Saya tidak terlalu paham tentang bagaimana fatwa itu seharusnya berlaku, karena fatwa sendiri sepengatahuan saya adalah sebuah ijtihad. Dan sebuah ijtihad, adalah karya manusia yang bisa salah dan bisa betul. Pun juga dengan fatwa sebuah ‘perhimpunan ulama indonesia’. Namun, ijtihad/fatwa tentu tidaklah sembarangan. Karena pengeluar fatwa –apa yang saya yakini secara simpel-, tidak bisa lepas diri sepenuhnya atas dosa/pahala orang yang mengikuti ijtihad tersebut.
Dalam kaidah Islam sendiri, ijtihad sendiri menempati rujukan ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits. Dan ijtihad adalah jawaban atas masalah kontemporer, semisal bunga bank yang tidak ada di zaman Muhammad SAW. Dan menyakini kebenaran sebuah ijtihad (apalagi oleh lembaga ulama nasional) sama dengan menyakini kebenaran Al-Qur’an atau menyakini islam sebagai agama bagi pemeluknya. Itu bagian dari aqidah atau keimanan, alias mutlak.
Apa yang kemudian timbul adalah ijtihad yang ‘kurang didukung’ oleh zaman. Dalam kaitan bunga bank, bank syariah sendiri pun saat ini belum tentu mampu mengoptimalkan peran bank-nya setelah kebanjiran dana migrasi. Belum lagi tentang infrastruktur perbankan yang harus mendukung, mulai jaringan ATM sampai mobile-banking.
Contoh sederhana, ketika jalan-jalan kemudian mampir di cafe, shop, atau berbelanja di toko buku favorit, pusat elektronik, mall, FO dan lainya, maka akan lebih praktis untuk menggesek kartu debit (sementara debit, bukan kredit!) bank berjaringan merchant luas daripada mengeluarkan cash money. Karena uang cash bisa digunakan untuk hal-hal lain, mulai jaga-jaga hingga transaksi langsung. Dan untuk para netter atau mobiler, banyak fasilitas yang sangat membantu, mulai bayar listrik, tagihan cicilan rumah, transfer dan transaksi keuangan lainnya.
Secara pribadi muslim, disinilah sebenarnya letak-apa yang saya sebut- kecerdasan beragama itu diasah. Sebuah ruang antara konten-konteks ditakar dan diejawantahkan. Satu hal yang pasti, bunga bank itu riba alias haram dan itu harus diyakini. Tentang pelaksanaan, ada beberapa memang yang menjadi pertimbangan. Yang kemudian, pilihan menggunakan lebih dari satu rekening bank pun menjadi solusinya.
Pertama, sebuah atau beberapa rekening bank syariah. Disinilah sesungguhnya yang menjadi tabungan bagi kita (muslim yang menyakini), tempat dana utama kita disimpan. Tentang ‘profit sharing’ bank syariah, memang tidak untuk diharapkan lebih dibandingkan dengan bunga bank, karena kondisi keuangan syariah kita masih belum established. Sekarang, apa yang lebih kita cari adalah yang utama, yaitu keberkahan.
Kedua, karena keperluan kehidupan seperti diatas, maka satu atau beberapa rekening bank non-syariah juga diperlukan adanya (apalagi jika transfer gaji dari perusahaan melalui rekening jenis ini). Disini, uang yang disimpan pun tidak harus benar-benar habis, karena satu kebutuhan kepraktisan kehidupan diatas, dan dua karena biaya administratif yang selalu charged.
Tentang biaya administrasi yang ‘merugikan’ ini, pun bisa disiasati sebagai bagian win-win solution (alias tidak mau rugi!). Seseorang saat masih kuliah sempat menghitung minimal jumlah nominal tabungan ‘bank kerakyatan’ kiriman orang tuanya, dimana bunganya bisa menutup sendiri biaya administrasi bulanan sebesar Rp 5.000,-. Hal sama dilakukan seseorang pada bank swasta terbesar, yang biaya administrasinya sebesar Rp 10.000,-/bulan plus biaya transfer antar bank sesuai kebutuhan yang digunakan rutin bulanan.
Jumlah tabungan minimal itu setidaknya yang selalu ‘tinggal’ di rekening non-syariah, plus beberapa kelebihan untuk kepraktisan-kepraktisan transaksi. Konsepnya ialah autoself-living (menghidupi diri sendir). Sekalipun administrasi tidak sangat besar, tapi sejumlah uang itu pun tetap bisa dimanfaatkan untuk hal manfaat lainnya
Jadi, bunga bank adalah riba, titik! Itu bagian keimanan, yang seharusnya diyakini dalam hati, dinyatakan dalam lisan dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kita sudah menyakini dan melisankannya, lalu tidak sangat-sangat totalitas dalam pelaksanaan tentu akan berbeda jika kita masih ragu, mendebat, dan fully-interest. Dan jika boleh dianalogikan keimanan tentang keuangan syariah itu 100%, maka dengan konsep ini mungkin sudah didapatkan 66,7% atas yakin dan lisan, plus tindakan yang ‘sudah’ 16,7% (dan ada Yang Maha Menghitung).
Dan jika belum, maka sebagai muslim, keislaman kita masih patut dipertanyakan kembali (pun untuk umat beragama lain terhadap keyakinannya masing-masing). Wallahu’alam.