laut tempat tautan hidupnya, terkandung banyak sumber energi dunia saat ini. Bahwa di tanah yang mereka injak, terdapat nutrisi yang digunakan tumbuhan untuk hidup. Mereka hanya paham, bahwa untuk hidup butuh makan, dan untuk makan butuh perjuangan serta pengorbanan. Kita menunggu bahwa peristiwa diatas adalah bukanlah sebuah paradoksial, melainkan paradoksal. Artinya tidak terus-menerus menjadi dua hal yang bertentangan (paradoksial) dan suatu saat akan menemukan solusi (paradoksal).
Dan satu lagi, mereka hanya bisa memohon pada Yang Kuasa untuk memberikan pemimpin yang mengayomi rakyatnya laksana seorang ibu terhadap anaknya. Jika sekarang belum saatnya, mereka cukup berdo’a supaya anak-anaknya mmpu hidup lebih baik kelak. Entah sampai kapan, mereka hanya bisa berharap.
Juli 2004
Catatan Sebuih Perjalanan
Ngobrolin Pilkadal
Saya tidak tahu, kenapa pilkadal kemudian muncul dalam pembicaraan media akhir-akhir ini. Lebih jauh lagi, mengapa pilkada ada, tidak menjadi keahlian saya untuk menjawabnya. Kalau misalnya itu untuk makhluk yang bernama demokrasi, maka negara kita benar-benar memenuhi ”tuntutan demokrasi” yang jadi wacana global. Sekarang, siapa yang berani menantang ”konsep indah” demokrasi? Setelah sosialisme, bertekuk tak berdaya dibuatnya.
Lalu ada yang mengatakan, bahwa pilkadal adalah proses pendewasaan bangsa kita. Mungkin maksudnya, tanggung jawab kepemimpinan bukan lagi monopoli Jakarta. Masyarakat di daerah juga mulai merasakan hirup pikuk pestanya.
Media massa mungkin dipaksa untuk meghadirkan liputan-liputan dari pelosok-pelosok yang sebelumnya belum terjamah. Dan kemudian, usaha penerbitan pers di daerah menjadi berkembang. Karena koran daerah sangat tepat memenuhi kebutuhan suasana, serba-serbi, dan bahkan gosip pilkadal daerahnya. Atau kalau ingin dibuat berlebihan, pilkadal juga mengotonomikan anggaran pesta demokrasi yang sebelumnya lebih berpusat di daerah-daerah urban.
Pernah dalam kuliah Perancangan Organisasi, dosen saya mengomentari tentang pilkadal. Menurutnya, pilkadal hanya proses pertumbuhan organisasi bangsa kita menuju tahapan di depannya. Memang dalam ilmu organisasi, kita mengenal pertumbuhan organisasi, mulai saat pertama organisasi tumbuh yang kemudian mengakibatkan krisis kepemimpinan (seperti saat pertama Indonesia berdiri), kemuadian organisasi menjadi berkembang dengan krisis-krisis yang menghantuinya.
Konon, profesor organisasi satu-satunya di Indonesia ini menambahkan jika pilkadal akan menghadirkan raja-raja kecil di daerah yang berkuasa seperti raja besar di masa lampau. Artinya rakyat tidak akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan era sebelumnya, hanya berbeda penguasa. Bisa jadi, karena skupnya kecil dan tidak dilihat oleh mata semua rakyat Indonesia, kekuasaannya bisa melebihi. Tapi ya..tidak usah su’udzon dulu. Ini hanya masalah pertumbuhan bangsa kita, imbuhnya.
Saya kemudian bertanya, sampai kapan raja-raja kecil akan berkuasa? Jawabnya, jika era raja besar membutuhkan 30-an tahun, maka raja kecil ini un akan membutuhkn waktu serupa. Wah..lama juga ya, pikir saya. Jika mahasiswa berusia rata-rata 22 tahun, berarti di usia 50-an tahun orang-orang muda ini baru merasakan Indonesia wajah baru. Terakhir katanya yang selalu saya ingat sebagai motivasi, “tunggulah nanti Indonesia akan menjadi negara yang disegani oleh dunia saat itu”. Indah rasanya kala itu terjadi.
Ngomong-ngomong soal raja kecil dan usia kita nantinya diatas, saya dan teman asrama kemarin berseloroh. Mungkin kita yang di asrama PPSDMS ini akan menjadi bupati, gubernur di daerahnya masing-masing nantinya. Bramasto di Kediri, Goris di Garut, Yogi di Bangkinang dan lain-lainnya. Terinspirasi oleh iklan pasangan Sofyan-Irkham di stasiun TV yang marak akhir-akhir ini, ada yang melagukan nada yang sama dengan mengganti pasangannya menjadi Bustan-Trian (keduanya dari Jawa Timur). Namanya asrama, mungkin bercandanya pun kudu berbau kepemimpinan.
Tapi benar-benar kami kagum atas upaya yang dilakukan oleh Sofyan-Irkham yang mencalonkan diri menjadi bupati Kutai Kartanegara. Kutai memang kabupaten terkaya di Indonesia, disukung dengan SDA yang melimpah ruah. Konon, dia menjanjikan pembangunan setiap desa senilai 30 miliar setiap tahunnya. SD sampai SMA juga dibebaskan dari biaya apapun. Pokoknya, dia menjadikan dirinya tokoh pembaharu dan pembawa kemajuan.
Jika semua kepala daerah yang terpilih melakukan seperti itu, raja-raja kecil yang ditakutkan tidak akan terjadi. Waktu yang 30-an tahun tadi mungkin bisa kita tawar. Profesor saya pun mungkin masih berkesempatan melihat Indonesia yang maju dan disegani. Dan kita yang muda, tidak perlu berbasah ria dengan birokrat pemerintahan kerena menjadi gubernur, bupati seperti yang guyonan kami.
Semudah itukah akan terwujud? Bukankah dari iklan itu, kita malah bengong ga karuan dibuatnya. Kok bisa-bisanya ngorbanin diri untuk nongol di salah satu stasiun tv setiap rentang pukul 6 sampai 7 malam sebanyak rata-rata 5 kali itu? Bukankah ”hanya” calon bupati? Sebuah kutai lagi, bukan lingkup negara.
Sekarang mari kita berhitung singkat. Kalau setiap hari 5 kali tampil, dan menurut AC Nielsen jam 6-7 adalah jam tayang nomor dua setelah jam 7-8 malam (premier). Maka harga sebuah iklan berdurasi 30 menit cukup mahal, yakni 15 juta (5 juta di bawah jam premier). Meskipun itu bisa jadiu tidak sama untuk setiap stasiun tv, mari itu kita anggap sebagai asumsi (stasiun tv yang menayangkan bisa jadi lebih mahal, karena tayangan berita yang ekslusifnya) Jadi, setiap hari (jika rata-rata 5 kali) harus merogoh 75 juta. Taruhlah kampanye dalam 10 hari, maka 750 juta akan melayang. Belum lagi biaya produksi dan pastinya pajak bagi negara.
Itu memang hanya terjadi di Kutai barangkali. Tapi minimal setiap pilkadal di daerah-daerah yang tidak sekaya Kutai, akan menggunakan sarana iklan di media massa sebagai metode yang efektif. Maka ujung-ujungnya, duit yang berbicara. Siapa yang punya lebih, akan menampilkan dirinya sebaik mungkin. Pertanyaan lagi, dari mana dan itu? Kutai memang kaya, tapi bukankah kabupaten yang kaya? Bukan orang per orangnya. Itupun ternyata masih banyak jalan-jalan pelosok yang belum di aspal, atau kampung-kampung hulu sungai yang hanya terakses oleh perahu tradisional.
Jadilah pilkadal ajang ”biasa” yang tidak pernah membaik. Panwaslu kesulitan menjerat, laporan keuangan tidak transparan sumbernya, janji yang susah ditagih kembali. Lalu apalagi? Bangsa ini pun akan menjadi seperti biasanya. Saya tidak tahu, apakah busung lapar di NTB sekarang akan tertangani dengan adanya pilkadal? Sekarang dengan liputan gencar media nasional pun, pemerintah daerahnya bisa menyebut bahwa itu hanya kekurangan gizi, bukan busung lapar. Barangkali masyarakatnya pun tidak disebut miskin, melainkan prasejahtera.
Lalu apalagi? Pemberantasan korupsi yang sekarang sedang di top down oleh SBY mungkin terganjal karena ”Gue kan dipilh rakyat gue, buat apa pusat campur tangan?”. Nah...kalau sudah seperti itu, rakyat tetap seperti biasa lagi. Sikap nrimo, mangan ora mangan sing penting kumpul. Dan penguasa pun menjadi penikmat mayoritas kekayaan.
Jadinya, orang-orang muda idealis akan biasa pula tetap di bawah kungkungan cita-citanya. Itung-itung latihan militansi-lah, mas mau langsung enak. Kalau tidak kaya gini, mungkin tidak akan ada obyek lawan yang akan diserang oleh perjuangan penuh heroik. Lha wong sekarang aja, sudah tidak sejelas seperti Soeharto dulu. Mumpung masih berpeluang menimbulkan gejolak, hayo kita berjuang bareng-bareng.
Dan kemudian, segala landasan yang melatarbelakangi pilkadal seperti embuh pagi saja, yang nantinya hilang diterpa sinar matahari. Cita-cita menjadikan kita negara demokratis se-dunia mungkin akan kita dapatkan. Toh, mereka sejak 1999 sudah memberikan itu pada kita. Kita memang sekedar bangga menyandang, bukan melaksankannya.
Entahlah, saya sendiri juga menganggapnya enteng tentang pilkadal ini. Tapi guyonan bahwa anak-anak asrama ini akan menjadi kepala daerah di daerahnya masing-masing menjadi masuk akal juga. Karena huru-hara tidak bertepi, ya peluang itu sangat terbuka. Mungkin minimal menjadi wakil rakyat dari daerahnya. Ini hanya obrolan santai kami.
Dan sekarang kita tidak perlu ikut bingung-bingung memikirkan pilkadal. Kaya hiburan API (Akademi Pelawak Indonesia) yang sedang marak. Karena mungkin kita akan memikirkannya lebih matang di masa depan.Jadi, ya biasa saja lah...
Lalu ada yang mengatakan, bahwa pilkadal adalah proses pendewasaan bangsa kita. Mungkin maksudnya, tanggung jawab kepemimpinan bukan lagi monopoli Jakarta. Masyarakat di daerah juga mulai merasakan hirup pikuk pestanya.
Media massa mungkin dipaksa untuk meghadirkan liputan-liputan dari pelosok-pelosok yang sebelumnya belum terjamah. Dan kemudian, usaha penerbitan pers di daerah menjadi berkembang. Karena koran daerah sangat tepat memenuhi kebutuhan suasana, serba-serbi, dan bahkan gosip pilkadal daerahnya. Atau kalau ingin dibuat berlebihan, pilkadal juga mengotonomikan anggaran pesta demokrasi yang sebelumnya lebih berpusat di daerah-daerah urban.
Pernah dalam kuliah Perancangan Organisasi, dosen saya mengomentari tentang pilkadal. Menurutnya, pilkadal hanya proses pertumbuhan organisasi bangsa kita menuju tahapan di depannya. Memang dalam ilmu organisasi, kita mengenal pertumbuhan organisasi, mulai saat pertama organisasi tumbuh yang kemudian mengakibatkan krisis kepemimpinan (seperti saat pertama Indonesia berdiri), kemuadian organisasi menjadi berkembang dengan krisis-krisis yang menghantuinya.
Konon, profesor organisasi satu-satunya di Indonesia ini menambahkan jika pilkadal akan menghadirkan raja-raja kecil di daerah yang berkuasa seperti raja besar di masa lampau. Artinya rakyat tidak akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan era sebelumnya, hanya berbeda penguasa. Bisa jadi, karena skupnya kecil dan tidak dilihat oleh mata semua rakyat Indonesia, kekuasaannya bisa melebihi. Tapi ya..tidak usah su’udzon dulu. Ini hanya masalah pertumbuhan bangsa kita, imbuhnya.
Saya kemudian bertanya, sampai kapan raja-raja kecil akan berkuasa? Jawabnya, jika era raja besar membutuhkan 30-an tahun, maka raja kecil ini un akan membutuhkn waktu serupa. Wah..lama juga ya, pikir saya. Jika mahasiswa berusia rata-rata 22 tahun, berarti di usia 50-an tahun orang-orang muda ini baru merasakan Indonesia wajah baru. Terakhir katanya yang selalu saya ingat sebagai motivasi, “tunggulah nanti Indonesia akan menjadi negara yang disegani oleh dunia saat itu”. Indah rasanya kala itu terjadi.
Ngomong-ngomong soal raja kecil dan usia kita nantinya diatas, saya dan teman asrama kemarin berseloroh. Mungkin kita yang di asrama PPSDMS ini akan menjadi bupati, gubernur di daerahnya masing-masing nantinya. Bramasto di Kediri, Goris di Garut, Yogi di Bangkinang dan lain-lainnya. Terinspirasi oleh iklan pasangan Sofyan-Irkham di stasiun TV yang marak akhir-akhir ini, ada yang melagukan nada yang sama dengan mengganti pasangannya menjadi Bustan-Trian (keduanya dari Jawa Timur). Namanya asrama, mungkin bercandanya pun kudu berbau kepemimpinan.
Tapi benar-benar kami kagum atas upaya yang dilakukan oleh Sofyan-Irkham yang mencalonkan diri menjadi bupati Kutai Kartanegara. Kutai memang kabupaten terkaya di Indonesia, disukung dengan SDA yang melimpah ruah. Konon, dia menjanjikan pembangunan setiap desa senilai 30 miliar setiap tahunnya. SD sampai SMA juga dibebaskan dari biaya apapun. Pokoknya, dia menjadikan dirinya tokoh pembaharu dan pembawa kemajuan.
Jika semua kepala daerah yang terpilih melakukan seperti itu, raja-raja kecil yang ditakutkan tidak akan terjadi. Waktu yang 30-an tahun tadi mungkin bisa kita tawar. Profesor saya pun mungkin masih berkesempatan melihat Indonesia yang maju dan disegani. Dan kita yang muda, tidak perlu berbasah ria dengan birokrat pemerintahan kerena menjadi gubernur, bupati seperti yang guyonan kami.
Semudah itukah akan terwujud? Bukankah dari iklan itu, kita malah bengong ga karuan dibuatnya. Kok bisa-bisanya ngorbanin diri untuk nongol di salah satu stasiun tv setiap rentang pukul 6 sampai 7 malam sebanyak rata-rata 5 kali itu? Bukankah ”hanya” calon bupati? Sebuah kutai lagi, bukan lingkup negara.
Sekarang mari kita berhitung singkat. Kalau setiap hari 5 kali tampil, dan menurut AC Nielsen jam 6-7 adalah jam tayang nomor dua setelah jam 7-8 malam (premier). Maka harga sebuah iklan berdurasi 30 menit cukup mahal, yakni 15 juta (5 juta di bawah jam premier). Meskipun itu bisa jadiu tidak sama untuk setiap stasiun tv, mari itu kita anggap sebagai asumsi (stasiun tv yang menayangkan bisa jadi lebih mahal, karena tayangan berita yang ekslusifnya) Jadi, setiap hari (jika rata-rata 5 kali) harus merogoh 75 juta. Taruhlah kampanye dalam 10 hari, maka 750 juta akan melayang. Belum lagi biaya produksi dan pastinya pajak bagi negara.
Itu memang hanya terjadi di Kutai barangkali. Tapi minimal setiap pilkadal di daerah-daerah yang tidak sekaya Kutai, akan menggunakan sarana iklan di media massa sebagai metode yang efektif. Maka ujung-ujungnya, duit yang berbicara. Siapa yang punya lebih, akan menampilkan dirinya sebaik mungkin. Pertanyaan lagi, dari mana dan itu? Kutai memang kaya, tapi bukankah kabupaten yang kaya? Bukan orang per orangnya. Itupun ternyata masih banyak jalan-jalan pelosok yang belum di aspal, atau kampung-kampung hulu sungai yang hanya terakses oleh perahu tradisional.
Jadilah pilkadal ajang ”biasa” yang tidak pernah membaik. Panwaslu kesulitan menjerat, laporan keuangan tidak transparan sumbernya, janji yang susah ditagih kembali. Lalu apalagi? Bangsa ini pun akan menjadi seperti biasanya. Saya tidak tahu, apakah busung lapar di NTB sekarang akan tertangani dengan adanya pilkadal? Sekarang dengan liputan gencar media nasional pun, pemerintah daerahnya bisa menyebut bahwa itu hanya kekurangan gizi, bukan busung lapar. Barangkali masyarakatnya pun tidak disebut miskin, melainkan prasejahtera.
Lalu apalagi? Pemberantasan korupsi yang sekarang sedang di top down oleh SBY mungkin terganjal karena ”Gue kan dipilh rakyat gue, buat apa pusat campur tangan?”. Nah...kalau sudah seperti itu, rakyat tetap seperti biasa lagi. Sikap nrimo, mangan ora mangan sing penting kumpul. Dan penguasa pun menjadi penikmat mayoritas kekayaan.
Jadinya, orang-orang muda idealis akan biasa pula tetap di bawah kungkungan cita-citanya. Itung-itung latihan militansi-lah, mas mau langsung enak. Kalau tidak kaya gini, mungkin tidak akan ada obyek lawan yang akan diserang oleh perjuangan penuh heroik. Lha wong sekarang aja, sudah tidak sejelas seperti Soeharto dulu. Mumpung masih berpeluang menimbulkan gejolak, hayo kita berjuang bareng-bareng.
Dan kemudian, segala landasan yang melatarbelakangi pilkadal seperti embuh pagi saja, yang nantinya hilang diterpa sinar matahari. Cita-cita menjadikan kita negara demokratis se-dunia mungkin akan kita dapatkan. Toh, mereka sejak 1999 sudah memberikan itu pada kita. Kita memang sekedar bangga menyandang, bukan melaksankannya.
Entahlah, saya sendiri juga menganggapnya enteng tentang pilkadal ini. Tapi guyonan bahwa anak-anak asrama ini akan menjadi kepala daerah di daerahnya masing-masing menjadi masuk akal juga. Karena huru-hara tidak bertepi, ya peluang itu sangat terbuka. Mungkin minimal menjadi wakil rakyat dari daerahnya. Ini hanya obrolan santai kami.
Dan sekarang kita tidak perlu ikut bingung-bingung memikirkan pilkadal. Kaya hiburan API (Akademi Pelawak Indonesia) yang sedang marak. Karena mungkin kita akan memikirkannya lebih matang di masa depan.Jadi, ya biasa saja lah...
Thursday, June 16, 2005
Menikmati “Kehidupan”
Perjalanan adalah suatu hal yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia ,begitu pula mahasiswa. Tertuama untuk mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah di luar kota tempatnya menuntut ilmu. Meskipun tidak semuanya, sebagian besar mahasiswa dalam satu tahun melakukan sebuah perjalanan panjang ke kampung halamannya. Untuk kasus-kasus tententu, perjalanan mudik adalah bagian kehidupan mahasiswa yang tak terpisahkan, yang selalu dilakukan tiap minggu. Namun ada juga fenomena dimana perjalanan pulang kampung adalah kegiatan “sakral” yang tidak akan dilakukannya sebelum menjadi orang sukses di negeri seberang, entah berapa lama waktunya.
Bagi mahasiswa, kadangkala memilih sarana transportasi untuk perjalanan menjadi sesuatu hal yang menarik. Kombinasi variabel keputusan pemilihan-lah yang menjadikannya berbeda dengan orang kebanyakan. Fasilitas memadai nan nyaman, singkatnya waktu perjalanan mungkin akan dengan mudah disingkirkan dengan pertimbangan ekonomis. Bahkan alasan memilih sarana transport yang murah tidaklah selalu kongruen dengan kantong yang cekak. Namun, logika berpikir mahasiswa yang irit dan hemat akhirnya yang memenangkan kuasa itu. Tidak untuk ditabung biasanya, melainkan untuk mendapatkan sesuatu hal idaman yang tidak mungkin itu diungkapkan secara jujur ke orang tua. Atau bisa juga sesuatu yang lebih mulia, pembuktian alasan solidaritas antar teman misalnya.
Contohnya, Kereta Kahuripan (kami biasa menyebutnya “Kehidupan” supaya lebih elite) yang melayani trayek Bandung-Kediri. Kereta rakyat ini sering digunakan pilihan dalam perjalanan tahunan beberapa mahasiswa juga. Tentu, alasan utamanya adalah murah. Meskipun akhir-akhir ini, harga miring itu sangat jauh dengan imbalan pelayanan yang seharunya dinikmati oleh penumpangnya. Tempat duduk yang sempit, toilet yang jarang sekali bersih dan udara panas selalu ditemukan dalam kereta itu. Yang paling menyedihkan adalah keadaan penumpang yang kurang diperhatikan. Setelah teramat penuh pun, penumpang bertiket tetap dibolehkan naik. Tak ayal, suasana pengap dan bau sangat “khas” menyembul di tengah kerumunan. Sedangkan untuk masalah waktu, jangan pernah mengharapkan kereta bisa tepat waktu. Jadi sebaiknya memang hanya orang-orang yang tidak punya constrain waktu ketat yang sabar dengan “kehidupan” ini.
Kesan bahwa korupsi adalah budaya bangsa semakin kentara di kereta ini (dan kereta ekonomi pada umumnya). Penulis tidak tahu sebegitu canggihnya “jaringan mafia” itu sehingga korupsi menjadi legal sebagai bagian dari pelayanan. Misalnya seperti ini, perjalanan dengan kereta ini bisa dilakukan tanpa membeli tiket terlebih dulu di loket stasiun. Karena tiket bisa dibayarkan di dalam kereta, istilahnya coba dulu baru bayar. Ada lagi yang lain, harga tempat duduk seringkali menjadi sarana “pelayanan” tersebut. Tempat duduk sengaja dijual lebih mahal (apalagi hari-hari tertentu) atau yang lebih menyesatkan, nomor tempat duduk yang diberikan hanyalah fiktif. Bisa dibayangkan betapa kalang kabutnya penumpang di kereta saat menemukan nomornya tidak ada. Ujung-ujungnya jelas, berdiri atau cukup duduk dlosoran.
Bagi yang sudah memiliki jam terbang tinggi dengan kereta jenis ini, pokoknya berani bayar di atas bisa jadi (hampir pasti) bakalan lebih murah nantinya. Hal yang sering dilakukan oleh seorang laki-laki sendiri dan pemuda lajang. Disinilah, mahasiswa ternyata tidak sedikit pula yang melakukannya. Orang yang dianugerahi gelar oleh masyarakat sebagai kalangan intelektual muda. Dalam hal ini, saya tidak akan membedah tentang perilaku tersebut. Karena itu tak ubahnya mengungkitr aib saudara sendiri. Namun, akan berusaha untuk melihat kehidupan sebuah kereta ekonomi dari sisi yang lain.
Bagi penulis, perjalanan adalah sebuah cara unique untuk melihat wajah kehidupan masyarakat. Memandang ini bisa sangat dekat bila kemudian yang menjadi teman-teman perjalanan memang kalangan rakyat bawah. Pertanyaannya, Bagimana kita berinteraksi dengan rakyat “teman perjalanan” walaupun hanya semalam. Bukankah dalam perjalanan tidur selalu jadi pilihan utama? Nampaknya bila memilih “Kehidupan” seperti diatas, tidur mungkin bukan pilihan terbaik. Ditambah juga karena saking “full music”nya, tengah malam pun masih ada yang menyodorkan sebuah kantong plastik pada kita. Makanya akan lebih bijak bila kemudian kita “menikmatinya” saja.
Bagi yang hobinya membaca, saat-saat seperti itu menjadi waktu yang tepat untuk melatih konsentrasi membaca. Diharapkan setelah turun dari kereta, kemampuan konsentrasi meningkat dan membaca dimanapun bukan masalah nantinya. Bagi yang kegemarannya mengobrol, kereta ini pun memberikan kesempatan bagi kita untuk berbicara ngalor-ngidul dengan penghuni temporer lainnnya. Jika anda bosan, tetaplah mendengarkan dengan hanya mengangguk-angguk sedikit kepala. Itu sudah merupakan wujud mengargai pembicara walupun kita tidak memperhatikannya. Dan jangan salah, melek bagi rakyat kecil adalah aktivitas biasa. Mungkin karena pola hidup pertanian yang sering menjadikan malam sebagai waktu penjagaan. Yang terbaru, siapa lagi yang menjaga TPS-TPS selain masyarakat kecil.
Lalu yang suka mencari barang-barang dengan harga miring, sepertinya anda harus menyediakan dana lebih. Karena bermacam jenis barang berseliweran dengan harga yang menggairahkan pastinya. Atau yang hobinya mengamati setiap detil langkah perjalanan sebagai metode mendaptkan inspirasi, ilham, insight. Kereta inipun mampu memberikan segudang sumber inspirasi yang berasal dari sketsa pemandangan nature dan kehidupan sosial sekaligus. Bagi orang seperti ini, buku dan pulpen harus menjadi teman lamunannya. Begitu juga dengan aktivitas-aktivitas kegemaran lainnya, bisa dilakukan dengan nyaman dan penuh kenikmatan. Syaratnya, pandai-pandailah men-set otak kanan selama perjalanan, agar lebih enjoy menghadapi kehidupan khas rakyat jelata.
Jika tetap saja tidak mampu menghadirkan kenyamanan dalam perjalanan, keputusan memilih kereta ekonomi untuk perjalanan tak usah disesali. Setidaknya sebagai bagian bangsa ini, kita perlu merasakan kehidupan rakyat yang sebenarnya. Bukan sok idealis, tapi konsep manajemen modern memberikan pelajaran bahwa seorang pimpinan harus bisa melakukan pekerjaan bawahan-bawahannya. Artinya seorang manajer pun juga jangan sungkan untuk melakukan pekerjaan menyapu seperti tukang sapu kantornya. Lihatlah orang jepang yang sering melakukan seperti ini. Selanjutnya seorang pimpinan diharapkan lebih adil dalam menetapkan imbalan pekerjaan yang pantas, sesuai dengan berat-ringan tanggung jawab yang juga pernah dilakukannya.
Atau seorang anggota dewan perwakilan harusnya merasakan benar kehidupan rakyat bawah, baru kemudian berhak mengklaim diri sebagai wakil rakyat. Dan juga para pemimpin bangsa Indonesia. Bagaimana menyatakan sebagai penyambung lidah rakyat jika ternyata belum pernah merasakan (lagi) pahit-getirnya kehidupan rakyatnya sendiri. Jika hidup di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya belum sanggup, kereta tipe ekonomi bisa menjadi alternatif murah, meriah dan waktu yang singkat. Tentu dengan suasana sealami mungkin yang tidak dibuat-dibuat demi sang birokrat.
Jadi, keputusan memilih segala sesuatu pun bukan hanya didasari karena kita suka akan sesuatu tersebut. Begitu pula sebaliknya, langsung menolaknya karena sebenarnya kita mampu untuk memilih dengan sesuatu yang lebih baik. Begitu halnya dengan pilihan kereta ekonomi ini (dan semua sarana rakyat lainnya). Yang menyedihkan pula, gambaran mahasiswa di atas menjadi pemandangan langka di gerbong-gerbong kereta ekonomi sekarang ini. Tidak semata untuk menyisihkan uang saku, atau bahkan tidak pula hanya untuk sekedar mencoba. Pilihan yang karena kesadaran akan kebutuhan untuk ikut (sejenak) larut dalam lembah perjuangan kehidupan rakyat. Bukan kehidupan yang penuh ambisi uang, nilai dan penghargaan sesaat.
Sehingga saya pikir kita semua perlu “sesekali” mencoba dan merasakan kereta rakyat ini. Bagi yang sudah terbiasa dengannya, jangan terjebak dengan pemikiran pragmatis-simplistis, alon-alon asal klakon. Percuma Tuhan memberi kesempatan nafas pada kita selama perjalanan jika hanya untuk satu tujuan tunggal, “yang penting sampai”. Banyak yang bisa kita peroleh bila benar-benar mampu menghadirkan “makna” dalam setiap kibasan pandangan mata, lintasan pikiran dan desiran hati kita. Dan masing-masing dari kita pun akan berbeda dalam mendapatkan makna dari sebuah perjalanan.
Semoga di akhir perjalanan, kita menjadi orang-orang baru yang tercerahkan (lighten) setelah melihat di sisi kanan kita, (ternyata) betapa masih kayanya indonesia ini yang ditunjukan dengan alam nan permai. Namun di sisi kiri pandangan kita, rakyat masih saja hidup dalam keprihatinan dan penuh pengorbanan. Dan kuliah kita di kampus ini, harusnya untuk mengubah ketidakadilan itu. Mari kita coba!!!
Juli 2004
Catatan Sebuah Perjalanan
Bagi mahasiswa, kadangkala memilih sarana transportasi untuk perjalanan menjadi sesuatu hal yang menarik. Kombinasi variabel keputusan pemilihan-lah yang menjadikannya berbeda dengan orang kebanyakan. Fasilitas memadai nan nyaman, singkatnya waktu perjalanan mungkin akan dengan mudah disingkirkan dengan pertimbangan ekonomis. Bahkan alasan memilih sarana transport yang murah tidaklah selalu kongruen dengan kantong yang cekak. Namun, logika berpikir mahasiswa yang irit dan hemat akhirnya yang memenangkan kuasa itu. Tidak untuk ditabung biasanya, melainkan untuk mendapatkan sesuatu hal idaman yang tidak mungkin itu diungkapkan secara jujur ke orang tua. Atau bisa juga sesuatu yang lebih mulia, pembuktian alasan solidaritas antar teman misalnya.
Contohnya, Kereta Kahuripan (kami biasa menyebutnya “Kehidupan” supaya lebih elite) yang melayani trayek Bandung-Kediri. Kereta rakyat ini sering digunakan pilihan dalam perjalanan tahunan beberapa mahasiswa juga. Tentu, alasan utamanya adalah murah. Meskipun akhir-akhir ini, harga miring itu sangat jauh dengan imbalan pelayanan yang seharunya dinikmati oleh penumpangnya. Tempat duduk yang sempit, toilet yang jarang sekali bersih dan udara panas selalu ditemukan dalam kereta itu. Yang paling menyedihkan adalah keadaan penumpang yang kurang diperhatikan. Setelah teramat penuh pun, penumpang bertiket tetap dibolehkan naik. Tak ayal, suasana pengap dan bau sangat “khas” menyembul di tengah kerumunan. Sedangkan untuk masalah waktu, jangan pernah mengharapkan kereta bisa tepat waktu. Jadi sebaiknya memang hanya orang-orang yang tidak punya constrain waktu ketat yang sabar dengan “kehidupan” ini.
Kesan bahwa korupsi adalah budaya bangsa semakin kentara di kereta ini (dan kereta ekonomi pada umumnya). Penulis tidak tahu sebegitu canggihnya “jaringan mafia” itu sehingga korupsi menjadi legal sebagai bagian dari pelayanan. Misalnya seperti ini, perjalanan dengan kereta ini bisa dilakukan tanpa membeli tiket terlebih dulu di loket stasiun. Karena tiket bisa dibayarkan di dalam kereta, istilahnya coba dulu baru bayar. Ada lagi yang lain, harga tempat duduk seringkali menjadi sarana “pelayanan” tersebut. Tempat duduk sengaja dijual lebih mahal (apalagi hari-hari tertentu) atau yang lebih menyesatkan, nomor tempat duduk yang diberikan hanyalah fiktif. Bisa dibayangkan betapa kalang kabutnya penumpang di kereta saat menemukan nomornya tidak ada. Ujung-ujungnya jelas, berdiri atau cukup duduk dlosoran.
Bagi yang sudah memiliki jam terbang tinggi dengan kereta jenis ini, pokoknya berani bayar di atas bisa jadi (hampir pasti) bakalan lebih murah nantinya. Hal yang sering dilakukan oleh seorang laki-laki sendiri dan pemuda lajang. Disinilah, mahasiswa ternyata tidak sedikit pula yang melakukannya. Orang yang dianugerahi gelar oleh masyarakat sebagai kalangan intelektual muda. Dalam hal ini, saya tidak akan membedah tentang perilaku tersebut. Karena itu tak ubahnya mengungkitr aib saudara sendiri. Namun, akan berusaha untuk melihat kehidupan sebuah kereta ekonomi dari sisi yang lain.
Bagi penulis, perjalanan adalah sebuah cara unique untuk melihat wajah kehidupan masyarakat. Memandang ini bisa sangat dekat bila kemudian yang menjadi teman-teman perjalanan memang kalangan rakyat bawah. Pertanyaannya, Bagimana kita berinteraksi dengan rakyat “teman perjalanan” walaupun hanya semalam. Bukankah dalam perjalanan tidur selalu jadi pilihan utama? Nampaknya bila memilih “Kehidupan” seperti diatas, tidur mungkin bukan pilihan terbaik. Ditambah juga karena saking “full music”nya, tengah malam pun masih ada yang menyodorkan sebuah kantong plastik pada kita. Makanya akan lebih bijak bila kemudian kita “menikmatinya” saja.
Bagi yang hobinya membaca, saat-saat seperti itu menjadi waktu yang tepat untuk melatih konsentrasi membaca. Diharapkan setelah turun dari kereta, kemampuan konsentrasi meningkat dan membaca dimanapun bukan masalah nantinya. Bagi yang kegemarannya mengobrol, kereta ini pun memberikan kesempatan bagi kita untuk berbicara ngalor-ngidul dengan penghuni temporer lainnnya. Jika anda bosan, tetaplah mendengarkan dengan hanya mengangguk-angguk sedikit kepala. Itu sudah merupakan wujud mengargai pembicara walupun kita tidak memperhatikannya. Dan jangan salah, melek bagi rakyat kecil adalah aktivitas biasa. Mungkin karena pola hidup pertanian yang sering menjadikan malam sebagai waktu penjagaan. Yang terbaru, siapa lagi yang menjaga TPS-TPS selain masyarakat kecil.
Lalu yang suka mencari barang-barang dengan harga miring, sepertinya anda harus menyediakan dana lebih. Karena bermacam jenis barang berseliweran dengan harga yang menggairahkan pastinya. Atau yang hobinya mengamati setiap detil langkah perjalanan sebagai metode mendaptkan inspirasi, ilham, insight. Kereta inipun mampu memberikan segudang sumber inspirasi yang berasal dari sketsa pemandangan nature dan kehidupan sosial sekaligus. Bagi orang seperti ini, buku dan pulpen harus menjadi teman lamunannya. Begitu juga dengan aktivitas-aktivitas kegemaran lainnya, bisa dilakukan dengan nyaman dan penuh kenikmatan. Syaratnya, pandai-pandailah men-set otak kanan selama perjalanan, agar lebih enjoy menghadapi kehidupan khas rakyat jelata.
Jika tetap saja tidak mampu menghadirkan kenyamanan dalam perjalanan, keputusan memilih kereta ekonomi untuk perjalanan tak usah disesali. Setidaknya sebagai bagian bangsa ini, kita perlu merasakan kehidupan rakyat yang sebenarnya. Bukan sok idealis, tapi konsep manajemen modern memberikan pelajaran bahwa seorang pimpinan harus bisa melakukan pekerjaan bawahan-bawahannya. Artinya seorang manajer pun juga jangan sungkan untuk melakukan pekerjaan menyapu seperti tukang sapu kantornya. Lihatlah orang jepang yang sering melakukan seperti ini. Selanjutnya seorang pimpinan diharapkan lebih adil dalam menetapkan imbalan pekerjaan yang pantas, sesuai dengan berat-ringan tanggung jawab yang juga pernah dilakukannya.
Atau seorang anggota dewan perwakilan harusnya merasakan benar kehidupan rakyat bawah, baru kemudian berhak mengklaim diri sebagai wakil rakyat. Dan juga para pemimpin bangsa Indonesia. Bagaimana menyatakan sebagai penyambung lidah rakyat jika ternyata belum pernah merasakan (lagi) pahit-getirnya kehidupan rakyatnya sendiri. Jika hidup di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya belum sanggup, kereta tipe ekonomi bisa menjadi alternatif murah, meriah dan waktu yang singkat. Tentu dengan suasana sealami mungkin yang tidak dibuat-dibuat demi sang birokrat.
Jadi, keputusan memilih segala sesuatu pun bukan hanya didasari karena kita suka akan sesuatu tersebut. Begitu pula sebaliknya, langsung menolaknya karena sebenarnya kita mampu untuk memilih dengan sesuatu yang lebih baik. Begitu halnya dengan pilihan kereta ekonomi ini (dan semua sarana rakyat lainnya). Yang menyedihkan pula, gambaran mahasiswa di atas menjadi pemandangan langka di gerbong-gerbong kereta ekonomi sekarang ini. Tidak semata untuk menyisihkan uang saku, atau bahkan tidak pula hanya untuk sekedar mencoba. Pilihan yang karena kesadaran akan kebutuhan untuk ikut (sejenak) larut dalam lembah perjuangan kehidupan rakyat. Bukan kehidupan yang penuh ambisi uang, nilai dan penghargaan sesaat.
Sehingga saya pikir kita semua perlu “sesekali” mencoba dan merasakan kereta rakyat ini. Bagi yang sudah terbiasa dengannya, jangan terjebak dengan pemikiran pragmatis-simplistis, alon-alon asal klakon. Percuma Tuhan memberi kesempatan nafas pada kita selama perjalanan jika hanya untuk satu tujuan tunggal, “yang penting sampai”. Banyak yang bisa kita peroleh bila benar-benar mampu menghadirkan “makna” dalam setiap kibasan pandangan mata, lintasan pikiran dan desiran hati kita. Dan masing-masing dari kita pun akan berbeda dalam mendapatkan makna dari sebuah perjalanan.
Semoga di akhir perjalanan, kita menjadi orang-orang baru yang tercerahkan (lighten) setelah melihat di sisi kanan kita, (ternyata) betapa masih kayanya indonesia ini yang ditunjukan dengan alam nan permai. Namun di sisi kiri pandangan kita, rakyat masih saja hidup dalam keprihatinan dan penuh pengorbanan. Dan kuliah kita di kampus ini, harusnya untuk mengubah ketidakadilan itu. Mari kita coba!!!
Juli 2004
Catatan Sebuah Perjalanan
Wednesday, June 15, 2005
Berbicara [lagi] tentang Kebenaran
Sudah lama kita mengenalnya. Kebenaran, menjadi kata yang merefleksikan segala sesuatu yang baik. Karena sudah lama pula kita berinteraksi dengannya, kadang kita tak ingat lagi apa yang membedakan kebenaran dengan ketidakbenaran [atau kesalahan?] sebagai lawan sejatinya. Padahal, keduanya mungkin tak ubahnya seperti hitam-putih, langit-bumi, air-api, yang cukup jelas batas pemisahnya. Lalu, buat apa kita kembali bicara tentang kebenaran?
Kita bicara tentangnya karena dia tak pernah selesai membuat manusia menjadi puas. Tak pernah selesai pula mejadikan dunia tentram setentram-tentramnya, bahkan dalam lingkungan masyarakat sekitar pun. Semakin lama kita mengenalnya, seakan semakin jauh kita ditinggalkannya. Berbagai cara dan pendekatan dilakukan sehingga kebenaran menjadi hal yang lumrah terjadi, tanpa imbuhan apapun dibelakanganya dan tanpa pula grusa-grusu dalam memutuskan.
Mengapa orang bersengketa hal-hal sepele yang menjadikannya tak pernah bersyukur? Mengapa banyak antar manusia berebut harta yang tak memuaskannya? Mengapa pula orang melepaskan diri dari jerat hukum yang terbukti meluruskannya? Mengapa rakyat seringkali salah di depan pemimpinnya? Lalu, mengapa manusia memilih jalan syaithan padahal telah nyata batas antaranya dan malaikat?
Jawabnya, karena banyak manusia menilai kebenaran dari sudut pandangnya sendiri. Atau, hal yang menjadikan kebenaran tak pernah memuaskan adalah karena kebenaran itu relatif. Kebenaran menjadi variabel dependen terhadap variabel lainnya, bisa berupa kekuasaan, harta, prestise dan nafsu. Kebenaran bukan menjadi core dari semua variabel keduniaan itu. Sehingga, kebenaran jarang menang dalam kehidupan kita.
Lalu, bagaimanakah kita melihat kebenaran yang subyektif-relatif itu?
Menurut filsafat modern (Making sense, Julian Baggini), terdapat dua aliran tentang kebenaran. Antara keduanya hampir bertolak belakang dalam melihat kebenaran. Pertama, Kebenaran realis yang menegaskan bahwa kebenaran itu ada, apakah kita mengetahui atau tidak; kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Yang kedua, kebenaran nonrealis [hanya karena berlawanan dari realis] berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana. Kebenaran tidak pernah berada “di luar sana”, dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat. Individu ataupun budaya.
Kedua kebenaran tersebut yang menyusun postulat dasar dalam menilai sesuatu, antara yang seharusnya dan yang terjadi, antara idealisme dan kenyataan, antara das solen dan das sein. Keduanya jarang [untuk tidak dikatakan tidak pernah] bertemu dalam satu titik sederhana. Barangkali karena manusia memilki sifat tak pernah puas yang jadi penyebabnya. Ini yang memunculkan pertanyaan lagi di dalam nya, apa yang menjadi batas antara kedua hal yang beseberang itu?
Dalam pandangan Mulla Shadra (1572 – 1641), seorang eksistensialis dunia islam, eksistensi bukanlah atribut suatu entitas. Keseluruhan eksistensi bukan sebagi obyek yang eksis, melainkan sebagai suatu realitas tunggal yang dibatasi oleh pelbagai kuiditas (pemutarbalikan) yang memberikan penampakan multiplisitas yang ‘eksis’ dengan pelbagai eksisten yang independen satu sama lain. Sekaligus juga, eksistensi adalah suatu realitas yang mengambil bagian dalam gradasi intensitas dan kesempurnaan.
Secara sederhana, analoginya sebagai berikut. Jika magnet memiliki dua kutub, utara dan selatan. Maka kita tidak bisa memisahkan dengan tegas antara keduanya. Sehingga hubungan antara kesatuan wujud (eksistensi) dan multipisitasnya seperti matahari dan cahaya matahari. Matahari bukanlah cahaya matahari, yang pada waktu yang sama bukanlah apa-apa tanpa matahari. Prinsip ambigusitas sistematis eksistensi (tasykik) ini dikenal dengan gradasi eksistensi.
Ini artinya, kebenaran dalam pandangan gradasi eksistensi adalah sebuah realita yang memberikan penampakan multiplisitas [bermacam-macam]. Antara kebenaran dan ketidakbenaran dalam kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan begitu saja karena adanya gradasi. Sama halnya ketika dalam suatu waktu kita susah menentukan keputusan, ini bisikan syaithan atau hati nurani [malaikat]. Semakin sedikit esensi yang dikandung, semakin tinggi pula tingkat gradasinya.
Jadi wajar memang, jika kebenaran selalu menjadi sumber kerumitan dalam kehidupan manusia. Dan itu pula yang menunjukan bahwa manusia memang makhluk pintar namun juga sekaligus dzalim. Sehingga lebih pas sepertinya, jika kita juga melihat konsep kebenaran dalam way of life, “weltanschauung”, pandangan hidup sejati kita yaitu islam. Seperti yang disampaikan Allah : “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Baqarah:216)
Sedangkan mengenai masalah batas antara kebenaran dan ketidakbenaran, barangkali ini tak akan pernah selesai dibahas manusia sekalipun kita mengenal gradasi eksistensi. Karena ketidakmampuan memisahkan tegas antara keduanya menjadikan salah satu alasan, bahwa manusia memang layak hidup di dunia yang fana’ dan tak pernah memuaskan. Dan kita harus menyakini bersama, bahwa kebenaran adalah benar (truth is true) dan bukan kebenaran tak pernah benar (truth never true). Untuk masalah hasil, manusia tak kuasa menentukannya sendiri. Wallahu’alam. [3an]
Kita bicara tentangnya karena dia tak pernah selesai membuat manusia menjadi puas. Tak pernah selesai pula mejadikan dunia tentram setentram-tentramnya, bahkan dalam lingkungan masyarakat sekitar pun. Semakin lama kita mengenalnya, seakan semakin jauh kita ditinggalkannya. Berbagai cara dan pendekatan dilakukan sehingga kebenaran menjadi hal yang lumrah terjadi, tanpa imbuhan apapun dibelakanganya dan tanpa pula grusa-grusu dalam memutuskan.
Mengapa orang bersengketa hal-hal sepele yang menjadikannya tak pernah bersyukur? Mengapa banyak antar manusia berebut harta yang tak memuaskannya? Mengapa pula orang melepaskan diri dari jerat hukum yang terbukti meluruskannya? Mengapa rakyat seringkali salah di depan pemimpinnya? Lalu, mengapa manusia memilih jalan syaithan padahal telah nyata batas antaranya dan malaikat?
Jawabnya, karena banyak manusia menilai kebenaran dari sudut pandangnya sendiri. Atau, hal yang menjadikan kebenaran tak pernah memuaskan adalah karena kebenaran itu relatif. Kebenaran menjadi variabel dependen terhadap variabel lainnya, bisa berupa kekuasaan, harta, prestise dan nafsu. Kebenaran bukan menjadi core dari semua variabel keduniaan itu. Sehingga, kebenaran jarang menang dalam kehidupan kita.
Lalu, bagaimanakah kita melihat kebenaran yang subyektif-relatif itu?
Menurut filsafat modern (Making sense, Julian Baggini), terdapat dua aliran tentang kebenaran. Antara keduanya hampir bertolak belakang dalam melihat kebenaran. Pertama, Kebenaran realis yang menegaskan bahwa kebenaran itu ada, apakah kita mengetahui atau tidak; kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Yang kedua, kebenaran nonrealis [hanya karena berlawanan dari realis] berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana. Kebenaran tidak pernah berada “di luar sana”, dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat. Individu ataupun budaya.
Kedua kebenaran tersebut yang menyusun postulat dasar dalam menilai sesuatu, antara yang seharusnya dan yang terjadi, antara idealisme dan kenyataan, antara das solen dan das sein. Keduanya jarang [untuk tidak dikatakan tidak pernah] bertemu dalam satu titik sederhana. Barangkali karena manusia memilki sifat tak pernah puas yang jadi penyebabnya. Ini yang memunculkan pertanyaan lagi di dalam nya, apa yang menjadi batas antara kedua hal yang beseberang itu?
Dalam pandangan Mulla Shadra (1572 – 1641), seorang eksistensialis dunia islam, eksistensi bukanlah atribut suatu entitas. Keseluruhan eksistensi bukan sebagi obyek yang eksis, melainkan sebagai suatu realitas tunggal yang dibatasi oleh pelbagai kuiditas (pemutarbalikan) yang memberikan penampakan multiplisitas yang ‘eksis’ dengan pelbagai eksisten yang independen satu sama lain. Sekaligus juga, eksistensi adalah suatu realitas yang mengambil bagian dalam gradasi intensitas dan kesempurnaan.
Secara sederhana, analoginya sebagai berikut. Jika magnet memiliki dua kutub, utara dan selatan. Maka kita tidak bisa memisahkan dengan tegas antara keduanya. Sehingga hubungan antara kesatuan wujud (eksistensi) dan multipisitasnya seperti matahari dan cahaya matahari. Matahari bukanlah cahaya matahari, yang pada waktu yang sama bukanlah apa-apa tanpa matahari. Prinsip ambigusitas sistematis eksistensi (tasykik) ini dikenal dengan gradasi eksistensi.
Ini artinya, kebenaran dalam pandangan gradasi eksistensi adalah sebuah realita yang memberikan penampakan multiplisitas [bermacam-macam]. Antara kebenaran dan ketidakbenaran dalam kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan begitu saja karena adanya gradasi. Sama halnya ketika dalam suatu waktu kita susah menentukan keputusan, ini bisikan syaithan atau hati nurani [malaikat]. Semakin sedikit esensi yang dikandung, semakin tinggi pula tingkat gradasinya.
Jadi wajar memang, jika kebenaran selalu menjadi sumber kerumitan dalam kehidupan manusia. Dan itu pula yang menunjukan bahwa manusia memang makhluk pintar namun juga sekaligus dzalim. Sehingga lebih pas sepertinya, jika kita juga melihat konsep kebenaran dalam way of life, “weltanschauung”, pandangan hidup sejati kita yaitu islam. Seperti yang disampaikan Allah : “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Baqarah:216)
Sedangkan mengenai masalah batas antara kebenaran dan ketidakbenaran, barangkali ini tak akan pernah selesai dibahas manusia sekalipun kita mengenal gradasi eksistensi. Karena ketidakmampuan memisahkan tegas antara keduanya menjadikan salah satu alasan, bahwa manusia memang layak hidup di dunia yang fana’ dan tak pernah memuaskan. Dan kita harus menyakini bersama, bahwa kebenaran adalah benar (truth is true) dan bukan kebenaran tak pernah benar (truth never true). Untuk masalah hasil, manusia tak kuasa menentukannya sendiri. Wallahu’alam. [3an]
Membangun Kembali Aceh [3]
Penutup
Tragedi kemanusiaan bencana tsunami telah membukakan mata bangsa Indonesia tentang berbagai hal, menghasilkan berjuta hikmah yang bisa kita tarik darinya. Dampak yang ditimbulkan sedemikian hebatnya sehingga bencana ini bukan hanya menjadi bencana nasional, juga bencana global. Namun, kita tidak hanya mencatat bencana ini dalam torehan tinta deretan sejarah bencana manusia. Proses pembangunan untuk mengembalikan “wajah” Aceh harus segera dilakukan pemerintah dengan melibatkan seluruh potensi masyarakat Aceh dengan nilai-nilai lokal yang ada di dalamnya.
Disinilah penanganan pasca tsunami yang dilakukan oleh pemerintah, memerlukan telaah kritisi dari berbagai sudut pandang. Berusaha mereduksi dampak yang terjadi dan semaksimal mungkin mengembalikan bumi Aceh seperti sedia kala harus dilakukan dengan langkah yang tepat sehingga kearifan budaya Aceh tetap terjaga. Tidak seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan, bahwa proses rekonstruksi akan menjadikan Aceh terbelokan dari akar budayanya sendiri. Bencana ini bisa menjadi langkah awal membangun Aceh yang lebih baik, makin dekat dalam budaya islamnya dan bebas dari kecemasan yang sering mencekam kehidupan masyarakatnya.
Sedangkan dalam kehidupan bangsa yang lebih besar, pelajaran tsunami bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang keberadaan tsunami dan dampaknya. Kebutuhan early warning system menjadi mendesak dilakukan, terutama di daerah-daerah pesisir yang rawan. Yang juga penting, bencana ini pula bisa menjadi sarana pemersatu bangsa dan penegas kesetiakawanan nasional yang terancam akhir-akhir ini. Sebuah modal berharga untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.
*tulisan ini digunakan dalam seleksi Pelayaran Kebangsaan V tahun 2005 dan dinyatakan lolos
Tragedi kemanusiaan bencana tsunami telah membukakan mata bangsa Indonesia tentang berbagai hal, menghasilkan berjuta hikmah yang bisa kita tarik darinya. Dampak yang ditimbulkan sedemikian hebatnya sehingga bencana ini bukan hanya menjadi bencana nasional, juga bencana global. Namun, kita tidak hanya mencatat bencana ini dalam torehan tinta deretan sejarah bencana manusia. Proses pembangunan untuk mengembalikan “wajah” Aceh harus segera dilakukan pemerintah dengan melibatkan seluruh potensi masyarakat Aceh dengan nilai-nilai lokal yang ada di dalamnya.
Disinilah penanganan pasca tsunami yang dilakukan oleh pemerintah, memerlukan telaah kritisi dari berbagai sudut pandang. Berusaha mereduksi dampak yang terjadi dan semaksimal mungkin mengembalikan bumi Aceh seperti sedia kala harus dilakukan dengan langkah yang tepat sehingga kearifan budaya Aceh tetap terjaga. Tidak seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan, bahwa proses rekonstruksi akan menjadikan Aceh terbelokan dari akar budayanya sendiri. Bencana ini bisa menjadi langkah awal membangun Aceh yang lebih baik, makin dekat dalam budaya islamnya dan bebas dari kecemasan yang sering mencekam kehidupan masyarakatnya.
Sedangkan dalam kehidupan bangsa yang lebih besar, pelajaran tsunami bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang keberadaan tsunami dan dampaknya. Kebutuhan early warning system menjadi mendesak dilakukan, terutama di daerah-daerah pesisir yang rawan. Yang juga penting, bencana ini pula bisa menjadi sarana pemersatu bangsa dan penegas kesetiakawanan nasional yang terancam akhir-akhir ini. Sebuah modal berharga untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.
*tulisan ini digunakan dalam seleksi Pelayaran Kebangsaan V tahun 2005 dan dinyatakan lolos
Membangun Kembali Aceh [2]
Kebutuhan Early Warning System
Selain pembangunan fisik di daratan, juga harus dipikirkan mengenai sistem pencegahan sedini mungkin peluang tsunami. Sistem tersebut dikenal dengan Early Warning System. Sistem yang menggunakan sensor DART (The Deep-ocean Assesment and Reporting of Tsunamis) atau tsunamimeter itu sudah beroperasi di samudra pasific sepanjang pantai barat Amerika Serikat dan dikenal dengan Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang dikendalikan dari Alaska tsunami Warning Centre di Palmer, Alaska. Prsinsipnya, sistem menggunakan teknologi yang mampu mengirimkan data informasi parameter di laut secara real time via jaringan satelit GOES (Geostationery Operational Environmental Satellite).
Berdasar blue print Aceh, akan dibangun pula sistem tersebut. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar peluang tsunami, dan sudah seharusnya beberapa kawasan Indonesia menggunakannya. Menurut The National Geographic, Padang adalah daerah yang rawan bencana tsunami karena kepadatan penduduknya 141.328 orang per kilometer persegi. Kepadatan ini bahkan terpadat di seluruh dunia untuk kawasan pesisir yang rawan tsunami . Sistem serupa sudah direncanakan dibangun di hampir seluruh kawasan yang berbatasan dengan samudra pasifik, mulai Australia, Filipina, Jepang, dan hampir seluruh wilayah pantai Benua Amerika.
Selain memasang sistem ini, dibutuhkan peran masyarakat dalam aplikasinya. Pemerintahan lokal, seperti desa atau kelurahan pesisir pantai, harus memiliki rencana darurat tsunami, tempat yang aman dan pengaturannya. Berarti dibutuhkan pendidikan kepada masyarakat pesisir tentang gejala tsunami. Peran masyarakat dalam menjaga dan merawat sistem peringatan dini juga penting. Contohnya, membersihkan pantai dari gunung pasir sehingga meningkatkan pemandangan laut dan menjaga keberadaan sensor yang terapung di laut.
Dalam jangka panjang, konsep greenbelt dan Early Warning System seharusnya menjadi kebijakan yang bisa diterapkan di seluruh kawasan pantai kritis Indonesia, dimana belum memenuhi konsep pencegahan dampak tsunami. Tentu yang menjadi kendala adalah dana. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga keselamatan peradaban manusia. Sebagai gambaran, biaya instalasi membutuhkan $20 juta, annual maintenance $ 3 juta, mitigasi (kombinasi riset dan pendidikan masyarakat) $ 4,5 juta setahun) . Alasan kendala biaya tersebut, bukan menjadikan kita mundur dari rencana penggunaan sistem peringatan dini itu. Disinilah pemerintah mendorong peran ilmuwan lokal dari Indonesia untuk merancang ulang (atau membuat sendiri) sistem sejenis sehingga sesuai dengan kondisi Indonseia, baik geografis dan ketersediaan dana. Potensi bangsa juga secara otomatis akan teroptimalkan dengan adanya penelitian di bidang ini.
2. Pembangunan yang bersifat non fisik dan menyeluruh
Banda, Meulaboh, Calang, dan kawasan pantai barat NAD yang tersapu tsunami itu kini penuh relawan dari berbagai bangsa di dunia yang berinteraksi dalam sebuah pergumulan budaya Aceh, dimana berbasis kesadaran keagamaan unik yang lahir dari pengalaman hidup sejak kolonialisme. Aceh bagai miniatur dan laboratorium dunia tentang interaksi tradisi kecil menghadapi tradisi besar yang hegemonik. Hampir seluruh seni budaya, petutur, tradisi, dan praktek keagamaan warga Aceh melukiskan protes budaya seperti terlukis jelas dalam petutur bagi penyambutan tamu kehormatan.
Di sisi yang lain, hal ini menjadi kekhawatiran masyarakat Aceh dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Aceh bukan hanya milik orang Aceh, dia telah menjadi bagian dari bangsa ini. Sebutan yang disandangnya pun tidak sembarangan, Serambi Mekah. Jika kita ingin melihat islam dalam budaya masyarakatnya, maka lihatlah Aceh. Apalagi tiadanya catatan aset budaya, khususnya yang nirwujud yang langsung dapat diakses dan langsung dapat digunakan sebagai data awal penanganan budaya di Aceh. Malangnya, aspek ini dianggap tidak terlalu penting dalam tahap awal bencana. Hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis korban yang umumnya menjadi perhatian utama.
Semua penjelasan diatas memberikan kesimpulan, bahwa pembangunan fisik dan teknis pun harus disertai dengan semangat nilai-nilai budaya Aceh sehingga segala sesuatu yang dibangun tidak lepas dari akar kehidupan masyarakat. Jangan sampai kesalahan masa lalu dimana pembangunan masyarakat hanya fokus pada materi, kurang disertai nilai budaya yang perlu juga dibangun. Kenyataan ini sangat mengharukan apalagi bila mengingat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang justru sangat memerlukan penerapan paradigma pembangunan masyarakat ini.
Berbeda dengan paradigma teknis yang menuju pada keputusan yang rasional, paradigma pembangunan masyarakat berupaya untuk menghasilkan keputusan yang terbuka/transparan yang melibatkan sebanyak mungkin peran masyarakatnya. Dalam kaitan ini, lebih terbuka juga seharusnya penanganan aset budaya yang ada di suatu wilayah yang selama ini belum berjalan dengan baik. Menurut sosiolog UI, Dr Pudentia, dalam kasus ini penting bagi pemerintah untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan “good governance” dalam memungkinkan masyarakat membangun dirinya sendiri . Wilayah publik harus diberi tempat yang pantas agar masyarakat sebanyak dan sesering mungkin dapat terlibat dalam arus pembangunan daerah dan komunitasnya.
Melalui proses tersebut bisa dibuka ruang dialog tentang masa depan Aceh antara pemerintah pusat dan berbagai kelompok warga Aceh, termasuk yang selama ini dicap atau mencap diri sebagai GAM. Mengambil penjelasan Abdul M. Mulkhan, merdeka dalam kosa kata GAM tidak selalu berarti pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti bisa dibaca dari usulan self government. Kosa kata itu bisa berarti tuntutan kesediaan pemerintah pusat dan orang luar menempatkan diri sebagai pendengar bagaimana orang Aceh merumuskan citra diri, budaya dan kesadaran keagamaan dalam tatanan NAD . Rekonstruksi Aceh harus memasukan agenda rekonsiliasi, sehingga menghasilkan Aceh yang “baru”, penuh nilai kedamaian dan ketentraman.
Dengan demikian, rekonstruksi Aceh, termasuk pengelolaan pengungsi, yang tidak melibatkan masyarakat Aceh justru akan berujung menjadi bencana kedua yang lebih berdampak panjang bagi masyarakat Aceh sendiri. Penyusunan konsep blue print bukan semata-mata bergerak top down, sehingga banyak ulama Aceh sendiri yang tidak setuju dengannya. Orang Aceh, seperti daerah lain di negeri ini, adalah pemilik paling sah diri mereka sendiri. Mereka paling berhak menjawab pertanyaan bagaimana membangun NAD berbasis sumber daya alam dan budaya yang dimiliki.
Praktisnya, akan lebih baik mendukung orang Aceh membangun sendiri rumahnya di atas tapak rumahnya sebelum tsunami. Untuk mendukung pendekatan seperti ini, pemerintah cukup menyediakan bantuan bahan bangunan, alat-alat pertukangan, dan upah yang dibayarkan secara bertahap. Pendekatan ini diharpakan mampu memangkas mata rantai korupsi, menyebabkan prakarsa masyarakat bangkit, masalah pertanahan terselesaikan, atau setidaknya mencegah komplikasi yang berlarut-larut dan menumpuk. Pemukiman yang dibangun dengan cara seperti ini juga akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tiap-tiap lokasi. Ia juga menyumbang pada proses membangun modal sosial, karena korban tsunami Aceh mau tidak mau akan harus berorganisasi, dan bekerja sama.
Pemerintah, sebaiknya tidak terburu-buru dalam merencanakan dan merancang kembali kawasan yang dilanda bencana. Membangun suatu kota tidak cukup hanya dengan memori-memori yang ada (concious memories), tetapi juga yang sudah dilupakan (unconcious memories). Sesuatu yang sudah dilupakan itu adalah tsunami. Maka, untuk mengembalikannya bisa dengan kembali mengumpulkan berbagai kearifan lokal, termasuk cerita rakyat, ungkapan keseharian dan berbagai metafor yang masih ada di masyarakat. Proses rekonstruksi yang dihasilkannya pun, akan menjadi wajah Aceh dan Indonesia. [bersambung]
Selain pembangunan fisik di daratan, juga harus dipikirkan mengenai sistem pencegahan sedini mungkin peluang tsunami. Sistem tersebut dikenal dengan Early Warning System. Sistem yang menggunakan sensor DART (The Deep-ocean Assesment and Reporting of Tsunamis) atau tsunamimeter itu sudah beroperasi di samudra pasific sepanjang pantai barat Amerika Serikat dan dikenal dengan Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang dikendalikan dari Alaska tsunami Warning Centre di Palmer, Alaska. Prsinsipnya, sistem menggunakan teknologi yang mampu mengirimkan data informasi parameter di laut secara real time via jaringan satelit GOES (Geostationery Operational Environmental Satellite).
Berdasar blue print Aceh, akan dibangun pula sistem tersebut. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar peluang tsunami, dan sudah seharusnya beberapa kawasan Indonesia menggunakannya. Menurut The National Geographic, Padang adalah daerah yang rawan bencana tsunami karena kepadatan penduduknya 141.328 orang per kilometer persegi. Kepadatan ini bahkan terpadat di seluruh dunia untuk kawasan pesisir yang rawan tsunami . Sistem serupa sudah direncanakan dibangun di hampir seluruh kawasan yang berbatasan dengan samudra pasifik, mulai Australia, Filipina, Jepang, dan hampir seluruh wilayah pantai Benua Amerika.
Selain memasang sistem ini, dibutuhkan peran masyarakat dalam aplikasinya. Pemerintahan lokal, seperti desa atau kelurahan pesisir pantai, harus memiliki rencana darurat tsunami, tempat yang aman dan pengaturannya. Berarti dibutuhkan pendidikan kepada masyarakat pesisir tentang gejala tsunami. Peran masyarakat dalam menjaga dan merawat sistem peringatan dini juga penting. Contohnya, membersihkan pantai dari gunung pasir sehingga meningkatkan pemandangan laut dan menjaga keberadaan sensor yang terapung di laut.
Dalam jangka panjang, konsep greenbelt dan Early Warning System seharusnya menjadi kebijakan yang bisa diterapkan di seluruh kawasan pantai kritis Indonesia, dimana belum memenuhi konsep pencegahan dampak tsunami. Tentu yang menjadi kendala adalah dana. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga keselamatan peradaban manusia. Sebagai gambaran, biaya instalasi membutuhkan $20 juta, annual maintenance $ 3 juta, mitigasi (kombinasi riset dan pendidikan masyarakat) $ 4,5 juta setahun) . Alasan kendala biaya tersebut, bukan menjadikan kita mundur dari rencana penggunaan sistem peringatan dini itu. Disinilah pemerintah mendorong peran ilmuwan lokal dari Indonesia untuk merancang ulang (atau membuat sendiri) sistem sejenis sehingga sesuai dengan kondisi Indonseia, baik geografis dan ketersediaan dana. Potensi bangsa juga secara otomatis akan teroptimalkan dengan adanya penelitian di bidang ini.
2. Pembangunan yang bersifat non fisik dan menyeluruh
Banda, Meulaboh, Calang, dan kawasan pantai barat NAD yang tersapu tsunami itu kini penuh relawan dari berbagai bangsa di dunia yang berinteraksi dalam sebuah pergumulan budaya Aceh, dimana berbasis kesadaran keagamaan unik yang lahir dari pengalaman hidup sejak kolonialisme. Aceh bagai miniatur dan laboratorium dunia tentang interaksi tradisi kecil menghadapi tradisi besar yang hegemonik. Hampir seluruh seni budaya, petutur, tradisi, dan praktek keagamaan warga Aceh melukiskan protes budaya seperti terlukis jelas dalam petutur bagi penyambutan tamu kehormatan.
Di sisi yang lain, hal ini menjadi kekhawatiran masyarakat Aceh dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Aceh bukan hanya milik orang Aceh, dia telah menjadi bagian dari bangsa ini. Sebutan yang disandangnya pun tidak sembarangan, Serambi Mekah. Jika kita ingin melihat islam dalam budaya masyarakatnya, maka lihatlah Aceh. Apalagi tiadanya catatan aset budaya, khususnya yang nirwujud yang langsung dapat diakses dan langsung dapat digunakan sebagai data awal penanganan budaya di Aceh. Malangnya, aspek ini dianggap tidak terlalu penting dalam tahap awal bencana. Hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis korban yang umumnya menjadi perhatian utama.
Semua penjelasan diatas memberikan kesimpulan, bahwa pembangunan fisik dan teknis pun harus disertai dengan semangat nilai-nilai budaya Aceh sehingga segala sesuatu yang dibangun tidak lepas dari akar kehidupan masyarakat. Jangan sampai kesalahan masa lalu dimana pembangunan masyarakat hanya fokus pada materi, kurang disertai nilai budaya yang perlu juga dibangun. Kenyataan ini sangat mengharukan apalagi bila mengingat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang justru sangat memerlukan penerapan paradigma pembangunan masyarakat ini.
Berbeda dengan paradigma teknis yang menuju pada keputusan yang rasional, paradigma pembangunan masyarakat berupaya untuk menghasilkan keputusan yang terbuka/transparan yang melibatkan sebanyak mungkin peran masyarakatnya. Dalam kaitan ini, lebih terbuka juga seharusnya penanganan aset budaya yang ada di suatu wilayah yang selama ini belum berjalan dengan baik. Menurut sosiolog UI, Dr Pudentia, dalam kasus ini penting bagi pemerintah untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan “good governance” dalam memungkinkan masyarakat membangun dirinya sendiri . Wilayah publik harus diberi tempat yang pantas agar masyarakat sebanyak dan sesering mungkin dapat terlibat dalam arus pembangunan daerah dan komunitasnya.
Melalui proses tersebut bisa dibuka ruang dialog tentang masa depan Aceh antara pemerintah pusat dan berbagai kelompok warga Aceh, termasuk yang selama ini dicap atau mencap diri sebagai GAM. Mengambil penjelasan Abdul M. Mulkhan, merdeka dalam kosa kata GAM tidak selalu berarti pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti bisa dibaca dari usulan self government. Kosa kata itu bisa berarti tuntutan kesediaan pemerintah pusat dan orang luar menempatkan diri sebagai pendengar bagaimana orang Aceh merumuskan citra diri, budaya dan kesadaran keagamaan dalam tatanan NAD . Rekonstruksi Aceh harus memasukan agenda rekonsiliasi, sehingga menghasilkan Aceh yang “baru”, penuh nilai kedamaian dan ketentraman.
Dengan demikian, rekonstruksi Aceh, termasuk pengelolaan pengungsi, yang tidak melibatkan masyarakat Aceh justru akan berujung menjadi bencana kedua yang lebih berdampak panjang bagi masyarakat Aceh sendiri. Penyusunan konsep blue print bukan semata-mata bergerak top down, sehingga banyak ulama Aceh sendiri yang tidak setuju dengannya. Orang Aceh, seperti daerah lain di negeri ini, adalah pemilik paling sah diri mereka sendiri. Mereka paling berhak menjawab pertanyaan bagaimana membangun NAD berbasis sumber daya alam dan budaya yang dimiliki.
Praktisnya, akan lebih baik mendukung orang Aceh membangun sendiri rumahnya di atas tapak rumahnya sebelum tsunami. Untuk mendukung pendekatan seperti ini, pemerintah cukup menyediakan bantuan bahan bangunan, alat-alat pertukangan, dan upah yang dibayarkan secara bertahap. Pendekatan ini diharpakan mampu memangkas mata rantai korupsi, menyebabkan prakarsa masyarakat bangkit, masalah pertanahan terselesaikan, atau setidaknya mencegah komplikasi yang berlarut-larut dan menumpuk. Pemukiman yang dibangun dengan cara seperti ini juga akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tiap-tiap lokasi. Ia juga menyumbang pada proses membangun modal sosial, karena korban tsunami Aceh mau tidak mau akan harus berorganisasi, dan bekerja sama.
Pemerintah, sebaiknya tidak terburu-buru dalam merencanakan dan merancang kembali kawasan yang dilanda bencana. Membangun suatu kota tidak cukup hanya dengan memori-memori yang ada (concious memories), tetapi juga yang sudah dilupakan (unconcious memories). Sesuatu yang sudah dilupakan itu adalah tsunami. Maka, untuk mengembalikannya bisa dengan kembali mengumpulkan berbagai kearifan lokal, termasuk cerita rakyat, ungkapan keseharian dan berbagai metafor yang masih ada di masyarakat. Proses rekonstruksi yang dihasilkannya pun, akan menjadi wajah Aceh dan Indonesia. [bersambung]
Membangun Kembali Aceh
Sebuah peristiwa besar sejarah terjadi pada hari Minggu, 26 Desember 2004 pukul 09.00 WIB. Gelombang tsunami menghancurkan kehidupan di hampir seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Tsunami itu dipicu oleh gempa bumi akibat lempeng India yang bergerak ke utara bersubduksi (menyusup) ke kerak bumi, mendorong lempeng Burma. Gempa yang ditimbulkan berkekuatan 9,0 skala richter yang mengakibatkan gelombang air laut di Aceh setinggi 15 meter dan menewaskan lebih dari 250.000 orang meninggal .
Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang terkena dampak dari tsunami tersebut adalah Bireun, Aceh Timur, Aceh Utara, Banda Aceh, Lhokseumawe, Pidie, Sabang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Langsa, Simeuleu, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Medan . Di luar negeri, gempa yang sama juga mengakibatkan tsunami yang melanda Thailand, Malaysia, Srilanka, Maladewa, India bahkan di sebagian kecil benua afrika, yaitu Somalia yang jaraknya kurang lebih 5000 km dari pusat gempa terkena air bah laut mencapai ketinggian 1,3 m .
Bencana global tersebut tentu mendapatkan banyak kepedulian dari seluruh dunia dan Indonesia yang mendapatkan dampak paling besar menjadi pusat perhatian. Bantuan dan relawan pun berdatangan di Aceh dan Sumatra Utara dengan cepat, lebih sigap dari tindakan pemerintah untuk mengelolanya. Suara kemanusiaan universal telah memanggil manusia dari belahan bumi untuk datang di lokasi bencana, khususnya Aceh. Di satu sisi tragis lainnya, langkah pemerintah indonesia ternyata sangat lamban dalam merespon bencana ini.
Dampak Bencana di Masyarakat Aceh
Bencana tsunami meninggalkan kepedihan mendalam dalam kehidupan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat yang mengalaminya. Siapapun sepakat, bahwa ini adalah bencana kemanusiaan yang terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Karena sangat banyak dampak yang ditimbulkannya, baik yang bersifat fisik-material maupun yang psikis-sosial. Total kerugiannya pun sangat besar (atau tidak bisa dihitung) dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikannya.
Secara fisik, tsunami telah menghancurkan rumah tempat tinggal, sekolah, kantor, pasar dan bangunan-bangunan sarana lainnya. Jalan-jalan yang menjadi penghubung antar wilayah pun rusak berat. Lahan-lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat, juga musnah diterjang tsunami. Praktis, tsunami telah mengancurkan segala sesuatu yang dilaluinya sampai kurang lebih sepanjang 5 Km dari garis pantai.
Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya sebenarnya bukan hanya ada di wilayah fisik-material. Sekilas memang kita hanya melihat bahwa hancurnya bangunan-bangunan tersebut ada di segi fisiknya saja. Padahal hal itu erat kaitannya dengan segenap aspek kehidupan dalam masyarakat Aceh. Hunian warga di sebagian besar kawasan pantai yang sudah hancur itu bukan sekedar wilayah ekonomi dan politik, tapi budaya dan tradisi yang tumbuh selama bertahun-berabad dalam dinamika keseharian warga Aceh. Misalnya dalam hal rusaknya bangunan sekolah dan banyak meninggalnya guru yang mengajar di sekolah tersebut. Hal itu berarti juga hilangnya denyut pendidikan model aceh yang sebelumnya ada dan akan sulit tergantikan dengan model yang serupa.
Dalam bidang ekonomi, denyut ekonomi wilayah bencana tertatih-tatih bahkan lumpuh. Warga yang selamat kehilangan sumber penghasilannya sekaligus juga mengalami dampak dibaliknya sesuai dengan deskripsi diatas. Pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, juga sulit untuk diakses karena minimnya sarana prasarana yang ada. Secara otomatis juga, kekuasaan politik tidak sepenuhnya berlaku di Aceh. Karena korban bencana tidak punya cukup waktu untuk memikirkan dan melakukannya.
Dampak psikis-sosial juga tidak kalah hebatnya. Dampak yang paling sederhana, ikatan sosiologis masyarakat yang sebelumya banyak terbangun berdasar tempat (place) bergeser menjadi berdasarkan “nasib“ (destiny). Banyak anak terpisah dari orang dan begitu sebaliknya, keluarga terpisah dari sanaknya dan kisah-kisah lainnya di “tempat keselamatan”. Jika anak-anak diadopsi keluar Aceh atas nama kemanusiaan, maka akan banyak anak yang tercerabut dari akar budayanya. Komunitas manusia yang dulunya tinggal dalam lingkungan tetangga yang akrab dan hangat menjadi suasana yang beku dan menunggu. Suasana ini tentunya tidak baik dalam lingkungan psikologis manusia.
Apabila dihubungkan dengan sebutan Aceh sebagai serambi Mekah, banyak hal yang dikhawatirkan akan hilang di bumi rencong ini. Religiusitas yang kuat di masyarakat (terutama di kalangan tradisional) akan terkikis sedikit demi sedikit karena banyaknya manusia penganutnya yang meninggal. Disamping juga terbukanya daerah Aceh atas nama operasi kemanusiaan akan mempengaruhi pola pemikiran dan kehidupan masyarakat yang sebelumnya kuat nuansa Islamnya. Ditambah dengan terkuaknya kabar adanya aktivitas pemurtadan yang dilakukan oleh lembaga internasional.
Penanganan yang diberikan dalam bentuk pengungsian ternyata juga berpotensi menimbulkan masalah baru Karena seperti yang disebutkan diatas, jika fungsi pokoknya hanya bersifat menyelamatkan, maka akan menelurkan dampak baru lainnya. Lebih tegasnya, pembangunan barak pengungsi yang bersifat sementara ini merupakan bencana kedua setelah tsunami, karena barak akan menjauhkan masyarakat Aceh dari tanah dan gampong-nya. [bersambung]
Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang terkena dampak dari tsunami tersebut adalah Bireun, Aceh Timur, Aceh Utara, Banda Aceh, Lhokseumawe, Pidie, Sabang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Langsa, Simeuleu, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Medan . Di luar negeri, gempa yang sama juga mengakibatkan tsunami yang melanda Thailand, Malaysia, Srilanka, Maladewa, India bahkan di sebagian kecil benua afrika, yaitu Somalia yang jaraknya kurang lebih 5000 km dari pusat gempa terkena air bah laut mencapai ketinggian 1,3 m .
Bencana global tersebut tentu mendapatkan banyak kepedulian dari seluruh dunia dan Indonesia yang mendapatkan dampak paling besar menjadi pusat perhatian. Bantuan dan relawan pun berdatangan di Aceh dan Sumatra Utara dengan cepat, lebih sigap dari tindakan pemerintah untuk mengelolanya. Suara kemanusiaan universal telah memanggil manusia dari belahan bumi untuk datang di lokasi bencana, khususnya Aceh. Di satu sisi tragis lainnya, langkah pemerintah indonesia ternyata sangat lamban dalam merespon bencana ini.
Dampak Bencana di Masyarakat Aceh
Bencana tsunami meninggalkan kepedihan mendalam dalam kehidupan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat yang mengalaminya. Siapapun sepakat, bahwa ini adalah bencana kemanusiaan yang terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Karena sangat banyak dampak yang ditimbulkannya, baik yang bersifat fisik-material maupun yang psikis-sosial. Total kerugiannya pun sangat besar (atau tidak bisa dihitung) dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikannya.
Secara fisik, tsunami telah menghancurkan rumah tempat tinggal, sekolah, kantor, pasar dan bangunan-bangunan sarana lainnya. Jalan-jalan yang menjadi penghubung antar wilayah pun rusak berat. Lahan-lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat, juga musnah diterjang tsunami. Praktis, tsunami telah mengancurkan segala sesuatu yang dilaluinya sampai kurang lebih sepanjang 5 Km dari garis pantai.
Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya sebenarnya bukan hanya ada di wilayah fisik-material. Sekilas memang kita hanya melihat bahwa hancurnya bangunan-bangunan tersebut ada di segi fisiknya saja. Padahal hal itu erat kaitannya dengan segenap aspek kehidupan dalam masyarakat Aceh. Hunian warga di sebagian besar kawasan pantai yang sudah hancur itu bukan sekedar wilayah ekonomi dan politik, tapi budaya dan tradisi yang tumbuh selama bertahun-berabad dalam dinamika keseharian warga Aceh. Misalnya dalam hal rusaknya bangunan sekolah dan banyak meninggalnya guru yang mengajar di sekolah tersebut. Hal itu berarti juga hilangnya denyut pendidikan model aceh yang sebelumnya ada dan akan sulit tergantikan dengan model yang serupa.
Dalam bidang ekonomi, denyut ekonomi wilayah bencana tertatih-tatih bahkan lumpuh. Warga yang selamat kehilangan sumber penghasilannya sekaligus juga mengalami dampak dibaliknya sesuai dengan deskripsi diatas. Pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, juga sulit untuk diakses karena minimnya sarana prasarana yang ada. Secara otomatis juga, kekuasaan politik tidak sepenuhnya berlaku di Aceh. Karena korban bencana tidak punya cukup waktu untuk memikirkan dan melakukannya.
Dampak psikis-sosial juga tidak kalah hebatnya. Dampak yang paling sederhana, ikatan sosiologis masyarakat yang sebelumya banyak terbangun berdasar tempat (place) bergeser menjadi berdasarkan “nasib“ (destiny). Banyak anak terpisah dari orang dan begitu sebaliknya, keluarga terpisah dari sanaknya dan kisah-kisah lainnya di “tempat keselamatan”. Jika anak-anak diadopsi keluar Aceh atas nama kemanusiaan, maka akan banyak anak yang tercerabut dari akar budayanya. Komunitas manusia yang dulunya tinggal dalam lingkungan tetangga yang akrab dan hangat menjadi suasana yang beku dan menunggu. Suasana ini tentunya tidak baik dalam lingkungan psikologis manusia.
Apabila dihubungkan dengan sebutan Aceh sebagai serambi Mekah, banyak hal yang dikhawatirkan akan hilang di bumi rencong ini. Religiusitas yang kuat di masyarakat (terutama di kalangan tradisional) akan terkikis sedikit demi sedikit karena banyaknya manusia penganutnya yang meninggal. Disamping juga terbukanya daerah Aceh atas nama operasi kemanusiaan akan mempengaruhi pola pemikiran dan kehidupan masyarakat yang sebelumnya kuat nuansa Islamnya. Ditambah dengan terkuaknya kabar adanya aktivitas pemurtadan yang dilakukan oleh lembaga internasional.
Penanganan yang diberikan dalam bentuk pengungsian ternyata juga berpotensi menimbulkan masalah baru Karena seperti yang disebutkan diatas, jika fungsi pokoknya hanya bersifat menyelamatkan, maka akan menelurkan dampak baru lainnya. Lebih tegasnya, pembangunan barak pengungsi yang bersifat sementara ini merupakan bencana kedua setelah tsunami, karena barak akan menjauhkan masyarakat Aceh dari tanah dan gampong-nya. [bersambung]
Friday, June 10, 2005
[R]evolusi dari kami...
Awalnya dari sebuah nama, kami berani mengubahnya menjadi Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dari yang sebelumnya kita kenal dengan Departemen Komunikasi Publik (Kompub), salah satu departemen dalam kabinet KM ITB periode tahun lalu.
Mungkin orang melihat, tidak ada yang istimewa dengan perubahan itu. Tapi kami sendiri punya sebuah cita-cita besar atas perubahan itu. Seperti halnya sebuah produk dengan “warna baru” yang dilemparkan ke pasar oleh pembuatnya, kami melihat bahwa perubahan nama tersebut sebagai bentuk citra baru yang ingin dibangun sebagai dasar dari keberjalanan kami sendiri.
Mengapa kami berpandangan seperti itu? Karena Kabinet KM yang sekarang terbentuk memilki visi agung untuk kembali menghadirkan KM di tengah-tengah mahasiswa ITB. Dan secara organisasi, tugas itu banyak berada di wilayah kami.
Hal itu yang kemudian membuat kami berpikir keras untuk membuat racikan khusus sehingga kami sendiri (Kominfo) menjadi sebuah penggagas dan pembuat ‘produk’ yang mampu membuat jarak KM dan mahasiswa semakin dekat.
Karena kami juga tahu, bahwa tugas yang sama pernah diemban oleh satu Departemen Kabinet KM tahun sebelumnya. Dengan berbagai pelajaran dan pengalaman yang kami dapat, kami memulainya dengan bermetamorfose menjadi Kominfo. Dari itu, kami telah membuat semacam lompatan kesadaran. Yang menjadikan kami seolah-olah orang baru dengan jiwa, semangat dan pikiran baru pula.
Perubahan ini yang kami harapkan menjadikan kawan pembaca penasaran tentang “ruh” baru apa yang akan kami bawa. Persepsi yang selama ini ada tentang kabinet dan KM tergugah kembali untuk melihat ada apa di balik ini semua.
Konsekuansinya bagi kami, persepsi yang harus sekuatnya kami pertahankan dengan tidak hanya menyertakan diri dalam keakraban kita di acara dan kegiatan, tapi juga hadir langsung di tengah-tengah seluruh kawan pembaca kampus ini.
Mungkin kami masih menggunakan label-label yang lama untuk hadir bersama kawan pembaca. Kawan-kawan akan menjumpai Infocus dan Soul of Campus (SOC), atau program-program kami yang mirip dengan kemarin. Untuk kali ini kami berpendangan, perubahan besar tidak dengan merubah tatanan yang telah terbangun. Dan label media diatas, bukan hanya menjadi sekedar suara KM, tapi juga merupakan spirit kampus itu sendiri yang telah ikut mewarnai kita akhir-akhir ini.
Hanya untuk sebuah nama, kami cukup melakukannya di sumber dan intinya, bukan di depan yang langsung berinteraksi dengan pembaca sekalian. Semoga pertimbangan yang kami lakukan tidak salah. Tuntutan untuk selalu hadir di tengah dinamika mahasiswa yang membuat kami mengambil keputusan itu. Kami khawatir, kami terlena dalam membangun sebuah brand, daripada melayani kawan-kawan pembaca sendiri.
Dan semangat yang kami utarakan di awal kami ejawantahkan dengan bahasa media yang mulai ada di tangan pembaca saat ini. Media yang mencoba merakyat dengan bahasa dan tampilan yang renyah serta enak untuk dikonsumsi. Media ini pula yang menjadi ujung tombak penyamaan persepsi mahasiswa tentang KM. Mengingat bertebarannya ragam media dari kabinet yang biasa membanjiri ruang kampus kampus kita.
Secara jujur kami akui, bahwa kami memang pada dasarnya adalah media “pemerintah” layaknya sebuah TVRI atau RRI. Tapi sekali lagi, kami telah dan sedang bertransformasi diri. Kami mencoba tidak hanya menjadi media kehumasan yang menyajikan pandangan dari satu sumber (KM), kemudian diolah, diedit untuk menjadi sajian berita seakan-akan kami telah melakukan tugas kami. Karena kami ingin kawan pembaca juga menjadi obyek aktif yang manjadi sarana kami (dan kabinet) berkaca diri dan berbenah pula tentunya. Dan mungkin juga, perbaikan atas kampus dan bangsa ini berasal dari kawan pembaca semuanya.
Disinilah ternyata, yang menjadai tantangan bagi kami. Satu telah coba kami lakukan, adanya forum sms yang akan tampilkan setiap edisi infocus. Selain itu, pertisipasi yang besar kami harapkan bisa pembaca lakukan media SOC kita.
Kami ingin juga tidak hanya menjadi media kehumasan, tapi juga media kampus yang ikut aktif dalam kedinamisasiannya. Harapan besar yang ingin kami usung bersama dengan media-media kampus lain yang telah eksis.
Semuanya kami lakukan karena kami berusaha tidak sekedar menghadirkan jurnalisme fakta, yang hanya menyajikan reportase, program, opini dan banyak menu lainya. Kami ingin pula menyajikan jurnalisme makna, yang mampu menguraikan hubungan antar pelbagai kejadian dan menjadi katalis semangat kemahiswaan di kampus ganesha tercinta.
Disinilah, tugas kami menjadi semakin berat. Seperti kalimat seorang wartawan Far Eastern Economic Review, Susuma Awanohara, “Bung, pekerjaan ini terlalu berat, kalau kami tidak bergelar Phd, kami tidak sanggup melakukannya” . Apalagi kami yang baru memulai transformasi. Terlalu besar cita-cita, tapi kami berani dan berkeinginan kuat. Mungkin sampai waktunya nanti, kami sendiri yang menyerah atau yang akan memetik hasil atas apa yang kami tanamkan. Belum tahun depan mungkin, karena pekerjaan menulis adalah pekerjaan mengabadikan sejarah.
Terakhir, kami sangat berharap kawan pembaca menyadari keterbatasan kami. Oleh karenanya, dukungan dan (tentunya) do’a adalah dua hal yang kami harapkan mengiringi langkah kami. Mari satu persatu kita susun batu bata kehidupan, demi kemajuan kita bersama di masa yang akan datang. Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater.... [3an]
*
Tulisan ini khusus untuk buletin Soul of Campus edisi perdana Kabinet KM ITB 05-06 (Juni 2005)
Mungkin orang melihat, tidak ada yang istimewa dengan perubahan itu. Tapi kami sendiri punya sebuah cita-cita besar atas perubahan itu. Seperti halnya sebuah produk dengan “warna baru” yang dilemparkan ke pasar oleh pembuatnya, kami melihat bahwa perubahan nama tersebut sebagai bentuk citra baru yang ingin dibangun sebagai dasar dari keberjalanan kami sendiri.
Mengapa kami berpandangan seperti itu? Karena Kabinet KM yang sekarang terbentuk memilki visi agung untuk kembali menghadirkan KM di tengah-tengah mahasiswa ITB. Dan secara organisasi, tugas itu banyak berada di wilayah kami.
Hal itu yang kemudian membuat kami berpikir keras untuk membuat racikan khusus sehingga kami sendiri (Kominfo) menjadi sebuah penggagas dan pembuat ‘produk’ yang mampu membuat jarak KM dan mahasiswa semakin dekat.
Karena kami juga tahu, bahwa tugas yang sama pernah diemban oleh satu Departemen Kabinet KM tahun sebelumnya. Dengan berbagai pelajaran dan pengalaman yang kami dapat, kami memulainya dengan bermetamorfose menjadi Kominfo. Dari itu, kami telah membuat semacam lompatan kesadaran. Yang menjadikan kami seolah-olah orang baru dengan jiwa, semangat dan pikiran baru pula.
Perubahan ini yang kami harapkan menjadikan kawan pembaca penasaran tentang “ruh” baru apa yang akan kami bawa. Persepsi yang selama ini ada tentang kabinet dan KM tergugah kembali untuk melihat ada apa di balik ini semua.
Konsekuansinya bagi kami, persepsi yang harus sekuatnya kami pertahankan dengan tidak hanya menyertakan diri dalam keakraban kita di acara dan kegiatan, tapi juga hadir langsung di tengah-tengah seluruh kawan pembaca kampus ini.
Mungkin kami masih menggunakan label-label yang lama untuk hadir bersama kawan pembaca. Kawan-kawan akan menjumpai Infocus dan Soul of Campus (SOC), atau program-program kami yang mirip dengan kemarin. Untuk kali ini kami berpendangan, perubahan besar tidak dengan merubah tatanan yang telah terbangun. Dan label media diatas, bukan hanya menjadi sekedar suara KM, tapi juga merupakan spirit kampus itu sendiri yang telah ikut mewarnai kita akhir-akhir ini.
Hanya untuk sebuah nama, kami cukup melakukannya di sumber dan intinya, bukan di depan yang langsung berinteraksi dengan pembaca sekalian. Semoga pertimbangan yang kami lakukan tidak salah. Tuntutan untuk selalu hadir di tengah dinamika mahasiswa yang membuat kami mengambil keputusan itu. Kami khawatir, kami terlena dalam membangun sebuah brand, daripada melayani kawan-kawan pembaca sendiri.
Dan semangat yang kami utarakan di awal kami ejawantahkan dengan bahasa media yang mulai ada di tangan pembaca saat ini. Media yang mencoba merakyat dengan bahasa dan tampilan yang renyah serta enak untuk dikonsumsi. Media ini pula yang menjadi ujung tombak penyamaan persepsi mahasiswa tentang KM. Mengingat bertebarannya ragam media dari kabinet yang biasa membanjiri ruang kampus kampus kita.
Secara jujur kami akui, bahwa kami memang pada dasarnya adalah media “pemerintah” layaknya sebuah TVRI atau RRI. Tapi sekali lagi, kami telah dan sedang bertransformasi diri. Kami mencoba tidak hanya menjadi media kehumasan yang menyajikan pandangan dari satu sumber (KM), kemudian diolah, diedit untuk menjadi sajian berita seakan-akan kami telah melakukan tugas kami. Karena kami ingin kawan pembaca juga menjadi obyek aktif yang manjadi sarana kami (dan kabinet) berkaca diri dan berbenah pula tentunya. Dan mungkin juga, perbaikan atas kampus dan bangsa ini berasal dari kawan pembaca semuanya.
Disinilah ternyata, yang menjadai tantangan bagi kami. Satu telah coba kami lakukan, adanya forum sms yang akan tampilkan setiap edisi infocus. Selain itu, pertisipasi yang besar kami harapkan bisa pembaca lakukan media SOC kita.
Kami ingin juga tidak hanya menjadi media kehumasan, tapi juga media kampus yang ikut aktif dalam kedinamisasiannya. Harapan besar yang ingin kami usung bersama dengan media-media kampus lain yang telah eksis.
Semuanya kami lakukan karena kami berusaha tidak sekedar menghadirkan jurnalisme fakta, yang hanya menyajikan reportase, program, opini dan banyak menu lainya. Kami ingin pula menyajikan jurnalisme makna, yang mampu menguraikan hubungan antar pelbagai kejadian dan menjadi katalis semangat kemahiswaan di kampus ganesha tercinta.
Disinilah, tugas kami menjadi semakin berat. Seperti kalimat seorang wartawan Far Eastern Economic Review, Susuma Awanohara, “Bung, pekerjaan ini terlalu berat, kalau kami tidak bergelar Phd, kami tidak sanggup melakukannya” . Apalagi kami yang baru memulai transformasi. Terlalu besar cita-cita, tapi kami berani dan berkeinginan kuat. Mungkin sampai waktunya nanti, kami sendiri yang menyerah atau yang akan memetik hasil atas apa yang kami tanamkan. Belum tahun depan mungkin, karena pekerjaan menulis adalah pekerjaan mengabadikan sejarah.
Terakhir, kami sangat berharap kawan pembaca menyadari keterbatasan kami. Oleh karenanya, dukungan dan (tentunya) do’a adalah dua hal yang kami harapkan mengiringi langkah kami. Mari satu persatu kita susun batu bata kehidupan, demi kemajuan kita bersama di masa yang akan datang. Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater.... [3an]
*
Tulisan ini khusus untuk buletin Soul of Campus edisi perdana Kabinet KM ITB 05-06 (Juni 2005)
Sunday, June 05, 2005
Industrilisasi Dalam Konteks Budaya Indonesia
Sejarah hidup manusia tidak terlepas dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia mempunyai metode untuk memenuhinya sesuai dengan zamannya. Mulai zaman prasejarah, kita mengenal kehidupan manusia purba masa berburu dan mengambil makanan, atau dikenal food gathering. Kemudian, masa berternak dan bercocok tanam atau food producing.
Dalam kehidupan modern, Alvin Tofler membagi peradaban manusia menjadi tiga masa. Pertama, masa agraris (pertanian). Masa ini berlangsung mulai 8000 SM sampai abad ke-18 M. Kedua, adalah revolusi industri. Masa ini tepatnya meletus saat pecah revolusi industri di Inggris awal abad 18 M. Perubahan signifikan yang terjadi adalah pergeseran fungsi tenaga manusia oleh tenega mesin. Sehingga merubah kehidupan sosial masyarakat sampai menimbulkan pergolakan sosial, terutama pertentangan kelas sosial. Dan yang ketiga adalah masa informasi. Masa ini ditandai dengan penggunaan teknologi informasi yang luas dalam membantu semua kehidupan manusia.
Hal yang menarik adalah perubahan dari masa ke masa tidak seluruhnya mengganti karakter masa sebelumnya dan mengubah pola hidup masyarakatnya. Misalnya, dikenalnya industrilisasi di Indonesia tidak seluruhnya mampu menggantikan kehidupan agraris. Padahal industri menjawab kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dalam jumlah banyak dan berkualitas.
Di satu sisi, terjadi fakta bahwa industri adalah keadaan yang tak terbantahkan adanya. Terbukti dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Manfaat industri juga dirasakan di semua segi kehidupan manusia. Meskipun peran itu belum secara merata dirasakan sepenuhnya oleh semua masyarakat kita di seluruh pelosok tanah air.
Disamping maslahat yang besar bagi manusia, kehidupan industri (yang banyak terdapat di Pulau Jawa) juga membawa pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadi transformasi sistem dan nilai masyarakat digantikan dengan nilai-nilai masyarakat industri. Walaupun karakter masyarakat industri tidak semuanya buruk, yang terjadi adalah masyarakat kita hanya melihat secara pragmatis terhadap budaya itu. Fenomena sosiologis akibat industrilisasi inilah yang menarik, dalam konteks budaya kita terutama budaya Jawa.
Perkembangan Budaya Indonesia
Kehidupan Bangsa Indonesia pada awalnya berbasiskan pada pertanian (agraris). Kehidupan agraris ini memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya. Kehidupan ini berbasiskan di desa-desa. Di Indonesia, desa-desa bukan hanya ikatan ruang tapi juga yang lebih utama komunitas ikatan sosial-emosional. Hal ini menimbulkan tugas moril seseorang untuk menjaga keselarasan dengan menjalankan kewajiban sosial yang menyangkut hubungan sosial, misalnya tolong menolong, gotong royong dan musyawarah.
Desa menjadi unit yang relatif swa-sembada, karena masyarakat kita belum memiliki aneka ragam kebutuhan. Dan harta benda bukan merupakan tumpuan yang menentukan bagi kesejahteran dan kebahagiaan. Kuatnya kekuasaan raja saat itu mereduksi keinginan rakyat untuk memiliki sesuatu yang lebih. Keadaan yang membentuk karakter masyarakat kita, yaitu nrimo dan sabar. Seperti dalam petuah Ki Hajar Dewantara, Luwih becik mikul dhawet rengeng-rengeng, tinimbang numpak mobil mrebesmili utawa nangis nggriyeng (lebih baik hidup sebagai tukang cendhol, namun bahagia, daripada kaya tapi menderita).
Dalam kehidupan sosial, orang (Jawa) sulit lepas dari ikatan sosoiologis dengan masyarakatnya. Sebuah ungkapan mangan ora mangan, asal kumpul bisa mewakili karakter tersebut. Dengan sikap nrimo dan lebih mementingkan keselarasan itulah, jiwa feodalisme tumbuh di masyarakat karena keadaan yang tidak bisa mereka kuasai dan pengaruh dari agama (Hindu). Namun, kurang bisa menghargai waktu, alon alon asal kelakon (pelan-pelan asal sampai). Orang Jawa mengganggap bahwa waktu tidak mengubah apa-apa, karena yang mengubah adalah bentuknya. Dan bentuk itu akan turun jika “waktunya tepat”.
Sedangkan peran agama memberikan pengaruh kuat dalam membentuk karakter masyarakat. Walaupun banyak yang menjalankan ibadah agama, tidak sedikit pula yang masih tetap mempercayai kekuatan lain (takhayul), karena kuatnya animisme dan dinamisme. Agama sering hanya sebagai simbol dengan pelibatannya di acara-acara seremonial yang banyak macamnya di masyarakat. Perpaduan sikap “minimalis” dan agama dalam budaya Jawa memunculkan sikap eling (ingat kepada Tuhan) dan waspada (pikir-pikir) dalam segala tindakan.
Dalam pandangan teori hirarki kebutuhan Maslow, secara umum masyarakat saat itu hanya sampai pada tiga kebutuhan yang pertama. Yaitu kebutuhan fisiologik (kebutuhan dasar yang berhubungan sama fisik seperti tempat, pakaian dan makanan), kebutuhan rasa aman (harapan memenuhi standar hidup yang dianggap wajar) dan kebutuhan sosial (kebutuhan untuk dicintai dan mencintai). Sedangkan kebutuhan harga diri (kebutuhan status dan penghargaan) dan kebutuhan aktualisasi (mewujudkan diri) belum kuat dalam masyarakat kita. [bersambung]
Dalam kehidupan modern, Alvin Tofler membagi peradaban manusia menjadi tiga masa. Pertama, masa agraris (pertanian). Masa ini berlangsung mulai 8000 SM sampai abad ke-18 M. Kedua, adalah revolusi industri. Masa ini tepatnya meletus saat pecah revolusi industri di Inggris awal abad 18 M. Perubahan signifikan yang terjadi adalah pergeseran fungsi tenaga manusia oleh tenega mesin. Sehingga merubah kehidupan sosial masyarakat sampai menimbulkan pergolakan sosial, terutama pertentangan kelas sosial. Dan yang ketiga adalah masa informasi. Masa ini ditandai dengan penggunaan teknologi informasi yang luas dalam membantu semua kehidupan manusia.
Hal yang menarik adalah perubahan dari masa ke masa tidak seluruhnya mengganti karakter masa sebelumnya dan mengubah pola hidup masyarakatnya. Misalnya, dikenalnya industrilisasi di Indonesia tidak seluruhnya mampu menggantikan kehidupan agraris. Padahal industri menjawab kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dalam jumlah banyak dan berkualitas.
Di satu sisi, terjadi fakta bahwa industri adalah keadaan yang tak terbantahkan adanya. Terbukti dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Manfaat industri juga dirasakan di semua segi kehidupan manusia. Meskipun peran itu belum secara merata dirasakan sepenuhnya oleh semua masyarakat kita di seluruh pelosok tanah air.
Disamping maslahat yang besar bagi manusia, kehidupan industri (yang banyak terdapat di Pulau Jawa) juga membawa pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadi transformasi sistem dan nilai masyarakat digantikan dengan nilai-nilai masyarakat industri. Walaupun karakter masyarakat industri tidak semuanya buruk, yang terjadi adalah masyarakat kita hanya melihat secara pragmatis terhadap budaya itu. Fenomena sosiologis akibat industrilisasi inilah yang menarik, dalam konteks budaya kita terutama budaya Jawa.
Perkembangan Budaya Indonesia
Kehidupan Bangsa Indonesia pada awalnya berbasiskan pada pertanian (agraris). Kehidupan agraris ini memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya. Kehidupan ini berbasiskan di desa-desa. Di Indonesia, desa-desa bukan hanya ikatan ruang tapi juga yang lebih utama komunitas ikatan sosial-emosional. Hal ini menimbulkan tugas moril seseorang untuk menjaga keselarasan dengan menjalankan kewajiban sosial yang menyangkut hubungan sosial, misalnya tolong menolong, gotong royong dan musyawarah.
Desa menjadi unit yang relatif swa-sembada, karena masyarakat kita belum memiliki aneka ragam kebutuhan. Dan harta benda bukan merupakan tumpuan yang menentukan bagi kesejahteran dan kebahagiaan. Kuatnya kekuasaan raja saat itu mereduksi keinginan rakyat untuk memiliki sesuatu yang lebih. Keadaan yang membentuk karakter masyarakat kita, yaitu nrimo dan sabar. Seperti dalam petuah Ki Hajar Dewantara, Luwih becik mikul dhawet rengeng-rengeng, tinimbang numpak mobil mrebesmili utawa nangis nggriyeng (lebih baik hidup sebagai tukang cendhol, namun bahagia, daripada kaya tapi menderita).
Dalam kehidupan sosial, orang (Jawa) sulit lepas dari ikatan sosoiologis dengan masyarakatnya. Sebuah ungkapan mangan ora mangan, asal kumpul bisa mewakili karakter tersebut. Dengan sikap nrimo dan lebih mementingkan keselarasan itulah, jiwa feodalisme tumbuh di masyarakat karena keadaan yang tidak bisa mereka kuasai dan pengaruh dari agama (Hindu). Namun, kurang bisa menghargai waktu, alon alon asal kelakon (pelan-pelan asal sampai). Orang Jawa mengganggap bahwa waktu tidak mengubah apa-apa, karena yang mengubah adalah bentuknya. Dan bentuk itu akan turun jika “waktunya tepat”.
Sedangkan peran agama memberikan pengaruh kuat dalam membentuk karakter masyarakat. Walaupun banyak yang menjalankan ibadah agama, tidak sedikit pula yang masih tetap mempercayai kekuatan lain (takhayul), karena kuatnya animisme dan dinamisme. Agama sering hanya sebagai simbol dengan pelibatannya di acara-acara seremonial yang banyak macamnya di masyarakat. Perpaduan sikap “minimalis” dan agama dalam budaya Jawa memunculkan sikap eling (ingat kepada Tuhan) dan waspada (pikir-pikir) dalam segala tindakan.
Dalam pandangan teori hirarki kebutuhan Maslow, secara umum masyarakat saat itu hanya sampai pada tiga kebutuhan yang pertama. Yaitu kebutuhan fisiologik (kebutuhan dasar yang berhubungan sama fisik seperti tempat, pakaian dan makanan), kebutuhan rasa aman (harapan memenuhi standar hidup yang dianggap wajar) dan kebutuhan sosial (kebutuhan untuk dicintai dan mencintai). Sedangkan kebutuhan harga diri (kebutuhan status dan penghargaan) dan kebutuhan aktualisasi (mewujudkan diri) belum kuat dalam masyarakat kita. [bersambung]
Industrilisasi Dalam Konteks Budaya Indonesia [2]
Pengaruh Industri Dalam Kehidupan
Industri modern masuk Indonesia pada masa penjajahan dimana masyarakat kita dalam kekuasaan yang kuat. Sebelumnya, industri yang berkembang adalah kerajinan tangan yang dilakukan di rumah-rumah. Masuknya industri modern diterima oleh masyarakat, bukan hanya karena kekuasaan yang berpengaruh, melainkan juga sikap bangsa kita yang terbuka menerima perubahan.
Desa sebagai basis masyarakat mendapat pengaruh dari industrilisasi ini. Dilihat dari ruangnya, pengalihfungsian lahan-lahan pertanian menjadi areal industri menimbulkan beberapa hal tersendiri. Berkurangnya lahan pertanian di Pulau Jawa mengakibatkan banyak orang kehilangan kesempatan hidup mapan dengan bekerja di sektor agraris. Dengan kemampuan terbatas menyerap tenaga kerja, industri malah menimbulkan pengangguran meskipun jumlahnya meningkat.
Sayangnya, dengan karakter bangsa kita (orang Jawa) yang nrimo dan menjaga keselarasan, keadaan diatas tidak diselesaikan dengan cepat. Ketidakpuasan terhadap industri hanya diwujudkan dengan kekesalan pribadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia adalah feodalisme dan munafik (hipokrit). Semuanya didasarkan pada menjaga hubungan yang selaras semata.
Perkembangan industri sepertinya hanya didasarkan pada logika Marx, yaitu dengan mengubah pondasi ekonomi, superstruktur masyarakat akan berubah dengan cepat. Pandangan ini benar dalam hal peningkatan pendapatan secara nasional. Karena ternyata pendapatan itu banyak dipengaruhi oleh orang-orang industri level atas, bukan di level bawah. Sekaligus, menimbulkan pengangguran dan efek-efek lain yang bersumber darinya, seperti meningkatnya kriminalitas.
Budaya istimewa akibat industrilisasi adalah materialisme, segala sesuatu dinilai dengan kebendaan. Budaya ini harus berbenturan dengan budaya Bangsa Indonesia yang sarat memegang norma-norma sosial. Hubungan intrapersonal masyarakat semakin renggang atau diartikan dengan cara lain, yaitu tolong menolong dalam “menyelesaikan” urusan yang dihadapinya (benih korupsi dan kolusi) . Hal ini searah dengan pandangan Ralph Pieris, bahwa industrialisme menyebabkan manusia tidak lagi merupakan makhluk manusiawi, seorang warga dengan warga lainnya; ia harus difungsionalisasikan secara total dan mutlak, diasingkan dari dirinya sendiri, diubah sifatnya sedemikian rupa sehingga jiwa dan pribadi tidak dapat didefiniskan lagi.
Perubahan orientasi hidup masyarakat dari yang mengutamakan keselarasan menjadi materialisme menyebabkan tumbuhnya konsumerisme. Sikap hidup ini bukan monopoli orang perkotaan. Bahkan di desa-desa, orang cenderung menggunakan uang hasil pertaniannya untuk membeli barang konsumtif yang mampu meningkatkan status sosialnya, seperti televisi, lemari es dan sepeda motor.
Namun di sisi lain, industrilisasi memberikan perubahan pola pikir di masyarakat kita. Masyarakat mulai memperhatikan pendidikan, manfaat menabung, demokratis dalam keluarga dan memberikan lebih banyak kesempatan bagi wanita dalam aktivitas. Perubahan juga terjadi dalam memandang urusan agama, misalnya banyaknya orang Islam yang berusaha sekuat tenaga menunaikan haji sekalipun sekali seumur hidup. Walaupun tekad ini kurang kuat di masyarakat perkotaan, karena derasnya arus modernisasi sehingga lebih mementingkan kebendaan daripada rohaninya.
Dalam hubungan yang lebih luas, industrilisasi mempengaruhi sosial-politik masyarakat. Misalnya pembangunan PT Krakatau Steel (KS) di Cilegon. Cilegon yang semula hanya daerah kecil (setingkat beberapa desa), kemudian berubah menjadi kotamadya seperti sekarang ini. Artinya, KS ikut membentuk masyarakat Cilegon dan langsung atau tidak, ikut mempengaruhi kehidupan sosial-politik masyarakatnya hingga sekarang
Jika dilihat bahwa budaya industri yang berkembang di Indonesia bukan budaya masyarakat industri secara keseluruhan. Budaya modernisasi ditiru sedangkan intisarinya hilang. Seharusnya budaya seperti bekerja keras, kompetisi, jujur apa adanya dan menghargai waktu diterapkan dalam kehidupan masayarakat. Namun ternyata, menurut Niels Murder, masyarakat kita lebih mementingkan bentuk daripada isinya.
Industrilisasi di Indonesia memberikan karakteristik karena harus berhadapan dengan budaya bangsa yang kuat. Di sisi lain, bangsa Indonesia masih senang mencari intisari masyarakatnya sendiri dan menjadi suatu kebenaran pribadi yang dipegang kuat. Sehingga, apa yang benar di luar Indonesia tidak perlu berlaku disini. Pandangan ini yang seharusnya dijaga dalam menghadapi situasi masa depan. Sehingga tercipta keadaan yang saling mempengaruhi antara industri dengan intisari budaya Bangsa Indonesia.
*tulisan ini digunakan dalam Lomba Essay Budaya ITB 2005
Industri modern masuk Indonesia pada masa penjajahan dimana masyarakat kita dalam kekuasaan yang kuat. Sebelumnya, industri yang berkembang adalah kerajinan tangan yang dilakukan di rumah-rumah. Masuknya industri modern diterima oleh masyarakat, bukan hanya karena kekuasaan yang berpengaruh, melainkan juga sikap bangsa kita yang terbuka menerima perubahan.
Desa sebagai basis masyarakat mendapat pengaruh dari industrilisasi ini. Dilihat dari ruangnya, pengalihfungsian lahan-lahan pertanian menjadi areal industri menimbulkan beberapa hal tersendiri. Berkurangnya lahan pertanian di Pulau Jawa mengakibatkan banyak orang kehilangan kesempatan hidup mapan dengan bekerja di sektor agraris. Dengan kemampuan terbatas menyerap tenaga kerja, industri malah menimbulkan pengangguran meskipun jumlahnya meningkat.
Sayangnya, dengan karakter bangsa kita (orang Jawa) yang nrimo dan menjaga keselarasan, keadaan diatas tidak diselesaikan dengan cepat. Ketidakpuasan terhadap industri hanya diwujudkan dengan kekesalan pribadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia adalah feodalisme dan munafik (hipokrit). Semuanya didasarkan pada menjaga hubungan yang selaras semata.
Perkembangan industri sepertinya hanya didasarkan pada logika Marx, yaitu dengan mengubah pondasi ekonomi, superstruktur masyarakat akan berubah dengan cepat. Pandangan ini benar dalam hal peningkatan pendapatan secara nasional. Karena ternyata pendapatan itu banyak dipengaruhi oleh orang-orang industri level atas, bukan di level bawah. Sekaligus, menimbulkan pengangguran dan efek-efek lain yang bersumber darinya, seperti meningkatnya kriminalitas.
Budaya istimewa akibat industrilisasi adalah materialisme, segala sesuatu dinilai dengan kebendaan. Budaya ini harus berbenturan dengan budaya Bangsa Indonesia yang sarat memegang norma-norma sosial. Hubungan intrapersonal masyarakat semakin renggang atau diartikan dengan cara lain, yaitu tolong menolong dalam “menyelesaikan” urusan yang dihadapinya (benih korupsi dan kolusi) . Hal ini searah dengan pandangan Ralph Pieris, bahwa industrialisme menyebabkan manusia tidak lagi merupakan makhluk manusiawi, seorang warga dengan warga lainnya; ia harus difungsionalisasikan secara total dan mutlak, diasingkan dari dirinya sendiri, diubah sifatnya sedemikian rupa sehingga jiwa dan pribadi tidak dapat didefiniskan lagi.
Perubahan orientasi hidup masyarakat dari yang mengutamakan keselarasan menjadi materialisme menyebabkan tumbuhnya konsumerisme. Sikap hidup ini bukan monopoli orang perkotaan. Bahkan di desa-desa, orang cenderung menggunakan uang hasil pertaniannya untuk membeli barang konsumtif yang mampu meningkatkan status sosialnya, seperti televisi, lemari es dan sepeda motor.
Namun di sisi lain, industrilisasi memberikan perubahan pola pikir di masyarakat kita. Masyarakat mulai memperhatikan pendidikan, manfaat menabung, demokratis dalam keluarga dan memberikan lebih banyak kesempatan bagi wanita dalam aktivitas. Perubahan juga terjadi dalam memandang urusan agama, misalnya banyaknya orang Islam yang berusaha sekuat tenaga menunaikan haji sekalipun sekali seumur hidup. Walaupun tekad ini kurang kuat di masyarakat perkotaan, karena derasnya arus modernisasi sehingga lebih mementingkan kebendaan daripada rohaninya.
Dalam hubungan yang lebih luas, industrilisasi mempengaruhi sosial-politik masyarakat. Misalnya pembangunan PT Krakatau Steel (KS) di Cilegon. Cilegon yang semula hanya daerah kecil (setingkat beberapa desa), kemudian berubah menjadi kotamadya seperti sekarang ini. Artinya, KS ikut membentuk masyarakat Cilegon dan langsung atau tidak, ikut mempengaruhi kehidupan sosial-politik masyarakatnya hingga sekarang
Jika dilihat bahwa budaya industri yang berkembang di Indonesia bukan budaya masyarakat industri secara keseluruhan. Budaya modernisasi ditiru sedangkan intisarinya hilang. Seharusnya budaya seperti bekerja keras, kompetisi, jujur apa adanya dan menghargai waktu diterapkan dalam kehidupan masayarakat. Namun ternyata, menurut Niels Murder, masyarakat kita lebih mementingkan bentuk daripada isinya.
Industrilisasi di Indonesia memberikan karakteristik karena harus berhadapan dengan budaya bangsa yang kuat. Di sisi lain, bangsa Indonesia masih senang mencari intisari masyarakatnya sendiri dan menjadi suatu kebenaran pribadi yang dipegang kuat. Sehingga, apa yang benar di luar Indonesia tidak perlu berlaku disini. Pandangan ini yang seharusnya dijaga dalam menghadapi situasi masa depan. Sehingga tercipta keadaan yang saling mempengaruhi antara industri dengan intisari budaya Bangsa Indonesia.
*tulisan ini digunakan dalam Lomba Essay Budaya ITB 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)