Dalam pembahasan perhitungan zakat, yang sering dibahas adalah zakat pertanian, zakat kekayaan dan zakat profesi. Zakat dari usaha dibahas dalam konteks menghitung zakatnya, yakni dengan cara sebagai berikut:
1. Nisab dengan nilai emas 85 gram (Rp 42.5 juta pada harga emas Rp 500 ribu/gram).
2. Harta usaha yang wajib dizakati adalah;
a) Hasil usaha setelah dikurangi dengan kewajiban, seperti hutang dan pajak.
b) Modal dagang yang berupa kekayaan cair atau bergerak. Sedangkan bangunan, timbangan, kendaraan dan perabot toko tak bergerak yang tidak diperjual-belikan dan tidak bergerak tidak termasuk yang dizakati.
3. Besaran zakat usaha atau perdagangan 2.5%.
4. Haul yang digunakan sama, yakni telah mencapai 1 tahun.
Zakat usaha ini menurut saya juga mempunyai potensi yang besar karena banyaknya usaha formal dan informal di Indonesia (catatan: total potensi zakat Indonesia di tahun 2011 menurut hasil penelitian team Prof. Didin Hafidhudin adalah Rp 200 Triliun). Terlepas dari potensi tersebut, ada sisi menarik dan hikmah dari zakat usaha ini jika dilihat dalam konteks bagaimana Islam berlaku adil dalam hal zakat.
Pertama, harta yang harus dizakati dalam zakat usaha adalah hasil usaha dan modal dagang, bukan keseluruhan modal usaha. Jika usaha yang dijalani adalah usaha produk, maka sisa produk yang belum terjual (inventory rata-rata dalam 1 tahun) dan laba bersih yang menjadi obyek zakat. Jika berupa usaha jasa atau perdagangan, maka laba bersih adalah obyek zakat.
Kedua, zakat usaha lebih kecil dibandingkan zakat maal yang harta berupa tabungan, surat berharga, dan bahkan emas, dinar atau dirham (sumber: Baznas, MES). Terkait poin pertama diatas, maka secara sederhana kita bisa melihat bahwa misalnya dengan modal usaha 100 juta untuk usaha jasa, di akhir 1 tahun usia zakat usaha sebesar 2.5% hanya akan diterapkan kepada laba bersih Rp 20 juta (ROE 20%), tapi karena belum masuk Nisab nilai 85 gram emas, maka bebas zakat usaha. Sedangkan untuk tabungan, surat berharga dan emas dengan nilai 100 juta dan ROI sama 20% (total Rp 120 juta), sehingga pendapatan bersihnya dikurangi Rp 3 juta (2.5%) menjadi Rp 17 juta. Sangat jauh berbeda bukan?
Ketiga, seorang muslim didorong untuk melakukan investasi pada usaha riil, bukan untuk menumpuk-numpuk kekayaan sehingga tidak berputar. Dari poin pertama dan ilustrasi poin kedua diatas, jelas sekali bahwa Islam secara tidak langsung sangat mendorong kaum muslim untuk melakukan usaha di sektor riil, sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi dan berpotensi membuka lapangan kerja lebih luas.
Dari ketiga hikmah diatas, kita bisa melihat bagaimana keadilan Islam dalam memperlakukan seorang yang banyak menimbun harta dan seorang pengusaha. Bagi yang banyak harta tapi hanya disimpan atau diinvestasikan secara finansial saja dimana risikonya secara umum lebih kecil (take and go), maka dikenakan zakat yang lebih banyak. Sedangkan zakat usaha dari usaha yang lebih berisiko, membutuhkan lebih kerja dan pikiran serta berkontribusi nyata untuk masyarakat, zakatnya lebih sedikit.
Bentuk keadilan yang berikutnya adalah ketika usaha tersebut membesar kemudian menjadi perusahaan, sampai akhirnya IPO dan listed di bursa saham. Maka, si pemilik yang tadinya hanya kena zakat usaha atas modal usaha + laba bersih, setelah menjadi saham maka zakat yang dikenakan menjadi zakat saham, yakni 2.5% atas semua nilai saham yang dimiliki. Ketika pemilik tersebut terdiri atas beberapa orang yang menyetorkan modal (kepemilikan) untuk mendirikan sebuah usaha, maka selama masih perusahaan tertutup, zakat usaha hanya atas modal usaha + laba bersih. Hal tersebut memberikan ruang keadilan bagi pengusaha kecil-menengah, dan mengenakan zakat yang lebih besar bagi pengusaha besar yang berhasil meng-IPO-kan perusahaan. Sungguh adil bukan?
Dengan ketiga hikmah dan dua potret keadilan Islam diatas, menurut saya bukan berarti semua harta yang dimilki harus dialokasikan semua dalam bentuk usaha. Pengelolaan keuangan yang dibarengi dengan penggunaan instrumen investasi keuangan dibutuhkan untuk kita bisa memahami bagaimana dunia berjalan dan memanfaatkan sebaik-baiknya, bukan sebesar-besarnya. Hal yang mirip ketika kita dihadapkan pilihan antara tetap menggunakan Bank Konvensional atau hijrah seluruhnya ke Bank Syariah.
Dan saya pernah mengajukan kritik kepada salah satu "guru online" investasi saya dalam review buku praktis investasi finansial yang ditulisnya, bahwa seseorang yang paham dengan dunia ekonomi (finansial), seharusnya justru menjadikan dunia usaha (public investment) sebagai tujuan utama (ultimate goal) dari sebuah investasi finansial, bukan hanya bersifat private investment. Tampaknya sebagian yang dilakukan oleh private equity pun sejalan dengan prinsip tersebut.
Di tahun 2013 ini saya insyaAllah sedang memulai usaha riil dengan modal sebagian besar investasi finansial saya (dan utang hehe). Bagaimana dengan anda?
Source pic: Ekonomi Syariat
2 comments:
Ikutan usah riil-nya dong pak :D
Hoho..belum waktunya di rilis, An. Yang pasti di kampung :D
Post a Comment