Konon otak kiri manusia dominant rasional, sedang otak kanan nya dominansi emosional. Konon juga, perempuan lebih banyak menggunakan sisi emosional dibanding rasional. Sedangkan laki-laki sebaliknya, lebih banyak menggunakan sisi rasional dibandingkan emosional. Walaupun tidak selamanya benar, namun secara umum hal itu benar adanya.
Mengambil sebuah keputusan dengan menyeimbangkan alasan rasional dan emosional tentu sebuah tantangan. Tidak hanya di lingkungan keluarga, namun juga di lingkungan pekerjaan yang biasanya sangat dominan wilayah rasional.
Bagi orang jawa (dan mungkin cina), segala sesuatu terkait dengan hari, harus lolos kualifikasi ’hari baik’. Perhitungan jawa yang sangat teliti akan melihat dan menganalisa apakah termasuk hari baik atau tidak. Hal ini menurut saya lebih ke arah ’emosional’, dimana disebabkan oleh kultural.
Momen-momen penting dalam tahapan hidup orang jawa tidak lepas dari perhitungan tersebut. Misalnya pindah rumah, menikah atau bahkan berpergian jauh. Karena keluarga saya adalah jawa yang masih sedikit banyak ’menghitung’, maka saya pun dikondisikan dalam koridor ’hari baik’ tersebut.
Saat saya memutuskan untuk mulai menempati rumah depok tengah november lalu, ibu ’menyarankan’ untuk menempatinya pada saat hari pasaran lahir saya dengan syukuran sebagai penghuni rumah baru. Padahal hari pasaran itu jatuh pada desember awal. Alasan saya untuk segera menempati rumah jelas, bahwa karena rumah sudah hak milik, buat apa mengeluarkan lagi uang untuk kos bulanan dengan hanya ditinggali 4 hari sebulan?
Alasan rasional itu saya sampaikan ke ibu saya dengan mengatakan bahwa syukuran kecil mengundang tetangga tetap dilakukan sebagai permisi ke tetangga baru. Namun tetap, bukannya redam malah ibu meminta untuk niat ’numpang tidur’ di rumah baru tersebut sampai hari pasaran itu tiba. Daripada berlama-lama, saya iya kan saja hal tersebut.
Konon, pindah rumah yang hakiki menurut orang jawa itu adalah saat memasukan tempat tidur dan perangkatnya ke rumah baru. Dan benar, ibu saya sampai meminta pada hari pasaran untuk membeli tikar, bantal dan guling untuk dimasukan ke rumah. Plus di kampung, ibu menggelar syukuran kecil dengan ’niat’ membatalkan syukuran awal saya bersama tetangga sekitar sebulan sebelumnya.
Tapi itu masih juga belum selesai. Awal tahun ini setelah pulang, saya masih diminta membawa sepaket beras dan gula putih. Awalnya masing-masing satu kilo, namun akhirnya berhasil ’nego’setengahnya. Katanya, syarat orang berumah-rumah itu ada bahan makanan yang disimbolkan oleh beras dan gula.
Anda mungkin tersenyum membaca cerita saya ini, tapi ini lah yang dihadapi seorang anak ’rasional’ dan ibu ’emosional’. Dimana seringkali kami benturan karena tarikan rasional-emosional tersebut. Namun setelah mulai muncul seseorang baru dalam kehidupan saya akhir-akhir ini, benturan tersebut sedikit sedikit bisa di damaikan.
Seperti pesan ibu lewat sms kepada beliau setelah ibu membawakan beras dan gula beberapa waktu lalu, ”Hendro ibu bawai beras dan gula setengah kg cuma sarat berasnya dimasak, gula semua jangan sampai kebuang. Itu pokok dari orang tua biar sempulur rejeki pangannya” *
Jadi, memang sudah ada orang yang tampaknya menjadi penengah ’hubungan’ antara saya dan ibu.. :)