Ada manusia-manusia yang keluar dari rumahnya untuk mendapatkan menu buka. Mereka menunggu, antri mulai satu jam atau bahkan lebih untuk mendapatkan sebungkus kolak, cendol, cemilan, atau makanan-manakan tradisional. Sungguh tidak masuk akal, jika dilihat bahwa untuk sekedar membatalkan puasa, seteguk air pun sudah cukup. Tapi pasti ada hal-hal lain yang menjadikan setiap harinya, banyak orang rela keluar, antri. Selalu.
Selisik melihat alasan sederhana, membatalkan puasa serasa belum cukup. Maka mungkin ada alasan-alasan lain yang menjadikannya selalu berulang, setiap hari selama bulan puasa.
Lalu, kita akan menemukan manusia-manusia yang memanfaatkan sore hari menjelang buka adalah waktu-waktu rekreasi. Banyak pekerja kantoran juga, sengaja pulang mendekati waktu-waktu buka.
Sambil nunggu buka, menghabiskan waktu bersantai di depan kampus, ruas jalan atau warung-warung tenda.
Untuk yang seperti ini, maka Bandung sore hari menjelang berbuka adalah sabtu malam yang dimajukan dan terjadi selama 30 hari. Apa yang khas dari sabtu malam? Satu, pasangan-pasangan. Atau para kembang bermekaran disertai kumbang yang bertebaran. Dua, mejeng. Itung-itung, sekali kayuh dua pulau terlampaui. Dapat menu buka, sambil JJS (Jalan-jalan Sore). Khas bandung.
Dan sesuai dengan hukum demand-supply, maka kita akan melihat di Ramadhan ini, jumlah pedagang-pedagang makanan buka terlihat makin banyak. Entah, apakah mereka sebelumnya berjualan makanan di siang hari saat tidak bulan puasa, kemudian mengganti jam kerjanya menjadi sore hari. Atau yang sepertinya lebih banyak, penjual-penjual dadakan yang memanfaatkan kesempatan.
Maka, sore hari menjelang berbuka, Bandung akan macet di banyak ruas jalan. Macetnya bahkan melebihi macet Bandung yang disebabkan weekend. Jika weekend lebih banyak disebabkan migrasinya orang-orang Jakarta, maka macet setiap sore menjelang berbuka karena orang Bandung sendiri atas beberapa alasan yang sama.
Memang, selalu saja ada hal menarik di Bandung.
----
foto : http://www.geocities.com/qqsamudra/Macet.jpg