Kartini, secara singkat dia mengalami suasana masa muda yang kurang menyenangkan bagi ukuran wanita sekarang. Dari sumber-sumber sejarah, biasa digunakan kata “dipingit” sebagai kata yang menggantikan tindakan mengurangi aktivitas luar seseorang pada suatu daerah tertentu, yaitu rumahnya sendiri. Baru kemudian, dlam masa pingitan itu dia berkorespondensi pada sahabatnya di Belanda, salah satunya Rosa Abendanon, dan kita mengenal kumpulan suratnya itu dalam buku dengan judul Door Duisternis tot Licht “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Lalu, kegundahan dan pikiran-pikiran Kartini tentang wanita Indonesia yang pada masa tersebut menglami hal serupa diartikulasikan dalam sebuah gerakan untuk mengangkat derajat kaum wanita. Yang saya tangap, intinya gerakan itu mengingingkan adanya kesamaan hak antara kaum wanita seperti halnya kaum pria. Yang lebih berkembang, perlakukan kepada wanita, kewajiban dan lain aktivitas-aktivitas kaum wanita tidk boleh dibedakan dengan kaum adam.
Benarkah sebenarnya Kartini mengusung hal-hal yang kita kenal dengan gerakan feminisme itu? tulisan ini terlalu sederhaa utuk membahas hal tersebut, tapi akan meberikan gambaran dan pandangan tentang fenomena feminisme.
Habis Gelap Terbitlah Terang, menurut pengakuan salah satu cucu Kartini (saya lupa namanya, maaf) secara arti sebenarnya mirip dengan ungkapan Al-Qur’an Minadz dzulumatin ilan nur. Menurutnya, kartini sendiri terinspirasi dari ungkapan itu yang islam sudah mengangkat posisi wanita dalam posisi yang terhormat daripada sebelum Muhammad sebagai Rasul. Kartini sendiri, adalah muslim yang taat sehingga tidak salah bila islam manjadi sumber pemikiran dan gagasannya.
Tapi kalau kita bicara sejarah, akan banyak hal yang menyebabkan akhirnya sejarah menjadi meragukan. Kita mengenalnya, distorsi sejarah. Sejarah bergantung pada siapa yang menuliskannya, terbukti apalagi di bangsa kita. Menurut Taufik Abdulah, meluruskan sejarah tak akan pernah bisa karena sejarah bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Jadi, kita tak akan berlama-lama tentang sejarah kartini.
Gerakan feminis ini kemudian memang menuai “kesuksesan” di bangsa kita, wanita-wanita mulai bole sekolah di luar, boleh bekerja mulai dari aktivitas yang berbau “khas kewanitaan” sampai posisi-posisi yang cenderung ditempelkan kepada “aktivitas laki-laki”. Secara prinsip, hal itu tentu tidak masalah. Wanita tidak lagi menjadi “pekerja rumah tangga”, yang kegiatan-kegiatan rumah biasa disandarkan padanya. Wanita tidak lagi menjadi second-line suaminya, malah bisa menjadi “kepala rumah tangga” yang sebenarnya. Sehingga ungkapan, Awewe mah dulang tinande (wanita ikut suami aja), tidak berlaku lagi.
Apakah feminisme benar-benar ingin mengangkat derajat wanita? Sejauh mana?
Jika feminisme bersikukuh dalam ide gerakan bahwa wanita seharusnya disamakan dengan laki-laki pada urusan apapun, mulai dari rumah tangga (tidak ada lagi pembagian ini kerjaan wanita, ini kerjaan laki-laki) hingga urusan negara, maka sebenarnya terjadi konradiksi antara hal lainya disini. Ketika kita mengakui bahwa ada persaingan dalam hidup, yang kemudian menjadikan ada pemenag dan pihak kalah, maka pihak yang kalah lah yang kemudian berad di “bawah”. Ini aksioma rimba yang berlaku pada manusia juga.
Nah, ahirnya semua aktivitas adalah persaingan yang menjadikan peserta persaingan harus berlomba memenangkan permainan. Wanita, juga harus rela dan sadar jika kemudian dia kalah, karena memang secara alami memeliki potensi yang berbeda dengan laki-laki. Tidak ada yang bisa disamakan, karena akhirnya yang layaklah yang jadi pemenangnya. Jika yang dituntut adalah hak untuk sama-sama masuk laga persaingan, maka itu senantiasa terbuka lebar. Tapi jika akhirnya kalah, maka jangan kemudian menjadikan itu sebagai alasan tidak mengakui persamaan hak.
Ini bukanlah masalah fisik, karena ada cerita zaman Khalifah Islam yang berhikmah tentang peran wanita. Sebagaimana kita tahu, bahwa wanita di medan-medan peperangan islam sejak Nabi hingga sahabat-sahabatnya ikut serta, terutama sebagai juru rawat. Ada pula sosok-sosok wanita (shohabiyah) yang ikut berperang, tapi itu tidaklah banyak. Peluangnya sama jika mau, tapi “persaingan” menjadikan wanita “kalah”.
Di masa kericuhan seelah wafatnya Utsman RA, Ali RA berpendapat tidak ingin menghukum pihak-pihak yang membunuh karena kestabilan politik yang beliau utamakan dulu. Tapi banyak sahabat, termasuk Aisyah RA, yang menginginkan Ali menghukum secepatnya pembunuh tersebut. Karena itu adalah hukum islam. (kalau salah, mohon dibenarkan).
Akhirnya, timbul peperangan antara pihak penuntut dan Ali (yang dimanfaatkan untuk memecah belah umat islam). Aisyah pun ikut serta memimpin pasukan bersama sahabat-sahabat utama. Dalam pertemuan antara Ai dan Aisyah, Ali mengungkapkan sebuah ayat, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu...." (Al-Ahzab [33] :32-33).” dan kemudian Aisyah tersadarkan dan pulang kembali.
Dalam perjalanan pulang, aisyah diberi kawalan oleh Ali 60 pasukan yang menggunakan pakaian tertutup. Setelah sampai di Madinah, Aisyah baru mengetahui bahwa pasukan yang disertakan oleh Ali adalah pasukan wanita. Hingga ungkapannya yang terkenal, “tidak ada yang berkurang dari Ali, terutama kemuliaannya”
Artinya, tidak mungkin pasukan itu bersenjatakan bukan seperti senjata layaknya pasukan biasa, seperti pedang, tombak dan panah. Dan tidak mungkin pula pasukan itu tidak memiliki skill bertempur, karena Ali mempercayakan Ummul Mukminun pada pasukan tersebut.
Jadi, bukan masalah persamaan yang menjadi initi utama dalam membaha feminime, tapi proporsionalitas dalam melihatnya. Saya tidak tahu, bila kartini tahu bahwa gagasan yang dia taburkan bersemai sedemikian rupa sehingga sepsrti sekarang, tuntutan menyamakan antara wanita dan pria, bisa jadi dia merubah gagasannya atau memperjelas lagi apa yang dia mau.
Tentu saja, gerakan feminisme bukan pula gerakan kasihan. Yang hanya berkembang mengharapkan kasihan pihak lain. Tidak mungkin hidup, bila dengan kasihan. Gerakan feminis hendaknya menjadi gerakan pembuktian, layak tidaknya seorang wanita memegang sebuah posisi. Dan ini adalah peperangan hidup, yang akhirnya meninggalkan pihak termarginalkan. Dan wanita sendiri tidak akan kehabisan potensi jika akhirnya harus kalah dalam persaingan itu.
6 comments:
dalilnya tuh...
kalo ga salah minadzdzulumaati ilannur... (dari kegelapan menuju cahaya)
hmmm...
no comment dah
kali ini sy sepakat ama trian
cukup fair argumentasinya...
terima kasih diingetkan...benar2 lupa:)
sepakat, tapi saya bukan termasuk meninist lho ya..
*meninist=men-feminist*
wah setuju sama tulisannya:)
linda berkunjung lagi, selamat datang dan terima kasih ya ...
hmmm, matur nuwun atas infonya. jujur, "feminisme" adalah info baru, kl poligami udah pernah dengar. apakah itu karena muslim taat atau budaya jawa, kurang tau persisnya. yang saya dapatkan, buku dengan salah satu sumbernya cucu kartini (maaf, sekali lagi saya lupa judulnya) bahwa Kartini termasuk muslim yang taat (untuk kadarnya mungkin).
tapi saya memang tidak ingin membahas tentang sejarah kartini, seperti yang sudah saya kemukakan. intinya, kartini lah salah satu yang menjadi "inspirasi" (atau limpahan?) para feminist. walaupun secara hakiki, itu mungkin tidak sepenuhnya tepat.
terima kasih telah berkunjung...
beautifull takes all
=)
Post a Comment