akhirnya tiba pada suatu ketika...
setelah melalui kebersamaan selama hampir 2 tahun, hari ini adalah hari-hari terakhir kami bersama dalam sebuah program yang mengesankan. jika dibandingkan dengan keadaan 11 bulan yang lalu, ketika pertama kali kami bertemu dan berkenalan (karena tak semua dari kakmi saling mengenal), hari ini ada perubahan besar pada diri-diri kami. mungkin tidak kasat mata, tapi perubahan itu yang menjadikan kami berani memandang jauh ke depan, di tengah wajah suram negeri ini.
akhirnya tiba pada suatu ketika..
bahwa sesaungguhnya bukan materi atau aktivitas yang membentuk kami. kami sangat bersyukur ketika kami disatukan dalam sebuah komunitas dan ikut dalam barisan proyek peradaban ini. kami dijadikan satu kesadaran dalam kebersamaan yang ringan, bahwa kita adalah kita, manusia dalam masa kedewasaannya, tapi kita adalah penerus dalam membangun bangsa ini. lingkungan terbaik yang pernah kami rasakan, kebersamaan dalam bingkai tujuan mulia.
dan akhirnya tiba pada suatu ketika...
kami tak sanggup untuk menghalanginya lagi. sedikit demi sedikit kami menuju ke tiap peraduannya. kami tak kuasa menahan, satu, dua, tiga dari kami mulai berangkat dalam medan perjuangan kehidupan nyata. apa artinya ini? bahwa saat ini, saat-saat terakhir kami bersama sejatinya adalah saat memulai proyek peradaban itu.kami harus berani, karena kami telah berani pula hidup ketika kelahiran kami, dan harus menerima tanggung jawab ini.
wahai sahabat-sahabat ku, akhirnya kita tiba pada suatu ketika...
saat do'a kita dipanjatkan, niat ditambatkan da perjuangan dibentangkan. sebentar lagi kita akan memulai hidup baru, saat kita berhamburan dalam gulungan waktu kehidupan, tanpa hal-hal khusus lagi yang membekali kita. dan inilah perjuangan sejati, perjuangan sekelompok manusia baru yang telah lahir dari rahim-rahim umatnya, mencita-citakan kemajuan bangsa di dalam warna syari'atNYA. kita, manusia yang juga tak lupa memanjatkan sehingga makin banyak barisan pengusung tugas mulia ini. hingga Terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat, Serta kebaikan dari Allah-Pencipta alam semesta.
terakhir, kita begitu berbeda sahabat.., kecuali dalam cita-cita ini.
Wednesday, December 21, 2005
Friday, December 16, 2005
Tentang Perbaikan Bangsa
Sebuah pertanyaan sederhana bisa membuat kita berpikir dan memilki jawaban yang berbeda dengan pertanyaan tersebut. pertanyaannya begini, mengapa bangsa kita, zamrud khatulistiwa, sekarang menjadi bangsa terpuruk yang sulit bangkit dibandingkan bangsa-bangsa lainnya?
Setiap orang yang ditanya dan diharuskan menjawab, akan memiliki jawaban berbeda atasnya. Mulai dari jawaban formal sok tahu tentang kondisi bangsa, hingga jawaban yang paling standar manusia tanpa empati, ”nggak tahu”. Padahal, jika pertanyaannya dibalik, anda mau bangsa ini memperlakukan anda seperti apa? Mungkin jawabannya akan relatif lebih mudah tanpa banyak berpikir panjang,
Tapi kita tidak akan membahas tentang pertanyaaan dan jawaban tersebut. Yang akan menjadi sorotan kita adalah, esensi dari pertanyaan tersebut, bahwa negara kaya raya ini (dalam idiom yang terkenal, tata tentram kartarahardja, gemah ripah loh jinawi) terpeleset –untuk tidak dikatakan terjerumus- dalam lubang keterbelakangan bila dibandingkan dengan negara lain yang se-angkatan usia kehidupan berbangsa dan bernegaranya, bahkan dari negara yang ”lebih muda”, kita juga mulai ”mengalah”, misalnya Malaysia atau Vietnam.
Secara sumber daya alam, tak ada negeri satu pun di dunia yang mampu menyaingi Indonesia. Kita pun tak usah dijelaskan lagi posisi Indonesia sekarang dalam urutan berapa soal produksi timah, kelapa sawit, rempah-rempah, hutan, batubara, gas alam dan sumber mineral serta energi lainnya. Karena walaupun kita tak tahu saat ini urutannya, hampir semua rakyat Indonesia yang pernah mengenayam pendidikan dasar (minimal SD), pasti masih sangat yakin bahwa potensi SDA negeri ini masih sangat banyak. Toh, kenyataanya memang tidak salah. Potensi kekayaan alam kita sekarang masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disedot oleh kapitalisme global dan didukung koruptor ”heartless” bangsa.
Tapi dasar bangsa ini adalah bangsa yang sudah di-nina bobok-an oleh kekuatan tersistematis selama lebih dari tiga dasawarsa, maka kesadaran untuk bangkit dan mengambil beban tanggung jawab sebagai bangsa yang besar tak pernah dilakukan. Pucuk pimpinan bangsa ini masih dengan bangga menyatakan bahwa negara kita butuh bantuan, tidak bisa berjalan sendiri dengan alasan yang klasik, ”masa sebuah bangsa tidak bersosialisasi”.
Sebuah fenomena perih, karena banyak pimpinan bangsa ini yang masih melakukan pembodohan terhadap banganya sendiri. Sesuatu yang benar tidak ditempatkan pada tempatnya, dengan menggunakan dalil kebenaran untuk menghalalkan tindakan yang salah kaprah. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang lain, dengan menggunakan aksioma-aksioma kebenaran. Padahal itu tak ubahnya seperti sebuah pembodohan massal.
Jika ditanya tentang suatu kegagalan, maka jawaban yang ”diplomatis” keluar. ”Jangan saling menyalahkan, mari kita perbaiki bersama”, atau ”Jangan tanya siapa, tapi apa?”. Jika tidak terbiasa dengan gaya politik negeri ini, seolah hal-hal diatas memang mendinginkan dan bijaksana. Padahal, hal itu tak berbeda dengan mengalihkan tanggung jawab sosial masyarakat yang harusnya dilakukan.
Lalu banyak kalangan yang peduli dengan kerusakan bangsa ini mulai untuk menjalin kekuatan. Namun tak sedikit pula yang pesimis, karena kita terjebak antara dua pilihan, yakni memperbaiki orang (SDM) atau membuat sistem. Malahan, orang-orang yang bingung harus mulai dari mana itu adalah orang-orang yang ikut menikmati kerusakan bangsa ini dan mungkin ingin mempertahankan. Yang namanya kebobrokan atau ketidakadilan, harus diperbaiki dari segala arah yang mungkin dilakukan. Kita tidak bisa terjebak antara orang atau sistem. Kalau perlu perbaikan itu sendiri menyangkut tidak hanya dua hal itu (orang atau sistem), tapi juga interface antar keduanya atau lingkungan kedunya. Hematnya, perbaikan harus dilakukan dan tidak perlu gamang bagaimana harus memulainya.
Setiap orang yang ditanya dan diharuskan menjawab, akan memiliki jawaban berbeda atasnya. Mulai dari jawaban formal sok tahu tentang kondisi bangsa, hingga jawaban yang paling standar manusia tanpa empati, ”nggak tahu”. Padahal, jika pertanyaannya dibalik, anda mau bangsa ini memperlakukan anda seperti apa? Mungkin jawabannya akan relatif lebih mudah tanpa banyak berpikir panjang,
Tapi kita tidak akan membahas tentang pertanyaaan dan jawaban tersebut. Yang akan menjadi sorotan kita adalah, esensi dari pertanyaan tersebut, bahwa negara kaya raya ini (dalam idiom yang terkenal, tata tentram kartarahardja, gemah ripah loh jinawi) terpeleset –untuk tidak dikatakan terjerumus- dalam lubang keterbelakangan bila dibandingkan dengan negara lain yang se-angkatan usia kehidupan berbangsa dan bernegaranya, bahkan dari negara yang ”lebih muda”, kita juga mulai ”mengalah”, misalnya Malaysia atau Vietnam.
Secara sumber daya alam, tak ada negeri satu pun di dunia yang mampu menyaingi Indonesia. Kita pun tak usah dijelaskan lagi posisi Indonesia sekarang dalam urutan berapa soal produksi timah, kelapa sawit, rempah-rempah, hutan, batubara, gas alam dan sumber mineral serta energi lainnya. Karena walaupun kita tak tahu saat ini urutannya, hampir semua rakyat Indonesia yang pernah mengenayam pendidikan dasar (minimal SD), pasti masih sangat yakin bahwa potensi SDA negeri ini masih sangat banyak. Toh, kenyataanya memang tidak salah. Potensi kekayaan alam kita sekarang masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disedot oleh kapitalisme global dan didukung koruptor ”heartless” bangsa.
Tapi dasar bangsa ini adalah bangsa yang sudah di-nina bobok-an oleh kekuatan tersistematis selama lebih dari tiga dasawarsa, maka kesadaran untuk bangkit dan mengambil beban tanggung jawab sebagai bangsa yang besar tak pernah dilakukan. Pucuk pimpinan bangsa ini masih dengan bangga menyatakan bahwa negara kita butuh bantuan, tidak bisa berjalan sendiri dengan alasan yang klasik, ”masa sebuah bangsa tidak bersosialisasi”.
Sebuah fenomena perih, karena banyak pimpinan bangsa ini yang masih melakukan pembodohan terhadap banganya sendiri. Sesuatu yang benar tidak ditempatkan pada tempatnya, dengan menggunakan dalil kebenaran untuk menghalalkan tindakan yang salah kaprah. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang lain, dengan menggunakan aksioma-aksioma kebenaran. Padahal itu tak ubahnya seperti sebuah pembodohan massal.
Jika ditanya tentang suatu kegagalan, maka jawaban yang ”diplomatis” keluar. ”Jangan saling menyalahkan, mari kita perbaiki bersama”, atau ”Jangan tanya siapa, tapi apa?”. Jika tidak terbiasa dengan gaya politik negeri ini, seolah hal-hal diatas memang mendinginkan dan bijaksana. Padahal, hal itu tak berbeda dengan mengalihkan tanggung jawab sosial masyarakat yang harusnya dilakukan.
Lalu banyak kalangan yang peduli dengan kerusakan bangsa ini mulai untuk menjalin kekuatan. Namun tak sedikit pula yang pesimis, karena kita terjebak antara dua pilihan, yakni memperbaiki orang (SDM) atau membuat sistem. Malahan, orang-orang yang bingung harus mulai dari mana itu adalah orang-orang yang ikut menikmati kerusakan bangsa ini dan mungkin ingin mempertahankan. Yang namanya kebobrokan atau ketidakadilan, harus diperbaiki dari segala arah yang mungkin dilakukan. Kita tidak bisa terjebak antara orang atau sistem. Kalau perlu perbaikan itu sendiri menyangkut tidak hanya dua hal itu (orang atau sistem), tapi juga interface antar keduanya atau lingkungan kedunya. Hematnya, perbaikan harus dilakukan dan tidak perlu gamang bagaimana harus memulainya.
Subscribe to:
Posts (Atom)